Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31 dokumen yang sesuai dengan query
cover
F. M. Wastu Andanti
Abstrak :
Upacara suran merupakan upacara yang dilaksanakan setiap tahun oleh pendukung untuk memperingati pergantian tahun dalam kelender Jawa. Pelaksanaan upacara suran mempunyai variasi, karena setiap pendukung kebudayaan mempunyai konstruksi yang berbeda. Salah satu variannya adalah upacara suran yang dilaksanakan oleh penghayat aliran kebatinan PAMU (Purwa Ayu Mardi Utama). Perbedaan ini terletak pada tiga aspek, yaitu (1) waktu pelaksanaan upacara yang dilaksanakan pada tanggal tiga bukan pada tanggal satu, (2) konsep ajaran PAMU tentang keberadaan Tuhan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan hakekat kehidupan, dan (3) makna simbolik yang terwujud dalam upacara yang dikonstruksi oieh mereka. lnformasi tentang upacara suran oleh para kadang-sebutan terhadap anggota PAMU dan keberadaan PAMU sendiri belum ada (Geertz, 1983: 453-474; Jong, 1985:10-11; 1987; Kodiran, 349-350; Koentjaraningrat, 1987; Simuh, 1999). Beatty (2001) menjelaskan tentang PAMU secara sepintas dan belum mengkaji esensi upacara suran secara mendalam. Masalah penelitian ini adalah ajaran PAMU yang termanifestasikan dalam upacara suran sebagai pedoman praktikal mampu dijadikan media sosialisasi sehingga menciptakan model masyarakat multikultural. Pertanyaan penelitian ini adalah: (1) Bagaimana konsep ajaran PAMU tentang keberadaan Tuhan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan tentang hakekat kehidupan; mengapa upacara suran di kalangan penghayat aliran kebatinan PAMU dilaksanakan pada hari ketiga di bulan sura, mengapa tidak dilaksanakan pada hari pertama?; Apa makna simbolis yang terwujud dalam upacara suran yang dikonstruksi oleh mereka? ; (2) Apakah fungsi upacara suran bagi para kadang PAMU? dan (3) apakah ajaran PAMU bisa dijadikan sebagai media sosialisasi sehingga tercipta model masyarakat multikultural? Tujuan penelitian secara umum adalah menemukan hakekat hubungan antara upacara Suran di kalangan para kadang Purwo Ayu Mardi Utomo (PAMU) di Dusun Tojo, Desa Temuguruh, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dengan konsep ajaran PAMU sehingga tercipta model masyarakat multikultural. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini menekankan pada pemahaman dan bukan pada pengujian, menekankan pada proses dan tesis, peneliti sebagai instrumen, difokuskan pada makna (Dentin dan Lincoln, 1994; 2000). Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan melakukan pengecekan berulang-ulang terhadap sumber informasi, konstruksi teoritis, metode pengumpulan data, dan temuan penelitian sejenis. Hasil penelitian ini adalah : Ajaran PAMU yang termanifestasikan dalam upacara suran membentuk masyarakat yang multikultural yang mengintegrasikan para kadang yang beragam dari aspek agama (Islam, Hindu, Budha, Konghucu, Katolik, Kristen), pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, dan usia. Upacara suran memperkuat kerukunan berjenjang, solidaritas mekanis, dan integrasi sosial sehingga tercipta masyarakat multikultural.. Temuan penelitian ini menguatkan bahwa ajaran PAMU tentang kerukunan, menghargai perbedaan pendapat dan otonomi individu teraktualiasikan pada diri anggota mereka (kadang) sehingga membentuk secara berturut-turut individu, keluarga, masyarakat, bangsa yang multikultural. Temuan ini berbeda dengan Geertz (1983); de Jonge (I985), Suseno (1984); Mulder (1999); dan Beatty (2001) yang belum menganalisis ajaran penghayat kepercayaan dengan model masyarakat multikultural. Konsep multikultural telah dioperasionalisasikan oleh para kadang jauh sebelum Watson (2000); Kymlicka (1998) dan Simposium lnternasional Jurnal Antropologi di Universitas Udayana, Bali (2002) yang menjelaskan tentang multikulturalisme. Latar belakang upacara suran di kalangan para kadang PAMU dilaksanakan pada hari