Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1275 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Trityatmo Bowolaksono
Abstrak :
Untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia FISIP-U1, penulis melakukan penelitian dengan judul tersebut di atas dengan tujuan untuk mengetahui dan membahas: faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan tokoh masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan di Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing Kotamadya Jakarta Utara. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Analisis didasarkan pada data primer dan sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan, dan penyebaran polling terhadap 125 responden. Teknik pemilihan responden dengan teknik stratified random sampling. Kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: tingkat kesiapan tokoh masyarakat berada pada tingkat yang sedang. Hal ini ditunjukkan lebih dari sebagian responden yang berada pada skor sedang (27 - 36) yaitu sebanyak 87 responden (69,6%). Sementara itu hanya 16 responden (12,8%) yang berada pada tingkat kesiapan yang tinggi (skor > 38). Dan 22 responden (17,6%) yang mencapai tingkat kesiapan yang rendah (skor < 27). Tingkat kesiapan yang sedang ini meliputi aspek kemauan dan ketrampilan tokoh masyarakat. Aspek kemauan meliputi kesediaan meluangkan waktu, motivasi, penyampaian usulan dalam proses musyawarah, kemauan mengikuti proses musyawarah lebih lanjut, dan kemauan dalam pelaksanaan program pembangunan. Sedangkan aspek ketrampilan meliputi kemampuan dalam mengungkapkan permasalahan, kemampuan mengusulkan permasalahan yang perlu menjadi prioritas pemerintah, kemampuan menyusun langkah-langkah pemecahan masalah, kemampuan dalam proses pengambilan keputusan dan kemampuan dalam pelaksanaan hal-hal yang telah disepakati bersama. Sementara itu, tingkat pengetahuan tokoh masyarakat berada pada tingkat yang sedang. Hal ini ditunjukkan lebih dari sebagian responden yang berada pada skor sedang (23 - 31) yaitu sebanyak 104 responden (83,2%), Sementara itu hanya 12 responden (9,6%) yang berada pada tingkat pengetahuan yang rendah (skor > 31). Dan 9 responden (7,2%) lainnya berada pada tingkat pengetahuan yang sedang (skor 23). Tingkat pengetahuan tokoh masyarakat yang sedang ini meliputi tingkat pengetahuan tentang kondisi masyarakat, bagaimana cara mensejahterakan masyarakat, cara menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, dan tingkat pengetahuan tentang forum musyawarah pembangunan, baik fungsi dan mekanismenya. Sedangkan tingkat pengalaman tokoh masyarakat berada pada tingkat yang sedang. Hal ini ditunjukkan lebih dari sebagian responden yang berada pada skor sedang (25 - 36) yaitu sebanyak 94 responden (75,2%). Sementara itu hanya 22 responden (17,6%) yang berada pada tingkat pengalaman yang rendah (skor < 25). Dan 9 responden (7,2%) lainnya berada pada tingkat pengalaman yang tinggi (skor > 36). Tingkat pengalaman tokoh masyarakat yang sedang ini meliputi tingkat pengalaman tokoh masyarakat dalam organisasi formal dan informal, pengalaman dalam mengikuti rapat dalam organisasi tersebut, pengalaman dalam musyawarah pembangunan, dan pengalaman dalam kegiatan proyek pembangunan, baik langsung maupun tidak langsung. Dan hasil pengukuran regresi terlihat bahwa faktor pengetahuan tokoh masyarakat berpengaruh positif terhadap tingkat kesiapan tokoh masyarakat untuk berpartisipasi sebesar 0,389. Pengaruh ini, terbilang signifikan karena nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel (3,705 > 1,658), Sementara itu faktor pengalaman tokoh masyarakat berpengaruh positif terhadap tingkat kesiapan tokoh masyarakat untuk berpartisipasi sebesar 0,568. Pengaruh ini terbilang signifikan karena nilai t hitung Iebih besar dari nilai t label (10,655 > 1,658). Secara bersama-sama, faktor pengetahuan dan pengalaman tokoh masyarakat berpengaruh signifikan. Hal ini terlihat dari nilai F hitung yang lebih besar dari nilai F tabel (88,375 > 3,07). Dan hasil perhitungan tersebut juga terlihat bahwa faktor pengalaman tokoh masyarakat bepengaruh lebih besar daripada faktor pengetahuan tokoh masyarakat. Hal ini terlihat dari nilai koefisien regresi pengalaman tokoh nasyarakat yang lebih besar dari nilai koefisien regresi pengetahuan tokoh masyarakat (0,568 > 0,389). Berdasarkan kesimpulan tersebut, saran-saran yang penulis ajukan adalah sebagai berikut: Perlunya sebuah metode yang mampu menjadikan masyarakat sebagai objek sekaligus subjek dalam pembangunan, Penumbuhan kesadaran masyarakat hendaknya dimulai dari titik grass root; Pemerintah dalam merencanakan pembangunan harus melihat apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan masyarakat luas, jangan hanya didasarkan kepada kepentingan politis golongan tertentu saja.; Perlunya sebuah mekanisme controling yang tepat agar peIaksanaan program-program pembangunan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dapat dilakukan selain dengan memaksimalkan fungsi legislatif, juga melibatkan masyarakat secara langsung; Perlunya peningkatan pengetahuan dari masyarakat tentang arti dan mekanisme pembangunan melalui dunia pendidikan maupun secara langsung lewat penyuluhan maupun sarasehan dengan warga masyarakat.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T 977
