Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arfan Awaloeddin
Abstrak :
Rurnah sakit sebagai mata rantai sistern kesehatan diharapkan dapat mencapai pelayanan yang bermutu, berdaya guna, serta didirikan dan dijalankan dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperlukan oleh masing-masing penderita dalam batas kemampuan teknologi dan sarana yang tersedia di rumah sakit. Salah satunya adalah instalasi farmasi yang merupakan sarana penting dalam proses penyembuhan dan merupakan salah satu komponen biaya operasional yang besar dari seluruh biaya operasional rumah sakit. Anggaran yang dibelanjakan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Awal Bros untuk obat dan alkes sebanyak 46.65 % (Rp 5.155.680.986) dari total pengeluaran rumah sakit, dari jumlah tersebut 37.88% (1.952.881.880) adalah investasi untuk obat antibiotika. Penelitian dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Awal Bros pada pemakaian obat-obatan antibiotika periode Januari hingga Juni tahun 2001, dengan tujuan mengidentifikasi tingkat persediaan obat antibiotika di instalasi farmasi, merencanakan dan mengendalikan jumlah pemesanan obat yang efisien dan efektif. Perencanaan yang tepat diharapkan dapat menghasilkan suatu jumlah dan jenis persediaan perbekalan di instalasi farmasi, dalam hal ini khusus obat antibiotika. Persediaan obat-obatan antibiotika dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok berdasarkan nilai pemakaian, nilai investasi dan nilai indeks kritis dengan memakai analisis ABC. Pengelompokkan ini merupakan salah satu cara untuk mengendalikan persediaan, dengan demikian dapat diketahui jenis obat mana yang perlu diperhatikan karena mempunyai investasi yang tinggi dengan nilai kritis yang tinggi pula. Indeks kritis dapat diketahui melalui pendapat dari para dokter full timer yang berada di Rumah Sakit Awal Bros yang memakai obat tersebut. Hasil analisis indeks kritis ABC didapatkan basil bahwa kelompok A untuk 75-20-5 yang memerlukan investasi paling tinggi (66.51 % dari seluruh biaya) terdiri dari 32 item obat (9.33 %), kelompok B menelan biaya 28.99% terdiri dari 126 item obat dan kelompok C menelan biaya 4.50% dari seluruh biaya. Jenis obat antibiotika kelompok A 75-20-5 berdasarkan pemakaian, investasi dan indeks kritis berjumlah 74 item, jika dikelompokkan dengan kelompok nama generik akan dapat berkurang menjadi 60 item. Hal ini setidaknya rumah sakit Awal Bros dapat melakukan efisiensi sehingga biaya yang hares diinvestasikan akan berkurang. ......Hospital is the part of health system chain which might be expected to provides quality services, efficient, and was established, operated to achieve various level of health services including promotion, prevention, curative and rehabilitation to meet patient needs in accordance to both technologies and facilities availabilities in the respective hospital. In particularly, pharmaceutical department is one of the important facilities in patient care that consume the biggest part of operational cost. In Awal Bros hospital, drugs and consumable goods spent 46.65% of total hospital expenditure. (Rp 5.155.680.986.-). In addition the hospital spent 37.88% of their total drugs expenditure for antibiotic (1.952.881.880 rupiahs). This study took place in Pharmaceutical Department of Awal Bros hospital during January 2001 thorough June 2001 period that aimed to identify the availability of antibiotic, and to develop the most economical procurement plan as well as to manage the availability. By doing so it was expected the hospital could manage the availability of antibiotic in terms of amount and type. The availability of antibiotic was grouped into different categories according to level of utilization, investment as well as critical index by using ABC analysis. This approach aimed to control level of antibiotic availability, an effort to identify priority in next procurement by considering its investment level and critical index. Information on critical index was gathered from selected residence physicians that had been known as frequent users. The ABC critical index analysis revealed that group A (75- 20-5) represented the highest investment totaling 66.51% of total expenditure, consisted of 32 item of antibiotic (9.33%); group B represent 28.99% of total expenditure (126 items) and group C represent 4.50% of total expenses. The total group A 75-20-5 with categories according to level of utilization, investment as well as critical index consisted 74 items, if grouped to generic drugs the least would decrease to 60 items. This approach which aimed to control level of antibiotic availability, can be utilized to identify priority in next procurement by considering its investment level.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Siswati
Abstrak :
Penggunaan obat yang tidak rasional seperti antibiotika pada ISPA bukan pneumonia merupakan masalah yang mengkhawatirkan karena dapat menghambat penurunan angka morbiditas dan mortalitas penyakit, menyebabkan pemborosan karena pemakaian yang tidak perlu serta menimbulkan efek samping dan resistensi terhadap bakteri, Penggunaan antibiotika untuk kasus ISPA bukan Pneumonia dan diare di Kota Padang masih tinggi yaitu rata-rata 28 %, dengan target ideal 0 % dan target propinsi kecil dart 20 %. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan Pneumonia di puskesmas se-Kota Padang, dan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen yang meliputi umur, latar belakang pendidikan, pengetahuan, sikap terhadap pedoman pengobatan, keterampilan dalam penetapan diagnosis, adanya tenaga kesehatan panutan, permintaan pasien, supervisi serta pelatihan dengan variabel dependen yaitu perilaku penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia. Penelitian ini dilakukan dengan 2 metode yaitu metode kuantitatif dengan desain cross sectional dan metode kualitatif. Proporsi penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia 24,3 % dan hasil analisis bivariat pada penelitian kuantitatif diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan responder, sikap responden terhadap pedoman pengobatan, supervisi dan pelatihan dengan perilaku penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia . Hasil pada penelitian kualitatif sebagian besar menunjang hasil yang diperoleh pada penelitian kuantitatif. Dengan hasil penelitian ini diharapkan adanya penurunan penggunaan antibiotika yang tidak rasional, khususnya pada penderita ISPA bukan pneumonia dengan menginterverisi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku dalam penggunaan antibiotika ini.
