Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 722 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Utami Andayani
Abstrak :
Sungai sejak bertahun-tahun Iamanya telah menjadi tempat penampungan berbagai bahan buangan, yang paling berbahaya adalah bahan buangan anorganik, karena umumnya berupa limbah yang tidak dapat membusuk dan sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Apabila limbah ini dapat masuk ke dalam perairan, maka akan terjadi peningkatan jumlah ion logam dalam air. Air yang mengandung ion-ion logam tersebut sangat berbahaya bagi tubuh manusia dan tidak dapat dimanfaatkan bagi peruntukan apapun, termasuk air rninum. Sayuran merupakan salah satu bahan pangan yang relatif murah dan dikonsumsi secara Iuas. Dari beragam jenis sayuran yang dijual di wilayah DKI Jakarta, di antaranya berasal dari bantaran sungai yang telah tercemar. Kangkung merupakan tanaman sayur yang cukup banyak diminati masyarakat yang berdomisili di Jakarta Pusat, karena memiliki rata-rata produksi yang tinggi dibandingkan dengan komoditi sayur lain seperti bayam dan sawi. Sempadan Sungai Ciliwung bagian hilir di Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang sering digunakan sebagai kawasan sungai untuk menanam kangkung dan daerah tersebut memiliki jumlah penduduk sangat padat. Permasalahan mengenai lingkungan semakin terasa seiring dengan dirubahnya kawasan hutan lindung menjadi kawasan permukiman dan persawahan atau penyedia pangan lainnya. Permasalahan akan menjadi lebih kompleks dengan terjadinya pencemaran air oleh limbah domestik maupun industri. Masalah dalam penelitian ini dirumuskan melalui pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana kandungan timbal dalam kangkung di sempadan Sungai Ciliwung; dan bagaimana faktor sosial ekonomi petani penggarap mempengaruhi pengelolaan sayur kangkung di sempadan Sungai Ciliwung. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kandungan timbal (Pb) pada daun kangkung yang ditanam di sempadan Sungai Ciliwung, sebagai dampak penggunaannya menjadi lahan pertanian dan faktor sosial ekonomi petani penggarap. Hasi1 penelitian diharapkan berguna bagi petani penggarap, pedagang, dan konsumen sayur untuk memperoleh informasi mengenai umur tanaman yang dapat dipanen dan jarak lokasi tanaman kangkung dari tepi sungai yang paling sedikit mengandung timbal. Selain itu, bagi Pemerintah Daerah DKI Jakarta, khususnya Suku Dinas Pertanian Jakarta Pusat, dapat menggunakan informasi ini untuk mengelola kawasan tersebut. Hipotesis dalam penelitian ini adalah kandungan timbal tertinggi dalam daun kangkung yang ditanam pada jarak terdekat dari sempadan sungai dan makin tua umur tanaman kangkung, makin tinggi kandungan timbal. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen dan survei deskriptif. Penelitian eksperimen dilakukan untuk mengetahui kandungan timbal dalam daun kangkung dan penelitian survei deskriptif untuk mengetahui kondisi sosial dan ekonomi petani penggarap tanaman kangkung. Penelitian dilakukan di lokasi pertanian kangkung di kawasan sempadan Sungai Ciliwung bagian hilir yang secara administratif termasuk Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dilaksanakan selama tiga bulan, dari bulan Mei sampai Juli 2001 yang meliputi survei pendahuluan selama satu bulan, kegiatan penanaman dan pengambilan contoh selama satu bulan, dan analisis di laboratorium selama satu bulan. Parameter yang diukur dalam penelitian eksperimen adalah kandungan timbal dalam daun kangkung. Tanaman kangkung yang dicabut untuk diukur kandungan timbal pada daun, adalah tanaman kangkung umur 7, 17 dan 25 had setelah tanam kemudian ditanam pada lokasi' berjarak 10 meter, 20 meter dan 30 meter dari tepi sungai. Sedangkan untuk pengambilan data sosial ekonomi dilakukan secara purposive dan berdasarkan kesediaan menjadi responden, sehingga hanya dilakukan pada lima (5) orang petani penggarap yang melakukan usahatani kangkung di sempadan sungai. Jenis data yang dikumpulkan ada dua jenis, yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan berpedoman pada suatu daftar pertanyaan (kuesioner) dan juga dilakukan pengamatan langsung (observasi) untuk melengkapi data primer. Analisis data yang digunakan adalah analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Setelah dilakukan analisis contoh di laboratorium, maka dilakukan uji statistik terhadap data yang diperoleh untuk mengukur perbedaan tingkat kandungan timbal yang berasal dari ketiga petak yang berbeda jarak lokasi dan umur tanaman dengan menggunakan ANOVA dari program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 10.00. Petani penggarap yang menjadi responden umumnya tidak mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta dan berasal dari sekitar Bogor. Umur rata-rata responden adalah 40 tahun, dengan kisaran antara 30 sampai 60 tahun dan memiliki tingkat pendidikan umumnya tamat Sekolah Dasar. Alasan responden melakukan usahanya di kawasan sempadan sungai, karena tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam dan tidak memiliki pekerjaan