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Herlina Farlina
Abstrak :
Tesis ini mengkaji tentang perencaaaan pembangunan yang berjudul "Kajian Pelaksanaan Proses dan Mekanisme Perencanaan Pambangunan Daerah : Studi Kasus Propinsi Kalimantan Selatan". Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 berarti segala produk hukum yang bersumber pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 secara otomatis jadi tidak berlalu lagi. Begitu juga peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan proses dan mekanisme perencanaan pembangunan di daerah, yaitu Permendagri Nomor 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di daerah (P5D). Apabila sebelum diberlakukannya otonomi daerah peranan pemerintah pusat dalam hal perencanaan pembangunan daerah sangat kuat maka sesudah diberlakukannya otonomi daerah diharapkan adanya kemandirian daerah yang lebih dominan. Dengan mengacu pada proses dan mekanisme perencanaan pembangunan ideal, metode penelitian kualitatif deskriptif serta penelitian dokumen dan lapangan maka diperoleh hasil kajian sebagai berikut : 1). Secara konseptual maka konsep perencanaan pembangunan yang diterapkan di Propinsi Kalimantan Selatan saat ini sudah ideal namun dalam pelaksanaannya belum optimal, 2), Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan proses dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah yang ideal, yaitu : kemampuan aparatur Bappeda Propinsi Kalimantan Selatan dalam melaksanakan proses dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah sehubungan dengan pendidikan formal dan non formal mereka, alokasi dana bagi monitoring, evaluasi dan pengendalian program/proyek., kemampuan Bappeda Propinsi Kalimantan Selatan dalam hal koordinasi guna pencapaian keserasian dan keterpaduan program/proyek di daerahnya, kualitas data serta peran Gubernur Kepala daerah sebagai manajer pembangunan dan DPRD sebagai wakil rakyat.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T1822
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wan Ruslan Abdul Ghani
Abstrak :
Seiring dengan perkembangan pembangunan, dirasakan model ekonomi agregat menjadi tidak terlalu banyak manfaatnya bagi perencanaan dan evaluasi kegiatan pembangunan apabila kegiatan tersebut masuk ke dalam suatu dimensi ruang. Oleh karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah suatu model yang bukan saja dapat menggambarkan jenis, lokasi dan pelaku kegiatan ekonomi tetapi juga mampu memberikan analisis tentang dampak langsung, tidak langsung dan terimbas (induced effects) dari kegiatan-kegiatan pembangunan yang direncanakan. Model seperti ini sebenarnya tidak hanya dibutuhkan oleh para perencana dan pengawas pembangunan, tetapi juga oleh para politisi. Analisis inter-regional input-output merupakan salah satu alat yang sangat tepat dan bersifat komprehensif jika dipakai untuk menjelaskan dan rnenganalisis hubungan keterkaitan antar daerah dan antar sektor dalam suatu perekonomian. Penelitian ini lebih menekankan pada tujuan membuat tabel input-output antar daerah (IOAD, Inter-Regional Input-Output) Propinsi Lampung atas dasar harga produsen tahun 1997 dengan menggunakan metode non-survey, dimana diuraikan secara rinci tentang proses dan tahapan sejak dari awal hingga penyusunan tabel akhir. Disamping itu sebagai analisis tambahan, juga dilihat pola keterkaitan antar sektor; ketergantungan antar daerah; besarnya efek multiplier; analisis dampak; serta dilihat pula prioritas sektor unggulan dengan memperhatikan keterkaitan antar kabupaten/kota di Propinsi Lampung. Pola keterkaitan dan ketergantungan antar sektor dan antar daerah di Propinsi Lampung dilihat dengan menggunakan pola keterkaitan ke depan (Forward Linkage), dimana suatu sektorldaerah berperan sebagai pemasok bahan bake ke sektorldaerah lainnya yang bergerak di industri bilk; serta pola keterkaitan kebelakang (Backward Linkage), dimana suatu sektor / daerah sangat berperan sebagai pengguna / pembeli produk / output yang dihasilkan suatu sektor / daerah yang bergerak di industri hulu. Besarnya efek multiplier dan analisis dampak dilihat dengan menggunakan inners matrik teknologi leontief. Sedangkan prioritas sektor unggulan di Propinsi Lampung dilihat dengan memperhatikan kemampuan sektor / daerah tersebut dalam memasok industri-industri hilir, kemampuan menyerap produksi industri-industri hulu serta kemampuan sektor tersebut dalam menghasilkan output, yang kesemuanya diukur dengan menggunakan indeks prioritas. Manfaat penelitian ini disamping dapat merberikan solusi baru bagi penyusunan perencanaan pembangunan daerah terutama yang berkaitan dengan aspek keterkaitan antar sektor dan antar daerah di Propinsi Lampung yang selama ini belum pernah dilakukan, juga sebagai penerapan pendekatan akademis dan pengembangannya dalam menyusun perencanaan regional khususnya di Propinsi Lampung. Tabel akhir IOAD Propinsi Lampung dapat diperoleh setelah melakukan penyesuaian dengan menggunakan metode RAS melalui prosedur itterasi dengan kontrol matrik R dan. S, dimana Tabel tersebut berhasil disusun setelah melakukan itterasi sebanyak 269 kali. Berdasarkan nilai indeks Forward Linkage dan Backward Linkage terlihat bahwa nilai indeks Forward Linkage tertinggi adalah 4,46 pada sektor 28 (perdagangan) di Kebupaten Lampung Selatan dan terendah adalah 0,67 pada sektor 13 (Kehutanan) di Kota Bandar Lampung. Sedangkan nilai indeks Backward Linkage tertinggi adalah 1,65 pada sektor 22 (industri semen dan kapur) di Kabupaten Lampung Tengah dan terendah adalah 0,67 pada sektor 13 (kehutanan) di Kota Bandar Lampung. Berdasarkan Keterkaitan ke depan, Kabupaten Lampung Selatan merupakan daerah dengan kemampuan tertinggi dalam menunjang produksi industri-industri hilir baik yang berada di daerahnya maupun di daerah lain, diikuti Lampung Utara, Lampung Tengah, Bandar Lampung dan Lampung Barat. Kegiatan produksi di Kabupaten Lampung Selatan tersebut sangat berdampak terhadap peningkatan produksi di Kota Bandar Lampung, Lampung Utara, Lampung Tengah dan Lampung Barat. Berdasarkan keterkaitan ke belakang, Kabupaten Lampung Selatan merupakan daerah dengan kemarnpuan tertinggi dalam menunjang produksi industri-industri hulu baik yang berada di daerahnya maupun di daerah lain, diikuti Lampung Tengah, Bandar Lampung, Lampung Utara dan Lampung Barat. Kegiatan produksi di Kabupaten Lampung Selatan sangat berdampak terhadap peningkatan produksi di Kabupaten Lampung Barat, Bandar Lampung, Lampung Tengah dan Lampung Utara. Berdasarkan urutan prioritas dari 1 s/d 25, ternyata Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Tengah memiliki 7 sektor, Kota Bandar Lampung memiliki 6 sektor, Kabupaten Lampung Utara memiliki 4 sektor dan Kabupaten Lampung Barat memiliki 1 sektor. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Tengah dan Kota Bandar Lampung memiliki peranan yang cukup tinggi dalam meningkatkan output Propinsi Lampung, serta memiliki daya dukung yang besar terhadap pengembangan sektor-sektor lainnya di bagian hilir dan di bagian hulu yang terdapat tidak hanya di dalam Kabupaten/Kota itu sendiri tetapi juga di daerah lain dalam Propinsi Lampung. Dampak konsumsi masyarakat terhadap pembentukan NTB terbesar pada NTB Kabupaten Lampung Selatan, dampak konsumsi pemerintah terbesar pada NTB di Kota Bandar Lampung, dampak PMIDB terhadap NTB terbesar pada Kota Bandar Lampung, dampak perubahan stok terhadap NTB terbesar di Kabupaten Lampung Selatan, sedangkan dampak ekspor netto terhadap NTB terbesar di Kota Bandar Lampung.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T1986
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iswandi
Abstrak :
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pelaksanaan program PEL melalui pengadaan alat tangkap dalam upaya pemberdayaan masyarakat nelayan di Kelurahan Balohan Kecamatan Sukajaya Kota Sabang Daerah Istimewa Aceh. Perhatian kepada kelompok masyarakat nelayan di wilayah ini penting dilakukan karena di samping memiliki potensi perikanan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, juga masih terdapat masyarakat nelayan yang relatif masih miskin. Program ini bertujuan untuk mengembangkan ekonomi masyarakat di daerah yang berpotensi dengan cara meningkatkan nilai tambah produksinya melalui pembentukan dan pendayagunaan kelembagaan, mobilisasi sumber daya, serta jaringan kemitraan pengembangan usaha kecil sesuai kompetensi ekonomi lokal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tahapan dalam pelaksanaan program PEL melalui pengadaan alat tangkap di lapangan, hambatan-hambatan, dan alternatif pemecahannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif, dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan, wawancara mendalam (indept interview) dan observasi langsung dimana peneliti langsung berada di lapangan. Informan dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling selanjutnya informan lain ditelusuri dengan mengikuti prinsip teknik snow ball. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan Program PEL melalui pengadaan alat tangkap meliputi beberapa tahap, yaitu tahap sosialisasi program, tahap persiapan, pelaksanaan dan tahap pelestarian kegiatan. Sosialisasi program terdiri dari kegiatan penyebaran informasi dan pelatihan. Penyebaran informasi melalui mimbar ceramah di meunasah (surau) lebih efektif dari pada papan informasi dan brosur-brosur, hal ini disebabkan masyarakat setempat sangat patuh terhadap agama dan aturan adat. Papan informasi dan brosur-brosur ternyata kurang menarik minat kelompok sasaran, karena masih kurangnya kemampuan dan minat baca dari masyarakat, sehingga informasi tentang program hanya beredar dan dipahami oleh kalangan terbatas. Pertemuan diskusi kelompok sasaran melalui lembaga yang telah tumbuh dalam masyarakat menjadi sarana dalam penyampaian informasi. Dalam sosialisasi program juga dilaksanakan pelatihan manajemen keuangan dan industri bagi masyarakat pemanfaat serta sifat dari program tersebut. Tahap persiapan pelaksanaan program meliputi pemilihan desa partisipasi, pembentukan kelompok, dan perumusan rencana kegiatan. Pemilihan desa partisipasi PEL dilaksanakan berdasarkan musyawarah, namun dalam hal ini terlihat adanya intervensi dimana forum musyawarah tersebut terlalu diarahkan oleh dikoordinator TPPK. Pembentukan, kelompok KMP masih dirasakan belum tepat sasaran yang mana keputusan lebih didominasi oleh pihak petugas dan begitu pula dengan perumusan rencana kerja masih terlihat kebutuhan yang diberikan belum mewakili dari kelompok masyarakat pemanfaat. Oleh karena itu persiapan pelaksanaan diharapkan dapat menjadi proses belajar bagi masyarakat, sehingga rencana program yang dibuat sesuai dengan kebutuhannya. Pelaksanaan kegiatan meliputi tahap pengajuan dan pencairan dana, kegiatan kelompok sasaran, pemantauan, evaluasi dan pelaporan. kegiatan pengajuan dan pencairan dana dilakukan berdasarkan rencana kegiatan (RK) yang telah dimusyawarahkan ditujukan kepada pimpinan proyek agar dana dicairkan ke rekening TPPK yang ada di bank lokal (BM), selanjutnya diajukan ke KPKN dengan dilengkapi tanda tangan ketua TPPK dan FK. Dalam pelaksanaan kegiatan PEL, keterlibatan kelompok sasaran belum memberikan masukan-masukan yang bersifat pemikiran, hal ini terlihat dari peralatan yang di berikan belum sesuai dengan kebutuhan KMP. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan kegiatan hasil dilaksanakan oleh tim pelaksana dengan melibatkan warga masyarakat sehingga terbentuk suatu sistem dalam komunitas untuk melakukan pengawasan secara internal, tetapi sayangnya kegiatan tersebut hanya dilakukan pada awal-awal program saja. Peningkatan pendapatan tidak disebabkan oleh kerjasama kelompok, akan tetapi penggunaan alat tangkap yang efektif. Kemudian tahap pelestarian, dalam pelestarian program terlihat masih kurang berjalan karena tingkat kesadaran dari petugas masih kurang dalam mengarahkan dan memantau sistem perguliran dana, demikian juga dalam pemasaran, peran jaringan kemitraan dengan pihak swasta belum terlihat. Menurut pengamatan di lapangan terlihat bahwa terminasi yang dilakukan bukanlah karena masyarakat pemanfaat yang mandiri atau berhasil, melainkan karena habisnya waktu yang telah ditetapkan dalam proyek telah berakhir. Beberapa kendala dalam pelaksanaan program antara lain: kurangnya peran tim pelaksana (fasilitator) dalam pelaksanaan program, sosialisasi program kurang berhasil, kurangnya motivasi dan partisipasi masyarakat, rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas masyarakat, minimnya tanggungjawab serta sikap malas (budaya malas) yang dimiliki oleh anggota kelompok sasaran, dengan demikian tingkat keberhasilan program rendah atau tidak mencapai tujuan. Perbaikan yang perlu dilakukan agar pelaksanaan program PEL melalui pengadaan alat tangkap berjalan dengan efektif maka perlu meningkatkan peran serta tim pendamping (fasilitator) sehingga kehadirannya dapat menjadi motivator, perlu dilakukan penataan ulang perencanaan agar tercipta keserasian antara tujuan dengan kebutuhan kelompok sasaran dalam pelaksanaan program, Pemerintah secara konsisten mendorong masyarakat untuk menuntut ilmu, disamping itu juga perlu dilakukan persiapan sosial dengan mengedepankan metode participatory rural appraisal (PRA), dan mengadakan pendekatan non-direktif.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3062
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagdja Muljarijadi
Abstrak :
Penelitian ini mencoba untuk menganalisis dampak ekonomi pemekaran (pemisahan) wilayah Banten dari Propinsi Jawa Barat pada tahun 2000, yang bertujuan untuk menjawab apakah diperlukan reorientasi perencanaan pembangunan Propinsi Jawa Barat pasca pemekaran. Untuk maksud tersebut penelitian dilakukan dengan menganalisis beberapa. indikator kriteria, seperti analisis deskriptif, keterkaitan antar sektor, perubahan struktur ekonomi, dampak sektoral dari produktivitas tenaga kerja, multiplier sektoral, serta perubahan sisi biaya produksi dari input primer. Informasi utama yang diperlukan adalah Label input-output Jawa Barat tahun 1999 (sebelum pemekaran) dan 2000 (sesudah pemekaran). Metode normalized coefficients dan biproportional projection digunakan sebagai analisis utama untuk melihat ada atau tidaknya perubahan struktur perekonomian pasca pemekaran. Selanjutnya dengan menggunakan metode principal component analysis, beberapa indikator kriteria digunakan sebagai dasar penentuan sektor-sektor unggulan di Jawa Barat. Analisis ini menunjukkan bahwa perubahan struktur perekonomian tidak terjadi pada variabel-variabel yang terkait dengan demand driven dan sebaliknya untuk variabel yang lainnya. Selain itu juga tidak ditemukan perbedaan yang mencolok dari hasil-hasil analisis (terutama untuk 10 sektor kegiatan terbesar) yang didasarkan pada invers matrik Leontif pada perekonomian Jawa Barat sebelum dan pasca pemekaran wilayah Banten. Analisis ini juga membuktikan bahwa sektor-sektor unggulan di Propinsi Jawa Barat pasca pemekaran tidak mengalami perubahan yang berarti, dibandingkan dengan sektor-sektor unggulan sebelum pemekaran. Oleh sebab itu kesimpulan akhir yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa seharusnya tidak diperlukan perubahan arah perencaan pembangunan yang berarti di Jawa Barat pasca pemekaran. wilayah Banten.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T4283
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efrizon Marzuki
Abstrak :
KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) adalah suatu bentuk pusat pertumbuhan yang merupakan salah satu strategi dalam kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Pendekatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ini mengasumsikan bahwa kesejahteraan masyarakat akan dapat dicapai melalui peningkatan ekonomi makro yang selanjutnya akan membawa perbaikan ekonomi di tingkat mikro, serta kemajuan pada bidang-bidang lain, melalui efek `menetes ke bawah' (trickle down effect). Namun kenyataan menunjukkan bahwa selama ini, khususnya di Indonesia, teori trickle down effect tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kemacetan mekanisme trickel down effect memunculkan kondisi dimana pembangunan ekonomi tidak diikuti oleh pembangunan sosial yang setaraf, kondisi ini disebut distorsi pembangunan. Pembangunan terdistorsi (distorted development) tidak hanya berwujud dalam bentuk kemiskinan, kemerosotan, status kesehatan rendah, dan perumahan yang tidak memenuhi syarat, melainkan juga dalam bentuk; ketidaksetaraan lapisan-lapisan masyarakat dalam pembangunan, penindasan terhadap wanita, eksploitasi tenaga kerja anak, kerusakan lingkungan, dan juga penggunaan kekerasan (militerisme) dalam mengatasi berbagai persoalan. Atas dasar kenyataan tersebut, sudah selayaknya kebijakan pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa memperhatikan pemerataan harus ditinjau kembali. Pertumbuhan ekonomi memang penting bagi kesejahteraan rakyat tetapi bukan yang utama. Perhatian pada peningkatan kapasitas individu dan institusi masyarakat lebih penting dilakukan agar pertumbuhan ekonomi yang terjadi dapat disebar-merata dan ikut dinikmati oleh masyarakat, untuk selanjutnya dapat meningkatkan kemajuan pada bidang-bidang lainnya. KAPET Sabang, yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 171 tahun 1998, memang direncanakan sebagai pemicu dan pemacu bagi pertumbuhan ekonomi agar tercapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di Kota Sabang dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh khususnya, serta Indonesia pada umumnya. Adalah hal yang sangat ironis dan tidak dikehendaki jika pada akhirnya kebijakan tersebut akan memunculkan distorsi pembangunan di kawasan tersebut. Untuk itu, perlu dipertanyakan apakah kebijakan KAPET Sabang telah memungkinkan untuk terjadinya pemerataan. Selanjutnya, kebijakan antisipatif apa yang harus dilakukan, khususnya oleh Pemerintah Kota Sabang dan Badan Pengelola KAPET Sabang, untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi mendorong terjadinya pemerataan. Oleh karena, pemerataan tidak dapat terjadi dengan sendirinya, ia memerlukan kondisi kondusif yang mendukung. Penelitian ini setidaknya berusaha mengungkapkan dan menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, dengan menggunakan metode penelitian sintesis terfokus. Metode ini mensintesakan antara telaahan pustaka, pengalaman penelitian dan diskusi dengan subyek yang berkompeten (stake holder, study user, advisor, dan tenaga ahli). Berdasarkan sintesa ketiga komponen tersebut permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan di atas akan dibahas dan dianalisa sehingga dapat diambil kesimpulan dan saran bagi pelaksanaan kebijakan tersebut di masa yang akan datang. Dari data dan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa kebijakan yang akan dikembangkan dalam KAPET Sabang untuk mencapai pemerataan adalah pohon industri dan pola kemitraan. Para advisor dan tenaga ahli menanggapi bahwa kedua kebijakan tersebut mungkin saja diterapkan untuk menciptakan pemerataan. Namun kebijakan itu harus berlangsung dalam suasana persuasif, dalam arti tidak dipaksakan agar tidak terjadi inefisiensi. Suasana demikian diharapkan akan terjadi baik melalui tindakan langsung maupun tidak langsung. Tindakan langsung; tidak hanya berupa ketentuan-ketentuan, tetapi juga mekanisme dan insentif serta pemberdayaan masyarakat (pengusaha kecil/menengah). Sedangkan tindakan tidak langsung dilakukan melalui himbauan serta pemberian kesempatan dan peluang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berkembang. Sementara itu penciptaaan kondisi yang kondusif bagi mendorong terjadinya pemerataan, diupayakan antara lain melalui; kebijakan di bidang kependudukan, sosial, ketenagakerjaan dan sumberdaya manusia, serta kebijakan di bidang ekonomi dan pembangunan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Nurhayati
Abstrak :
Didasari pandangan bahwa peranan pemerintah diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi sehingga berkembang teori-teori perencanaan pembangunan yang bertujuan untuk mengurangi berbagai akibat yang ditimbulkan oleh mekanisme pasar. Di sisi lain, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi diperlukan lahan atau ruang sebagai wadah kegiatan untuk menciptakan nilai tambah, yang keberadaannya terbatas. Sehingga diperlukan upaya untuk pengaturan pemanfaatan ruang agar tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang. Penataan ruang merupakan salah satu bentuk peran pemerintah dalam mengalokasikan dan mengatur pemanfaatan lahan. Kondisi Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dalam mengalokasikan sumber daya lahan yang terbatas dan adanya berbagai kendala dalam menciptakan pertumbuhan wilayah. Tujuan dari penelitian adalah menelaah mengenai penggunaan lahan yang ada serta rencana penggunaan lahan yang telah ditetapkan RTRWP, apakah dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang optimal. Bagaimana pengaruh suatu kebijakan pengaturan penggunaan lahan terhadap tercapainya pertumbuhan ekonomi. Penelitian difokuskan pada pengaruh kebijakan