Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 243 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Winda Roselina Effendi
Abstrak :
Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan dan menganalisis dualisme kewenangan di Kota Batam yang melahirkan konflik kewenangan antara Badan pengusahaan Batam dan Pemerinta Kota Batam. Latar belakang dari dualisme kewenangan ini disebabkan oleh tumpang tindihnya regulasi yang mengatur Kota Batam dan tidak berjalannya reformasi hukum yang mengatur hubungan pusat dan daerah pasca reformasi. Tumpang tindih kewenangan di daerah pasca desentralisasi di Indonesia merupakan gejala umum yang memicu terjadinya konflik kepentingan di daerah. Dalam mendeskripsikan dan menganalisis dualisme kewenangan di Kota Batam digunakan teori konflik, desentralisasi dan pendekatan berbasis negara dalam ekonomi politik serta hubungan pusat dan daerah. Penelitian ini merupakan studi kasus yang dijabarkan berdasarkan metode penelitian kualitatif. Sehingga untuk mengumpulkan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan stakeholder dari Badan Pengusahaan Batam, Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Provinsi Riau, DPRD, Kamar Dagang Indonesia Kota Batam dan Provinsi Riau. Disamping itu, dilakukan observasi langsung pada dua institusi serta didukung dengan data-data literatur berupa buku, peraturan perundang-undangan, jurnal dan website resmi BP Batam dan Pemko Batam. Untuk mencapai objektifitas penelitian, digunakan teknik triangulasi dengan mengklarifikasi pada Pemerintah Pusat, Akademisi, LSM, Pengusaha dan Masyarakat. Data yang dikumpulkan direduksi dan disajikan, maka diperoleh kesimpulan bahwa dualisme kewenangan antara Badan Pengusahaan Batam dan Pemerintah Kota Batam merupakan akibat dari ketidaktegasan regulasi yang mengatur hubungan antar instansi di daerah serta hubungan pusat dan daerah. Besarnya kepentingan ekonomi politik pusat di Kota Batam. Sehingga, desentralisasi sebagai amanat UUD 1945 tidak dapat berjalan dengan baik di Kota Batam. Untuk dapat mengatasi persoalan di Kota Batam, diperlukan ketegasan sikap politik pusat untuk mengakhiri konflik antar dua institusi ini dan melalui penelitian ini disarankan agar pemerintah pusat memberikan desentralisasi asimetris sebagai reorganisasi stuktur untuk mewujudkan Kota Industri Batam. Dengan demikian penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah pusat dalam mengambil keputusan politik, dan menjadi referensi bagi penelitian-penelitian berikutnya, terutama dalam penelitian terkait desentralisasi dan konflik kepentingan antara pusat dan daerah. ......This research describes and analyze a dualism of authority in Batam that provoke a conflict of authority between BIFZA (Batam Indonesia Free Zone Authority) and Batam city government. This dualism of authority caused by overlap regulation that organize Batam city and legal reform, which control centralization & decentralization in Soeharto era, is not working. This conflict of authority in decentralization area in Indonesia is a general symptoms that trigger conflict of interest in a district. Describing and analyzing dualism of authority in Batam city is using theory of conflict, decentralization, and state-based approach in politic economy and the relation between the capital & district. This research is a study case using qualitative research method. Thereby in collecting the data need to do a deep interview with a stakeholder from BIFZA, Batam city government, Riau Province government, DPRD, Chamber of Commerce in Batam & Riau Province. Direct observation to these two institutions which is supported by literature such as books, legislation, journal & official website of BIFZA & Batam city government. To obtain the objectives of this research, researcher use triangulation techniques that clarifying information from capital government, academics, NGO, enterpreneur, and society. The collected data is reducted and presented. The conclusion is, dualism authority between BIFZA & Batam city government happens from indecision regulation; that control the relation between institutions in a district, the relation between capital and district, and how much politic economy central interest in Batam city. Thereby, decentralization as a mandate from UUD 1945 (State constitution of 1945) cannot work properly in Batam city. To overcome the conflict in Batam city, politic assertiveness from the capital is needed. From this research conclude a reccomendation that capital government give asymmetry decentralization as structur reorganization to gain Batam industry city. Thereby, this research can be a reference for the next research, especially in research about decentralization and conflict of interest between capital government and district.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T45158
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emie Yuliati
Abstrak :
Kebijakan desentralisasi di Indonesia secara tegas mulai dilaksanakan pada tahun 2001 dan telah membawa perubahan besar terhadap kondisi perekonomian daerah. Salah satu bentuk dari kebijakan tersebut adalah pemekaran daerah. Pemekaran daerah diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, percepatan pembangunan perekonomian daerah. Dalam perkembangannya, menurut beberapa ahli pemekaran daerah tidak membawa perubahan yang positif pada kesejahteraan masyarakat. Melihat hal tersebut, penelitian ini bermaksud meneliti lebih lanjut apakah pembentukan daerah otonomi baru karena pemekaran daerah setelah berusia 8 (delapan) tahun terjadi peningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan percepatan pembangunan ekonomi. Penelitian ini meneliti kabupaten baru yang dimekarkan tahun awal desentralisasi yaitu tahun 1999 untuk melihat perubahan yang berarti pada fokus perekonomian daerah dan pelayanan kepada masyarakat. Penelitian ini juga metode treatment-control. Disamping dibandingkan dengan daerah induknya, daerah otonomi baru juga dibandingkan dengan daerah kontrol yaitu daerah yang tidak dimekarkan pada propinsi yang sama. Fokus perekonomian daerah menggunakan indikator pertumbuhan PDRB, pertumbuhan kontribusi PDRB kabupaten terhadap PDRB propinsi, pertumbuhan PDRB per kapita dan pertumbuhan prosentase penduduk tidak miskin. Sedang fokus pelayanan kepada masyarakat menggunakan indikator pendidikan, ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan, serta kualitas infrastruktur.
