Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lamech A.P., compiler
"ABSTRAK
Kemajemukan hukum atau pluralisme hukum merupakan salab satu tema penting dalam nuansa kajian antropologi hukum (Rouland, 1992:2-4). Pluralisme hukum seperti dijelaskan oleh Hooker (1975:2-4) berkembang antara lain melalui pemerintahan kolonial dan berdirinya negara-negara baru. Di Indonesia misalnya, proses terjadinya pluralisme hukum berawal dari penerapan hukum oleh penjajah terutama pada masa kolonial Belanda ketika penduduk Indonesia (jajahan) digolongkan menjadi tiga golongan dimana masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan, yaitu golongan Eropa, Timur Asing, dan golongan Bumiputera (lihat: Arief, 1986:10-14; Ter Haar, 1980:21-25). Semenjak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945, sistem hukum nasional diwarnai oleh koeksistensi hukum formal dari negara dan hukum adat dari kelompok-kelompok etnis di Indonesia. Dalam hal ini, corak pluralisme hukum di Indoensia diwarnai oleh hukum formal yang sebagian merupakan peninggalan hukum kolonial dan produk hukum baru pemerintah Indonesia di satu pihak dan di lain pihak adalah hukum adat dari masing-masing kelompok etnis yang diakui keberadaannya oleh negara.
Eksistensi dan penerapan hukum yang berbeda-beda dalam kenyataan hidup bermasyarakat menimbulkan pandangan yang berbeda mengenai hukum mana yang menjadi pilihan utama untuk diterapkan. Salah satu aliran pendapat menyatakan bahwa bagaimanapun juga, dalam situasi pluralisme hukum, pada akhirnya yang menentukan adalah hukum dari negara. Pendapat yang dikenal dengan sebutan legal centralism ini ditentang oleh Griffiths (1986:4) yang menyatakan bahwa pada kenyataannya hukum negara itu tidak sepenuhnya berlaku. Dalam masyarakat dapat dikenai lebih dari satu tatanan hukum. Di Indonesia kritik dari Griffiths ini didukung oleh kenyataan bahwa terdapat kasus-kasus dimana hukum nasional belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Alfian (1981:148), misalnya, menunjukkan peranan yang kurang berarti dari hukum nasional dalam kehidupan sehari-hari anggota masyarakat Aceh. Tingkah laku mereka banyak dipengaruhi oleh norma-norma atau nilai-nilai agama dan adat daripada peraturan-peraturan hukum yang seyogyanya harus berlaku. Pada sisi lainnya, terutama dalam kaitannya dengan proses penyelesaian sengketa, terdapat juga situasi dimana lembaga hukum formal untuk menyelesaikan konflik atau sengketa tidak mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan yang jauh terpencil. Contoh dari situasi seperti ini dijumpai pada orang Tabbeyan, sebuah desa di Kabupaten Jayapura (Irian Jaya), dimana terjadi konflik baik antar warga masyarakat itu sendiri maupun antara warga desa itu dengan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) yang konsesi hutan di daerah tersebut, namun tidak mudah memperoleh akses untuk menggunakan lembaga peradilan formal untuk menyelesaikannya (Tjitradjaja, 1993).
