Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 213 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Prihastuti
Abstrak :
Kajian demografi dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu uniregional dan multiregional. Demografi uniregional hanya menganalisis penduduk di satu wilayah tertentu. Sedangkan demografi multiregional lebih bersifat simultan, artinya antar daerah yang satu dengan lainnya-yang dihubungkan oleh arus migrasi-dianggap sebagai satu sistem yang saling berinteraksi. Untuk keperluan perencanaan dan analisis yang berkaitan dengan demografi atau kependudukan salah satunya dapat dipenuhi melalui proyeksi penduduk yang dalam perhitungannya dapat dilakukan dengan dua pendekatan tersebut. Output yang diperoleh merupakan input dasar bagi perencanaan sosial dan ekonomi, maka konsentrasi proyeksi bisa berbeda sesuai kebutuhan seperti proyeksi pendidikan, angkatan kerja, pasar kerja, penduduk lansia, dan kesehatan. Dalam proyeksi penduduk lansia, komponen demografi yang diperhitungkan hanya komponen mortalitas dan migrasi. Dalam penelitian Mi kelangsungan hidup penduduk yaitu jumlah penduduk yang berhasil hidup dari satu periode ke periode berikutnya dihitung dengan menggunakan fungsi pertumbuhan Continuous Growth Function. Data yang digunakan adalah jumlah pen.duduk absolut dari Sensus Penduduk 1990 dan Supas 1995. Dengan mengasumsikan tidak ada migrasi maka untuk kohor umur yang sama pada periode berikutnya akan menghasilkan jumlah penduduk yang berkurang karena kematian, sehingga jumlah penduduk tahun 1995 lebih sedikit dibandingkan tahun 1990. Penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan fungsi pertumbuhan Continuous Growth Function untuk perkiraan kelangsungan hidup penduduk, lebih terasa manfaatnya terutama untuk kelompok umur tua atau penduduk lanjut usia dengan asumsi tidak ada migrasi selama periode pengamatan. Kecenderungan migrasi ditentukan dengan menggunakan skedul model migrasi yang diperkenalkan oleh Rogers. Skedul model migrasi menurut umur tertentu (age-specific migration schedule) tersebut dapat dibagai menjadi tiga bagian yaitu (1) kurva "usia pra-angkatan kerja" (a single negative exponential curve); (2) kurva "usia angkatan kerja" (a left-skewed unimodal curve); (3) kurva "usia pasta angkatan kerja" (an almost hell-shaped curve). Perpaduan antara model pertumbtihan Continuous Growth Function dan Skedul Model Migrasi membentuk suatu model pertumbuhan penduduk bagi penduduk lanjut usia (lansia). Aplikasi model pertumbuhan penduduk lansia melalui pendekatan multiregional yang diterapkan untuk dua wilayah pengamatan merupakan penjumlahan dari penduduk selama periode tahun t sampai t+5, yang tetap hidup dan tidak pindah di suatu wilayah asal 1, ditambah dengan penduduk yang tetap hidup dan bermigrasi keluar dari wilayah 2 dan masuk ke wilayah 1 selama periode tahun t sampai t-5. Perhitungan kelangsungan hidup penduduk dari umur tepat x sampai umur x+5 dalam perhitungan proyeksi penduduk yang dilakukan dengan menggunakan Life Table Coale-Deineny dan tanpa menggunakan Life Table Coale-Derneny menunjukkan bahwa perhitungan kelangsungan hidup yang dihitung dengan menggunakan model Life Table Coale-Demeny menghasilkan perkiraan penduduk lansia di masa depan, yang jumlahnya lebih tinggi dibandingkan hasil proyeksi penduduk lansia yang dihitung tanpa menggunakan model Life Table Coale-Dement'. Hal ini disebabkan proporsi kematian yang diambil dari ASDR (mx) dalam Life Table Coale-Demeny mengasumsikan bahwa umur maksimum penduduk adalah 100 tahun. Sehingga kelangsungan hidup penduduk diperkirakan menjadi lebih panjang dari kenyataannya.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putera, Rufiansyah
Abstrak :
Untuk keperiuan perencanaan dan analisis yang berhubungan dengan kependudukan salah satunya dapat dipenuhi melalui proyeksi penduduk yang merupakan suatu perhitungan ilmiah dengan asumsi-asumsi tertentu mengenai kecenderungan dari tingkat kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk dimasa yang akan datang. Proyeksi penduduk yang dibuat saat ini adalah proyeksi dengan pendekatan demografi uniregional. Demografi uniregional adalah demografi yang membahas perubahan komposisi penduduk di suatu daerah tanpa mengkaitkan perubahan komposisi yang terjadi di daerah lain. Dengan pendekatan ini, maka proyeksi wilayah setingkat dibawah nasional dilakukan secara sendiri-sendiri. Akibatnya jika dilakukan perhitungan proyeksi penduduk pada tingkat nasional, maka jumlah penduduk yang dihasilkan tidak konsisten dengan jumlah penduduk dari proyeksi seluruh wilayah tersebut. Untuk menyajikan proyeksi penduduk nasional menurut wilayah setingkat di bawahnya, maka perlu dilakukan iterasi. Upaya seperti ini dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Selain melalui iterasi, terdapat pendekatan lain dimana proyeksi penduduk nasional akan konsisten dengan jumlah proyeksi penduduk pada wilayah setingkat dibawahnya. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan demografi multiregional. Salah satu perbedaan yang mendasar antara demografi uniregional dan demografi multiregional adalah pada penduduk yang diamati serta definisi dari tingkat flow. Pada pendekatan uniregional, pengamatan setiap baglan penduduk regional dilakukan pada suatu waktu. Sedang melalui pendekatan multiregional, penduduk tingkat nasional dipandang sebagai suatu sistem yang merupakan interaksi pada tingkat regional. Pendekatan ini sebenarnya telah lama berkembang di beberapa negara Eropa. Metode multiregional untuk proyeksi penduduk telah dikembangkan oleh Willekens dan Rogers (1978) dan oleh Rogers (1985). Dl negara-negara berkembang metode ini belum digunakan mengingat tidak tersedianya data migrasi yang memadai serta rumitnya perhitungan. Metode ini memerlukan estimasi angka migrasi khusus menurut umur di setiap wilayah dengan wilayah lainnya. Prinsip proyeksi penduduk dengan pendekatan multiregional adalah penduduk pada periode berikutnya adalah jumlah penduduk pada periode sebelumnya yang mampu bertahan hidup sampai mencapai awal dari periode tersebut ditambah dengan penduduk yang masuk ke wilayah tersebut pada periode sebelumnya yang bertahan hidup pada periode tersebut serta ditambah dengan jumlah bayi yang lahir dan bertahan hidup yang dilahirkan oleh perempuan dari wilayah tersebut atau oleh perempuan dari wilayah lain yang masuk ke wilayah tersebut dan mampu bertahan hidup sampai periode tersebut. Sedang proyeksi penduduk dengan pendekatan uniregional pada prinsipnya adalah jumlah penduduk pada periode berikutnya berasal dari penduduk pada periode sebelumnya yang mampu bertahan hidup dan mencapai periode berikutnya ditambah dengan jumlah bayi yang lahir dan bertahan hidup pada periode tersebut sampal mencapai akhir periode itu. Dalam peneiitian ini, penduduk nasional diasumsikan hanya terbagi dalam dua wilayah saja, yaitu Sumatera Utara dan Luar Sumatera Utara. Hal Ini dilakukan karena data migrasi yang tersedia merupakan data sampel sehingga Jika dilakukan estimasi angka migrasi khusus menurut umur di setiap wilayah dengan wilayah lain maka banyak ditemukan sel kosong yang menunjukkan tidak adanya migran yang keluar pada kelompok umur yang diamati dari wilayah satu ke wilayah lain. Dari hasil yang diperoleh, proyeksi penduduk dengan pendekatan uniregional dibandingkan dengan proyeksi penduduk pendekatan multiregional, maka jumlah penduduk hasil proyeksi dengan pendekatan multiregional relatif lebih rendah Jika dibandingkan dengan Jumlah penduduk hasil proyeksi dengan pendekatan uniregional. Tetapi selisih jumlah penduduk antara hasil proyeksi dengan pendekatan uniregional dengan pendekatan multiregional semakin kecil dengan semakin tinggi periode proyeksi. Dari sisi hasil, selisih yang relatif kecil ini tentu tidak terlalu banyak pengaruhnya dalam perencanaan. Namun pada sisi lain yang merupakan kelebihan dan pendekatan multi regional adalah dihasilkannya terlebih dahulu proyeksi penduduk untuk tingkat wilayah di bawah nasional (propinsi). Sedang proyeksi penduduk nasional merupakan rekapitulasi dari proyeksi penduduk propinsi. Kelebihan ini memberikan dampak positif bagi pengembangan sumber daya manusia dibidang kependudukan di daerah. Untuk mendapatkan proyeksi nasional, maka pembahasan mengenai skenario proyeksi harus dimulai dari bawah (propinsi). Untuk ini dituntut sumber daya manusia dibidang kependudukan yang ahli mengenai wilayahnya. Disamping itu melalui pendekatan demografi multiregional dimungkinkan untuk melakukan dekomposisi tiga indikator sintetis, yaitu angka harapan hidup sejak lahir (eo), angka reproduksi neto (Net Reproduction Rate/NRR) dan angka migra-produksi neto (Net Migra-production Rate/NMR). Hal ini didapat dilakukan karena penduduk stasioner pada tabel kehidupan multiregional dapat didekomposisi menurut ternpat tinggal sekarang. Ketiga indikator ini dapat memberikan gambaran mengenai kontribusi penduduk dari satu wilayah pada wilayah dimana penduduk tersebut bertempat tinggal. Gambaran ini akan sangat membantu para pembuat kebijakan di daerah (pembangunan regional). Mengingat sangat pentingnya peran data migrasi dalam pendekatan demografi multiregional, maka disarankan agar data tersebut dikumpulkan didalam sensus penduduk pada pertanyaan kor (inti), sehingga kesalahan sampling dapat diatasi dan proyeksi penduduk dapat dilakukan secara utuh sesuai dengan banyaknya wilayah.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saadah
Abstrak :
Tujuan penelitian ini adalah mencoba memanfaatkan analisis demografi multiregional dengan data sensus penduduk tahun 1990. Adapun tujuan khususnya yaitu membuat dan memberikan arti serta penjelasan dari tiga bahasan pokok berikut: (1) Tabel kematian multiregional Indonesia tahun 1985 - 1990 (2) Indikator Fertilitas yaitu NRR (Net Reproduction Rate tahun 1985-1990 dan Indikator migrasi yaitu NMR (Net Migraproduction Rate tahun 1985 - 1990. (3) Hasil proyeksi penduduk Indonesia tahun 1995. Data yang dipakai adalah data sekunder yaitu data dari sensus penduduk Indonesia tahun 1990. Dalam penelitian ini digunakan dua skenario, skenario pertama adalah angka migrasi keluar menurut kelompok umur berasal dan "model skedule ", sedangkan skenario 2 angka migrasi keluar menurut kelompok umur, berasal dari data sensus penduduk Indonesia tahun 1990. Untuk penyederhanaan Indonesia dikelompokkan dalam enam wilayah yaitu Sumatera (Sum), Jawa dan Bali (Jabal), Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur (Nustim), Kalimantan (Kal), Sulawesi dan Maluku (Sulmal) dan Irian Jaya (Irja).