Indonesia's decentralization policy expressly commenced in 2001 and has brought great changes to the conditions of the regional economy. One of them is pemekaran daerah. This policy is expected to improve the welfare of society through improving public services and accelerating regional economic development. In its development, according to some expert, pemekaran daerah does not bring positive change to the welfare of society. Seeing this, this research intends to investigate further whether the formation of new regions because of pemekaran daerah after the age of 8 (eight) occurred for increasing the welfare of society through improved public services and acceleration of economic development. This study examines a new district that divided the early years of decentralization in 1999 to see meaningful change in the focus of the regional economy and public services. The study also used treatment-control method. Besides, compared with daerah induk, the new regions also compared with daerah kontrol that is not dimekarkan in the same province. The focus of regional economic indicators are GDRP growth, GDRP growth in the district's contribution to provincial's GDRP, the growth of GDRP per capita and percentage growth in population is not poor. The focus of public services using education, the availability of facilities and personnel healths and infrastructure quality indicators.
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2011
T28352
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Sutrisno
Abstrak :
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki kedudukan sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan strategis tersebut mengalami banyak tantangan dan permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengapa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak efektif dan untuk merumuskan konstruksi kedudukan, peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam sistem pemerintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan teknik analisis data deskriptif analitis. Pengumpulan data dilakukan di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Jawa Timur dengan melakukan serangkaian wawancara mendalam dan diskusi aktif dengan berbagai narasumber mulai dari gubernur, bupati/walikota, instansi vertikal, ahli dan praktisi pemerintahan daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berjalan tidak efektif yang disebabkan oleh 6 (enam) determinant factor, yaitu lemahnya dukungan instrumen kebijakan, ketiadaan institusi kelembagaan, ketiadaan personil aparatur, ketidakjelasan anggaran, kepemimpinan, dan political will pemerintah. Hasil penelitian merumuskan dua desain sistem pemerintahan daerah. Pertama, provinsi wilayah administrasi dan daerah otonom - kabupaten/kota daerah otonom. Kedua, provinsi daerah wilayah administrasi dan daerah otonom ? kabupaten/kota wilayah administrasi dan daerah otonom. Kedua desain tersebut meletakkan dekonsentrasi dan desentralisasi pada provinsi dan mendudukkan gubernur baik sebagai wakil pemerintah pusat mapun selaku kepala daerah. Hasil penelitian juga menunjukkan perlunya institusi kelembagaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang dalam penelitian ini dirumuskan sebagai intermediate government dalam bentuk deputi dekonsentrasi. ......Governor as the Central Government representative has a very important position on the local government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia. The strategic position have faced lots of challenges and problems. This study aims to analyze why the position of the governor as the central government representative is ineffective and to formulate the construction of the governor?s position, role and function as the Central Government representative on the local government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia for the future. This study applied qualitative paradigm with descriptive data analysis techniques. The data were collected in the Central Kalimantan Province and East Java Province by conducting a series of in-depth interviews and active discussions with various sources ranging from the governors, regents/mayors, vertical institutions, experts and practitioners of local government. The results show that the governor's position as the central government representative is ineffective. The ineffectiveness determinant factors are the lack of support in policy instruments, institutions, personnel officers, budget uncertainty, leadership, and political will of the governments. This study formulates two designs for the local administration system. First, the provinces are both an administrative area and an autonomous region, then the regencies/municipalities arean autonomous region. Second, both the provinces and regencies/municipalities are an administrative area and an autonomous region. Both designs set deconcentration and decentralization at the provinceas well asgovernor as the Central Government representative and as the head area. This study indicate the needof governor's institution as the central government representative which in this study is formulated as an intermediate government in the deconcentration deputy format.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D2076