pengaturan penggunaan lahan terhadap pencapaian alokasi penggunaan lahan yang optimal sehingga pencapaian PDRB maksimal. Kebijakan pengaturan penggunaan lahan merupakan kebijakan pemerintah daerah yang diterapkan, yaitu kebijakan mengenai penentuan batasan juga penggunaan lahan untuk kawasan industri dan kebijakan mengenai perlunya swasembada pangan yang memerlukan batasan luas penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah pertama, bahwa suatu penggunaan lahan untuk kegiatan tertentu akan menghasilkan nilai tambah bruto bagi lapangan usaha yang bersangkutan; kedua, besarnya nilai tambah bruto yang dihasilkan dari suatu penggunaan lahan dianggap tetap; ketiga, luas lahan yang dapat dimanfaatkan dianggap tetap. Kesimpulan penelitian adalah: - Luas penggunaan lahan suatu kegiatan tertentu mempuyai pengaruh yang positip terhadap pembentukan nilai tambah bruto sektoral yang bersangkutan. Semakin besar luas penggunaan lahan suatu kegiatan akan semakin besar pula terbentuknya nilai tambah bruto sektor yang bersangkutan. - Kebijakan pengaturan penggunaan akan mempengaruhi pencapaian alokasi penggunaan lahan optimal dan besarnya PDRB yang dihasilkan - Komposisi penggunaan lahan saat ini (kondisi obyektif tahun 1998) menghasilkan PDRB yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi pada komposisi penggunaan lahan optimal (kondisi pada pemecahan optimal). - Komposisi penggunaan lahan sesuai RTRWP Jawa Barat yang telah ditetapkan diperkirakan akan menghasilkan PDRB yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi komposisi penggunaan lahan optimal (kondisi pada pemecahan optimal). - Dengan melihat pemecahan optimal yang menghasilkan PDRB maksimal adalah alternatif 2.c. Hal ini akan mengimplikasikan pada akan berubahnya penggunaan lahan kegiatan pertanian menjadi kegiatan non pertanian, yang semula (tahun 1998) seluas 3.596.214 hektar menjadi 888.696,23 hektar. Semakin meluasnya penggunaan lahan untuk kegiatan industri, permukiman, perdagangan, jasa dan kegiatan lainnya. Penggunaan lahan industri dari 30.151 hektar menjadi 472.120,94 hektar. Penggunaan lahan permukiman, perdagangan dan jasa dari 482.236 hektar menjadi 928.899,88 hektar. Penggunaan lahan lainnya dari 158.169 hektar menjadi 371.559,95 hektar. - Analisis sensitivitas koefisien variabel fungsi tujuan menunjukkan bahwa koefisien variabel penggunaan lahan untuk pertanian dan industri (koefisien variabel XI dan X2) menunjukkan pengaruhnya yang peka terhadap perubahan nilai fungsi tujuan, namun tidak mempengaruhi komposisi penggunaan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas penggunaan lahan untuk pertanian dan industri dengan memanfaatkan luas lahan yang tersedia, masih dapat meningkatkan pencapaian PDRB yang maksimal. Sebagai masukan untuk kebijakan pengaturan penggunaan lahan disarankan hal-hal sebagai berikut: - Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengalokasikan komposisi penggunaan lahan yang optimal pada masing-masing kabupaten dan kotamadya berdasarkan kondisi dan keterbatasan masing-masing kabupaten atau kotamadya sehingga dapat menciptakan PDRB yang optimal pada tingkat kabupaten/kotamadya maupun pada tingkat propinsi. - Perlu dilakukan peninjauan ulang dan revisi RTRWP untuk mencapai kondisi penggunaan lahan yang optimal sehingga pencapaian nilai PDRB dapat maksimal. Namun perlu dipertimbangkan bahwa dalam penelitian ini fungsi tujuan yang dirumuskan adalah memaksimalkan output atau pendapatan, belum mempertimbangkan aspek pemerataan, lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga untuk peninjauan ulang RTRWP terlebih dahulu perlu disempurnakan fungsi tujuan sehingga semua aspek dapat dipertimbangkan. - Melihat implikasi yang akan terjadi jika alternatif 2.c akan diterapkan maka perlu dilakukan: a. Untuk meningkatkan PDRB namun tidak mengubah komposisi penggunaan lahan optimal dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas atau nilai tambah bruto per hektar penggunaan lahan pertanian. b. Upaya pengendalian perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi kegiatan non pertanian, terutama berkaitan dengan aspek lokasi yang diijinkan berubah dan tidak diijinkan berubah. Terutama pada wilayah-wilayah pertanian dengan produktivitas per hektar yang tinggi perlu dipertahankan agar pencapaian PDRB tetap maksimal. c. Perlunya pengendalian dalam mengalokasikan luas penggunaan lahan untuk industri, permukiman, perdagangan, jasa dan lainnya pada wilayah-wilayah kabupaten dan kotamadya - Antisipasi yang perlu dilakukan bila kondisi kebijakan pada alternatif 2.c akan diterapkan, yaitu: a. Penggunaan lahan untuk industri, permukiman, perdagangan, jasa dan kegiatan lainnya akan meningkat sehingga perlu dikaji masalah lingkungan yang akan terjadi seperti polusi, kemacetan dll. b. Adanya peningkatan kebutuhan listrik, bagaimana antisipasi penyediaannya. c. Masalah penduduk yang akan masuk karena adanya daya tarik kegiatan bagi penduduk dari luar Jawa Barat, yang tentunya akan menimbulkan berbagai masalah dalam pelayanan penduduk oleh pemerintah daerah, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T5016
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Pujawidayanti
Abstrak :