Keberadaan yang sesungguhnya dari sistem-sistem hukum dalam situasi pluralisme hukum dapat dilihat dalam pola pilihan yang dibuat terhadap sistem-sistem hukum tersebut dan hagaimana sistem-sistem hukum yang berbeda itu secara efektif dapat dipakai untuk menyelesaikan setiap masalah hukum yang timbul dalam masyarakat yang bersangkutan, terutama dalam penyelesaian sengketa yang timbul (Hooker, 1975). Secara teoritis semua sistem hukum mendapat peluang yang sama untuk dipilih sebagai sistem yang diandalkan dalam menghadapi setiap peristiwa hukum. Namun demikian pada kenyataannya pilihan-pilihan hukum mana yang dipakai bergantung pada strategi pembangunan hukum negara yang bersangkutan dan situasi-situasi nyata yang mengarahkan pilihan atas suatu sistem hukum. Dalam kaitan inilah proses penyelesaian sengketa pada suatu situasi pluralisme hukum dapat dipakai sehagai suatu pendekatan dalam menganalisa keberadaan dan keefektifan dari sistem hukum yang ada dalam memecahkan permasalahan hukum yang dihadapi oleh warga masyarakat."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Australia: The Law Reform Commission pf Western Australia, 1992
340 DIS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Kusumastito
"Perjanjian utang-piutang atau loan agreement adalah suatu perjanjian perdata antara suatu subjek hukum dengan subjek hukum lain di mana satu pihak meminjam uang kepada pihak yang lain dan pihak yang lain akan mendapat timbal-balik berupa bunga atau hal lain yang telah diperjanjikan sebelumnya. Pengaturan terhadap perjanjian utang-piutang menurut hukum Indonesia terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seperti lahirnya dan hapusnya. Para pihak dalam perjanjian utang-piutang dapat berbeda status personalnya, sehingga menimbulkan masalah HPI. Ketika terjadi wanprestasi, kemudian juga akan timbul permasalahan forum mana yang berwenang untuk mengadili dan hukum apa yang akan berlaku untuk mengadili perkara tersebut. Skripsi ini akan membahas mengenai perkara-perkara wanprestasi yang berasal dari perjanjian utang-piutang yang tidak berjalan sebagaimana seperti yang diperjanjikan antara para pihak yang berbeda status personalnya. Kemudian salah satu pihak menggugat pihak lainnya di Pengadilan Indonesia.

A Loan agreement is an agreement between two or more legally competent individuals or entities on borrowing a sum of money by one person, company, government, and other organization from another. The lender will get another sum of money or other certain profit paid as compensation for the loan. Loan agreement in Indonesia is regulated in Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Civil Code). It regulates how the agreement begins and when it completes. The parties of a loan agreement can come from different countries. This will create international private law issue. When a loan agreement is not enforced as it has been agreed, breach of contract occurs. Some questions will appear like which court has the competence to adjudicate the case and which law should govern the case. This thesis will explain about a breach of contract cases related to a loan agreement where the parties come from different countries, then one of the parties conducted a lawsuit againts the other in Indonesian court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S23
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wanda Hamidah
"Analisis yang dilakukan dalam penulisan ini adalah sengketa tanah di Raya Belawan-Medan, Km 7,9 antara Drs.AFN melawan Depkominfo RI. Analisis ini mengkaji putusan No.239/PDT/G/1997IPN.Medan yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 18 Mei 1999 berkaitan dengan gugatan DRS.AFN mengenai permohonan pembatalan Sertifikat Hak Pakai No.l Tahun 1995 atas nama Depkominfo terhadap tanah yang menjadi objek sengketa.
Untuk dapat menjelaskan aspek hukum yang digunakan oleh peneliti dalam mengkaji putusan tersebut, maka peneliti menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Sumber yang menjadi bahan penelitian adalah data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sengketa tanah tersebut.
Analisis putusan tersebut memperlihatkan ada tiga permasalahan yang terungkap yakni pembatalan SK.Mendagri No.47/HM/DA/1988 tentang permohonan hak milik atas tanah yang menjadi obyek sengketa atas nama Drs.AFN, kemudian penerbitan Sertifikat Hak Pakai No.1 Tahun 1995 atas nama Depkominfo dan kewenangan kompetensi pengadilan negeri itu sendiri.
Hasil analisis berkenaan dengan pembatalan SK. Mendagri oleh Kepala BPN memperlihatkan bahwa pengakuan hukum yang diberikan oleh Undang-undang Nasional ternyata tidak menjamin penghargaan seutuhnya terhadap hak kelompok masyarakat adat. Indikasi ini terlihat pada proses pembatalan SK.Mendagri oleh Kepala BPN tersebut yang tidak mengindahkan bukti kepemilikan Drs.AFN yakni Grant Sultan No.95 Tahun 1900 yang diakui keberadaannya berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang ketentuan Pokok Agraria.