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rujiman
Abstrak :
Selama periode 1970 sampai dengan tahun 1990 di Indonesia telah terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat. Pertumbuhan ekonomi tersebut disertai pula dengan adanya transformasi ekonomi dari dominan sektor pertanian bergeser ke sektor industri dalam arti luas, dan industri manufaktur serta jasa. Pergeseran ini mengarah pada komposisi yang makin seimbang. Pada periode yang sama, telah terjadi pula perubahan demografi yang cepat di Indonesia. Perubahan demografi ini memperlihatkan suatu kecenderungan turunnya fertilitas dan mortalitas. Terjadinya kemajuan ekonomi dan turunnya fertilitas dalam waktu yang bersamaan tersebut, seakan-akan memperkuat teori-teori yang telah umum diterima, bahwa turunnya fertilitas adalah disebabkan adanya pembangunan ekonomi. Dari hasil pengamatan untuk kasus di Indonesia, kesimpulan di atas tidak sepenuhnya benar. Benar bahwa di Indonesia secara bersamaan telah terjadi kemajuan ekonomi disertai dengan penurunan fertilitas. Tetapi penurunan fertilitas yang terjadi di Indonesia jauh lebih cepat dari perkembangan ekonomi itu sendiri. Ini memberi arti bahwa selain pembangunan ekonomi, ada faktor-faktor lain yang memegang peranan penting yang mengakibatkan terjadinya penurunan fertilitas yang cepat di Indonesia. Salah satu faktor yang paling panting dan memegang peranan kunci adalah adanya intervensi pemerintah di bidang kependudukan melalui usaha-usaha dalam bentuk program Keluarga Berencana. Demikianlah, bahwa pembangunan ekonomi bersama-sama dengan program Keluarga Berencana telah memberikan andil yang besar dalam hal penurunan fertilitas dan mortalitas yang cepat di Indonesia.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Nurhardjo
Abstrak :
Kelompok penduduk usia 65 tahun keatas (lanjut usia) di Indonesia jumlahnya relatif masih rendah dibanding kelompok penduduk usia lainnya. Meskipun demikian jumlahnya cenderung meningkat, baik secara absolut maupun proporsinya terhadap jumlah penduduk secara keseluruhan. Berdasar data Biro Pusat Statistik (BPS), penduduk lanjut usia di Indonesia berjumlah 2,41 juta atau 2,51 % dari seluruh penduduk pada tahun 1971, meningkat menjadi 4,77 juta (3,25 7) tahun 1980 dan di tahun 1990 menjadi 8,92 juta atau sebesar 3,77 % dari keseluruhan jumlah penduduk. Dengan kata lain penduduk Indonesia sedang bergerak kearah struktur usia penduduk yang semakin menua (ageing population). Peningkatan jumlah maupun proporsi penduduk lanjut usia tersebut merupakan implikasi dari keberhasilan pembangunan di segala bidang, khususnya di bidang kesehatan masyarakat yang semakin membaik di samping menurunnya angka kelahiran. Dalam pelaksanaan pembangunan di bidang kesehatan masyarakat tampak adanya suatu peningkatan. Disamping hal tersebut diatas, pemerintah berhasil dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB). Hal tersebut di atas memberikan indikasi bahwa semakin membaik derajat kesehatan masyarakat dengan penurunan angka kematian dan peningkatan angka harapan hidup serta penurunan angka kelahiran menjadikan salah satu faktor meningkatnya penduduk lanjut usia dimasa mendatang. Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia dimasa mendatang akan menyebabkan pola penduduk Indonesia akan berubah dari struktur usia penduduk muda (median umur dibawah 20) menjadi penduduk dewasa (intermidiate, yaitu dengan umur rata-rata 20 s/d 30 tahun), dan akhirnya akan menjadi struktur penduduk tua (median umur 30 tahun atau lebih). Proses perubahan dari penduduk muda kearah penduduk tua bersamaan dengan jumlah absolut serta prosentase penduduk lanjut usia (Agung, 1992).
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catur Tunggal Basuki Joko Purwanto
Abstrak :
Penelitian yang dilakukan dalam rangka menyusun tesis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai " Karakteristik sosio-demografi dan aktivitas penduduk lanjut usia di Jawa Tengah serta isnplikasi sosial-ekonominya. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data SUPAS 1985. Analisis data dilakukan baik dengan statistik deskriptif maupun dengan statistik inferensial. Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang berdimensi dua atau tiga, terutama digunakan untuk menjelaskan secara deskriptif variabel dan hubungan antar variabel yang karena variabel tak bebas yang dipelajari bersifat dipelajari dalam penelitian ini. Analisis statistik inferensial digunakan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik sosio demografi yang terdiri dari variabel jenis kelamin, tempat tinggal, status perkawinan, hubungan dengan kepala rumah tangga dan pendidikan penduduk lanjut usia sebagai variabel bebas dengan aktivitas bekerja atau tidak bekerja yang dilakukan penduduk lanjut usia, sebagai variabel tak bebas, dikotomous atau binary, dan variabel bebasnya lebih dari satu variabel, maka teknik analisis yang dipertimbangkan paling sesuai adalah teknik analisis regresi logistik linier berganda. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik penduduk lanjut usia di Jawa Tengah dengan batasan usia di atas atau sama dengan 65 tahun, terutama dicirikan dengan proporsi penduduk lanjut usia yang relatif lebih banyak yang tingggal di daerah pedesaan, relatif lebih banyak penduduk lanjut usia perempuan, relatif lebih banyak yang berstatus cerai mati, relatif kurang berpendidikan dan relatif masih banyak yang berstatus sebagai kepala rumah tangga. Dari sejumlah 2.745 orang responden penduduk lanjut usia di Jawa Tengah dalam penelitian ini, sebanyak 1.037 orang responden atau 37,78 persen menyatakan tidak mampu melakukan aktivitas. Sedangkan lainnya, dari sebanyak 1.706 orang responden atau 62,22 persen yang mampu melakukan aktivitas, 61,24 persen diantaranya atau 38,21 persen dari seluruh responden masih aktif melakukan aktivitas bekerja. Responden yang mampu melakukan aktivitas, tetapi tidak melakukan aktivitas bekerja sebanyak 659 orang atau sebanyak 24,01 persen dari seluruh responden. Mereka yang tidak bekerja ini, sebanyak 352 orang atau 2,82 persen dari seluruh penduduk lanjut usia atau sebanyak 33,41 persen dari mereka yang mampu melakukan aktivitas, aktivitas yang mereka lakukan adalah mengurus rumah tangga. Sedangkan sisanya, sebanyak 307 orang atau 11,18 persen dari seluruh penduduk lanjut usia atau sebanyak 46,59 persen dari yang mampu melakukan aktivitas, mereka melakukan aktivitas lainnya. Peluang penduduk lanjut usia di Jawa Tengah ini untuk melakukan aktivitas bekerja, bila dilihat perbedaannya untuk masing-masing variabel bebas menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin mempunyai hubungan positip nyata, sedangkan untuk variabel tempat tinggal dan pendidikan mempunyai hubungan negatip yang nyata. Untuk variabel status perkawinan dan hubungan dengan kepala rumah tangga menunjukkan hubungan yang positip tidak nyata terhadap peluang penduduk lanjut usia di Jawa Tengah untuk melakukan aktivitas bekerja. Hal ini dapat dijelaskan bahwa peluang penduduk lanjut usia laki-laki untuk melakukan aktivitas bekerja lebih besar bila dibandingkan dengan penduduk lanjut usia perempuan. Penduduk lanjut usia yang tinggal di daerah pedesaan mempunyai peluang yang lebih besar untuk melakukan aktivitas bekerja bila dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Semakin berpendidikan, peluang untuk melakukan aktivitas bekerja di masa lanjut usia semakin kecil. Sedangkan untuk status perkawinan dan hubungan dengan kepala rumah tangga, meskipun tidak mempunyai hubungan yang nyata, tetapi di antara keempat status perkawinan yang mempunyai peluang terbesar untuk melakukan aktivitas bekerja adalah penduduk lanjut usia yang berstatus kawin. Untuk variabel hubungan dengan kepala rumah tangga, di antara 5 kategori hubungan dengan kepala rumah tangga, mereka yang berstatus sebagai kepala rumah tangga mempunyai peluang yang terbesar untuk melakukan aktivitas bekerja.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogaswara Permana
Abstrak :
ABSTRAK


Penduduk adalah subyek sekaligus obyek pembangunan, dinamikanya akan berpengaruh pula terhadap aspek kehidupan dan pelaksanaan pembangunan. Pertambahan penduduk di satu sisi merupakan potensi pembangunan, di pihak lain merupakan beban pembangunan. Pembangunan nasional dan ketahanan nasional (Tannas) terdapat hubungan yang timbal balik (GBHN). Masalah penelitian yang diajukan adalah (1) faktor-faktor manakah dari kependudukan yang berpengaruh terhadap Tannas apakah kelahiran, kematian, atau migrasi masuk dan migrasi keluar ? (2) pertambahan penduduk yang begitu pesat apakah menggangu ketertiban umum pada khususnya Tannas pada umumnya ? Hasil penelitian yang diperoleh atas dasar data sekunder 1980-1990 pertambahan penduduk di dominasi oleh migrasi, pertambahan penduduk. meningkatkan PDRS, menambah jumlah perumahan, fasilitas kesehatan, tenaga kerja pada sektor informal, frekuensi kejahatan meningkat, jumlah wanita tuna susila tidak mengganggu keamanan. Pertambahan penduduk DKI Jakarta pada tahun 1980-1990 tidak mengganggu ketertiban umum pada khususnya, Tannas pada umumnya. Untuk melihat pengaruh pertambahan penduduk dengan Ketahanan nasional di tempat lain perlu penelitian lebih lanjut.

1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarungu, Julianus J.
