Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erna Ermawati Chotim
Abstrak :
Salah satu wujud dorongan untuk membangun kekuatan masyarakat sipil dan mempraktekkan proses demokratisasi di tingkat lokal adalah terbentuknya wadah yang kemudian disebut dengan forum warga. Kelahiran Forum warga mengundang perdebatan wacana tersendiri. Pada satu sisi, kelahiran forum warga dimaknai sebagai terbangunnya dan proses penguatan masyarakat sipil di tingkat lokal. Kalangan yang setuju dengan pendapat ini percaya bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat dalam forum warga dapat membuka peluang terjadinya perubahan-perubahan kebijakan di tingkat lokal lebih partisipatif; dan memenuhi prinsip-prinsip demokrasi yang lain sehingga berbagai perubahan kebijakan akan berpihak pada kepentingan masyarakat lokal. Pandangan ini lebih menekankan pada keuntungan yang diperoleh dari proses partisipasi sebagai salah satu prinsip demokrasi yang dijalankan forum warga. Pandangan ini dikritik karena melupakan sentralitas `aturan main politik' yang mendefinisikan demokrasi independen dan gerakan-gerakan rakyat atau pasar-pasar kapitalis. Pandangan ini menekankan tidak hanya pada arti pentingnya proses maupun dampak dari satu program demokratisasi yang berjalan. Namun juga harus melihat secara lebih kritis tentang demokrasi dari proses masuk dan diterimanya issu ini, pihak-pihak yang terlibat, dan melihat lebih dalam arti panting demokrasi dari perspektifmasyarakat lokal sendiri. Pandangan ini juga mencoba mengkritisi konteks makro isu demokrasi masuk ke Indonesia dan juga negara-negara dunia ketiga lainnya. Dengan kata lain, bahwa keberadaan forum warga dalam pandangan ini, tidak dapat dibaca secara sederhana hanya sebagai sebuah proses yang independen. Pandangan ini menekankan bahwa perubahan (ekonomi, politik) yang terjadi di Indonesia -sebagai konteks yang mendorong kemunculan forum warga- merupakan dampak dari situasi dunia yang sedang berjalan. Proses itu tidak lain adalah proses hegemonisasi, dimana demokrasi menjadi piranti ideologi yang disosialisasikan di dalamnya. Demokratisasi lokal adalah produk dari gerakan-gerakan cakyat dan bagian dari bentuk perjuangan kelas, dan merupakan elemen integral dari ekspansi hubungan-hubungan pasar. Pandangan ini memperkuat argumentasi bahwa proses demokrasi berkaitan dengan kapitalisme sebagai bagian dari neoliberal. Liberalisasi ekonomi yang membebaskan kekuatan¬kekuatan perkembangan ekonomi untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi demokrasi atau sebaliknya. Liberalisasi politik dan demokrasi yang menciptakan kondisi-kondisi bagi pembangunan ekonomi. Menurut alur pemikiran ini, pasar-pasar babas memperbanyak pilihan, menumbuhkembangkan individualisme dan memajukan pluralisme sosial, semua hal yang dianggap panting bagi demokrasi. Dalam penelitian ini, saya menemukan bahwa keberadaan forum warga muncul sebagai wujud perpaduan faktor internal dan eksternal di atas. Faktor internal sebagai respon terhadap situasi untuk melakukan praktek-praktek demokrasi dan membentuk institusi demokrasi yang barn di luar institusi maupun organisasi yang dibentuk pada masa orde barn. Dorongan internal ini diperkuat dengan dorongan eksternal yang distimulasi oleh berbagai program yang difasilitasi oleh pihak-pihak diantaranya LSM, intemasional donor dan aktivis jaringan. LSM, internasional donor dan aktivis jaringan dalam konteks ini memfungsikan diri sebagai intelektual organik hegemon yang mereproduksi dan mensosialisasikan gagasan tersebut kepada masyarakat lokal. Melalui fasilitasi yang dilakukannya dalam berbagai bentuk, masyarakat menerima gagasan demokrasi secara sukarela dan rnenganggap bahwa gagasan tersebut benar-benar sebagai kebutuhan dan milik masyarakat lokal. Dalam konteks ini terbangun kesepakatan konsensual dari masyarakat terhadap demokrasi sebagai ideologi. Dengan demikian legitimasi kelompok dominan tidak ditentang karena ideologi, kultur,nilai-nilai dan norma politiknya sudah diintemalisasi sebagai milik sendiri. Begitu konsensus diperoleh, ideologi, kultur, nilai-nilai, norma dan politik semakin terlihat wajar dan legitimate. Dalam kondisi ini masyarakat cenderung tidak lagi kritis terhadap makna demokrasi bagi kepentingan dan kebutuhan di tingkat mereka. Praktek demokrasi yang dijalankan di tingkat forum warga yang