lain, yang sesuai. Sebagian responden tidak memiliki pekerjaan tambahan, namun ada juga yang mempunyai pekerjaan sambilan sebagai pedagang atau buruh. Responden lebih memilih menanam kangkung karena panen lebih sering berhasil dibandingkan dengan menanam jenis sayuran lain, selain itu panen juga relatif pendek, hanya 25 hari. Komoditi kangkung paling mudah terjual dan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat. Pendapatan yang diperoleh responden dari sekali panen, besarnya mencapai Rp 300.000,- sampai Rp 350.000,- dengan masa panen antara 25 sampai 27 hari. Kandungan timbal dalam daun kangkung berumur 7 hari tidak diperhitungkan, karena jumlahnya sangat kecil yaitu < 0,2 ppm. Untuk kandungan timbal dalam daun kangkung yang berumur 17 hari setelah tanam (2,33 ppm) dengan daun kangkung yang berumur 25 had, setelah tanam (2,58 ppm) pada jarak tanam 10 meter dari tepi sungai menunjukkan adanya perbedaan yang berarti. Namun, tidak demikian halnya untuk kangkung berumur 17 hari setelah tanam (1,5 ppm) dengan kangkung berumur 25 hari setelah tanam pada jarak tanam 20 meter dari tepi sungai (0,93 ppm) dimana tidak ditemukan perbedaan yang cukup signifikan. Untuk kadar Pb antara kangkung berumur 17 hari setelah tanam (0,93 ppm) dengan kangkung berumur 25 hari setelah tanam (1,55 ppm) pada jarak 30 meter dari tepi sungai juga ditemukan tidak adanya perbedaan. Berard dapat disimpulkan, hanya untuk jarak 10 meter dari sempadan sungai, makin tua umur tanaman kangkung makin tinggi kandungan timbalnya. Mengenai kadar Pb antara kangkung yang ditanam pada jarak 10 meter (2,33 ppm), 20meter (1,2 ppm) dan 30 meter (0,93 ppm) dari tepi sungai pada umur 17 hari setelah tanam terdapat adanya perbedaan. Demikian juga dengan kadar Pb pada umur 25 hari setelah tanam, untuk jarak 10 meter (2,58 ppm), 20 meter (0,93 ppm) dan 30 meter (1,55 ppm) ditemukan adanya perbedaan. Berarti dapat disimpulkan bahwa kandungan timbal tertinggi dimiliki oleh daun kangkung yang memiliki jarak terdekat dari sempadan sungai.
For years river has been the reservoir of various kinds of waste, the most dangerous ones being non-organic materials that generally comprise non-decomposable Matters that are not easily degraded by microorganism. If such waste is allowed to enter waterways, it will increase the level of lead ions in the water, Water containing lead ions is highly dangerous for human body and cannot be utilised for whatever purposes, including for drinking water. Vegetables are relatively inexpensive food stuff that are widely consumed. Some of the various types of vegetables popularly sold within the DKI Jakarta region, originate from polluted riversides. Kangkung (ipomoea reptans Poir) is a popular vegetable plant among the population of Central Jakarta as it has an average high production compared with other vegetable commodities such as local spinach (bayam) and mustard greens (saws). The downstream riverside areas of Ciliwung at the Kelurahan (town council) of Kebon Kacang, Kecamatan (sub-district administration) of Tanah Abang, are often used for kangkung farmland. This area is also densely populated. Environmental problems are increasingly felt along with the changing of conservation forest zones into residential areas and rice fields or other food supply areas. Problems will complicate further with the water pollution caused by domestic and industrial wastes. The problems covered in this research is defined into the following questions: How far is the impact of the lead content in kangkung planted by the riversides of Ciliwung; and how do the social-economic factors of the kangkung farm labours affect the production process of kangkung by the riversides of Ciliwung? The objectives of this research are to find out the lead (Pb) content in kangkung leafs planted by the riversides of Ciliwung, as the impact of the use of the area as farmland, and the social-economic factors of the farm labours. The finding of this research is expected to render benefits for vegetable working farmer, traders and consumers by providing information on the harvesting age of the plant and the ideal distance for kangkung plant from the riverside with the minimum lead content. Furthermore, the information gathered in this research may also be made use of by the Municipal Government of DKI Jakarta, especially the Agricultural Sub Bureau of the Central Jakarta in managing the riverside areas. The hypothesis of this research is that the highest lead content level is found in kangkung leafs planted at the closest distance from the riversides, and the older the age of the kangkung plant is, the higher is the lead content level. The methods used in this research were by experimental study and by descriptive survey. Experimental study was conducted to find out the lead content in kangkung leaf, whereas the descriptive survey was applied to find out the social-economic condition of kangkung farm labours. This research was performed at the location of kangkung farmland in the downstream area of Ciliwung riversides