ketiga di bulan sura berhubungan dengan ajaran PAMU tentang TRI MURTI, yaitu Bapa Adam, Ibu, biyung, Hawa, dan Gaibing Allah (daya saking bapa, daya saking biyung, Ian daya saking Gaib). Ketiganya bisa dikatakan teluning atunggaL Sangkan paraning dumadi merupakan kunci utama pelaksanaan suran dengan ritual tapal adaman sebagai puncaknya. Temuan ini berbeda dengan delapan postulat dari Geertz (1983: 416-417) dan Beatty (2001). Konsep ajaran PAMIJ menjelaskan tentang keberadaan Tuhan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, rnanusia dengan alam, dan tentang hakekat kehidupan. Konsep ajaran terdapat di Pakem Kawruh Kasunyatan Eyang Djojopoernomo. Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa, tidak boleh syirik (mangeran Iiyan) dan sumber kehidupan manusia (Kawasa). Kehendak Tuhan yang bersifat gaib menjadikan bapa-biyung (kedua orang tua) untuk melahirkan manusia. Di sisi lain konsep tentang kerukunan berjenjang mulai dari keluarga (tangga jiwa), tetangga (tangga wisma), warga Negara (tangga desa) dan bangsa (tangga bangsa). Konsep ini berbeda dengan ajaran Pangestu (de Jonge, 1985), Budi Setia, Sumarah, Ilmu Sejati, Kawruh Kasunyatan, Kawruh Bejo (Geertz, 1983: 414-4I5). Ajaran PAMU yang bukan agama; hanya petunjuk laku kebajikan, pada hakekatnya dijadikan media pencerahan bagi masyarakat dengan mengadopsi ajaran Islam yang dijawakan (Jawanisasi Islam). Makna simbolis upacara suran adalah menjelaskan kepada manusia untuk selalu ingat sangkan paraning dumadi. Simbolisme itu mewujud berupa lokasi pelaksanaan upacara, prosesi upacara. Simbolisme ini menguatkan pendapat Mary Douglas (1966), Turner (1969, 1974; 1979), dan Geertz (1983); (4) Fungsi upacara suran bagi para kadang adalah pemantapan keyakinan, pencerahan kehidupan, penguatan identitas, mekanisme kontroi, pemantapan hirarki sosial, Operasionalisasi keyakinan keagamaan, dan laku kebajikan manusia sejati.". Pernyataan ini sesuai dengan penelitian terdahulu tentang ritual dari Turner (1969; 1979), Leach (1979), Wallace (1979), Geertz (1992), dan Beatty (2001). Daiam upacara ada kewajikan pada seseorang untuk berperan sesuai dengan fungsinya dalam suatu masyarakat. Kenyataan ini sesuai dengan pandangan Geertz, Turner, Hertz, Cunningham, dan Levy Strauss (dikutip Suparlan, 1985). Di sisi lain, fungsi upacara dapat menjelaskan tentang operasionalisasi keyakinan keagamaan yang bersifat abstrak menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Penelitian ini sesuai dengan pendapat Berger dan Luckman dan Spradley (dikutip Suparlan, 1983: xi-xii). Upacara, juga berfungsi menjelaskan tentang motivasi ikut upacara karena merupakan bagian dari amalan laku kebajikan manusia sejati, yaitu hidup utama, mati sempunia (urip utama, mall sempurna). Temuan penelitian ini menguatkan bahwa ajaran PAMU tentang kerukunan, menghargai perbedaan pendapat dan otonomi individu teraktualiasikan pada diri anggota mereka (kadang) sehingga membentuk secara berturut-turut individu, keluarga, masyarakat, bangsa yang multikultural. Temuan ini berbeda dengan Geertz (1983); de Jonge (1985), Suseno (1984); Mulder (1999); dan Beatty (2001) yang belum menganalisis ajaran penghayat kepercayaan dengan model masyarakat multikultural. Konsep multikultural telah dioperasionalisasikan oleh para kadang jauh sebelum Watson (2000); Kymlicka (1998) dan Simposum Internasionai Jurnal Antropologi di Universitas Udayana, Bali (2002) menjelaskan tentang multikulturalisme.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhsan Tanggok
Abstrak :
ln this thesis I discuss about the ancestor worship in in the Chinese-Hakka family and community in Singkawang-West Kalimantan (Borneo). The central concem of this study is the description and analysis of ancestor worship in rituals of death within family as conducted at the home, at place managed by Chinese burial association, and burial place, before and after burial.