berorientasi untuk melibatkan seluruh komponen masyarakat mengalami perubhan ke arah dominasi elite lokal. Komponen-komponen masyarakat miskin dan marjinal yang pada awal teriibat melalui prosedur demokrasi pada akhirnya `terlempar' dari forum. Keberadaan forum warga pada akhirnya cenderung menjadi media dan legitimasi kelompok elite lokal. Meskipun memang harus diakui bahwa keberadaan forum secara positif di tingkat lokal telah membuka peluang bertemunya komponen¬komponen masyarakat untuk duduk dan menyepakati prioritas persoalan di tingkat mereka. Dimana kesempatan tersebut sulit terjadi sebelumnya. Situasi tidak akomodatifnya forum terhadap kepentingan kelompok marjinal telah mendorong dibentuknya forum warga 'tandingan'. Reaksi ini merupakan wujud kesadaran dan kelompok masyarakat terhadap demokratisasi yang distimulasi oleh munculnya intelektual organik kelompok ini dalam proses menumbuhkan dan menyebarkan kesadaran pada anggota kelompok lain. Bentuk forum warga tandingan masih awal, belum memiliki kekuatan yang secara dengan FM2S. Masih sulit untuk mengkategorikan reaksi yang muncul sebagai counter hegemony karena kelompok tandingan belum mampu mengabstraksikan pengalaman-pengalaman praktisnya menjadi dasar dari terbangunnya kesadaran, ideologi altematif. Perjuangan rakyat dalam konteks ini harus mempunyai karakter revolusi anti pasif yang dibangun dengan memperiuas perjuangan kelas dan perjuangan demokrasi kerakyatan dengan tujuan memobilisasi lapisan masyarakat yang lebih luas dalam memperjuangkan reformasi demokrasi ke arah perjuangan yang menguntungkan masyarakat lokal secara keseluruhan.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22587
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masyhud
Abstrak :
ABSTRAK
Dalain sistem domokrasi, partai politik (parpol) adalah kendaraan utama menuju puncak "kekuasaan kenegaraan". Oleh Karena itu, berbagai target dan strategi ditetapkan parpol untuk mencapai kekuasaan tersebut. Di antara sekian banyak parpol yang eksis di ranah politik Indonesia, ada satu parpol yang mendapat perhatian tebih yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai yang satu ini mendapatkan banyak simpati dan harapan dari masyarakat luas karena sepak terjangnya yang jujur, bersih dan peduli. Tidak heran jika kernudian pada pemilu tahun 2004 yang lalu partai ini mendapatkan tonjakan suara yang sangat signifikan sebesar 7 % suara dari sebelurnnya I %. Target besar capaian suara pun telah dicanangkan para fungsionaris PKS untuk pemilu 2009 yang akan datang sebesar kurang lebih 20% suara. .Iumlah yang diprediksi cukup untuk mengantarkan PKS ke tangga kekuasaan baik di legislatif bahkan mungkin eksekutif. Akan tetapi di balik simpati dan harapan tersebut terselip kekhawatiran bahkan kecurigaan. Bahwa PKS sebagai parpol berasas Islam di batik agenda human isnya selama ini tersimpan hidden agenda untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam dengan syari'at sebagai landasan hukumnya. Sebuah agenda yang akan mengancam keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depannya. Dari paparan di atas, maka dirasakan perlu melakukan penelitian untuk mengetahui konsepsi PKS tentang bentuk negara yang paling ideal buat sebuah negara bernama Indonesia. Sebuah konsepsi yang juga berhubungan dengan banyak isu-isu scnsitif seputar relasi againa dan negara dalam konteks Indonesia, seperti isu Piagam Jakarta, formalisasi syari'at Islam di ranah negara dan lainnya. Penelitiannya sendiri merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekalan hermeneutika. Dalam konteks ini, penulis menghadirkan dan menganalisa hail-hasil wawancara dengan beberapa fungsionaris PKS dan menginterpretasikan teks yang terdapat dalam data utama berupa manuskripmanuskrip internal partai dan data penunjang berupa tulisan tokoh maupun orang lain tentang PKS dengan berbagai aspeknya. Hasil penelitiannya sendiri menunjukan bahwa kecurigaan sebagian orang tentang PKS yang mempunyai hidden agenda untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam tidak terbukti. PKS ternyata mempunyai konsepsi bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana yang sudah diterapkan selama inl adalah sesuatu yang final. Kecuali ada konsensus dari mayoritas komponen bangsa untuk rnerubahnya. Dan perubahan tersebut bagi PKS harus sesuai dengan konstitusi yang berlaku.