administratively belonging to the Kelurahan of Kebon Kacang, Kecamatan of Tanah Abang, Central Jakarta. The research lasted three months, from May up to July 2001, comprising one month preliminary survey, one month planting and sampling, and one month laboratory analysis. The measuring parameter used in this experimental research was the lead content level in kangkung leaf. Kangkung plant picked for the measuring of lead content in the leafs comprising those of 7, 17 and 25 days old after planting, that were planted at the location of 10, 20 and 30 meters distance from the riverside. The social-economic data collection was performed by purposive method and was based on the willingness of the respondents. As such, it was only taken from 5 farm labours who lived by planting kangkung by the riversides. There were two types of data collected, namely: primary data and secondary data. Primary data were collected through interviews using questionnaires as a guideline, and through direct observation in completing the primary data. Data analysis was made using qualitative and quantitative methods. After laboratory analysis was completed, statistic test was made on the obtained data in order to measure the different levels of lead content originating from three planting patches of different distances from the riverside, with different plant ages, using ANOVA method of version 10.00 of Statistical Product and Service Solutions (SPSS) program. Farm labours among the respondents generally did not have any DKI Jakarta citizen identity card, and most of them came from Bogor. The average age of the respondents were 40 years, ranging from 30 to 60 years old, having a general educational level of finishing elementary school. The reason of the respondents for farming by the riverside was that they did not have any land for farming and they did not have any other suitable work alternatives. Part of the respondents did not have any other additional work, however some did have sideline work as traders or labourers. The respondents preferred planting kangkung as the harvest was more often successful compared with other vegetable crops, and the harvest took relatively shorter period of only 25 days. Kangkung as commodity sells best and is consumed by all levels of people. The respondents' income from one harvesting amounted to Rp. 300,000,- up to Rp. 350,000,- with harvesting period ranging from 25 to 27 days. The lead content in kangkung leaf of 7 days old was not included in this research, since the level is relatively small being only <0.2 ppm. Significant difference was found in the lead content of kangkung leafs of 17 days old after planting (2.33 ppm) and those of 25 days old after planting (2.58 ppm), planted at a location of 10 meters from the riverside. However, there was no significant difference found in kangkung leafs of 17 days old after planting (1.5 ppm) and those of 25 days old after planting (0.93 ppm) planted on a location of 20 meters from the riverside. No difference was found in the Pb levels in kangkung leaf of 17 days old after planting (0.93 ppm) and in those of 25 days old after planting on a location of 30 meters from the riverside. Therefore, it may be concluded that with the planting location of only 10 meters from the riverside, the older the kangkung planting age is, the higher is the lead content level. There are differences in the Pb levels between kangkung being planted on a location of 10 meters from the riverside (2.33 ppm), and those planted on a location of 20 meters from the riverside (1.5 ppm), and those on a location of 30 meters from the riverside (0.93 ppm) of 17 days old from planting. Similarly with the Pb levels of the plant at the age of 25 days after planting for planting locations of 10 meters (2.58 ppm), 20 meters (0.93 ppm) and 30 meters (1.55 ppm) from the riverside. It may be concluded that the highest lead content level is found in kangkung leaf planted at a closest distance from the riverside.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T555
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Triwahyuni
Abstrak :
Evaluasi terhadap program pertanian berkelanjutan sudah dilakukan oleh beberapa lembaga yang melaksanakan program tersebut, tetapi evaluasi yang memberi perhatian khusus pada perubahan perilaku sasaran program belum dilakukan. Perubahan perilaku penting dikaji untuk melihat sampai sejauh mana intervensi program dikatakan berhasil. Metode analisa berpikir logis (logical framework analysis) dengan melihat input, output, effect dan impact digunakan dalam melakukan evaluasi untuk memperoleh gambaran proses perubahan perilaku secara mendalam. Hasil evaluasi kemudian dipetakan menggunakan prinsip dasar Homans dalam perubahan perilaku. Evaluasi bertujuan untuk mempelajari apakah program mencapai tujuan dan bagaimana program mencapai tujuan tersebut. Populasi yang dipelajari adalah petani yang berdomisili di desa Ringinlarik, kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Evaluasi menggunakan data kuantitatif sebagai data sekunder untuk memperoleh gambaran lokasi studi dan masyarakatnya. Selain itu juga menggunakan data kualitatif sebagai hasil wawancara yang dilakukan dengan informan. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa perubahan perilaku yang terjadi pada program Pertanian Berkelanjutan sampai tahap effect. Perubahan perilaku yang terjadi yaitu petani sudah bersedia menjadi kader, memilih menggunakan pupuk alami daripada pupuk kimia, menanam tanaman pupuk hijau dan membuat pupuk dari kotoran ayam sebagai alternatif pupuk alami, menanam dan mengembangkan benih lokal yaitu jagung lokal dan padi mentik wangi, dan memilih memakai pestisida alami. Lebih lanjut, tercapai kesesuaian antara rencana program dan hasil yang dicapai dalam dua tahun pelaksanaan program. Temuan lain memperlihatkan kekuatan dan kelemahan program. Usaha-usaha pemberdayaan, dan pendampingan yang dilakukan LSM Lesman serta didukung komitmen petani terhadap program menunjukkan kekuatan program. Kelemahan program yang diperoleh berdasarkan temuan lapangan seperti kurangnya pengelolaan dan pemasaran benih baru, desain pelatihan dengan materi yang sulit dipahami oleh petani, dan dampak program terhadap petani sekitar yang belum terlihat. Prinsip dasar Homans dalam social behavior yang tepat dalam penelitian ini adalah stimulus, action, reward, value dan expectation. Proposisi stimulus, sukses, value, dan agresi approval yang tepat menggambarkan perubahan perilaku petani. Lebih lanjut, berdasarkan temuan lapangan, pertimbangan rasional dalam memilih beberapa alternatif adalah yang paling utama, dimana biaya produksi merupakan faktor dominan yang dipertimbangkan petani untuk mengadopsi teknologi. Evaluasi dengan menggunakah analisa kerangka logis efektif memberikan gambaran proses perubahan dalam pelaksanaan program, khususnya dalam melihat perubahan perilaku. Beberapa aspek program yang perlu diperbaiki yaitu design pelatihan, merumuskan perbedaan peran antara PL dan kader (CO), perlu dibuat perencanaan dan langkah-langkah terhadap pengembangan benih baru, perlu dilakukan studi dampak program terhadap masyarakat sekitar. Selain itu, ada potensi petani di desa Ringinlarik untuk menjadi produsen pupuk kandang atau kompos dan pupuk hijau, dan memasarkan benih jagung lokal ke lokasi lain yang mayoritas masyarakatnya mengkonsumsi jagung serta memiliki kesamaan dalam hal kondisi alam (tanah, air).
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T9391
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gede Arsa Adi
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan penelitian thesis yang beriudul "Pembangunan Pertanian Dalam Menunjang Ketahanan Daerah - Studi Kasus : Usahatani di Kahupaten Daerah Tingkat II Timor Tengah Selatan" adalah untuk menentukan keterkaitan pembangunan pertanian dengan kondisi Ketahanan Nasional di daerah berdasarkan pendekatan Kesejahteraan dan Keamanan dari aspek Astagatra Penelitian dilakukan dengan penelitian lapangan, studi kepustakaan dan sumber informasi lainnya. Data dianalisis secara tabulasi dan deskriptif.

Keadaan dan kondisi pertanian yang umumnya ditangani oleh masyarakat pedesaan merupakan cermin kemakmuran. Sebagai hasil interaksi faktor lingkungan dan sosial budaya di Timor Tengah Selalan telah berkembang bermacam-macam pola usahatani, yang secara keseluruhan cenderung berpola usahatani campuran. Petani dominan menanam tanaman pangan seluas-luasnya terutama jagung dan ubi kayu serta beternak, terulama sapi dan babi. Luas lahan usahatani rata-rata 2,15 ha per keluarga tani dan kemampuan mengolah tanah rata-rata 1,25 ha per musim tanam.

Kecukupan pemenuhan konsumsi pangan menunjukkan bahwa ketahanan pangan para petani cukup memadai, yaitu jagung 306,106 kg setara beras per kapita per tahun dan ubi kayu 102 kg setara beras per kapita per tahun. Kecukupan pangan itu didukung oleh adanya tradisi diversifikasi dalam pola konsumsi pangan. Demikian pula kriteria kesejahteraan petani menurut Sajogyo (1976) menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani Timor Tengah Selatan tergolong dalam kategori cukup, yaitu Rp. 5.941.800 per tahun per keluarga tani atau setara dengan 990,3 kg beras per kapita per tahun.

Dengan demikian, kondisi sosial ekonomi petani memberikan andil dalam menunjang Ketahanan Nasional di daerah. Karena kuatnya perekonomian masyarakat desa yang bersumber dari pengelolaan usahatani dapat mendukung terbentuknya ketangguhan kondisi Ketahanan Daerah dan Ketahanan Nasional.
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius Sinu
Abstrak :
Indonesia yang pembangunannya berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dengan dimensi pembangunan kerakyatan dalam usaha mengelola dan memanfaatkan surmber daya alam dalam rangka pembangunan ekonomi nasional telah mampu menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi yang semakin stabil dan dinamis. Rakyat baik yang berdiam di kota-kota besar maupun yang berdiam di pelosok-pelosok pedesaan meletakkan tumpuan harapannya dari sukses program pembangunan perekonomian nasional tersebut.