Abstrak :
ABSTRAK Tesis ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor sosial ekonomi dan demografi yang berpengaruh dominan terhadap proses urbanisasi, mempelajari hubungan faktor-faktor tersebut dengan urbanisasi, dan mengungkapkan jalur mekanisme pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap urbanisasi. Tujuan tersebut dicapai berdasarkan kasus Indonesia selama kurun waktu pembangunan 1971-1985. Rerangka pikiran yang dikembangkan dalam hal ini bertumpu pada apa yang disebut "Hipotesa Karakteristik' (characteristic Hypothesis) yang menyatakan bahwa proses urbanisasi yang berbeda di berbagai wilayah/region merupakan manifestasi perbedaan perubahan komponen demografi (fertilitas, mortalitas dan migrasi neto baik antar maupun dalam wilayah). Namun, dibalik semua perbedaan itu adalah perbedaan perubahan faktor-faktor sosial ekonomi masing-masing wilayah serta kebijakan pembangunan masa yang lalu. Secara empiris, kerangka pikiran/teoritis tersebut kemudian diperinci ke dalam hubungan antar peubah-peubah bebas dan peubah tak bebas. Peubah-peubah bebas yang ditentukan secara selektif berdasarkan teori-teori dan penelitian-penelitian terdahulu meliputi: (1) Peubah-peubah ekonomi: Pendapatan Regional Per Kapita ( PPK), Kesempatan Kerja Pertanian (KRP) dan Peranan Sektor Manufaktur Daerah Secara Nasional (PMDN); (2) Peubah-peubah Sosial: Angka Literasi (LIT), Rasio Wanita Usia Subur Tamat SLTA+ (WUSS) dan Angka Kematian Bayi (AKB); (3) Peubah-peubah Demografi: Angka Fertilitas Total (ART), Usia Harapan Hidup (UHH) sebagai peubah proksi terhadap mortalitas dan Angka Migrasi Antar Provinsi, baik migrasi masuk (MMAP) maupun migrasi keluar (MKAP);(4) Peubah-peubah Situasional:Wilayah Urbanisasi (WU), Wilayah Kebijakan Pembangunan (WP) dan Waktu/Tahun (T). Semua peubah tersebut merupakan peubah kategori (dummy variable). Sedang peubah tak bebas adalah tingkat atau derajat urbanisasi (DURB), yaitu proporsi penduduk yang tinggal menetap di daerah perkotaan. Hubungan antar peubah tersebut dianalisis dengan menggunakan peralatan statistik regresi linear berganda (multiple linear regression model) berdasarkan data dari 24 propinsi yang dipublikasi oleh Biro Pusat Statistik (BPS) pada tiga titik waktu/tahun (1971, 1980 dan 1985). Dengan demikian, analisis data meliputi 72 observasi (cases). Dalam hal ini, masing-masing propinsi diperlakukan sebagai satuan analisis (unit of analysis). Data gabungan (the pooled data) ini diproses dengan menggunakan program komputer Statistical Analysis System (SAS Program) di Laboratorium Komputer Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Beberapa hasil temuan dari pengolahan data tersebut dapat di sebutkan sebagai berikut: 1. Pengaruh Peubah Demografi Dengan Urbanisasi. Peubah demografi yang berpengaruh dominan terhadap urbanisasi adalah angka kelahiran total/fertilitas dan usia harapan hidup, sedang migrasi antar daerah/propinsi baik migrasi masuk maupun migrasi keluar tidak berpengaruh. Fertilitas menunjukkan pengaruh negatif terhadap urbanisasi. Rasionalisasi yang sering diajukan mengenai hal ini adalah fertilitas pada umumnya lebih tinggi di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan. Akibatnya, pertumbuhan penduduk pedesaan lebih pesat dibanding pertumbuhan penduduk perkotaan. Sedang usia harapan hidup sebagai proksi mortalitas menunjukkan pengaruh yang negatif pula terhadap urbanisasi. Meningkatnya usia harapan hidup dapat menggambarkan penurunan mortalitas. Oleh karena itu, hubungan tersebut di atas dapat menunjukkan terjadinya penurunan angka kematian di daerah pedesaan yang lebih drastis dibanding di daerah perkotaan dan mengakibatkan pertumbuhan penduduk pedesaan lebih tinggi dibanding dengan di daerah perkotaan. Berdasarkan arah perubahan fertilitas dan mortalitas tersebut, maka perubahan keduanya secara bersamaan akan cenderung meningkatkan pertumbuhan penduduk alami di pedesaan lebih pesat dibanding di daerah perkotaan. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan peubah lainnya maka urbanisasi cenderung menurun. Migrasi antar daerah/propinsi baik migrasi masuk maupun migrasi keluar ternyata tidak berpengaruh terhadap urbanisasi. Hal ini nampaknya tidak terlepas dari masih rendahnya mobilitas penduduk antar daerah/propinsi dan mobilitas yang rendah tersebut berlangsung menuju hanya ke daerah tertentu, yaitu DKI Jakarta dan Lampung. Hal ini memberikan kesan yang kuat bahwa migrasi dalam daerah (migrasi desa-kota) nampaknya lebih berperanan dalam proses urbanisasi. 2. Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi Dengan Urbanisasi. Peubah literasi, ratio wanita usia subur yang berpendidikan tinggi dan angka kematian bayi ternyata tidak berpengaruh terhadap urbanisasi meskipun literasi menunjukkan pengaruh terhadap kelahiran, kematian dan migrasi serta ratio wanita usia subur yang berpendidikan tinggi berpengaruh terhadap kelahiran. Sedang peubah-peubah ekonomi ternyata menunjukkan pengaruh terhadap urbanisasi. Dengan demikian, peubah-peubah ekonomi menunjukkan pengaruh yang lebih dominan terhadap urbanisasi dibandingkan dengan peubah-peubah sosial. Nampaknya, hal ini merupakan konsekuensi logis dari aplikasi strategi pembangunan yang lebih menekankan bidang ekonomi. Pendapatan per kapita menunjukkan pengaruh positif terhadap urbanisasi. Pendapatan per kapita yang meningkat dapat merupakan refleksi meningkatnya produktifitas sebagai akibat kemajuan tekologi dan akumulasi modal baik modal fisik