Analisis terhadap permasalahan penerbitan Sertifikat Hak Pakai No.l Tahun 1995 ternyata juga menyalahi ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah serta Permendagri No.5 Tahun 1975 tentang ketentuan Pemberian Hak Atas Tanah. Kewenangan pengadilan negeri juga menjadi permasalahan yang muncul dalam analisis ini karena putusan yang dikeluarkan oleh hakim pengadilan negeri berkenaan dengan status hukum Sertifikat Hak Pakai No.l Tahun 1995 telah menyalahi kompetensinya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16431
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jannus Rumbino
"Kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Gejala ini merupakan konsekuensi logis dari pesatnya peningkatan kebutuhan akan lahan dalam pembangunan. Irian Jaya ternyata tidak bebas pula dari kasus-kasus sengketa tanah dan justru menarik karena banyak terjadi di antara penduduk asli Irian Jaya sendiri. Contoh kasus sengketa tanah yang dibahas ini mengenai dua desa dari penduduk asli Irian Jaya yang hidup di pinggiran kota. Oleh karena itu tulisan ini membahas tentang proses penyelesaian sengketa tanah pada penduduk asli pinggiran kota di Irian Jaya dalam konteks kemajemukan hukum.
Manfaat dari tulisan ini adalah mengungkapkan proses penyelesaian sengketa tanah yang tidak hanya dilakukan dengan cara-cara adat yang sudah lazim dikenal dalam masyarakat yang bersangkutan tetapi juga digunakan cara-cara yang datang dari luar masyarakatnya sebagai akibat dari pengaruh yang datang dari kota. Selain itu tulisan ini diharapkan dapat menambah informasi tentang pola penguasaan dan pemilikan tanah adat di Irian Jaya. Fokus tentang proses penyelesaian sengketa tersebut dianalisis dengan menggunakan konsep kemajemukan hukum yang kuat dan kemajemukan hukum yang lemah menurut Griffiths.
Sasaran penelitian ini adalah penduduk desa Ayapo dan penduduk desa Yoka di Kecamatan Sentani Kabupaten Jayapura Propinsi Irian Jaya. Penduduk desa Ayapo dan penduduk desa Yoka termasuk penduduk pinggiran kota. Sebagai penduduk pinggiran kota, sudah tentu tidak terhindar dari pengaruh-pengaruh yang datang dari kota, yang membawa perubahan pula pada proses penyelesaian sengketa tanah.
Penelitian yang sifatnya kualitatif ini dilakukan di desa-desa tersebut di atas dengan menggunakan metode perluasan kasus (the extended case method), artinya unsur-unsur lain di luar sengketa tanah dan proses penyelesaiannya seperti letak dan keadaan geografis, asal usul dan perkembangan penduduk, mata pencaharian, pemukiman, kepemimpinan, pola penguasaan tanah, dan dampak pengaruh luar terhadap penguasaan tanah menjadi perhatian pula dari penulis sebagai peneliti. Sedangkan teknik-teknik pengumpulan data ditekankan pengamatan terlibat, wawancara mendalam dengan beberapa informan kunci; dan wawancara sambil lalu dengan penduduk desa pada umumnya.