Program perbaikan kampung yang telah dilakukan sejauh penulis amati, selalu memberikan prioritas kepada pembangunan sarana infrastruktur kampung, dan kurang memberikan pertalian pada sektor sosial ekonomi masyarakat. Hal tersebut kerap kali terjadi, karena pemerintah selalu menyeragamkan bentuk kegiatan program pada setiap kampung, padahal masing-masing kampung memiliki karakteristik, masalah dan pontensi yang berbeda. Untuk itulah penulis bertujuan mengidentifikasi kondisi sosial ekonomi masyarakat yang bisa dikembangkan untuk pelaksanaan program perbaikan kampung tersebut. Konsep yang menjiwai penelitian ini adalah bahwa kaum marjinal yang miskin sekalipun, memiliki potensi yang bisa dikembangkan untuk perbaikan kondisi kehidupan masyarakat sendiri. Terutama pada kampung di perkotaan yang mengalami proses marjinalisasi, dari perkembangan lingkungan sekitarnya yang menjadi sebuah kota. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan realitas yang ada di Kampung Bulakambing. Populasi pada penelitian ini adalah kepala keluarga yang ada di Kampung Bulakambing, dengan mengambil 60 kepala keluarga sebagai sampel. Penelitian ini menggunakan kombinasi data kuantitatif dan data kualitalif. Data kuantitatif didapatkan dari hasil menyebarkan kuesioner, sedangkan data kualitatif didapatkan berdasarkan hasil observasi serta wawancara mendalam terhadap 9 orang informan, yaitu 7 orang dari masyarakat Kampung Bulakambing serta 2 orang pejabat Pemerintah Kota Tangerang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi sosial masyarakat kampung Bulakambing yang dapat dijadikan aset bagi pelaksanaan program perbaikan kampung, dapat terlihat dari homogenitas masyarakatnya, kuantitas usia produktif, bentuk masyarakat yang masih gemeinschaft, yang masih memiliki solidaritas diantara warga masyarakat yang cukup kuat serta hubungan sosial dan kerja sama yang baik diantara warga masyarakat. Temuan lain memperlihatkan bahwa, potensi masyarakat amat rendah pada aspek tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jenis keterampilan, serta pendapatan, sehingga hal tersebut merupakan masalah yang harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan program perbaikan kampung. Akan tetapi pada tataran implementasi justru aspek tersebut, kurang serius dilaksanakan oleh pemerintah Kota Tangerang. Besarnya dominasi pemerintah daerah yang tidak menyerap aspirasi masyarakat mewarnai pelaksanaan program perbaikan kampung di kampung Bulakambing tersebut. Sebagai rekomendasi, penulis menyarankan untuk pelaksanaan program perbaikan kampung hendaknya dilakukan dengan pendekatan partisipasi masyarakat, dad mulal identifikasi masalah dan potensi yang ada pada masyarakat, pengembangan program, sosialisasi program, implementasi program, sosialisasi implementasi program serta evaluasi program. Tentu saja pelaksanaan program tersebut melibatkan pemerntah daerah, masyarakat setempat serta stake holder lain. Adapun program pengembangan potensi sosial ekonomi masyarakat hams menempati prioritas utama dad pelaksanaan program perbaikan kampung tersebut.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T5548
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Masniaritta
Abstrak :
Perekonomian Indonesia adalah perekonomian transisional; yang antara lain terlihat dari mulai berubahnya struktur industri Indonesia dari yang semula terkonsentrasi menuju struktur industri yang bersaing. Kendala yang dihadapi oleh sebagian besar perekonomian transisional adalah besarnya kecenderungan antitrust enforcers untuk mengkompensasi posisi perusahaan-perusahaan yang besar akibat kebijakan pemerintah di masa lalu dengan pengawasan yang berlebihan. Selain itu, dalam penanganan kasus-kasus persaingan usaha yang melibatkan perusahaan dominan, antitrust enforcers di perekonomian transisional juga seringkali masih menunjukkan preferensi terhadap pendekatan struktural, yang semakin lama sudah semakin ditinggalkan oleh para ahli organisasi industri karena ketidakmampuannya untuk mencakup semua aspek persaingan usaha dunia industri modern. Kedua hal ini sering terjadi di perekonomian transisional mengingat penerapan Undang-Undang Persaingan yang masih relatif baru, dan persaingan usaha belum lama menjadi konsep yang mengemuka dan dibahas oleh banyak pihak sehingga pemahaman terhadap persaingan usaha terutama yang menyangkut perusahaan dominan belum tepat. Pemahaman yang tepat mengenai perusahaan dominan dan praktek-praktek bisnisnya sangat penting bagi perekonomian transisional seperti Indonesia. Karena pemahaman yang salah dapat menimbulkan disinsentif bagi perusahaan untuk menjadi besar yang mana akan merugikan konsumen karena kapasitas produksi perusahaan tidak dioptimalkan. Dengan mengacu pada Teori Organisasi Industri dan belajar pada pengalaman negara-negara lain yang telah lebih dulu menerapkan Undang-Undang Persaingan, diharapkan pemahaman tersebut dapat diperoleh sehingga penanganan terhadap perusahaan dominan dan praktek-praktek bisnisnya dapat dilakukan dengan tepat.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T5568
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
La Ode Taufik Nuryadin
Abstrak :
Kemiskinan sosial ekonomi yang membawa dampak sulitnya keluarga nelayan di Pulau Tidung dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari disebabkan oleh faktor-faktor yang sangat kompleks.