Titik berat dari pembangunan perekonomian nasional selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I) adalah pada sektor pertanian, karena itu sukses pembangunan perekonomian nasional yang saya maksudkan di sini adalah di sektor pertanian. Pembangunan di sektor ini telah mampu membawa perekonomian nasional memasuki kondisi swasembada pangan, khususnya beras, sejak Pelita IV, tepatnya tahun 1984. Lebih dari itu kenyataan yang terus dialami masyarakat petani Indonesia dewasa ini adalah bahwa pelbagai bentuk inovasi teknologi pembangunan pertanian seperti: intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi tersebar luas ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk di dalamnya wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), propinsi yang sebagian wilayahnya berlahan kritis.
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wulandari Wijaya
Abstrak :
ABSTRAK
Proses pengolahan makanan ternak terdiri dari 5 bagian, yaitu bagian penerimaan, bagian penggilingan, bagian batching, bagian pelleting dan bagian bagging. Dari seluruh bagian yang terpenting adalah pada proses batching.Karena dengan mengendalikan proses penimbangan dan pencampuran berdasarkan waktu yang tepat akan dapat diperoleh komposisi yang tepat dan menghasilkan kualitas baik. Pengendalian dilakukan dengan mengotomasikan bagian ini dapat dilakukan dengan mengotomasikan bagian ini, sedang pada bagian lain masih dapat dilakukan secara manual.

Pada thesis ini bertujuan untuk membuat simulasi sistem otomasi proses pengolahan makanan ternak hanya pada bagian batching. Seluruh komponen batching bekerja berdasarkan ketepatan waktu dan berat yang diinginkan. Bahan campuran yang bervariasi dapat dipilih sebelum dilakukan baching. Pada simulasi hanya menggunakan satu buah mixer, dua buah bucket elevator, enam silo dan tiga bin, jika diinginkan untuk menggunakan silo/bin dapat ditambahkan tanpa merubah sistem. Sebagai komponen lain digunakan dua buah timbangan, satu untuk menimbang bahan baku dengan satuan ton dan lainnya untuk menimbang Vitamin dan premix dengan satuan kg.

Dari simulasi ini dapat dilihat proses pengangkutan bahan, proses pengisian silo/bin, kerja katup, proses penimbangan dan proses pengadukan.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Dwi Nugroho
Abstrak :
Apakah yang dimaksud dengan agribisnis dan kaitannya dengan pertanian, usahatani maupun agroindustri - Agribisnis merupakan serangkaian kegiatan yang lebih luas dibandingkan dengan pertanian, usahatani maupun agroindustri. Agribisnis dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem, dimana A. Soeharjo (1988 : 1) memberikan pengertian agribisnis sebagai cakupan kegiatan dari seluruh sekt pertanian (termasuk kegiatan usahatani) ditambah sebahagian dari kegiatan sektor industri (yang menghasilkan sarana produksi sebagai input pertanian) yang mengolah produk pertanian primer, dan juga kegiatan pemasaran disertai adanya lembaga penunjang. Luasnya cakupan kegiatan agribisnis, menyebabkan banyaknya permasalahan dalam mengembangkan agribisnis yang identik permasalahannya ada pada bidang pertanian. Sebab membicarakan agribisnis tidak terlepas dengan membicarakan pertanian dalam arti yang lebih luas. Adapun permasalahan tersebut diantaranya dalam penyediaan sarana produksi tidak dapat tepat waktu maupun jumlahnya, teknik dalam pengelolaan menghasilkan produksi primer masih kurang efisien, penanganan pasca panen, sistem tataniaga pemasaran hasil, dan juga fluktuasi harga yang masih banyak merugikan petani selama ini. Pertanian sendiri terbagi menjadi lima bidang yaitu Pertanian Rakyat, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan. Agribisnis didalamnya terdapat Pertanian dan didalam Pertanian sendiri diantaranya terdapat kegiatan sub-sektor perkebunan.