maupun modal manusia. Peningkatan tersebut pada gilirannya akan mendorong perubahan struktural perekonomian dan demografis antara lain komposisi penduduk dan alokasi kesempatan kerja baik antar sektor (pertanian dan bukan pertanian) maupun antar daerah (daerah perkotaan dan daerah pedesaan). Pada umumnya, akumulasi modal dan aplikasi teknologi lebih berorientasi ke daerah perkotaan karena luasnya pasar produk. Oleh karena itu, daerah perkotaan cenderung berfungsi sebagai pesat aktifitas sosial ekonomi yang akan menjadi daya tarik kuat bagi berbagai sumberdaya ekonomi termasuk sumber daya manusia. Sementara itu, aplikasi teknologi pertanian di pedesaan cenderung bersifat menghemat pekerja. Akibatnya, mobilitas penduduk ke daerah perkotaan semakin meningkat dan urbanisasi akan meningkat pula. Selain itu, meningkatnya pendapatan per kapita dapat pula merefleksikan meningkatnya kemampuan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini berarti kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup secara fisik dan pengetahuan akan meningkat pula. Peningkatan tersebut cenderung mendorong kelahiran tetapi akan menekan kematian relatif drastis terutama di daerah pedesaan. Akibatnya, pertumbuhan penduduk daerah pedesaan akan lebih pesat dibanding dengan di daerah perkotaan dan karena itu urbanisasi akan cenderung menurun. Jadi, jika pendapatan per kapita berpengaruh positif terhadap urbanisas maka hal ini menunjukkan bahwa pengaruh peningkatan pendapatan per kapita tersebut lebih dominan melalui perubahan migrasi daripada melalui perubahan kelahiran dan kematian. Kesempatan kerja pertanian berpengaruh negatif terhadap urbanisasi. Meningkatnya (menurunnya) kesempatan kerja pertanian di daerah pedesaan cenderung menghambat (mendorong) migrasi desa-kota. Hal ini berarti pula menghambat (mendorong) urbanisasi. Peningkatan atau penurunan kesempatan kerja pertanian di daerah pedesaan sangat ditentukan oleh penerapan teknologi pertanian/mekanisasi, usaha komersialisasi pertanian dan ketimpangan pemilikan tanah pertanian. Terdapat kecenderungan bahwa pembangunan pertanian yang lebih mengarah ke mekanisasi pertanian, kurang komersil dan lebih mendorong ketimpangan pemilikan tanah pertanian akan menyebabkan menurunnya kesempatan kerja pertanian. Keadaan ini akan mendorong migrasi baik secara sektoral maupun secara spasial (migrasi desa-kota) dan pada gilirannya akan mendorong urbanisasi lebih pesat. Demikian pula sebaliknya. Peranan sektor manufaktur berpengaruh negatif terhadap urbanisasi. Hubungan tersebut dapat terjadi bilamana tingkat industrialisasi masih relatif rendah, industri manufaktur bersifat padat modal, berorientasi ekspor, dan umumnya berlokasi di daerah pedesaan sehingga industri manufaktur kurang (tidak) berkaitan dengan arus mobilitas penduduk dari daerah pedesaan ke daerah per kotaan. 3. Urbanisasi Dan Ketimpangan wilayah/daerah. Berdasarkan pembagian wilayah Indonesia menjadi tiga wilayah kebijakan pembangunan yaitu Wilayah Indonesia bagian barat, Wilayah Indonesia bagian tengah dan Wilayah Indonesia bagian timur, maka hasil empirik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat dan perubahan urbanisasi yang bermakna secara statistik di ketiga wilayah tersebut. Tingkat dan perubahan urbanisasi di wilayah Indonesia bagian timur lebih rendah dan lamban di banding dengan di wilayah Indonesia lainnya. Ada kecenderungan semakin kearah barat wilayah Indonesia, urbanisasi semakin pesat. Perbedaan-perbedaan tersebut, sesungguhnya menunjukkan pula adanya perbedaan kreatifitas sosial ekonomi di wilayah tertentu dan prioritas kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi ke wilayah Indonesia bagian barat. Dari segi ini, ternyata variasi urbanisasi di berbagai daerah atau wilayah menunjukkan pula ketimpangan sosial ekonomi dan demografis antar daerah atau wilayah (ketimpangan wilayah). 4. Implikasi kebijakan. Setelah memperhatikan berbagai hubungan antar peubah-peubah sosial ekonomi dan demografi dengan urbanisasi serta gambarannya menurut wilayah kebijakan pembangunan maka perlu diupayakan suatu kebijakan perangsang urbanisasi, terutama di wilayah atau daerah di .mana tingkat dan tempo urbanisasi sarigat rendah dan lamban, seperti di Wilayah Indonesia bagian timur atau di daerah tertentu di wilayah Indonesia lainnya. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan sosial ekonomi dan demografi yang pelaksanaannya hendak nya diintegrasikan diantara pengembangan daerah perkotaan dan daerah pedesaan dan diantara pengembangan wilayah pembangunan yang satu dengan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar dapat mendorong realokasi berbagai sumberdaya pembangunan, termasuk sumberdaya manusia dan teknologi secara optimal ke wilayah pembangunan atau daerah yang derajat urbanisasinya masih relatif rendah. Berbagai program pembangunan perlu dilaksanakan atau lebih diintensifkan untuk mendukung kebijakan tersebut diatas, antara lain: pengembangan kota sedang dan kecil baik fisik maupun sosial ekonomi di berbagai wilayah; pengembangan industri sedang dan kecil serta industri kerajinan di daerah pedesaan disamping peningkatan kegiatan bidang pertanian; peningkatan pengetahian masyarakat terutama di daerah pedesaan, terutama yang berkaitan dengan aspek demografi (fertilitas, mortalitas dan migrasi) dan kualitas sumberdaya manusia; peningkatan dan pemerataan informasi dan fasilitas pendidikan dan kesehatan di berbagai wilayah atau daerah yang semakin intensif.