Factors Related to Antibiotic Use Health Center Personal Behavior for Children Under Five Years with Non Pneumonic Acute Respiratory Tract Infections in PadangIrrational drug use such as antibiotic for non pneumonic acute respiratory tract infections is the problem because reduction in the quality of drug therapy leading to increased morbidity and mortality increased cost, adverse reactions and bacterial resistance. Antibiotic use for non pneumonic acute respiratory tract infections and nonspecific diarrhea in Health Center Padang City, average 28,0 % . It is much higher than ideal target of 0 % and still height than province target of less than 20 °/a, The aim of this study to know how much antibiotic use proportion in children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections, and to know about relationship independent variable such as age, background study, knowledge, attitude of standard treatment, skill of decision diagnoses, prescribes behavior, patients demands, supervision and formal training with dependent variable antibiotic use behavior for children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections. Study with 2 methods, Quantitative method with cross sectional design and Qualitative method. Result of antibiotic use proportion 24,3 %, and bivariat analysis in quantitative method result significant relationship between knowledge, attitude of standard treatment, supervision, and formal training with antibiotic use behavior for children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections. Amount of qualitative result support quantitative result study. Result study may use to decrease irrational antibiotic use behavior, especially to decision making for drug use interventions in non pneumonic acute respiratory tract infections.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T7743
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistijawati
Abstrak :
Dalam memenuhi tuntutan persaingan rumah sakit pada saat ini, setiap rumah sakit berupaya untuk meningkatkan citranya dengan meningkatkan mutu pelayanan secara menyeluruh. Aspek pembekalan farmasi merupakan hal yang sangat panting untuk diperhatikan. Dalam pengelolaan dan pengendalian obat di rumah sakit diperlukan manajemen yang tepat agar tujuan yang akan dicapai bisa terpenuhi. Penelitian ini mempunyai tujuan agar manajemen pembekalan farmasi dapat dilaksanakan secara optimal serta identifikasi informasi kelengkapan jenis, kecukupan jumlah serta ketepatan waktu pengadaan obat-obat antibiotik yang masuk dalam kategori kritis. Kemudian dicari metode yang tepat untuk pengadaannya. Penelitian ini adalah survey data sekunder dan data primer mengenai persediaan pembekalan farmasi khususnya obat-obatan antibiotik yang tersedia di Rumah Sakit Puri Cinere. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kuantitatif melalui analisis indeks kritis dan model persediaan yang bersifat probabilistik. Populasinya adalah seluruh obat antibiotik yang tersedia di bagian farmasi RSPC selama enam bulan terakhir dari Agustus 1997 s.d. Januari 1998. Jumlah jenis obat antibiotik selama enam bulan berjumlah 177 jenis. Dari hasil penelitian diketahui bahwa manajemen pembekalan farmasi di Rumah Sakit Puri Cinere belum berjalan dengan baik. Hal ini terlihat masih kerap terjadi stock out, over stock maupun obat kedaluarsa. Disamping itu anggaran yang digunakan untuk belanja obat selalu lebih besar dari pada anggaran yang sudah ditentukan sedangkan pendapatan selalu di bawah target. Mengingat bahwa farmasi merupakan salah satu pusat keuntungan rumah sakit ( profit centre) , maka perlu dilakukan optimalisasi dalam pendayagunaan persediaannya. Optimalisasi ini akan memberi dampak penting terhadap peningkatan pendapatan rumah sakit. Dengan demikian perlu diperhatikan perencanaan jenis obat agar jenis obat yang tersedia adalah yang memang pasti digunakan dalam jumlah yang cukup, sehingga lebih memudahkan dalam melakukan pengendalian obat. Agar dapat berjalan dengan lancar , perlu dilibatkan pihak farmasi untuk ikut merencanakan anggaran sehingga diharapkan perbedaan antara anggaran dan realissi dapat ditekan. Disamping itu perlu bagi Rumah Sakit Puri Cinere untuk mulai menggunakan indikator kinerja persediaan dalam menilai persediaan yang ada. Berdasarkan analisis kuantitatif ternyata bahwa terdapat perbedaan jumlah jenis obat dan adanya variasi pada analisis ABC berdasarkan pemakaian, investasi dan indeks kritis. Pengambilan keputusan perbandingan persentase kelompok ABC yang diambil, sangat dipengaruhi oleh kebijakan dari pihak manajerial Rumah Sakit. Semakin besar nilai persentase yang diambil untuk kelompok A, maka semakin besar jumlah item pada kelompok A indeks kritis. Pembagian berdasarkan kategori pemakaian, investasi dan indeks kritis akan memberikan hasil yang berbeda. Kategori pemakaian memberikan