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elqadri
Abstrak :
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang perlu ditumbuh kembangkan dalam pelaksanaan pembangunan nasional, peningkatan kesejahteraan rakyat secara umum. Atas pertimbangan hal tersebut pengembangan sektor ini juga dilaksanakan di Kecamatan Pasaman. Dengan pengembangan sektor ini diharapkan dapat memberdayakan masyarakat yang mana pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pasaman. Pelaksanaan program pembangunan di sektor salah satunya adalah dengan pengembangan komoditi perkebunan. Pengembangan komoditi perkebunan telah banyak pola yang dikembangkan salah satu dari pola tersebut adalah pengembangan melalui Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun). Dimana dalam pelaksanaan program ini diharapkan terjadinya transfer teknologi perkebunan dari perusahaan pengelolaan kepada masyarakat yang berada di sekeliling lokasi dilaksanakan proyek. Pelaksanaan pembangunan perkebunan melalui pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun) tidaklah mutlak sesuai dengan konsep yang telah dirumuskan sebelumnya. Tidak sedikit masalah yang timbul akibat dibangunnya perkebunan dengan pola tersebut diantaranya tidak harmonisnya hubungan antara pelaku utama proyek Perkebunan dengan petani peserta PIR Bun yang disebabkan oleh latar belakang yang berbeda, penyelesaian pembebasan tanah yang tidak tuntas, penentuan petani plasma yang kurang tepat sasaran dan terjadinya jual beli atas lahan perkebunan oleh petani plasma. Dari berbagai permasalahan tersebut, maka penulis melaksanakan penelitian terhadap Pelaksanaan Program Perkenunan Inti Raktay (PIR Bun) di Kecamatan Pasaman Kabupaten Pasaman serta faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya peralihan hak atas lahan perkebunan oleh petani plasma. Melalui pendekatan kualitatif digambarkan secara lebih akurat tentang gejala atau situasi sosial melalui pengamatan dan wawancara. Beberapa informan yang dipilih adalah Ninik Mamak/datuk Ketua KUD, Petani Plasma, dan petani pekerja. Analisis dilakukan dengan menelaah data yang diperoleh dari berbagai sumber dan informan Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukan bahwa sebelum dilaksanakannya PIR Bun dilaksanakan langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah dan pihak perusahaan adalah penyedian lahan atau tanah untuk lokasi PIR Bun di Sumatera Barat, khususnya Kecamatan Pasaman. Kepemilikan lahan dikuasai oleh masyarakat hukum adat yang dikepalai oleh kepala suku (datuk) dimana tanah tersebut dikenal dengan tanah ulayat, tanah ulayat tersebut dapat dimanfaatkan oleh semua anggota kaum tersebut akan tetapi pengaturan berada pada seorang datuk. Tanah ulayat tersebut diserahkan kepada pihak perusahaan untuk diolah menjadi perkebunan kelapa sawit, ada yang berbentuk Inti dan ada yang berbentuk plasma. Pihak perusahaan berkewajiban untuk membeli semua hasil panen petani plasma dan membina petani sedangkan KUD memberikan pelayanan sarana dan prasarana produksi, pelayanan kebutuhan hidup petani, hingga pelayanan pembayaran hasil penjualan tanda bush segar dan menyembatani kepentingan para petani pemilik dengan pihak perusahaan, khususnya terkait dengan proses pencairan pinjaman dari Bank. Kebun inti diberikan dalam bentuk HGU kepada perusahaan untuk beberapa. tahun, sedangkan kebun plasma langsung menjadi hak milik petani dengan diterbitkannya sertifikat atas nama masing-masing anggota, mereka tidak boleh memperjual belikan kebun tersebut sebelum hutang mereka kepada Bank lunas. Akan tetapi ada sebagian dari petani yang menjual kepada pihak lain dengan berbagai faktor, yaitu persepsi tentang hak atas tanah, persepsi ekonomis terhadap PIR Bun, persepsi sosial terhadap Pir Bun, kesenjangan budaya antara perusahaan inti denga petani plasma serta kepemilikan tanah yang kumonal.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ronni Rens Mankin
Abstrak :
RINGKASAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pengetahuan dan informasi tentang hubungan dan pengaruh dari faktor-faktor pendidikan, pendapatan kotor petani dan rasio jumlah tanggungan petani dengan luas tanah garapannya terhadap terjadi dan meluasnya tanah kritis yang dalam hal ini diidentifikasi berupa padang alang-alang. Padang alang-alang diduga sebagai hasil pembukaan hutan yang merupakan salah satu hasil kegiatan yakni perladangan berpindah yang sampai sekarang masih banyak dilakukan didaerah pedesaan di luar pulau Jawa.

Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan para petani peladang dan pengamatan di lapangan pada sampel bekas tanah ladang yang pernah dikerjakan terakhir kalinya. Pengambilan sampel dilakukan terhadap semua bekas tanah ladang didaerah desa Tumbang Tahai dan daerah desa Marang Kecamatan Bukit Batu, Kotamadya Palangka Raya, Propinsi Kalimantan Tengah.

Dengan bertitik tolak pada pandangan bahwa padang alang-alang dapat dikategorikan sebagai tanah kritis yang ditinjau dari segi pertanian secara potensial tidak dapat menjalankan salah satu atau beberapa fungsinya yakni unsur produksi pertanian, media pengaturan tata air dan media perlindungan alam lingkungan, maka ditarik hipotesis pertama bahwa di kedua daerah desa itu terdapat hubungan dan pengaruh faktor pendidikan, pendapatan kotor petani, dan rasio jumlah tanggungan petani dengan luas tanah garapannya terhadap terjadinya dan meluasnya tanah kritis, dan hipotesis kedua adalah bahwa pengaruh faktor pendidikan yang rendah dari para petani merupakan faktor yang terbesar pengaruhnya.