ABSTRACT The purpose of this study is to investigate social economic and demographic factors which have dominant influences on urbanization and to examine the mechanism by which those factors have influenced urbanization over the development period of 1971-1965. The theoretical framework is based on The Characteristic Hypothesis, which states that the varied levels and tempos of urbanization among regions reflect differential changes in demographic components (fertility, mortality and net migration) aid government policies of settlement. Underlying these differentials are differences in socioeconomic conditions and development. Selected independent variables are classified into: (i) economic variables, which include regional income per capita (PPK) agricultural employment (KKP) and the national share of local manufacture sector (PMDN); (ii) social variables, which consist of the literacy rate (LIT), the highest education attained by women aged 15 to 49 (reproductive ages/WUSS) and the infant mortality rate (AKB) as a proxy for social health conditions; (iii) demo - graphic variables, such as the total fertility rate (AKT), life, expectancy (UHH), the interprovince in - and out - migration rate (MMAP and MKAP); (iv) situational variables, e.g urbanization regions (WU), development policy of the region (WP) and time/years (T), all of which are used as dummy variables; and (v) the policy variable, which is presented by the percentage of urban-village (desa-perkotaan) as a proxy for reclassification. The dependent variable is the level or degree of urbanization (DURB), i.e. the proportion (percentage) of population living in urban areas. The Multiple linear regression is used for studying and testing the relationships of these variables. The sample set is a set of secondary data of 24 provinces over three years 1971, 1988' and 1985. In short the sample consists of 72 observations. In this study, each province represents a unit of analysis. The data were collected and published by Biro Pusat Statistik (The Central Bureau of Statistics/BPS). The pooled data was processed by using the computer programmed "Statistical Analysis System" (SAS) at the Demographic Institute Laboratory, the Faculty of Economics, the University of Indonesia. The empirical results may be summarized as follows : 1. The Relationship between demographic variables and Urbanization. The demographic variables which have dominant influences on urbanization are the Total fertility rate and the Life expectancy rate, while the interprovince in- and out-migration rate has no influence on urbanization. The logical and common explanation for this matter which is often put forward is that fertility in the rural areas is generally higher than in the urban areas, and consequently, the growth of the rural population is more rapid than the growth of the urban population. At the same time, the life expectancy rate as a proxy for the mortality rate also indicates a negative influence on urbanization. The increasing of life expectancy points to the reducing of mortality. Therefore, the above relationship shows that the mortality rate in rural areas is decreasing more drastically than the mortality rate in urban areas, and as a result, the increase of the rural population is higher than the increase of the urban population. Based on this tendency of fertility and mortality, these two changes will equally tend to increase the natural of population growth in the rural areas more rapidly than in the urban areas. Therefore, considering the other variables, urbanization is tending to decrease. Interprovince migration, both in- and out-migration, obviously has no influence on urbanization. This evidently can not be separated from the low mobility of people between regions/provinces and migration continues to go toward certain provinces, i.e., the Jakarta Metropolitan Area and Lampung. This gives the strong 'impression that intra-province migration (rural-urban migration) obviously plays a part in the urbanization's process. 2. The Relationship between Social-Economic Variables and Urbanization. The Literacy rate, the educational attainment of women of reproductive ages, and the infant mortality rate obviously have no influence on urbanization although literacy indicates an influence on fertility, mortality and migration; and the educational attainment of women of reproductive ages only influences the fertility rate. At the same time, all economic variables show a significant influence on urbanization. Thus, economic variables have a more dominant influence than social variables on the urbanization process. This is a logical consequence of the application development strategy which has emphasized on the economic field. Income per capita shows a positive influence on urbanization. The increasing of income per capita can be a reflection of the increasing of productivity as a result of technological progress and capital accumulation, both physical and human capital. In turn, this increase will influence the change of the economic and demographic structure, i.e., population composition and allocation of employment, both from inter sectors (agriculture and non agriculture) and inter-regions. Generally, capital accumulation and technological application tend to be concentrated in urban areas because these areas have a wide product market. Therefore, urban areas tend to function as a center for social economic activities which will strongly attract economic resources, including human resources, while the application of agricultural technology in rural areas tends to save on labor. Consequently, the movement of people to urban areas is increasing and urbanization, of course, will also increase. The increasing of income per capita also reflects the increase in the social economic condition of people, which means that the ability of the people to increase their standard of living physically and in term of skills is improving. This increases tend to stimulate the fertility, but it will suppress the mortality rate somewhat drastically, especially in rural areas. As a consequence, the population in the rural areas will increase more rapidly than in the urban areas, and therefore urbanization will tend to be reduced. Thus, if income per capita has a positive influence on urbanization, this indicates that the influence is more dominant through the change of migration (rural-urban migration).than the change of fertility and mortality. Increased agricultural employment has a negative influence on urbanization and vice versa. The increasing of agricultural employment in rural areas tends to decrease the rural-urban migration, and this means decreased urbanization. The increasing of agricultural employment in rural areas is caused by the application of agricultural technology (mechanization), commercialized efforts in the agricultural sector, and the imbalance of farm ownership. Agricultural development means agricultural mechanization, fewer commercialized efforts and the-imbalance of the farm ownership which causes the reduction of agricultural employment. This condition will stimulate migration, both in inter-sectors and in spatial regions (rural-urban migration), and in turn it will stimulate more rapid urbanization. The role of the manufacturing sectors has a negative influence on urbanization. This relationship can exist if the industrialization level is still relatively low, and the manufacturing industry is more capital intensive, more export oriented, and generally located in rural areas. Under such condition the manufacturing industry has little relationship to people's mobility from rural areas to urban areas. 