Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1989 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Etti Hadriyani
Abstrak :
ABSTRAK


Kriminalitas atau criminal yang di sebut juga kejahatan merupakan kejadian yang hamper setiap hari ada di masyarakat dan hal ini meresahkan anggota masyarakat. Kejahatan sendiri adalah bertemunya faktor niat berbuat jahat dari calon pelaku dengan kesempatan atau paluang yang ada. Selain itu kejahatan atau kriminalitas di sebabkan oleh banyak faktor utama adalah lingkungan.

Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana karakteristik kriminalitas di Kotamadya Bandar Lampung, kapan dan dimana pelaksanaan kejahatan di Kotamadya Bandar Lampung.

Dari hasil penelitian di ketahui jenis kriminalitas yang mempunyai jumlah kasus tinggi adalah jenis Curas, Curat, Curanmor dan lain lain kejahatan. Jenis Curas dan Curat merupakan jenis kriminalitas adalah perumahan, jalan, pusat-pusat keramaian dan waktu kejadian yaitu jam kejadian dan bulan kejadian

Berdasarkan tempat kejadian, perumahan mempunyai kasus tinggi dan berdasarkan waktu kejadian yang mempunyai jumlah kasus tinggi yaitu jam jam 24.01-06.00 wib (malam hari) dan pada kuartal I (januari, Februari, Maret, April)
1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2018
345 STA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Moeljatno
Jakarta: Bina Aksara, 1984
364 MOE k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Perdagangan merupakan permasalahan yang sampai saat ini belum memperoleh perhatian pemecahan secara serius oleh Pemerintah dan aparat penegak hukum di Indonesia. Terjadinya perdagangan orang antara lain disebabkan masalah ekonomi b) pendidikan yang rendah, c) penegakan hukum yang lemah d) Undang-Undang yang ada kurang disosialisasikan e) kurang tersedianya data yang akurat,f) peraturan keimigrasian yang longgar dan g) peran PJTKI yang belum maksimal....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
ABSTRAK
A program titled "Operation Valkyrie" and implemented by the Illinois State Police for the purpose of interdicting drugs is presented as a study that illustrates reciprocity between a police organization and its institutional milieu. Information regarding this program was obtained from interviews with state police officials, from defense counsel who represented plaintiffs in interdiction cases, and from court records of Valkyrie interdictions. It is suggested that two aspects of its institutional environment, the environment of legal precedent in which the program is embedded and the network of state and federal agencies using similar interdiction strategies, influence the organization and activity of Operation Valkyrie. The article argues that current program activity reveals the way in which Operation Valkyrie is, in turn, affecting these two aspects of its institutional environment.
New York : Pergamon Press, 2018
345 JCJ
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Basir
Abstrak :
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengandung beberapa asas didalamnya, Salah satunya adalah asas diferensiasi fungsional. Asas ini berarti penegasan pembagian tugas dan kewenangan antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakan suatu asas 'penjernihan' (clarification) dan ?modifikasi? (modification) fungsi dan wewenang antara aparat penegak hukum. Asas diferensiasi fungsional mulanya bertujuan untuk dipergunakan sebagai sarana koordinasi horizontal dan saling checking antara penegak hukum, terutama antara polisi selaku penyidik dengan jaksa selaku penuntut umum. Berdasarkan pasal 1 butir 1 dan 4 jo pasal 1 butir 6 huruf a jo pasal 13 KUHAP, maka jelas terlihat penjernihan dan pembagian secara tegas antara fungsi dan wewenang polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum serta pelaksana putusan pengadilan. Walaupun asas diferensiasi fungsional ditekankan antara polisi dengan jaksa, namun berpengaruh terhadap semua sub sistem dalam sistem peradilan pidana. Bagi Polri hal itu berakibat menumpuknya penanganan laporan dan pengaduan yang harus ditindaklanjuti yang pada akhirnya menyebabkan kurang maksimalnya pelaksanaan tugas-tugas penyidikan, seperti lambatnya pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dan bolak baliknya berkas perkara. Bagi jaksa asas diferensiasi fungsional telah menjadikan spektrum dan cara pandang jaksa dalam memberantas kejahatan menjadi sempit. Hal ini karena jaksa tidak terlibat secara langsung dalam proses penyidikan. Sedangkan pada proses persidangan di pengadilan, hanya tidak lebih dari mengkonfirmasi dan memverifikasi kebenaran isi Berita Acara pemeriksaan yang sebenarnya tidak mengikat. Sedangkan bagi tersangka dan pelapor / pengadu asas diferensiasi fungsional, telah merugikan hak-haknya karena perkaranya tidak dapat diproses berdasarkan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah. Pada akhirnya asas diferensiasi fungsional menjadi salah satu penyebab over capacity pada lembaga pemasyarakatan. Lembaga ini tidak dapat melakukan pembinaan terhadap narapidana sebagaimana mestinya, bahkan dapat menjadi school of crime yang melahirkan residivis baru. Berdasarkan hal itu asas diferensiasi fungsional dirasa tidak dapat menciptakan keterpaduan antara penyidik dengan penuntut umum. Oleh karena itu perubahan KUHAP merupakan sesuatu yang urgent dan harus segera dilaksanakan.