Hasil analisis data penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga faktor yang diduga tersebut secara bersama-sama berpengaruh, tetapi secara sendiri-sendiri justru faktor pendidikan tidak cukup kuat menunjukkan adanya pengaruh yang berarti. Ternyata pengaruh yang paling besar adalah dari faktor pendapatan kotor petani. Kemudian dari hasil perbandingan terhadap kedua daerah desa tersebut,ternyata pengaruh letak geografis daerahnya, adanya kesempatan kerja di luar sektor pertanian,dan banyaknya jumlah tanggungan petani serta luas tanah garapannya, mempengaruhi pula terhadap besarnya pengaruh faktor faktor tersebut.

Langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk mencegah atau paling tidak mengurangi terjadinya tanah kritis antara lain adalah (1) memberikan bimbingan dan penyuluhan lebih intensif bagi para petani peladang, khususnya di daerah terpencil dan terisolasi, (2) memberikan perhatian khusus terhadap daerah-daerah yang memiliki tanah kritis dan potensial menjadi lebih luas dengan cara melakukan perbaikan dan perluasan prasarana dan sarana kehidupan, dan (3) mengusahakan terciptanya lapangan kerja di luar sektor pertanian lebih luas.

Penelitian lebih lanjut yang perlu dilakukan adalah meneliti lagi faktor-faktor yang diduga berpengaruh dengan memasukkan pula faktor lain dan menerapkannya pada daerah yang lebih luas dan berbeda.

1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Jauhari
Abstrak :
Salah satu masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah jumlah penduduk miskin yang cukup besar, yaitu mencapai 36,1 juta jiwa pada tahun 2004. Penduduk miskin dan kelaparan sering merusak Iingkungan hidup sekitar mereka untuk mempertahankan hidup, mereka menebang potion di hutan, mencari pakan ternak di wilayah terlarang, memakai tanah marjinal; dan dalam jumlah yang terus bertambah mereka memenuhi pusat perkotaan. Untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kerusakan Iingkungan perlu dilakukan pembinaan dan pemberdayaan terhadap penduduk miskin sehingga mereka dapat memperoleh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Pembinaan dan pemberdayaan perlu dilakukan terhadap penduduk miskin di pedesaan karena sebagian besar penduduk miskin berada di pedesaan. Sebagian besar penduduk miskin di pedesaan adalah petani gurem dengan kepemilikan iahan kurang dari 0,5 hektar per rumah tangga petani (RTP). Jumlah petani gurem pada tahun 1993 adalah sebanyak 10,8 juta dan meningkat menjadi 13,7 juta pada tahun 2003. Pembinaan dan pemberdayaan penduduk miskin di pedesaan perlu dilakukan melalui pengembangan sektor pertanian yang terbukti menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan komoditas pangan. Di antara komoditas pertanian yang dapat berperan dalam diversifikasi pangan dan dapat dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan petani adalah komoditas jagung. Pengembangan budidaya tanaman jagung memiliki prospek ekonomis, yaitu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan berpeluang untuk diekspor ke luar negeri. Namun, pengembangan budidaya tanaman jagung secara intensif dan secara monokultur di Iingkungan alam Indonesia yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis akan berakibat pada terjadinya degradasi Iingkungan, terganggunya keseimbangan ekosistem dan tidak berkelanjutan. Untuk mengatasi dampak yang merugikan terhadap lingkungan tersebut, perlu dilakukan pembinaan dan pemberdayaan terhadap petani agar mereka dapat melaksanakan dan mengembangkan sistem pertanian terpadu dan berkelanjutan, yang dapat menjaga kesuburan sumberdaya lahan pertanian secara berkelanjutan, menjaga keseimbangan ekosistem, tidak menremari lingkungan dan dapat meningkatkan produktivitas serta memberikan keuntungan kepada petani. Sistem pertanian berkelanjutan akan dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia dan peslisida kimia, sedangkan Iimbah pertanian yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak ruminansia. Pembinaan dan pemberdayaan petani dalam pengembangan sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan melalui kemitraan agribisnis. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan model sistem pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Selain itu juga untuk mendapatkan model kemitraan agribisnis yang dapat membina petani dalam pengembangan pertanian berkelanjutan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan penjelasan deskriptif-eksploratori untuk memperoleh gambaran petani dalam hubungannya dengan pengembangan pertanian berkelanjutan. Sumber data primer diperoleh dari petani responden (33 petani) Desa Mojo, Kec. Andong, Kab. Boyolali serial lembaga Pembina petani, yaitu: PT. Dharma Niaga (Kemitraan Usaha Bersama) dan CV. Dus International Trading (Program Pembangunan Kemandirian Ekonomi Rakyat Melalui Pertanian Organik Terpadu). Berdasarkan hasil penelitian diajukan perlunya pengembangan sistem pertanian polikultur yang sesuai dengan dengan tipologi lingkungan Indonesia berbentuk hutan hujan tropis, berbeaya rendah dan sedikit masukan sumberdaya dari luar ekosistem pertanian. Selain itu, perk] dikembangkan kemitraan agribisnis yang tidak hanya dapat meningkatkan penghasilan petani tetapi juga dapat meningkatkan kemampuan petani dalam perbaikan kualitas ekosistem pertanian.