Sengketa tanah dan proses penyelesaiannya merupakan inti dari tulisan ini. Berkaitan dengan itu dikemukakan alasan/dasar tuntutan dari pihak-pihak yang bersengketa mengenai tanah yang disengketakan sedangkan dalam proses penyelesaian sengketanya, pihak-pihak yang bersengketa menggunakan cara-cara adat yaitu negosiasi/musyawarah, mediasi, rasa kekeluargaan. Pihak-pihak yang bersengketa menggunakan pula prosedur peradilan formal untuk mengesahkan kesepakatan-kesepakatan yang telah diputuskan di lingkungan adat. Peradilan formal (Pengadilan Negeri Jayapura, dan Pengadilan Tinggi Irian Jaya) secara silih berganti telah memenangkan pihak-pihak yang bersengketa. Tetapi ketika sengketa tanah antara pihak yang bersengketa dinaikkan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) di Jakarta, seluruh keputusan yang sebelumnya telah memenangkan pihak-pihak yang bersengketa dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi. Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan akan mengadili sendiri sengketa/perkara itu dan sebagai hasilnya dikeluarkanlah keputusan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menyatakan bahwa tidak ada pihak yang menang dan kalah dalam sengketa tersebut. Pihak-pihak yang bersengketa lebih baik menyelesaikan saja sengketa itu dengan cara-cara adat yang dilandasi dengan rasa kekeluargaan. Pihak-pihak yang bersengketa dapat melaksanakan keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan akhirnya berdamai juga pihak-pihak yang bersengketa.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari inti tulisan ini ialah dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara adat maupun cara-cara yang berlaku resmi di tingkat peradilan pemerintah. Klimaksnya pemerintah dalam hal ini Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak memenangkan salah satu pihak yang bersengketa, hanya dianjurkan agar sengketa/perkara itu diselesaikan secara musyawarah dan mufakat saja secara adat. Buktinya sengketa itu diselesaikan juga secara adat dan akhirnya berdamai juga pihak-pihak yang bersengketa. Tindakan Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak memutuskan salah satu pihak yang bersengketa sebagai pemenang dan mengembalikan sengketa/perkara itu untuk diselesaikan secara adat saja agar tidak merusak hubungan-hubungan sosial para pihak bersengketa yang telah lama terjalin secara turun temurun yang diistilahkan oleh Nader dan Todd sebagai hubungan multipleks."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Tri Wahyuni
"Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dikenal dengan KUHAP menentukan bahwa upaya hukum Peninjauan Kembali dapat diajukan atas dasar ditemukannya keadaan baru (novum), pertentangan putusan pengadilan dan kekhilafan atau kekeliruan hakim. Permohonan Peninjauan Kembali sebagian besar diajukan atas dasar novum, bahkan timbul opini publik yang mempersepsikan novum sebagai syarat Peninjauan Kembali. Kualifikasi novum yang menjadi dasar Peninjauan Kembali belum diatur secara jelas di dalam KUHAP. Hal tersebut menimbulkan interpretasi tentang kualifikasi novum yang beragam di dalam masyarakat.
Kualifikasi novum yang belum dipertegas merupakan penyebab terjadinya penumpukan perkara Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP dinilai belum cukup memuaskan untuk menjawab persepsi publik mengenai batasan novum. Dasar yang dapat digunakan dalam menilai novum adalah penafsiran para Hakim Mahkamah Agung yang tercantum di dalam putusan-putusan Peninjauan Kembali. Hakim Mahkamah Agung bebas memutuskan untuk menerima novum yang diajukan sebagai dasar Peninjauan Kembali atau tidak.
Penjelasan atas novum sebagai dasar Peninjauan Kembali diperlukan untuk menjawab ketidaktegasan perihal keterangan waktu serta kualitas novum sebagai dasar Peninjauan Kembali, agar tercipta kepastian hukum dan penumpukan perkara di Mahkamah Agung berkurang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualifikasi novum sebagai dasar pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali yang sebagian besar didasarkan atas pendapat dan pemikiran para ahli maupun praktisi hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22425
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Arfarina Nur Sitinikri
"Kasasi merupakan salah satu upaya hukum dalam perkara TUN. Pada dasarnya semua perkara TUN dapat diajukan kasasi. Akan tetapi sejak berlakunya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA, maka tidak semua perkara TUN dapat diajukan kasasi. Pembatasan kasasi yang diatur dalam Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 adalah pembatasan pengajuan kasasi terhadap perkara TUN yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Dalam ketentuan tersebut tidak termasuk keputusan pejabat TUN yang berasal dari kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pembatasan tersebut dilakukan melalui penetapan Ketua PTUN dan permohonan kasasi tersebut tidak dikirimkan ke MA. Ketentuan Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tersebut dalam prakteknya masih menjadi perdebatan. Oleh karenanya di beberapa kasus masih terjadi perbedaan penerapan pasal tersebut, seperti dalam kasus gugatan atas Surat Perintah Bongkar Walikota Jakarta Timur dengan kasus CV Sungai Bendera Jaya.