The main issue raised in this thesis is the function of ancestor worship for Hakka family and community of Singkawang, which based on Mauss (1992) and Suparlan (l978)?s exchange theory is to tighten the kinship relations between family members who are alive or living in this world-the ?real world? and their ancestors in the atier-life world or the ?unreal world?.

The reason for the Hakka people of Singkawang to worship their ancestors. besides showing their filial piety (xiao) to ancestor. is also to ask for protection and assistance from them. In the time of needs or problems, members of a Hakka family or community will ask their ancestor spirits to help and protect him or her, and in return they will reciprocate the ancestors? help by providing food and beverages, as well as by paying respect to them, and all of these are conducted through rituals at the burial place or temples. This form or exchange is always maintained because it benefited both sides.

Death and death rituals in Hakka family are the most important part ol ancestor worship among the Chinese-Hakka in Singkawang. There would be no ancestor worship without death and death rituals. According to Hakka people?s beliefs, the well-being of their ancestors in the after-life will determine their well- being or the well-being of related family in this life.

In Chinese culture, as stated by Mencius, the most revered Confucian philosopher after Confucius himself, ?the greatest of all sins is to have no sons to carry on the ancestral line and continue the ancestors? worship? (see McCreey in Scupin, 2000: 286). Therefore, ?sons? is the operative world for Chinese in general. Traditional Chinese society is a patrilineal society in which Family surname and the right to a share of the family property descends from father to son. Daughters, once they married, their duty is to serve their parents-in-law, to worship their husband?s ancestors, and above all, to provide sons to continue their husband?s family line. Thus, usually daughters are not expected to share the burden of ancestor?s worship within their original family. In this thesis, I show that in Hakka family and community in Singkawang, in contrast to the abovementioned Chinese tradition, daughters who have married, together with their husbands, could come and share the burden of ancestor worship duty in the daughters? original family, as long as they do not take the place of sons as the leader of the family. Hakka family and community in Singkawang too see ancestor worship as means to gather members of related family, from both patrilineal and matrilineal sides, at one place and at a particular time, not only to conduct rituals and to worship their ancestors, but also to talk about family economy as well as other metters among family members.

The ancestor worship of Haldta family and community in Singkawang does not only benefit members of related family, but, as a matter of fact, also provides some advantages for members of other ethnic groups, such as the Madurese and the Dayaks, particularly those who live near the Chinese burial place. During Ching Ming Jie or Chinese Toms Festival and Zhong Yuan Jie or Hungry Ghost Festival, these people-the Madurese and the Dayaks--could ask to help Hakka families to clean or cut grass on their ancestors? graves in return for a little money.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
D825
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Asad
Djakarta: Jajasan Kesedjahteraan Bersama, 1975
297.32 ASA m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Subhi, Mushtafa Murad
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009
297.3 SUB at (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Erick Rinaldo
Abstrak :
ABSTRAK
Pusat perbelanjaan seperti Mal telah dimaknai sebagai ruang publik dalam perspektif masyarakat kota. Fenomena tersebut menjadikan Mal mampu memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat akan ruang kegiatan. Salah satu pemenuhan kebutuhan yang disediakan Mal adalah penyediaan ruang pengamalan ibadah. Ruang pengamalan ibadah di dalam Mal hadir melalui berbagai pertimbangan. Pertimbangan tersebut terkait proses produksi ruang yang dilakukan aktor melalui penggunaan strategi maupun taktik. Hasil dari proses produksi ruang tersebut adalah terciptanya ruang profane menjadi ruang sacred melalui pemaknaan baru. Kehadiran ruang pengamalan ibadah di dalam Mal mengalami berbagai penyesuaian terhadap konteks barunya . Skripsi ini kemudian bertujuan untuk menelusuri tentang bagaimana ruang pengamalan ibadah tersebut diproduksi serta penyesuaian seperti apa yang dialami oleh ruang tersebut.