hasil untuk kelompok A sebanyak 32 macam (jika diambil 70%) dan 27 macam (jika diambil 75%). Sedangkan apabila dipertimbangkan nilai investasinya, maka akan diperoleh jumlah item kelompok A sebanyak 21 macam (jika diambil 70%) atau 25 macam (jika diambil 75%) dengan biaya investasi Rp. 45.914.003 (jika diambil 70%) atau Rp. 48.938.612 (jika diambil 75%). Apabila dilakukan analisis indeks kritis, maka item untuk kelompok A akan berjumlah hanya 13 (jika diambil 70%) atau hanya 18 (jika diambil 75%) dengan biaya investasi Rp. 26.345.929 (jika diambil 70%) atau sebesar Rp. 30.208.100,- (jika diambil 75%), Dan hasil di atas menunjukkan bahwa Rumah Sakit Puri Cinere dapat melakukan efisiensi dengan adanya pengurangan jumlah item maupun biaya yang harus diinvestasikan apabila menggunakan analisis indeks kritis. Dalam meningkatkan mutu pelayanan di Rumah Sakit Puri Cinere terutama dalam penyediaan pembekalan farmasi diperlukan manajemen yang baik dalam mengelola perencanaan dan penyediaan obat. Penentuan stok pengaman (safety stock), kapan dilakukan pemesanan (Reorder Point), dan banyaknya pemesanan (Order Quantity) digunakan model persediaan yang tepat. Dengan demikian, pasien rawat inap maupun rawat jalan yang membutuhkan obat dapat terlayani dengan baik. ...... To survive hospital competition today, every hospital has effort to enhance its image by improving the whole service quality. Pharmaceutical logistic aspect is very significant. In managing and controlling drug in hospital, the right management is needed to achieve the goal. The purpose of this research is to answer whether the management of pharmaceutical logistic has been performed optimally. The other purpose is to identify information regarding to the item, volume sufficiency and on time procurement of vital antibiotic drug. This research is to survey primary and secondary data relating to pharmaceutical logistic inventory, especially antibiotic drug available in Puri Cinere Hospital. The research uses quantitative analysis approach through critical index analysis and probabilistic inventory model. The population is the entire antibiotic drug available in pharmacy unit of Puss Cinere Hospital during the last six month from August 1997 to January 1998. The number of antibiotic drug item for six month is 177 items. From the result of research, it is known that management of pharmaceutical logistic in Puri Cinere Hospital has not been performed well because stock out, over stock and expire drug still occur frequently. Beside, the budget spent to buy drugs always higher than its plan and revenue target is never reached. Considering that pharmacy unit is one of profit centre, optimalization of inventory is necessary. This will has significant impact to the increasing of hospital income. Therefore, planning should be done carefully in order to assure that the drug needed is always available. It can ease in controlling inventory. To minimize the gap between budget and expenditure, pharmacist should be involved in budget planning. Furthermore, the hospital has to use inventory performance indicator to evaluate inventory. Based on quantitative analysis, there is difference in the number of drug item and there is variation in the ABC analysis based on the use, investment and critical index. The decision making to compare the percentage of ABC group is mostly influenced by the policy of hospital management. The higher percentage of A group, the higher number of A group item in critical index. On the basis of using category, investment and critical index has different result. The result of using category is that for A group, it will order 32 items (if it is taken 70 % ) or 27 items (if it is taken 75 % ), whereas if the investment is considered, the result is 21 items for A group (if it is taken 70 % ) or 25 items (if it is taken 75 % ) with the cost of investment Rp. 45.914.003; (if it is taken 70 %) or Rp.48.938.612,- (if it is taken 75 % ). If it is analyzed with critical index, the number of A group will be only 13 items ( if it is taken 70 %) or it is only 28 items (if it is taken 75 % ) with the cost of investment Rp.26.345.929,- (if it is taken 70 %) or Rp.30.208.100; (if it is taken 75 % ). The above result shows that the hospital improve efficiency by saving the number of item or investment cost using critical index analysis. To increase the service quality in the hospital, especially pharmaceutical logistic, the proper management is needed to manage drug inventory and planning. The determination of safety stock, reorder point and order quantity should use the proper inventory model. This will serve inpatient and outpatient well.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atiek Soemiati
Abstrak :