ABSTRACT
In political system democration, political party is vehicles excellent go to the top "political power". Along of thet, various of goals and strategy specified by political party to reach the power. Among so much politics party which exist in political arena of Indonesia. Any one political party getting attention more that is prosperous justice party. Party which is one this get a lot of sympathy and expectation from wide development because kisking dashing against of which surprised honest, clean and care. Not if at general election of year 2004 then this party get the gamble voice of very significant of equal 7 % voice from previously 1 %. Big target performance of voice cymbal have all fungsionaris prosperous justice party for the election of 2009 to came equal to more or less 20 % voice. Quantity which predictions of last for squiring prosperous justice party to doorstep power, well ini legislative even possible executive. However at the opposite of the expectation and sympathy slipped between a care even afraid. Even prosperous justice party as political party have ground to of Islam at the opposite of humanist agenda during saving in hidden agenda to make Indonesia at state Islam by syari'at as base of justice. An agenda to menace the taking place of totality state of Republic of Indonesia to the fore it?s his. From description of above is hence felt require to conduct the research to know conception prosperous justice party most ideal of government make a so called state of Indonesia a conception which also relate to a lot of sensitive issue in around relations ship of religion an state in contexs of Indonesia, for the example of Jakarta charter issue, formalisation syari'at Islam in state region and other. Its own research represent the research qualitative by using approach hermeneutika. In this context is writer attend and analyse the picking interview with a few fungsionaris prosperous justice party and interpret the text which in especial data in the form of internal manuscript of party and aupporter data in the form of article of figure and also others of about preporous justice party by various its aspect. Result of its own research indicate that the suspicions of some people of about preporous justice party having hidden agenda to make Indonesia as unprovable state Islam. Preporous justice party in the reality have the conception that totalitarian state republic of Indonesia, Pancasila and invite the elementary invitar I945 as is applied during the time is something that final. Except there is cocsensus from component majority nation for the fox of it. And the change preporous justice party have to as according to constitution going into effect.
2007
T20727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
jatuhnya berbagai rezim otoriter disejumlah negara bukanlah satu-satunya penanda gelombang demokratisasi ketiga pada kuartal terakhir abad keduapuluh....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Rini Pudyastuti
Abstrak :
Strategi Gerakan Perempuan Indonesia Menjelang Pemilihan Umum 1999: Studi tentang Pendidikan Pemilih Perempuan, tabel, wawancara, gambar. Studi mengenai Pendidikan Pemililih Perempuan menjelang pemilihan urnuml999 masih sedikit jumlahnya. Studi ini menjadi penting karena akan memberikan pemahaman bam bahwa fenomena-fenomena politik yang terjadi mcnjelang reformasi, juga melibatkan aktivitas perempuan di dalamnya. Aktivitas perempuan tcrsebut telah melibatkan lebih kurang 500.000 sukarelawan perempuan yang tcrsebar di seluruh wilayah Indonesia pada masa transisi tcrsebut. Tesis ini akan melihat Pendidikan Pemilih Perempuan yang muncul menjelang pemilihan umum I999 tcrsebut dan perspektif perempuan. Konsep-konsep yang dipergunakan dalam menganalisa kcmunculan Pendidikan Pemilih Perempuan tersebut adalah konsep perempuan dan negara, untuk melihat posisi pcrempuan Indonesia; konsep gender gap untuk menganalisa partai polidk pcscna pemiiihan umum; konsep Perilaku Politik Perempuan untuk melihat bagaimana orientasi politik pemilih pcrempuan; dan konsep gerakan pcrempuan, untuk membuktikan bahwa substansi Pendidikan Pemilih Pcrempuan tersebut adalah sebuah upaya strategis dalam pemberdayaan perempuan. Ada beherapa alasan mengapa muncul Pendidikan Politik Perempuan menjelang pemilihan umum 1999 ini, yakni adanya momen refonnasi, kurangnya kesadaran perempuan atas hak-hak politik mereka, kurangnya representasi perempuan dalam Iembaga pengambilan keputusan, budaya patriarki yang melahirkan politik maskulin, pilihan politik perempuan yang masih konscrvatitl dan partai politik peserta pemilihan umum yang kurang peka terhadap masalah