ABSTRACT
Shopping centres such as Mall has been interpreted as a public space in the perspective of the urban community. This phenomenon makes Mall able to fulfill the various needs of spatial activities. One of the spatial needs of activities provided by Mall is the worship space. The worship space at the Mall exists by various considerations. The considerations are related to the production of space done by the actor based on their strategies or tactics. The results of the roduction process is the creation of the profane into sacred space. The existence of orship space in the Mall has a variety of adjustments to new contexts. This paper aims to examine how the worship space is produced and adjusted.
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S871
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Binsar Antoni
Abstrak :
Artikel yang berjudul Pendapat Pimpinan-pimpinan Gereja di Bekasi tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 ini akan memaparkan mengenai implementasi kebijakan pengurusan izin pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Tahun 2006 di Bekasi, serta dampaknya bagi gereja-gereja di Bekasi menurut pendapat pimpinan-pimpinan gereja di Bekasi. Pertama-tama penulis akan memaparkan mengenai Jaminan Hak Beragama, Berkeyakinan, Beribadah dan Mendirikan Rumah Ibadah berdasarkan Pancasila dan UUD 45, Deklarasi Universal HAM, Kovenan dan dokumen deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kemudian juga memaparkan mengenai izin pendirian rumah ibadah dari SKB sampai dengan PBM. Setelah itu akan dipaparkan mengenai pendapat pimpinan-pimpinan gereja di Bekasi tentang implementasi kebijakan pengurusan izin rumah ibadah di Bekasi. Pendapat pemimpin-pemimpin gereja di Bekasi ini akan dikelompokkan pada empat kategori yakni: A) Gereja yang memiliki izin dan tidak bermasalah. B) Gereja yang mengalami masalah pengurusan izin, bermasalah dengan masyarakat, tetapi selesai. C) Gereja yang tidak memiliki izin namun tidak bermasalah dengan masyarakat.D) Gereja yang tidak memiliki izin, bermasalah dengan masyarakat, dan tidak selesai. Temuan yang didapatkan adalah pemimpin-pemimpin gereja dalam empat kategori di atas berpendapat bahwa PBM tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 serta nilai-nilai hak-hak asasi yang universal, dan implementasi kebijakan pemerintah tersebut berdampak buruk dalam kehidupan antarumat beragama di Bekasi, baik dalam hubungan internal agama, maupun dalam hubungan antar agama
Jakarta: Pusat Pengkajian Reformed, 2015
SODE 2:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifa Fijriah
Abstrak :
ABSTRACT
Tidak semua pelaku ibadah hidup dan bertinggal di lingkungan dengan kualitas dan kuantitas ruang dalam batas kewajaran. Melihat bahwa ruang tinggal sering kali tidak memiliki ukuran standar, maka ia bisa jadi besar, sedang ataupun kecil. Skripsi ini membahas secara spesifik mengenaik ruang ibadah pada permukiman padat informal atau kampung di Jakarta, dimana penghuninya tinggal dengan okupansi ruang di bawah standar Standar ruang tinggal Nasional Indonesia: 9m2/orang. Kondisi yang demikian membuat aktivitas para penghuni kampung harus bertumpuk satu sama lain, dan aktivitas ibadah termasuk di dalamnya. Untuk memahami penggunaan ruang ibadah di kampung, pengamatan dilakukan dengan melihat bagaimana pelaku ibadah di kampung menyematkan kualitas sakral pada kegiatan ibadah mereka. Selain ikut berpartisipasi dalam kegiatan ibadah di kampung, pengamatan juga dilakukan dengan survey kuesioner dan wawancara pada beberapa warga kampung, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kelangsungan kegiatan ibadah. Untuk masa mendatang, saya berharap kajian ini dapat dikembangkan dan dilengkapi mengingat kurangnya waktu pengamatan dan waktu kegiatan ibadah yang tidak menentu.