ABSTRAK Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Streptokok hemolitik beta grup A (SH-A) adalah kuman patogen pada manusia menyebabkan radang tenggorok dan kulit dengan sequelae demam rematik. SH-A mempunyai protein M pada dinding selnya yang menyebabkan kuman tersebut tahan terhadap fagositosis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ampisilin subkadar hambat minimal (sub KHM) terhadap daya fagositosis makrofag. Kuman SH-A dicampur dengan ampisilin sub KHM (1/4 KHM dan 1/8 KHM) dengan makrofag dan diinkubasi selama 60 menit dan 120 menit. Penelitian ini menggunakan SH-A strain standar WHO (Ceko), dan ampisilin trihidrat diperoleh dari PT Kalbe Farma. Makrofag diambil dari peritoneal mencit strain CBR umur 4-8 minggu. Sebagai kontrol dilakukan terhadap kuman yang dibiakkan dalam kaldu Todd Hewitt yang mengandung ampisilin sub KHM tanpa dicampur makrofag. Hasil dan Kesimpulan: Terdapat penurunan populasi kuman pada perbenihan yang mengandung makrofag tanpa ampisilin setelah diinkubasi 120 menit karena penurunan pH pada media. Populasi kuman menurun setelah kuman dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit dibandingkan dengan kontrol. Prosentase fagositosis makrofag dan indeks fagositosis makrofag terhadap kuman yang dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit meningkat. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa secara in vitro daya fagositosis makrofag meningkat setelah dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit.
ABSTRACT Effect Of Ampicillin At Sub Mic On The Phagocytosis By Macrophage Of Streptococcus Hemolytic Beta Group AScope and Method of Study: Streptococcus beta-hemolyticus group A (SH-A) is pathogenic for man, the most usual causative agent for acute streptococcal upper respiratory tract and skin diseases with sequelae namely rheumatic fever. The bacterial cell wall contains protein M, a virulence factor, which is responsible for the resistance to phagocytic activity of macrophage. The aim of this research was study the phagocytosis of streptococci grown in subminimum inhibitory concentration (sub MIC) of ampicillin by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes. SH-A was obtained from Ceko Colaboratorium (standard strain of WHO), and ampicillin trihydrate was from Kalbe Farma. The mice were kindly supplied by Central Biomedical Research, Jakarta; age 4-8 weeks, were free from infections, and used as macrophage source. Findings and Conclusions: The number of bacteria in the medium containing macrophage after incubation for 60 minutes increase, but after 120 minutes decreases, probably due to the low pH medium. The population of bacteria decreases in the medium treated with sub MIC of ampicillin after incubation for 60 and 120 minutes. Percentage of relative effect of phagocytosis and phagocytosis index of macrophage seem to be increasing after incubation of the whole component for 60 and 120 minutes. SH-A treated with sub MIC of ampicillin underwent rapid ingestion by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes. The result showed that the hypothesis of the rapid ingestion of SH-A treated with sub MIC ampicilin by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes could be accepted.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaldy Rusli
Abstrak :
Antibiotik golongan sefalosporin menjadi salah satu solusi terhadap resistensi antibiotik, terutama golongan penisilin. Konversi sefalosprorin C (CPC) menjadi 7-aminocephalosporanic acid (7-ACA), yang merupakan inti aktif sefalosporin, dapat dilakukan menggunakan bantuan enzim D-amino acid oxidase (DAAO) yang dihasilkan oleh Trigonopsis variabilis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pemanfaatan sirup gula singkong sebagai sumber karbon alternatif, memperoleh kondisi optimum untuk produksi enzim DAAO menggunakan sirup gula singkong, serta karakterisasi enzim DAAO yang dihasilkan. Produksi DAAO dilakukan dengan fermentasi menggunakan kultur kocok yang diawali dengan skrining konsentrasi sirup gula singkong dan dilanjutkan dengan optimisasi, purifikasi dan karakterisasi enzim hasil purifikasi. Optimisasi dilakukan melalui skrining Plackett-Burman dan Response Surface Method. Karakterisasi pengaruh pH dan suhu, serta kinetika enzim dilakukan terhadap enzim DAAO yang telah dipurifikasi. Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa sirup gula singkong dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon alternatif. Hasil optimisasi proses fermentasi menggunakan kultur kocok diperoleh bahwa konsentrasi sirup gula singkong dan DL-alanin serta waktu fermentasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi DAAO dengan konsentrasi berturut-turut 12.3% dan 0.3% selama 56.1 jam akan menghasilkan enzim dengan aktivitas spesifik sebesar 195.3826 U/g. Enzim DAAO yang dihasilkan memiliki suhu dan pH optimum berturut-turut 4 - 10°C dan 8, serta nilai Vmax sebesar 0.007 µmol/menit dan KM sebesar 78 mM.