Melalui metode penelitian hukum normatif, skripsi ini akan mencoba menjawab permasalahan mengenai pembatasan terhadap perkara TUN yang dikecualikan untuk diajukan kasasi, serta prosedur penolakan terhadap perkara tersebut. Dengan adanya pembatasan perkara tersebut diharapkan dapat mengurangi penumpukan perkara di MA serta meningkatkan kualitas putusan PTUN dan PTTUN."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S22382
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Herlina
"Setiap pendirian perusahaan, modal sangatlah diperlukan. Modal tersebut terdiri dari modal dasar dan modal yang ditempatkan/disetor. Modal itu sendiri dapat diperoleh dari investor atau pemegang saham. Bagi perusahaan, penambahan modal untuk pengembangan usaha dapat melalui pinjaman bank ataupun mekanisme pasar modal. Dalam penulisan ini mengkhususkan Perusahaan Terbuka dimana perolehan modalnya melalui mekanisme Pasar Modal. Perusahaan Terbuka dalam pencarian modal dapat melakukan aksi korporasi berupa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) dan Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (Tanpa HMETD). Maka penulisan ini diperlukan untuk menganalisa aksi korporasi yang digunakan pemegang saham mayoritas yang bersifat positif atau negatif kepada pemegang saham minoritas sehingga timbulnya perlindungan hukum. Metode penelitian dalam penulisan ini yuridis normatif yaitu penelitian dengan cara menelusuri dan menganalisis bahan pustaka dan dokumen yang berhubungan dengan subtansi penelitian.
Dapat diambil kesimpulan dari penulisan ini yaitu aksi korporasi didalam suatu perseroan bertujuan untuk kemajuan perusahaan. Mengenai tujuan aksi korporasi ini memiliki 2 (dua) kemungkinan yaitu dari segi positif dan negatif bagi para pemegang saham. Untuk itu peran serta Bapepam-LK dan SRO sebagai pengawas dan pelaksana pasar modal sangatlah diperlukan. Pelaksanaan aksi korporasi harus mempertimbangkan pemegang saham khususnya untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas. Oleh sebab itu disarankan Bapepam-LK melakukan pengawasan ketat dan membuat peraturan yang lebih tegas sesuai dengan kondisi saat ini untuk pelaksanaan aksi korporas.

Every establishment of companies, capital is needed. Capital consists of capital base and capital issued / paid up. Capital itself can be obtained from investors or shareholders. For companies, additional capital for business development may be through bank loans or capital market mechanisms. In writing this public company which specializes capital gains through capital market mechanisms. Company in search of capital can make a corporate action Rights Issue and Without Rights Issue. So the writing is necessary to analyze corporate actions that are used the majority shareholders who are positive or negative to the minority shareholders so that the emergence of legal protection. Research methods in this paper is normative juridical research by tracing and analyzing library materials and documents related to the substance of research.
Conclusions can be drawn from this paper that corporate actions within a corporation aims to advance the company. Regarding the purpose of this corporate action has two (2) the possibility that in terms of positive and negative for shareholders. For that role and Bapepam-LK and the SRO as a supervision and enforcer of capital markets is necessary. Implementation of corporate action shareholders should consider in particular to protect the interests of minority shareholders. Therefore recommended Bapepam-LK to strict supervision and make the regulations more strictly in accordance with current conditions for implementation of the corporate action.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29305
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Latief
"ABSTRAK
Di Negara berkembang seperti Indonesia kegagalan dalam mengelola proyek konstruksi pada umumnya
disebabkan oleh buruknya proses pengendalian dan pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya,
sehingga sering ada kesalahan, keterlambatan dan pembengkakan biaya (cost overrun) proyek.