Act No. 8 of 1981 on Procedure of Criminal Law (Criminal Procedure Code) contains some of the principles therein. The one of them is functional differentiation principle. The functional differentiation principle means the affirmation of the division of duties and authority between the law enforcement officers in institutional. The criminal procedure code put a principle of "purification" (clarification) and ?modification? functions and powers among law enforcement officers. The functional differentiation principle originally intended to be used as a means of horizontal coordination and mutual checking between law enforcement agencies, especially between polices as investigator and prosecutors as public prosecutor. Based on criminal procedure code article 1, point 1 and 4 jo article 1 point 6 letter a jo article 13, it is clearly seen purification and distribution between the functions and powers of the police as investigators and prosecutors as a public prosecutor and executor of verdict. Although the principle of functional differentiation stressed in between the investigators and the public prosecutor, but it influent all the sub systems in criminal justice system. For the police, it resulted in deposition of handling reports and complaints that should be followed up, in the end it can be implementation tasks which is not fulfilled maximal, such as the slow delivery of the notice of investigation letter and back and forth the docket. For prosecutors, principle of functional differentiation has made spectrum and perspective in combating crimes prosecutor becomes narrower. This is because prosecutors are not directly involved in investigation process. The trial process in court is nothing more than confirmation and verifying the correctness of the content of the examination dossier which is not binding. At the same time, for the suspect and the complainant, the functional differentiation principle has been detrimental to their rights because the case can't be processed with fast, simple and low cost trial. In the end the principle of functional differentiation be one cause of over capacity in the penitentiary. This institution can not conduct training of prisoners, even can be a school crime that spawned a new recidivist. Based on this principle of functional differentiation deemed not to create integration between law enforcement agencies, especially the investigators with the prosecutors. Therefore, conversion of the criminal procedure code is urgent and should be implemented immediately.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ketaren, Linda C.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
S21962
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Vetra Mesia
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku baik di Indonesia, Belanda, maupun Singapura. Penyelesaian perkara pidana di luar persidangan atau dikenal dengan istilah Afdoening Buiten Proces merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan perkara di luar persidangan dengan cara membayar denda maksimum secara sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama. Ketentuan ini juga terdapat dalam KUHP Baru, tepatnya dalam Pasal 132 ayat (1) huruf d-e. Sementara itu, di Belanda ketentuan ini diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht, sedangkan di Singapura dikenal mekanisme Deferred Prosecution Agreement yang memiliki konsep berbeda dengan yang diatur oleh Indonesia dan Belanda. Terdapat dua pembahasan utama dalam skripsi ini. Pertama, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura. Kedua, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama dalam mengakomodir kebutuhan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif-yuridis yang menganalisis lebih lanjut tentang ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Selanjutnya, diketahui bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama selama ini tidak mengakomodir kebutuhan yang diperlukan oleh sistem peradilan pidana. Terakhir, ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik dan dapat membantu meringankan beban sistem peradilan pidana, tetapi masih terdapat beberapa hambatan. ......This thesis discusses the settlement of criminal cases outside the court which is valid in Indonesia, Netherlands, and Singapore. Settlement of criminal cases outside the court or known as Afdoening Buiten Process is one way to settle cases outside the court by paying the maximum fine voluntarily as stipulated in Article 82 of the Old Criminal Code. This provision is also contained in the New