The antibiotic of cephalosprorin groups become one of the solution to the antibiotic resistance, especially penicillin groups. Conversion of Cephalosporin C into 7-aminocephalosporanic acid (7-ACA), which is an active core of the cephalosporin groups, can be performed using D-amino acid oxidase from Trigonopsis variabilis. The study was to aimed to analyze the usage of Cassava glucose syrups as an altenative carbon source; to obtain the optimum conditions in the production of DAAO using Cassava glucose syrup; and to obtain the characterization of the products. DAAO production was done by shaking culture fermentation which started with screening of cassava sugar syrup concentration and continued with optimization, purification and characterization of purified enzyme. Optimization is done by using Plackett-Burman screening and Response Surface Method. Characterization of the effect of pH and temperature, and also enzyme kinetics is done on purified DAAO. Optimization is done using Plackett-Burman screening and Response Surface Method. The characterization of the temperature, pH and kinetic parameters was carried out on the purified products. Based on this study, it is known that Cassava glucose syrup can be use as an alternative carbon source. The result of optimization using culture shake was found that the concentration of cassava glucose syrup and DL-alanine and also incubation periods were influencing factors with consecutive concentration was 12.3% and 0.3% for 56.1 hours, will produce enzyme with specific activity 195.3826 U / g.The products has an optimum temperature and pH was 4 - 10 ° C and 8, Vmax value was 0.007 µmol / min and a KM was 78 mM.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
T51979
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fathoni
Abstrak :
Albertisia papuana Becc termasuk tumbuhan tropis dari famili Menispermaceae. Tumbuhan ini dikenal berkhasiat obat, diantaranya sebagai antibiotik/antibakteri. Selain tumbuhan, mikroorganisme termasuk jamur endofit juga dapat menghasilkan antibiotik. Jamur endofit termasuk mikroorganisme yang hidup pada tumbuhan inangnya. Jamur endofit di alam jumlahnya melimpah (1,5 juta dibandingkan tumbuhan sekitar 300 ribuan). Jamur endofit dapat memproduksi metabolit bioaktif yang beragam. Di lain sisi, jamur endofit belum tereksplorasi secara maksimal. Penelitian ini dilakukan untuk menskrining dan mengisolasi senyawa bioaktif dari jamur endofit dari tumbuhan A. papuana sebagai antibiotik. Dari kegiatan penelitian didapatkan 15 isolat jamur endofit yaitu dari bagian batang 8 isolat dan daun 7 isolat. Dari skrining aktivitas antibakteri dengan metode TLC bioassay didapatkan informasi 2 isolat jamur endofit yang bersifat paling aktif yaitu DAP KRI-5 dan BAP KRI-8. Dari pemisahan dan pemurnian didapatkan 2 buah senyawa murni dari DAP KRI-5 yaitu F4.3, dan F2.3.9. Hasil dari elusidasi struktur menggunakan spektr. 1H dan 13C-NMR; UV-Vis; dan GC-MS menunjukkan F4.3 adalah C6H6O3 yaitu floroglusinol. Floroglusinol mempunyai aktivitas antibakteri melawan S. aureus sama kuatnya dengan klorampenikol dengan nilai MIC yaitu 64 𝜇g/mL, namun sampel F4.3 bersifat parsial sebagai antibakteri. Berdasarkan spektr. 1H dan 13C-NMR, 2D NMR dengan DEPT; HMBC; HMQC; dan 1H-1H COSY, spektr. UV-Vis dan IR, dan ToF ESI-MS menunjukkan F2.3.9 mempunyai rumus molekul C30H37NO6 yaitu sitokalasin D. ......Albertisia papuana Becc is tropical plants that belong to the family of Menispermaceae. It was known as medicine, such as an antibiotic/antibacteria. Besides plants, microorganisms including endophytic fungi also can produce antibiotics. Endophytic fungi live in their host plant. Endophytic fungi have abundant number in the world (1.5 million compared to approximately 300 thousands of plant). They can produce diversity of bioactive metabolites. The other hand, they have not been maximized exploration yet. This study was conducted for screening and isolating of bioactive compounds of endophytic fungi from A. papuana as antibiotics. This research activities obtained 15 isolates of the endophytic fungi. The isolates are from the stem and leaf, 8 and 7 isolates respectively. Screening of antibacterial activity with TLC bioassay obtained two isolates which have the most active as antibacterial, there are DAP KRI-5 and BAP KRI-8. Separation and purification obtained two pure compounds from KRI DAP-5, there are F4.3, and F2.3.9. The results of structure elucidation by spectr. 1H and13C-NMR, UV-Vis, and GC-MS showed F4.3 is C6H6O3, phloroglucinol. Phloroglucinol has antibacterial activity against S. aureus as well as chloramphenicol with MIC value are 64 𝜇g/mL, but F4.3 partially activity as antibacterial agent. Based on spectr. 1H and 13C-NMR, 2D NMR with DEPT; HMBC; HMQC; and 1H-1H COSY, spectr. UV-Vis and IR, and ToF ESI-MS showed F2.3.9 is C30H37NO6, cytochalasin D.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T35558