perempuan. WVE sebagai gerakan perempuan mempunyai sifat gerakan yang bersifat kepentingan suaiegis gender, yaitu sebuah gerakan yang ingin memperbaiki posisi pcrempuan yang selama ini tersuhordinasi dau mengalami diskrilninazlzi di betbagai bidang karena pcran gendemya. Isu yang dipcrgunakan untuk menggerakkan perempuan-percmpuan te-rsebut adalah vote/suara, karena jumlah pemilih perempuan yang mencapai 57% dan mereka. mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam mcncmukan masa depan bangsa. Suara/vare ini digmmakan scbagai aiat untuk menekan partai politik agar lebih peduli terhadap permasalahan perempuan. Namun, gender gap yang diharapkan belum terwujud, karena cdukasi yang diberikan bam sampai pada taraf kognitii
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T5480
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Rahman Alamsyah
Abstrak :
Tesis ini hendak meneliti demokratisasi pasca-Soeharto (2004-2006) yang terjadi di Serang, Banten, dengan menggunakan kerangka berpikir dialektika agen-struktur atau habitus ranah dari Bourdieu. Yang menjadi subyek penelitian adalah Partai Golkar dan jawara (PG-Jawara) serta Partai Keadilan Sejahtera dan tarbiyah (PKS-Tarbiyah). Mereka adalah agen-agen signifikan dalam ranah politik Serang. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi, penelusuran dokumen, dan studi pustaka. Dengan menggunakan kerangka berpikir dialektika agen-struktur, demokratisasi tersebut dapat diawali dengan penjelasan tentang posisi-posisi obyektif PG-Jawara dan PKS-Tarbiyah dalam ranah politik Serang. Berdasarkan ukuran jenis, volume dan bobot relatif dari empat jenis modal (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik), PG-Jawara menempati posisi obyektif dominan daripada PKS-Tarbiyah. Sedangkan untuk habitus politik, yang melekat pada PG-Jawara adalah kekerasan, pragmatisme, dan Islam simbolik. Pada PKS-Tarbiyah, hal itu meliputi habitus politik islamisme dan modernis. Posisi-posisi obyektif dalam ranah mengondisikan habitus politik PG-Jawara dan PKS-Tarbiyah, tetapi habitus tersebut juga membantu mereka untuk menyesuaikan diri dengan ranah politik yang dihadapi. Hasil dari dialektika tersebut adalah praksis politik. Inilah dialektika habitus-ranah atau agen struktur, yang berbeda dengan determinisme pendekatan agen (Diamond) maupun pendekatan struktur (Huber dkk.). Ranah politik adalah medan pertarungan wacana (simbolik) antar agen untuk memperoleh kekuasaan simbolik (kekuasaan yang diakui keabsahannya). Wacana tersebut adalah praksis politik yang dihasilkan dari dialektika habitus-ranah dan ditawarkan oleh para agen politik kepada masyarakat demi memperoleh dukungan. Ia mencakup doxa (wacana dominan yang absah), orthodoxa (wacana yang mendukung doxa) dan heterodoxa (wacana yang menentang doxa). Doxa dalam ranah politik Serang adalah nasionalisme pasca-kolonial, keislaman tradisional, modernisasi, dan prosedur demokrasi. Ia didukung oleh PG-Jawara yang memproduksi dan mereproduksi orthodoxa, yang meliputi nasionalisme pasca-kolonial, Islam simbolik yang dekat dengan keislaman tradisional, modernisasi untuk kejayaan bangsa dan negara, dan demokrasi dalam kerangka Pancasila. PKS-Tarbiyah memproduksi heterodoxa, yang meliputi nasionalisme dalam kerangka Islam, Islam sebagai ajaran total yang memandu perilaku, dan prosedur demokrasi untuk kepentingan Islam. Wacana yang diproduksi para agen politik tersebut ada yang merupakan perwujudan dari habitus politiknya, namun ada juga yang merupakan hasil penyesuaian (dengan bantuan habitus politiknya), sesuai dengan batas-batas yang dimungkinkan oleh ranah yang memproduksi habitus politik tersebut, terhadap ranah politik yang dihadapinya. Inilah pertarungan wacana antara PG-Jawara dengan PKS-Tarbiyah yang terjadi dalam ranah politik Serang. Ranah politik Serang mengalami ?bantenisasi demokrasi? karena ia dirumuskan ulang oleh agen-agen politik yang ada di dalamnya, sesuai dengan habitus dan posisi obyektifnya dalam ranah politik. Alhasil, pada tingkat subyektif (wacana, simbolik), ranah politik Serang penuh sesak dengan aneka wacana dengan posisi yang berbeda-beda. Yang dominan adalah nasionalisme pasca-kolonial, keislaman tradisional, beberapa nilai demokrasi yang ditawarkan PG-Jawara, dan modernisasi dalam rangka nasionalisme. Ia memberi nuansa yang lebih tebal pada ranah politik tersebut. Namun, berbagai wacana yang diproduksi PKS-Tarbiyah, yaitu nasionalisme dalam kerangka Islam, islamisme, beberapa nilai demokrasi yang diusung PKS-Tarbiyah, modernisasi dalam konteks islamisme, juga mulai mengancam wacana-wacana dominan tersebut. Hal ini membuat demokratisasi dalam ranah politik Serang