Disamping itu kelemahan lainnya adalah kurang dokumentasi pengalaman, sehingga kurang
memperhatikan risiko-risiko yang akan terjadi. Dan hal yang penting Iainnya dan perlu mendapat
perhatian serius adalah kurang adaptif dengan perkembangan teknologi informasi serta kesalahan dan
keterlambatan dalam pengambilan keputusan. Dari permasalahan tersebut khususnya buruknya dalam
proses pengendalian dan pengawasan pelaksanaan proyek akan menjadi sumber risiko dalam aspek
manajemen pelaksanaan yang mengakibatkan teriadinya cost overrun pada biaya pelaksanaan
khususnya pada biaya tenaga kerja, alat, material, sub kontraktor dan overhead lapangan. Kelemahan
dalam kurang dokumentasi pengalaman menyebabkan tidak adanya dokumentasi lessons learned
corrective action yang dapat digunakan untuk mengantisipasi jika terjadi risiko yang dikenali,
Kelemahan lainnya yaitu kurang adaptif dengan perkembangan teknologi informasi dan keterlambatan
dalam pengambilan keputusan mengakibatkan proses pengambilan keputusan tidak berjalan secara
cepat dan efektif. Dokumentasi Lessons Learned Corrective Action adalah suatu komponen umpan
balik yang penting dalam usaha perbaikan atau peningkatan kinerja (performance) yang berkelanjutan
dalam System atau proses pengendalian biaya proyek. Perencanaan sebuah Lessons Learned yang
terprogram akan terpenuhi jika pengembangannya mengikuti alur proses pengendalian biaya proyek
yaitu dari tahap Measuring , Evaluating dan Connective- Actions. Berbagi Corrective Actions dalam
proses pengendalian biaya langsung proyek dapat diperoleh dari berbagai laporan-laporan proyek
terdahulu dan juga dari para Pakar dibidangnya. Mengembangkan dan memanage tindakan korektif
(Corrective Actions) yang berhubungan dengan Lessons Learned secara proaktif akan mengurangi
risiko dan juga meningkatkan efektivitas dan efisiensi biaya serta dapat membantu mencegah
terulangnya kembali peristiwa yang tidak diinginkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah dalam lingkup proses pengendalian biaya proyek yang difokuskan
secara langsung kepada masalah penyimpangan atau pembengkakan biaya proyek (Project Cast
Overrun), khususnya biaya langsung proyek konstruksi bangunan gedung yang terdiri dari biaya
Tenaga Kerja, Alat Material, Subkontraktor dan Overhead lapangan berikut dampak, penyebab dan
tindakan koreksi (Corrective Actions) yang diperlukan. Pengendalian biaya tahap pelaksanaan
konstruksi ini dilakukan dalam rangka memilih tindakan koreksi (Corrective Actions) yang efektif
guna mencegah terjadinya penyimpangan biaya dan mempunyai peluang cukup besar dalam usaha
meningkatkan kinerja biaya proyek. Dimana pemilihan tindakan koreksi yang diperlukan tersebut
dilakukan dengan system yang iterative dengan bantuan program yang berbasis cost control theory dan
practice.
Metode penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode survey, dimana instrument
penelitiannya berupa kuisioner yang digunakan untuk wawancara terstruktur kepada pakar khususnya
dibidang konstruksi Bangunan Gedung dan para pelaksana proyek konstruksi. Adapun metode analisa
yang digunakan adalah metode AHF, statistic dan simulasi. Untuk mengembangkan system dalam
penelitian ini digunakan Ekspert system sebagai system pendukung keputusan yang berbasis cost
control theory dan practice.
Dari penelitian ini telah dihasilkan 256 Dampak yang bersumber dari 270 Penyebab yang terdiri dari;
67 Dampak dengan 52 penyebab pada biaya alat, sebanyak 58 dampak dengan 57 penyebab pada biaya
material, 48 dampak dengan 70 penyebab pada biaya tenaga kerja, 31 dampak dengan 48 penyebab
pada biaya subkontraktor dan 52 dampak dengan 43 penyebab untuk biaya overhead Iapangan. Untuk
mengantisipasi sumber risiko yang telah ditemukenali diatas telah dihasilkan 581 tindakan koreksi
berikut dengan model probabilitas tingkat keberhasilannya, yang masing-masing untuk mengantisipasi
sumber risiko pada biaya alat sebanyak 104 tindakan koreksi, untuk biaya material114 tindakan
koreksi, untuk biaya tenaga kerja sebanyak 149 tindakan koreksi, untuk biaya subkontraktor 94 mengantisipasi sumber risiko pada biaya alat sebanyak 104 tindakan koreksi, untuk biaya material 114
tindakan koreksi, untuk biaya tenaga kerja sebanyak 149 tindakan koreksi, untuk biaya subkontraktor
94 tindakan koreksi dan terakhir untuk biaya overhead lapangan sebanyak 120 buah tindakan koreksi.