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Tilaqza
Abstrak :
ABSTRAK
Sekitar 50% peresepan antibiotik tidak rasional berdasarkan data dari WHO, dimana hal ini akan menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas, biaya pengobatan, efek samping dan resistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pola peresepan antibiotik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan peresepan antibiotik yang rasional di seluruh puskesmas kecamatan kota Depok. Rancangan penelitian yang digunakan adalah potong lintang. Sampel penelitian terdiri dari seluruh dokter, tenaga kefarmasian, resep antibiotik per oral dan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) periode Oktober – Desember 2012. Analisis data dilakukan dengan uji chi square dan analisis regresi logistik. Berdasarkan hasil analisis diketahui pola peresepan antibiotik yang paling banyak diresepkan berdasarkan jenis antibiotik adalah amoksisilin (73,5%) dan kotrimoksazol (17,4%), berdasarkan jenis penyakit adalah faringitis akut (40,2%) dan ISPA tidak spesifik (25,4%), berdasarkan jenis kelamin pasien adalah perempuan (54,4%), dan berdasarkan usia yakni antara 19-60 tahun (45,4%). Dari 392 resep diketahui 56,1% tidak memenuhi kriteria kerasionalan peresepan antibiotik yakni dalam hal pemilihan antibiotik (22,7%), durasi pemberian (72,3%), frekuensi pemberian (3,2%), durasi dan frekuensi pemberian (1,8%).Dokter yang pernah mengikuti pelatihan 2,014 kali lebih rasional dibandingkan dengan dokter yang tidak pernah mengikuti pelatihan. Dokter dengan masa kerja singkat (< 7 tahun) 3,952 kali lebih rasional dalam peresepan antibiotik dibandingkan dengan masa kerja lama (> 7 tahun). Penelitian ini juga menunjukkan peran tenaga kefarmasian dalam peresepan antibiotik rasional belum bisa dilakukan karena kendala keterbatasan tenaga. Oleh karena itu perlu dilakukan pelatihan kepada dokter dalam upaya meningkatkan peresepan antibiotik yang rasional secara periodik dan penambahan tenaga kefarmasian agar bisa melaksanakan peran dalam peresepan antibiotik rasional.
ABSTRACT
Approximately 50% of antibiotic prescribing is categorized as irrational according to the data from the WHO, which will cause an increase in morbidity, mortality, cost of medication, side effects, and resistance. The aim of this study was to evaluate antibiotic prescribing patterns and factors associated with rational antibiotic prescribing at public health care in Depok. Study design used a cross sectional method. The sample consisted of physicians, pharmacists, oral antibiotic prescriptions, and LPLPO from October to December 2012. Data were analyzed by chi-square test and logistic regression analysis. Based on the results of analysis, the most widely prescribed antibiotic pattern based on type of antibiotic were amoxicillin (73.5%) and cotrimoxazole (17.4%), based on the type of disease were acute pharyngitis (40.2%) and non-specific respiratory infection (25.4%), based on the patient's gender was female (54.4%), and based on the age was between 19-60 years (45.4%). About 56.1% of 392 prescriptions was found not to meet the criteria for rational antibiotic prescribing in the case of antibiotic selection (22.7%), duration of administration (72.3%), frequency of administration (3.2%), duration and frequency of administration (1.8%). Physicians who had attended training for rational drug use was 2,014 times more rational than physicians who had never attended training. Physicians with short working period (<7 years) was 3,952 times more rational in prescribing of antibiotics compared to physicians with a longer working period (> 7 years). This study also indicated that the role of pharmacist in rational antibiotic prescribing could not be implemented due to the lack of pharmacist staff. Therefore, periodically training is necessary for physicians in an effort to improve a rational antibiotic prescribing in public health care. Additional staff of pharmacist in order to carry out their role in rational antibiotic prescribing is also needed.