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustari Irawan
Abstrak :
Masalah desentralisasi di Indonesia berkaitan dengan pengalihan urusan ke daerah yang dimaknai dan diwujudkan dalam pembentukan organisasi perangkat daerah melalui regulasi lokal. Organisasi perangkat daerah yang dibentuk belum sepenuhnya mengakomodir prinsip dan karakter desentralisasi. Sebagai kota periphery dari Jakarta, kota Tangerang dijadikan sebagai city example. Organisasi Perangkat Daerah dianalisis dengan mengadopsi konsep hirarkhi proses kebijakan dari Broomley, berfokus pada analisis tiga level pelembagaan regulasi, regulasi nasional pada level makro, regulasi daerah pada level meso dan mikro. Soft Systems Methodology (SSM) digunakan sebagai analisis metodologi karena bersifat holistic serta pendekatan kualitatif dengan sumber data melalui wawancara terhadap beberapa key informant. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa pada level makro, analisis penataan ulang pembentukan organisasi perangkat daerah mengisyaratkan perlunya merevisi Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah terkait muatan tentang kelembagaan organisasi perangkat daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan Kota. Pada level meso, penerapan desentralisasi dilakukan dengan mengubah Peraturan Daerah sesuai dengan UU dan PP; pada level mikro-1, organisasi efektif dapat terbentuk apabila SKPD mampu bersifat adaptif, pimpinan yang memiliki kapabilitas dan kapasitas kompetensi dan manajemen kerja yang didukung SDM aparatur. Pada level mikro-2, peningkatan efektifitas organisasi dapat terbentuk apabila dilaksanakan optimalisasi struktur, tugas pokok dan fungsi organisasi yang adaptif terhadap kebutuhan lingkungan. Rekomendasi level makro adalah revisi dan pengesahan UU dan PP tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah; pada level meso Peraturan Daerah tentang SKPD segera disusun dan diformulasikan agar organisasi perangkat daerah dapat terbentuk sesuai dengan prinsip desentralisasi; pada level mikro-1, pengembangan struktur, tugas pokok dan fungsi secara organisasional dilakukan agar organisasi perangkat daerah dapat adaptif dengan dinamika perubahan; pada level mikro-2, dilakukan melalui penyusunan struktur, tugas pokok dan fungsi berdasarkan pada konsep local governance. ......The problem of decentralization in Indonesia is related to transfer of control to local government. This has been implemented by the formation of local government organization under various forms of local regulations. However, this formation has not yet in line with the principles and characteristics of decentralization. As the peripheral city, Tangerang was considered as a city example. The organization of local government was analyzed by adopting the Broomley?s hierarchy concept of policy process. It focused on three levels of institutional regulation, namely national regulation on macro level, and local regulation on mezzo and micro levels. Soft Systems Methodology (SSM) was used as the methodology analysis for its holistic nature. Qualitative method with data source from interviews of some key informant was also employed in this research. The research concluded that on macro level, the analysis of reconstructing the organization formation indicated that it is required to revise the Law on Local Government and the Government Regulation on Organization of Local Government in accordance with the needs of the city. On mezzo level, the implementation of decentralized system can be employed efficiently by revising Local Regulations in accordance with the Law and the Government Regulation; on micro-1 level, an effective formation of organization shall be formed when the local government is adaptive and that the senior officers in that organization obtain good capability and capacity. Moreover, they ought to develop work management which will be supported by their staffs. On micro-2 level, the effectiveness of organization shall be achieved when the structures, tasks and functions of organization is optimal and adaptive towards the environment. The recommendation of macro level is that there is a need of revising and stipulating of the Law and Government Regulation on the Formation of Local Government Organization; on mezzo level, it is concluded that the Local Regulation on the Local Government Organization needs to drafted and formulated so that it can be utilized in accordance with the principles of decentralization; on micro-1 level, the structures, tasks and functions development needs to organized so that it will be adaptive towards the dynamic changes; on micro-2 level, there is a need of revising structures, tasks, and functions that are based on the local governance concept.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D2065
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ambarita, Indra Gunawan
Abstrak :