Penelitian ini telah dibuat suatu system pengendalian biaya proyek dengan nama Program Knowledge
Base Lessons Learned Corrective Actions Sebagai System Pendukung Keputusan yang berbasis
Expert System, Cost Control Theory and Practice atau lebih dikenal dengan nama Expert Corrective
Action.

Abstract
Failure in construction project management in developing countries such as Indonesia is caused by bad
controlling process and lack of supervision. lt leads to fault of works, delays and project cost overrun.
Other weakness factor is lack of experience documentations that leads to inattention to potential risks.
Condition of less adaptive to infomation technology development that leads to faults and delays in
decision making is also important factor that needs serious attention. Those problems especially bad
controlling and monitoring process of project implementation are becoming risk sources in
implementation management. It leads to cost overrun of implementation cost especially on elements of
labor cost, equipment cost, material cost, sub-contracting cost and field overhead cost. Weakness of
lack of experience documentations leads to inavailibility of documentations of lessons learned
corrective actions that can be used to anticipate identified potential risks. Other weakness factors are
condition of less adaptive to information technology development and delays in decision making that
cause process of decision making does not works in efficient and effective way. Documentation of
lessons learned corrective action is an important feed back component to sustainable effort of remedial
and improvement of performance of the project cost control system. Planning of programmed lessons
teamed is fulfilled only if its development follows the path of project cost control process that started
from phase of measuring, evaluating and corrective actions. Various -corrective actions in controlling
process of project direct cost can be gathered from historical project reports and also from experts?
opinions. Developing and managing corrective actions related to lessons learned in proactive manner
will minimize risks and improve level of effectiveness and efficiency of cost. It also prevents unwanted
events to reoccur.
Goal of this research is in area of project cost controlling that focused directly on problems of deviation
or project cost overrun, specifically on direct cost of building construction project, which consist of:
labor cost equipment cost, material cost, sub-contracting cost and field overhead cost. It also includes
effect, cause and needed corrective actions. Cost control in implementation phase of construction is
taken in order to determine corrective actions that have effectiveness to prevent cost deviation to
happen. It also provides chances in order to improve cost performance of construction project. Whereas
determination of needed corrective actions is pursued an iterative system using program based on cost
control theory and practice.
Research method applied in this research was survey method using questionnaire as the research
instruments to do the structured interviews with experts of building construction and practitioners of
construction projects. As for the analysis methods used in this research were: AHP, statistics and
simulation. Expert system was also used inthis research in order to develop Decision Support System
(DSS) based on cost control theory and practice.
Overall risk sources that also identified in this research are amounted of 256 (two hundred and fivety
six) effects that are sourced from 270 (two hundred and seventy) causes. Those consist of 67 (sixty
seven) effects with 52 (fifty two) causes on equipment cost, 58 (fifty eight) effects with 57 (fifty seven)
causes on material cost, 48 (forty eight) effects with 70 (seventy) muses on labor cost, 31 (thirty one)
effects with 48 (forty eight) causes on subcontracting cost and 52 (fifty two) effects with 43 (forty
three) causes on field overhead cost. There are 581 (live hundred and eighty one) corrective actions
complete with probability model of success level resulted in order to anticipate identified risk sources.
Those consist of 104 (one hundred and four) corrective actions on material cost, 114 (one hundred and
fourteen) corrective actions on material cost, 149 (one hundred and forty nine) corrective actions on
labor cost, 94 (ninety four) corrective actions on sub-contracting cost and 120 (one hundred and twenty)
corrective actions on field overhead cost. This research also develop a project cost control system
named Program of Knowledge Based Lssous Learned Corrective Actions as Decision Support
System based on expert system, cost control theory and practice or well known as Expert Corrective
Action."
2006
D1215
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>