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T38415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arys Medta Pariwidjayanti
Abstrak :
Swamedikasi antibiotik dapat meningkatkan terjadinya resistensi antibiotik dan resiko penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan pasien terhadap bahaya penggunaan antibiotik tanpa resep. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemasangan banner terhadap pengetahuan pengunjung mengenai bahaya swamedikasi antibiotik. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen semu menggunakan rancangan separate sample pretest-posttest. Kuesioner yang telah tervalidasi digunakan untuk mengumpulkan data sosiodemografi, riwayat penggunaan antibiotik, pengetahuan pengunjung sebelum dan setelah 1 bulan pemasangan banner. Penelitian dilakukan pada bulan November 2012-Mei 2013 di 22 apotek kota Depok. Sampel penelitian merupakan responden yang berkunjung ke apotek tersebut dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling. Jumlah responden yang diperoleh saat pretest dan posttest sebanyak 133 orang dan 44 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pengunjung mempunyai tingkat pengetahuan yang sedang, baik pada saat pretest (nilai rata-rata 9,59) dan posttest (nilai rata-rata 10,09). Pemasangan banner antibiotik tidak memberikan berpengaruh terhadap pengetahuan pengunjung apotek (p>0,05). ......Self-medication with antibiotics can increase the antibiotic resistance and the risk of inappropriate use. This practice is happened because the lack of patient knowledge about the danger of antibiotic use without prescription. Education providing with banner setting in the pharmacies could be undertaken to increase the patient knowledge. The aim of this study was to analysis the influence of banner setting in the pharmacies toward visitor knowledge about the danger of sel-medication with antibitics. This study was quasi experiment with separate sample pretest-postest design. A validated questionnaire was used to obtain socio-demographic data, history of antibiotic use, visitor knowledge before and after 1 month banner setting. This study was conducted from November 2012 to february 2013 in 22 Depok pharmacies. The sample of this study was the respondent who visited to pharmacies and meet the inclusion and exclusion criteria. A consecutive sampling method was used in this study, which involved 133 respondents in the pre-test and 44 respondents in the post-test. The result showed that the majority of visitors had a moderate level of knowledge, both in pre-test (mean= 9.59) and post-test (mean = 10.09 ). The banner setting of antibiotics weren’t given the influence to pharmacy visitors knowledge (p<0.05).
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T34988
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Yasmin Iskandar
Abstrak :
Latar belakang. Berbagai studi sebelumnya menunjukkan bahwa insidens kolonisasi dan infeksi C.difficile semakin meningkat, terutama pada pasien rawat inap yang mendapat terapi antibiotika. Namun belum ada penelitian yang mendapatkan data kedua insidens tersebut di Indonesia, terutama di RSCM. Tujuan. Untuk mengetahui insidens kolonisasi dan infeksi C.difficile pasien rawat inap yang mendapat terapi antibiotika di RSCM. Metode. Dilakukan studi kohort prospektif berbasis surveilans pada 96 pasien rawat inap yang mendapat terapi antibiotika di RSCM pada periode penelitian. Dilakukan pemeriksaan feses dengan uji kromatografi cepat C.DIFF QUIK CHEK COMPLETETM pada awal dan akhir penelitian. Dilakukan follow-up selama 5-7 hari perawatan pada semua pasien. Insidens kolonisasi strain non-toksigenik adalah pasien yang memiliki hasil pemeriksaan fesesnya konversi GDH/Toksin -/- saat awal perawatan menjadi GDH/Toksin +/-. Insidens kolonisasi strain toksigenik adalah pasien yang memiliki konversi GDH/Toksin -/- saat awal perawatan menjadi GDH/Toksin +/+. Insidens infeksi adalah pasien yang memiliki konversi GDH/Toksin -/- saat awal perawatan menjadi GDH/Toksin +/+ yang disertai satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan infeksi C.difficile. Hasil. Dari 96 subjek penelitian, 13 subjek mengalami kolonisasi non-toksigenik; 8 subjek mengalami kolonisasi toksigenik; 9 subjek mengalami infeksi. Terdapat 11 subjek yang mengalami gejala klinis, namun hasil pemeriksaan fesesnya tidak ditemukan toksin yang positif (2 subjek hanya mengalami kolinisasi non-toksigenik dan 9 subjek tidak mengalami kolonisasi atau infeksi) sehingga dianggap bukan merupakan infeksi C.difficile. Kesimpulan. Insidens kolonisasi C.difficile adalah 22%, dimana kolonisasi strain non-toksigenik adalah 14% (IK95% 13-16) dan strain toksi. ...... Background. Previous studies showed that there have been a significant increasing of the incidence of C.difficile colonization and infection, particularly