Skripsi ini merupakan penelitian lanjutan yang dilakukan untuk menganalisis dampak pemberlakuan desentralisasi terhadap penurunan tutupan hutan yang terus terjadi di Indonesia. Dengan menggunakan data citra satelit MODIS periode 2000-2008, penelitian ini ingin melihat dampak pemberlakuan desentralisasi kehutanan dan pemekaran daerah terhadap ekstraksi kayu dari hutan. Selain itu, penelitian ini ingin melihat pengaruh sektor-sektor ekonomi dan keuangan daerah terhadap deforestasi. Penelitian ini menggunakan tiga metode estimasi secara ekonometris terhadap data panel yaitu fixed effect, random effect, dan generalized least squares. Penelitian ini menemukan bahwa 1) desentralisasi kehutanan dan pemekaran daerah positif mendorong ekstraksi kayu yang lebih tinggi; 2) peningkatan kapasitas fiscal dibarengi dengan peningkatan deforestasi dan 3) peningkatan kesejahteraan masyarakat (diukur dalam Indeks Pembangunan Manusia) berkorelasi negatif dengan tingkat deforestasi. ...... This thesis is conducted to analyze the impact of decentralization on declining forest cover in Indonesia. By using MODIS satellite data between the year 2000 and 2008, this study wanted to see the impact of forestry decentralization and regional autonomy, sectoral development and the size of regional budgets on deforestation. This study uses three econometric approaches to analyzing panel data, i.e. fixed effect, random effect, and generalized least squares. The three main findings from the study are 1) that decentralized forest management function and the devolving number of local governments accompany higher timber extractions; 2) local fiscal capacity seems to be positively correlated with timber extraction, i.e. the higher the fiscal capacity, the higher the deforestation rate; and 3) improved welfare (as measured by the Human Development Index) is negatively correlated with deforestation.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
S56785
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Washington: The World Bank, 2005
352.2 Eas
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Harmantyo
Abstrak :
Pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22 tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000. Sedangkan konflik keruangan (spatial conflict) adalah potensi konflik kewilayahan yang timbul akibat adanya garis batas yang membagi satu wilayah menjadi dua wilayah yang berbeda. Prinsip desentralisasi dan otonomi daerah serta pemekaran daerah di Indonesia sebagai negara kepulauan daerah tropis, memiliki karakteristik tersendiri ditinjau dari besarnya jumlah penduduk yang tersebar tidak merata, keanekaragaman sosial budaya, sumberdaya alam, flora dan fauna serta keragaman fisik wilayah. Berdasarkan keragaman tersebut, dalam perspektif geografi, Indonesia memiliki potensi konflik kewilayahan yang tinggi. Berdasarkan studi awal yang bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan model prediktif kuantitatif terhadap data periode tahun 1999 - 2005 terjadi pemekaran 148 daerah otonom baru (141 kabupaten/kota dan 7 propinsi) atau rata rata bertambah 30 daerah otonom baru. Jumlah tersebut melebihi angka perkiraan hasil perhitungan yaitu sebanyak 460 kabupaten dan kota di bawah koordinasi 46 propinsi. Berdasarkan model segi enam Christaller, secara teoritis diperlukan paling tidak 2760 bentuk kerjasama antar daerah otonom yang saling berbatasan untuk mengantisipasi peluang terjadinya 2760 konflik kewilayahan (spatial conflict). Penataan kembali konsep desentralisasi dan pemekaran daerah serta instrument penilaian, terutama kejelasan penetapan batas wilayah, merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan kebijakan otonomi daerah.
Area divergence is a process to establish new autonomous region by dividing formerly local authority entity. This process was driven by the Regional Autonomy Law no. 32, 2004 which ensure decentralization mechanism to occur from. Spatial conflict is a term of interregional conflicts that is potentialy related to former administrative divided border line, which then will create border line dispute. This potential for any interregional relationship (including conflict) is a function neighbour number. According to an Internal Affairs report, thus recent phenomena of local divided authorities has been escalating in Indonesia. Since 1999-2005, there has been 148 new local autonomous governments or more than thirty new additional local autonomus government were born annualy. There are two main questions arise from these issues (1) what is the ideal number of local autonomous government in Indonesia, and (2) what is the quantity of interregional relationship needed to relate spatial conflicts. Based on the central place theory and a spatial conflicts model the ideal number of autonomous districts in Indonesia is 460 of kabupaten/kota and 46 provinces. Theoretically, they need 2760 forms of interregional relationships or six relationship forms in each local government to eliminate the spatial conflict potentialy. Rearrangement of regional autonomous policy focusing on the implementation of areal divergences shall be done as quickly as possible.
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
JIP 44(2014) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>