Kompleksitas permasalahan tersebut diperparah dengan adanya kebijakan pemerintah yang cenderung mengabaikan kepentingan nelayan dalam menjangkau aksesbilitas ekonomi laut yang selama ini menjadi sumber kehidupan dan penghidupannya.

Dalam kaitan tersebut, maka LSM Sekretariat Bina DesaIINDHRRA Jakarta melakukan upaya pemberdayaan melalui Program Pendampingan Sosial sebagai suatu strategi pemberdayaan komunitas pesisir dengan Cara memfasilitasi masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan dasar secara wajar, mengartikulasikan berbagai pandangan dan kepentingan, serta menumbuhkan kemandirian secara politis dan ekonomis. Tujuan utama dari program tersebut adalah terbentuknya institusi sosial masyarakat sebagai wadah atau sarana untuk menggugah kesadaran kritis masyarakat sehingga sadar akan hak-hak ekonomi yang dimilikinya.

Perumusan masalah yang diajukan dalam studi ini adalah : "Bagaimanakah proses dan hasil-hasil pemberdayaan yang dapat dicapai dalam pelaksanaan Program Pendampingan Sosial oleh Sekretariat Bina Desa/INDHRRA Jakarta sehingga dapat mengatasi permasalahan yang terjadi pada masyarakat nelayan di Pulau Tidung".

Adapun konsep pemberdayaan yang digunakan dalam studi ini adalah menurut Cornell University Empowerement Group yang menyatakan bahwa "pemberdayaan adalah suatu proses yang disengaja dan terus menerus dipusatkan di dalam komunitas lokal, meliputi saling menghormati, sikap refleksi kritis, kepedulian dan partisipasi kelompok masyarakat yang merasa kurang memiliki rasa secara bersama sumber-sumber yang berharga, memperoleh akses yang lebih besar untuk mendapatkan dan mengontrol sumber-sumber tersebut" (dalam Seeelebey, 1992:85).

Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah dengan jenis deskriptif dan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan pengamatan terlibat yang kemudian dianalisis secara induktif. Data-data tersebut diperoleh melalui informan dengan Cara non probability sampling dan teknik sampel bertujuan (purposive sampling), yaitu terhadap warga masyarakat dan keluarga nelayan di Pulau Tidung, khususnya nelayan samudera, nelayan pantai, nelayan rumput laut, pemuka masyarakat, dan lembaga peyelenggara yaitu Sekretariat Bina Desa/INDHRRA Jakarta.

Hasil studi menunjukkan bahwa keberadaan institusi sosial yang telah terbentuk belum cukup membantu dirinya sendiri dalam mengatasi persoalannya. Tekanan sosial ekonomi yang diakibatkan oleh kondisi kemiskinan struktural yang memang telah lama mereka jalani belum cukup mampu merespon dengan tindakan-tindakan sosial yang nyata membawa ke arah perubahan. Mereka lebih bersifat konservatif dan adaptif dalam menyikapi atau menyiasati terhadap dampak negatif perubahan sosial ekonomi yang berlangsung di lingkungannya. Dalam kaitan tersebut, perubahan yang terjadi dalam masyarakat masih terbatas sebagai awarenes campaign daripada perubahan yang substantif pemberdayaan.

Persoalan atau isu-isu marjinal yang menjadi gagasan awal program yang dirumuskan oleh Sekretariat Bina Desa, kurang menyntuh dan dirasakan sebagai suatu masalah. Kebijakan pemerintah yang sistemik dari pusat hingga wilayah telah melembaga untuk mengemban misi pembangunan kota Jakarta sebagai Ibukota Negara.

Dalam kaitan tersebut persoalan-persoalan sosial ekonomi yang diangkat sebagai isu utama, masih berakar dari faktor-faktor yang kompleks sehingga upaya-upaya untuk mengatasinya juga bertitik tolak dari masing-masing faktor tersebut. Namun demikian diakui bahwa dengan terbentuknya beberapa institusi sosial masyarakat di Pulau Tidung telah mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi pemecahan masalahnya secara mandiri. Bagi masyarakat nelayan di Pulau Tidung, pencarian sumber ekonomi yang beragam (diversifikasi usaha) merupakan persoalan krusial untuk menunjang kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang.

Untuk menggalang pengorganisasian masyarakat sebagai bentuk kesadaran komunitas, perlu upaya tindak lanjut terhadap terbentuknya institusi sosial tadi dan mempertimbangkan pembinaan dan pengembangan usaha ekonomi sebagai titik awal yang langsung menyentuh persoalan dan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, jika usaha yang tengah dilakukan institusi sosial di Pulau Tidung dapat berkembang dan berhasil dengan baik maka akan memicu anggota untuk memperkuat kerjasama dalam organisasi. Pada saatnya nanti institusi tersebut tidak saja merupakan institusi usaha ekonomi, tetapi merupakan wadah perjuangan rakyat dalam merespons berbagai persoalan yang berkembang, sebagai penyalur aspirasi anggota, sebagai tempat rakyat mengartikulasikan kepentingan secara utuh, baik sosial, ekonomi, politik, budaya, teknologi dan lingkungan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T5048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>