among hospital inpatients prescribed antibiotics. However, there is no such data available in Indonesia, mainly at Cipto Mangunkusumo Hospital. Objective. To determine the incidence of Clostridium difficile colonization and infection among hospital inpatients prescribed antibiotics at Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods. A surveillance-based prospective cohort study was conducted on 96 inpatients prescribed antibiotics at Cipto Mangunkusumo Hospital during the study period. All patient was followed-up for 5-7 days hospitalization. We obtained rectal swabs or stool samples on admission and day 5-7 of hospitalization and performed a rapid chromatography test C.DIFF QUIK CHEK COMPLETETM to determine colonization or infection. Incidence of non-toxigenic colonization was defined as a conversion of baseline result GDH/toxin -/- into GDH/toxin +/- as the second result. Incidence of toxigenic colonization was defined as as a conversion of baseline result GDH/toxin -/- into GDH/toxin +/+ as the second result. Incidence of infection was defined as a conversion of baseline result GDH/toxin -/- into GDH/toxin +/+ as the second result, accompanied by one or more C.difficile infection-associated clinical symptoms. Results. A total of 96 subjects were included in the study; 13, 8 and 9 had a non-toxigenic colonization, toxigenic colonization, and infection, respectively. 11 subjects with clinical symptoms could not be determined whether they had a C.difficile infection because of the “toxin-negative” findings from their stool examination (2 subjects had non-toxigenic colonization and 9 subjects had neither colonization nor infection). Conclusion. The incidence of C.difficile colonization was 22%, which 14% (95% CI 13-16) was the incidence of non-toxigenic colonization and 8% (95% CI 7-10) was the incidence of toxigenic colonization. The incidence of C.difficile infection was 9% (95% CI 8-11).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa Najwa Rokhmah
Abstrak :
Kejadian infeksi luka operasi menjadi salah satu jenis infeksi nosokomial yang sering banyak terjadi di beberapa negara. Belum maksimalnya penggunaan antibiotik profilaksis ditandai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan secara nasional maupun internasional mengakibatkan meningkatnya resiko kejadian infeksi luka operasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai dan mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan antibiotik profilaksis bedah terhadap kejadian infeksi luka operasi yang dievaluasi selama 23 hari di RS Marzoeki Mahdi Bogor. Penelitian menggunakan desain penelitian cross sectional. Pengambilan sampel secara total sampling dan retrospektif dengan menggunakan data sekunder (rekam medis). Sampel penelitian sebanyak 577 rekam medis pasien sejak Januari 2013-Desember 2013. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat 6 kejadian infeksi luka operasi (1,04%) dengan penggunaan antibiotik profilaksis tidak sesuai dengan Kepmenkes no 2046 tahun 2011. Tidak terdapat hubungan antara jenis dan waktu penggunaan antibiotik terhadap kejadian infeksi luka operasi serta tidak terdapat hubungan antara faktor resiko dengan kejadian infeksi luka operasi. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa kejadian infeksi luka operasi di RS Dr H Marzoeki Mahdi cukup rendah dibandingkan penelitian lain yang pernah dilakukan dan tidak terdapat pengaruh signifikan antibiotik profilaksis serta faktor resiko terhadap kejadian infeksi luka operasi. ......Surgical site infection is one of nosocomial infection that frequently happened in some countries. Unappropriate used of prophylactic antibiotic signed by the used of antibiotic not accordance with local or international guidelines and it caused surgical site infection increase. This study aim to assesed and evaluated factors that affect antibiotic prophylactic use to surgical site infection in Marzoeki Mahdi Hospital Bogor. The design of this study cross sectional with total sampling, and data collected retrospectively. Sample of this study are 577 patient from January 2013- December 2013. The result showed surgical site infection occur in 6 patients (1,04%), the used od prophylactic antibiotic is not appropriate Kepmenkes No 2046. There is no relationship between types and duration of prophylactic antibiotic to surgical site infection cases and also there is no relation between risk factors and surgical site infection cases. In this study we can conclude incidence of surgical site infection in Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital was low and there is no significant relation between prophylactic antibiotic used and risk factors with surgical site infection cases.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
T42543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>