3. Urbanization and The Imbalance of Regions. Based on the division of Indonesian regions which is divided into three development policy regions (the Western Indonesia Region, the Central Indonesia Region and the Eastern Indonesia Region), empirical results show there are differences in the level and growth rate of urbanization in these three regions. The level and growth rate of urbanization in the Eastern region is lower than in the other regions. There is a tendency that the more westernly the region is, the higher and more rapid urbanization is. This facts actually shows the differences between social economic activities in a certain region and the priority of development policy given to the Western region. From this aspect, the differences in urbanization in the various region shows an imbalance between social economic development and demographic changes among the regions. 4. The Policy Implications. Having observed the various relationships between social economic and demographic variables and urbanization and the description of regional policy, it is necessary to try to make policies which stimulate the urbanization process, especially in the-se regions where the level and rate of growth of urbanization are low and slow, such as in the Eastern Indonesian region or certain areas of the other Indonesian regions. It is the social economic and demographic policies which must be carried out to find a balance between the development of the urban and rural areas, and between the development of one region and the others. The policies must be able to optimally stimulate reallocation of the various development resources, including human resources and technology, to develop areas which have a low level and rate of growth urbanization. Various development programs which are necessary to intensify and to support the above mentioned policies, are as follows: the development of small and medium sized cities, both in physical and social economic aspects in the various regions; the development of small and medium sized industries, especially in rural areas, besides an increase of the agriculture sector; the in-crease of people's skill, especially those which have a relation with demographic aspects (fertility, mortality and migration), and the quality of human resources; a more intensive increase and equalization of information, educational and health facilities in the various regions.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tusy Augustine Samallo Adibroto
Abstrak :
ABSTRAK
Pertumbuhan penduduk yang pesat - khususnya di DKI Jakarta - mengakibatkan tekanan yang berat terhadap kota, sehingga untuk mengatasinya dikeluarkan Instruksi Presiden nomor 13 tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah JABOTABEK yang menghasilkan strategi pembangunan arah timur - barat di kota-kota sekitarnya. Maka dilaksanakan pembangunan kota baru mandiri (self-contained) Bumi Serpong Damai seluas 7.000 ha. Diharapkan kota baru tersebut tidak lagi bergantung pada kota induk karena akan dilengkapi dengan ketersediaan lapangan kerja yang cukup serta fasilitas perkotaan lain bagi penduduknya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah tujuan membangun suatu kota baru mandiri dapat tercapai, apalagi jika mengingat 'jarak' yang relatif dekat dengan Kota induk dan aksesibilitas yang baik. Hal ini mengingat kenyataan terjadinya gerak ulang alik yang diambil sebagai indikator kemandirian suatu kota baru yang cukup besar ke Jakarta mencapai 310.085 jiwa/hari pada tahun 1986. Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel secara stratified random sampling terhadap 219 KK dengan pengumpulan data melalui teknik observasi, wawancara berstruktur dan mendalam. Lokasi penelitian dilakukan selain di kota baru, juga diambil kota pembanding Bekasi yang dianggap dapat mewakili kondisi kota baru pada tahap yang sudah lebih berkembang. Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan persentase maupun dengan uji statistik Kruskall Wallis dan tes U-Mann Whitney (X2). Penelitian menghasilkan temuan bahwa untuk kegiatan bekerja, di kota baru perlu adanya sumber penggerak kerja (employment generator) dan kesempatan antara (intervening opportunity) yang dalam hal adalah kota Tangerang, keberadaan PUSPIPTEK, ITI dan pabrik-pabrik sepanjang jalan Serpong-Tangerang. Selain itu, perlu dipikirkan pembangunan fasilitas perkantoran baik pemerintah maupun swasta karena adanya kecenderungan kota baru diisi oleh orang-orang yang berstatus kerja mantap sehingga sulit untuk pindah kerja. Untuk fasilitas perkotaan lainnya perlu dilengkapi dengan berbagai jenis fasilitas yang memadai tidak hanya secara kuantitas tetapi juga kualitas. Khusus untuk fasilitas pendidikan perlu prioritas pembangunan lebih banyak SD karena tingginya angka keluarga-keluarga muda.
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wastuti
Abstrak :
Transisi demografi di Indonesia mengubah struktur umur penduduk yang menua. Meningkatnya jumlah penduduk lansia di Indonesia berpotensi besar terhadap permasalahan kesehatan mental, salah satunya Penyakit Demensia. Demensia merupakan stadium akhir dari kemunduran fungsi kognitif, yang sebelumnya diawali dari mudah lupa dan gangguan kognitif ringan MCI . Penelitian sebelumnya di negara lain menunjukkan bahwa salah satu faktor risiko penurunan fungsi kognitif yang dapat dimodifikasi adalah keterlibatan sosial. Namun, penelitian mengenai pengaruh keterlibatan sosial pada konteks negara berkembang khususnya di Indonesia masih terbatas. Penelitian ini mengukur pengaruh keterlibatan sosial terhadap fungsi kognitif dari 228.216 orang lansia di Indonesia berdasarkan data SUPAS 2015. Keterlibatan sosial lansia diukur melalui kegiatan sosial kemasyarakatan, mengasuh cucu, dan pasangan hidup. Penelitian ini menggunakan metode regresi multinomial logit. Umur, jenis kelamin, pendidikan, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, aktivitas fisik, dan aktivitas kognitif digunakan sebagai variabel kontrol. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa keterlibatan sosial lansia berpengaruh terhadap fungsi kognitif pada lansia di Indonesia. Partisipasi lansia dalam aktivitas sosial kemasyarakatan, mengasuh cucu dan keberadaan pasangan hidup dapat mengurangi risiko gangguan fungsi kognitif MCI dan Demensia pada lansia di Indonesia. ......Demographic transition in Indonesia changes the age structure of ageing population. Increasing number of elderly population in Indonesia has big potential to mental health problem, one of them is Dementia Disease. Dementia is the final stage of cognitive decline, preceded by forgetfulness and mild cognitive impairment MCI . Evidence from previous studies in other countries suggests that one potential modifiable risk factor for cognitive decline may be social engagement. However, research that identifies the modifiable risk factors in the context of developing countries, especially in Indonesia is still scarce. This study analyses the influence of social engagement on cognitive function of 228.216 elderly people in Indonesia from SUPAS 2015. Social engagement is measured through social activities, looking after grandchildren, and the presence of a spouse. This study uses the multinomial logistic regression method. Age, sex, education, visual impairment, hearing loss, physical and cognitive activity are used as covariates. The results suggest that social engagement influences cognitive function of elderly in Indonesia. Participation in social activities, looking after grandchildren and the presence of spouses can reduce the risk of cognitive decline, both MCI and dementia, in the elderly in Indonesia.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
T48859
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>