menjadi begitu dinamis. Wacana-wacana tersebut adalah dimensi subyektif yang berfungsi memberi legitimasi terhadap dimensi obyektif dari ranah politik. Pada tingkat obyektif, ?bantenisasi demokrasi? menghasilkan demokrasi yang ditandai dengan penerapan berbagai prosedur demokrasi (pilkada, pemilu, kontrol DPRD atas pemerintah kabupaten) dan beberapa prinsip demokrasi, seperti jaminan atas partisipasi publik, kebebasan berpendapat, berorganisasi, kebebasan pers, pengelolaan pemerintahan yang transparan, penghargaan terhadap keragaman, dan sebagainya. Namun pada saat yang bersamaan, ia juga kerap harus berhadapan dengan praksis politik kekerasan dan politik uang PG-Jawara, islamisme PKS-Tarbiyah yang cenderung memarjinalkan non-Islam, oligarki elit parpol, dan partisipasi publik yang sifatnya formalistis.
This thesis is about the democratization post-Soeharto (2004-2006) in Serang, Banten, using dialectical theory of agency-structure or habitus field from Bourdieu. The subjects are Partai Golkar and jawara (PG-Jawara), Partai Keadilan Sejahtera and tarbiyah (PKS-Tarbiyah). They are significant agencies in Serang political field. This research is using qualitative approach with case study. The datas are collected with deep interview, observation, document study, and literary study. Using dialectical theory of agency-structure, the democratization will begin with the explanation about the objective positions between PG-Jawara and PKS-Tarbiyah in Serang political field. According to form, volume and relative weight from four capital form (economic, social, cultural, and symbolic), PG-Jawara has more dominant objective position than PKS-Tarbiyah. Otherwise, the political habitus for PG-Jawara are violance, pragmatism, and Islam symbolic. The political habitus for PKS-Tarbiyah are islamism and modernism. The objective conditions in field conditioning the political habitus of PG-Jawara and PKS-Tarbiyah, but it also help them to make the adaptation to the political field. The result of dialectical is political praxis. This is the dialectical of habitus-field or agency structure, which is different from determinism of agency approach (Diamond) or structure approach (Huber and friends). Political field is the arena of discourse (symbolic) struggle between agencies to obtain symbolic power (the legitimate power). The discourse is political praxis which produced by dialectical habitus-field and offered by political agencies to the society to get their support. It consist of doxa (the legitimate discourse), orthodoxa (the discourse supporting doxa) and heterodoxa Bantenisasi demokrasi (the discourse aggainst doxa). Doxa in Serang political field are post-colonial nasionalism, traditional islamic, modernism, and procedure of democratization. It supported by PG-Jawara which produce and reproduce orthodoxa, including post-colonial nasionalism, Islam symbolic that close to traditional islamic, modernisation to the glory of nation and country, and democracy of Pancasila. PKS-Tarbiyah produce heterodoxa, consist of islamic nasionalism, Islam as a total religion to guide the attitude, and the procedure of democracy for islamic importance. There are some discourses which produced by the political agencies are manifestation from their political habitus, but there also are a production from adaptation (with their political habitus support), in accordance with the limitations that able by field which produce the political habitus, towards the political field. This is the discourse struggle between PG-Jawara with PKS-Tarbiyah that happen in Serang political field. Serang political field is becoming ?bantenisasi demokrasi? because it reinterpreted by their political agencies, in accordance with habitus and objective position in political field. At subjective level (discourse, symbolic), Serang political field is crowded with some discourses with different positons. The dominant are post-colonial nasionalism, traditional islamic, some democratic values that offered by PG-Jawara, and modernisation in nasionalism. It gives strong nuance in political field. Although some discourses that produced by PKS-Tarbiyah, such as nasionalism in islamic framework, islamism, some democratic values of PKS-Tarbiyah, modernisation in islamic framework, also threaten the dominant discourses. It makes democratization in Serang political field more dynamic. The discourses are subjective dimension that gives legitimation to objective dimension of political field. At objective level, ?bantenisasi demokrasi? produce a democracy that marked with the application of procedure of democracy (local election, general election, the controling of local government by DPRD) and some principles of democracy, such as guarantee on public participation, freedom of expression, freedom of organization, freedom of the press, transparent government, guarantee on pluralism, etc. But at the same circumtance, it also has to face political violance and money politic of PG-Jawara, the islamism of PKS-Tarbiyah that marginalize non-Islam, the elite oligarcy in political party, and pseudo-public participation.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T22749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutrisno
Abstrak :
ABSTRAK Setelah jatuhnya rezim Orde Baru negara berupaya menempatkan Polri pada posisi yang sesuai dengan tuntutan demokrasi. Perubahan struktural-normatif tersebut merupakan konfigurasi baru relasi kuasa di sepanjang sejarah Polri. Faktanya hasil independensi kepolisian ternyata masyarakat memandang kinerja Polri ini masih jauh dari harapan. Penelitian ini berusaha menggali relasi kekuasaan Polri dengan organisasi masyarakat sipil dalam konfigurasi baru itu. Bagaimana, setelah sejumlah perubahan struktural itu, Polri memainkan peran relasi kekuasaanya dengan organisasi masyarakat sipil. Pembacaan relasi kuasa Polri dengan organisasi masyarakat sipil ini bertumpu pada data yang dipublikiasi media massa, selain wawancara medalam dan dokumen. Hasilnya, kepolisian tidak lagi menggunakan (dimensi) koersif dalam relasinya dengan organisasi kritis masyarakat sipil sebagaimana era Orde Baru. Media cukup bebas, tetapi tak ada jaminan keamanan atas kebebasanya; relasi Polri yang semakin merenggang dengan komunitas universitas bukan saja menyebabkan institusi ini mengisolasi diri ruang diskusi penyegaran akademik, alih-alih cenderung terjebak dalam ideologisasi keilmuan; cenderung bekeja parsial (justru) karena terlalu berorientasi melindungi citra. Kepolisian tak serta merta mempunyai legitimasi di kalangan stake holders-nya, walaupun tindakannya selalu mempunyai basis legalitas. Legitimasi menyangkut persyaratan ?kemasuk-akalan? tindakan normativ pada derajat universal, bukan pada ?lokalitas? legal. Sementara, independensi kepolisian yang diperolehnya dalam deretan perubahan struktural di atas menampilkan wajah institusi raksasa yang ?imun?. Kondisi ini menjadi persoalan bagi sebuah sistem demokrasi yang mengharuskan adanya asosiasi yang saling berkordinasi (imperative coordination association).
ABSTRACT The structural change after falling New Order in 1998 has became a new configuration of power relation between police and society in Indonesia. The state aimed at police institution to be compatible in democratic structure post 1998. In this at research, power relation between police and society in the new structure is seen how the process was, and of course how the culture play behind the process. At the beginning, it is important to know the impact of police is independence for its work and its power relation with society. The research is based on data which has been published by any media, in-deep interview, and some documents. The result, police did not use a such of coercive (or force) any more in an articulation of his power relation with critical civil social organizations in post 1998. Mass media and civil society organization have its freedom, but they have not guarantee for their security. The relationship between police and university had taken the distant since 2004, its mean that police institution handles the source of definition of reality. In the other realm, the police do all out for getting (good) image in society, then the consequence is that police work on partiality. Its mean that police is not working base on the truth and humanity but image. Police has also legitimation problem although his action based on legal formal, at least on his ration. Legitimation refers to condition of ?logical?- normative action in universal level. For the time being, police independency -- at the structural change --reflects the face as an immune institution. This condition becomes the problem in democratic system that each elements of social relation should be coordinated (imperative coordination association).
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1353
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Konkrad-Adenauer-Stiftung, 2005
321.8 DEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
The dynamics of local politics has entered a new phase in Indonesia since 2004,people at localities and provinces has exercised their rights in electing their leaders,i.e.governor/vice governor,mayor/vice mayor ,or regent/vice regent.....
JUILPEM
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>