A problem faced by Indonesia is the fairly large number of poor people, with totaled 36.1 million in 2004. The poor and hungry often destroy the environment where they live just to survive; they cut down trees in forests, they look for cattle feed in restricted areas, they use marginal lands, and in increasing number they crowd city centers. In order to deal with problems of poverty and damaged environment, upgrading and empowering disadvantaged people should be initiated to help them make money to meet their own needs. The upgrade and empowerment programs should be aimed at poor people in villages because the fact shows that most of those living below poverty line are rural areas. Many of them are small farmers with land ownership of less than 0.5 hectare per household. The number of small farmers increased from 10.8 million in 1993 to 13.7 million in 2003. Upgrading and empowering poor villagers should be done by promoting the agriculture sector which has shown to have employed many workers and provided food products. One of the agricultural commodities that are significant in food diversification and can be developed to increase farmers income is maize. Cultivating maize has economic potential because the crops can supply domestic demands and foreign export. However, intensive and monoculture maize plantation in Indonesia with its tropical rain forest ecosystem could lead to environmental degradation and ecosystem imbalance, and would not be sustainable. In order to eliminate the damaging effects to the environment, it is necessary to upgrade and empower farmers to enable them to carry out and develop an integrated and sustainable agricultural system capable of keeping farmlands sustainably fertile, the ecosystem in balance and the environment dean and intact, as well as improving productivity and giving benefits to farmers. A sustainable agricultural system can minimize the use of chemical fertilizers and pesticides, and the produced wastes can be used as forage for ruminants. Farmers upgrading and empowering programs for developing a sustainable agricultural system is possible through an agribusiness partnership. The reseach aimed to gather a model of the sustainable and environmental friendly agriculture system. The reseach to gather too a model of the agriculture partnership will be can to empowering farmers in the promotion of sustainable agriculture. The reseach methode is survey methode with the exploratory-description to gather the farmers Image in promotion of sustainable agriculture. The primer resource from farmers in Desa Mojo, Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali and the empowering farmers institute (PT. Dharma Niaga and CV. Dus International Trading). Based on the reseach above, it's suggested the promotion of policuiture agriculture system that in agreement with the environmental tipology of Indonesia is tropical rain forest, in low cost and low external input sustainable agriculture. It's. suggested too the promotion of the agribusiness partnership that just not can giving benefits to farmers but can also empowering farmers to increasing quality of the agriculture ecosystem.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17609
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendro Putra J
Abstrak :
ABSTRAK
Sektor pertanian mengonsumsi 70% air Indonesia, terutama dari komoditas padi. Pertanian organik dapat menjadi alternatif efisiensi air. Riset ini bertujuan untuk melakukan kajian jejak air komoditas padi organik yang meliputi perhitungan jejak air (operasional dan rantai pasok), valuasi ekonomi, analisis keberlanjutan multidimensi, hingga perumusan strategi dengan analisis SWOT. Berdasarkan perhitungan jejak air, pertanian padi organik dapat menghemat 52,8% jejak air karena eliminasi jejak air abu-abu dari bahan kimia berbahaya. Sementara itu, status keberlanjutan tergolong sangat berkelanjutan untuk dimensi lingkungan, cukup berkelanjutan untuk dimensi sosial, namun dimensi sosial dinilai kurang berkelanjutan karena tidak tersedianya pasar bagi komoditas padi organik. Harga jual yang lebih tinggi dan biaya produksi yang relatif rendah menyebabkan valuasi ekonomi pertanian padi organik lebih tinggi dibandingkan pertanian padi konvensional, sehingga harga padi organik dapat ditekan. Rumah Mikroorganisme Lokal sebagai konsep pemberdayaan komunitas sosial menjadi strategi berbasis turn around yang ditawarkan untuk mengoptimalkan pertanian organik dalam perwujudan pertanian berkelanjutan.
ABSTRACT
Agricultural sector takes up to 70% to Indonesia water consumption, with rice as the highest. Organic farming comes up as an alternative for water efficiency. This research aims to assess water footprint of organic rice commodity, covering water footprint calculation (operational and supply chain), economic valuation, multidimensional sustainability analysis, and strategy conceptualization through SWOT analysis. According to water footprint calculation, organic rice farming saves 52.8% of water footprint due to elimination of gray water footprint as water polluted due to dangerous chemical used. Meanwhile, sustainability status is categorized as very sustainable for environment, fairly sustainable for social, meanwhile the economic is still less sustainable due to the limitation in market availability of organic rice. The higher selling price and lower production cost make the economic valuation of organic rice farming higher than the conventional. Therefore, the organic rice selling price should be lowered. Rumah Mikroorganisme Lokal as a concept of social community engagement is developed as turn around based strategy to optimize organic farming in achieving sustainable agriculture.
2019
T53732
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>