Criminal Code, specifically in Article 132 paragraph (1) letter d-e. Meanwhile, in the Netherlands this provision is regulated in Article 74 Wetboek van Strafrecht, while in Singapore the Deferred Prosecution Agreement mechanism is known, which has a different concept from that regulated by Indonesia and Netherlands. There are two main discussions in this thesis. First, this thesis will discuss how the provisions for settling criminal cases outside the court in the legal provisions in force in Indonesia, the Netherlands and Singapore. Second, this thesis will discuss how the Old Criminal Code accommodates the need for settlement of criminal cases outside of court. This research was conducted using a normative-juridical research method that further analyzes the legal provisions in force in a country. The results of this study state that the provisions for settling criminal cases outside the court in force in Indonesia, Netherlands and Singapore have similarities and differences, respectively. Furthermore, it is known that the provisions for settling criminal cases outside the court as regulated in Article 82 of the Old Criminal Code have so far not accommodated the needs required by the criminal justice system. Finally, provisions for the settlement of criminal cases outside the court basically have a good purpose and can help ease the burden on the criminal justice system, but there are still some obstacles.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Nurfadlillah
Abstrak :
Keadilan restoratif merupakan pendekatan yang dilakukan dalam penyelesaian perkara dengan partisipasi aktif dari korban maupun pelaku untuk mencapai kesepakatan penyelesaian yang adil sehingga tidak ada lagi pengulangan tindak pidana yang dilakukan pelaku dan pemenuhan kebutuhan korban yang telah diterapkan pendekatannya di Indonesia melalui Sistem Peradilan Pidana Anak yang tercantum pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tidak semua perkara anak dapat diterapkan pendekatan keadilan restoratif, salah satu syaratnya adalah tindak pidana yang dilakukan bukan merupakan tindak pidana kesusilaan serius. Negara Selandia Baru dan Australia menerapkan pendekatan keadilan restoratif dalam hal penyelesaian perkara pada kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak, bentuk penerapannya keduanya menggunakan model keadilan restoratif konferensi keluarga, mediasi antara pelaku-korban dan bentuk lingkaran. Dalam praktiknya di Indonesia, banyak kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak menggunakan pendekatan keadilan restoratif, hasil dari penerapan keadilan restoratifnya sendiri bukan selalu berdamai namun anak dapat dikenakan pidana tindakan atau pidana dengan syarat sebagai bentuk wujud dari penerapan keadilan restoratif yang mengedepankan pemulihan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penulisan ini akan menganalisis bagaimana penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam hal penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak. ......Restorative justice is an approach employed in resolving cases with active participation from both the victim, offender, community leader, and restorative justice facilitator to achieve a fair agreement that prevents the repetition of criminal acts by the offender and fulfills the needs of the victim. This approach has been implemented in Indonesia through the Juvenile Criminal Justice System Act, as stated in Article 5, paragraph (1) of Law No. 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System. Not all cases involving children can be subjected to restorative justice; one of the requirements is that the committed crime should not be a serious sexual offense. New Zealand and Australia have implemented the restorative justice approach in resolving cases of sexual violence committed by minors, utilizing the restorative justice model of family conferences, mediation between the offender and victim, and circle processes. In practice in Indonesia, many cases of sexual violence committed by children have been addressed using the restorative justice approach. The outcome of implementing restorative justice is not always reconciliation, but rather the child may face punitive measures or conditional punishment as a form of restorative justice emphasizing restoration. By employing a normative juridical research method, this paper aims to analyze the application of the restorative justice approach in resolving cases of sexual violence committed by minors.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>