ABSTRACT
Not all worshippers live in similar qualities and quantities of space. This paper discusses specifically the space of worship in informal, densely populated settlements in Jakarta known as kampongs, in which citizens occupy the space below standard Indonesian national standard of living space 9m2 person. Such circumstances mean that almost every daily activity undertaken by kampong inhabitants overlaps, and worship activity is no exception. To understand the site, space, and place of worship usage in kampong areas, this research aims to understand how the inhabitants create and embed sacredness, or lsquo spiritual rsquo indicators, into their worship activities. In addition to deep observation by actively participating in the kampong rsquo s worship activity, this research completed by a questionnaire survey and in depth interviews with various people living in the kampong, both directly and indirectly related to worship activity. The research found that the limitation of space does not hinder the kampong inhabitants in carrying out their worship activities. Even though mostly always overlapping with other activities, worshippers always find a way to negotiate their worship activities in such limitations.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Harris Baris Agustinus
Abstrak :
Konstitusi RI menjamin kemerdekaan setiap penduduk dalam memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Namun, puluhan tahun sejak kemerdekaan Republik Indonesia, konflik akibat pendirian rumah ibadat masih jamak terjadi. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kaum minoritas di daerah mayoritas penduduk memeluk agama berbeda mengalami hambatan dalam mendirikan rumah ibadat. Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui bagaimana negara memainkan peran dalam konflik yang berlangsung di tengah masyarakat dalam kasus penolakan pembangunan Gereja HKBP Filadelfia di Kabupaten Bekasi dan Gereja Katolik Santa Clara di Kota Bekasi. Disebutkan oleh Theda Skocpol, negara bersifat otonom dan negara memiliki instrumen-instrumen untuk mencapai tujuannya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara dan studi dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan standpoint dalam penanganan konflik di dua kasus tersebut memengaruhi proses penyelesaian konflik sekaligus menguji otonomi negara. Dalam kasus Gereja HKBP Filadelfia, peran "civil society" melalui kelompok kepentingan (interest groups) yang menolak pembangunan gereja memberi kontribusi negatif pada penyelesaian konflik karena berhasil menaklukkan otoritas politik demokratis, yaitu negara yang direpresentasikan oleh Pemda Kabupaten Bekasi.
The Indonesian Constitution guarantees the independence of every citizen in embracing and worshiping according to their religion and beliefs. However, decades since the independence of the Republic of Indonesia, conflicts due to the construction of houses of worship are still common. Some cases show that minorities in majority areas of different religions experience obstacles in establishing a hous of worship. The purpose of this research is to find out how the state plays a role in the ongoing conflict in society with two case studies, namely the rejection of the establishment of the Filadelfia HKBP Church in Bekasi Regency and the Santa Clara Catholic Church in Bekasi City. As stated by Theda Skocpol, the state is autonomous and the state has instruments to achieve its own goals. The method used in this research is qualitative method. The data collection techniques used in this research are interviews, and documentary studies. The results showed that the standpoint differences in conflict resolution in the two cases affected the conflict resolution process and at the same time tested state autonomy. In the case of the HKBP Filadelfia Church, the role of "civil society" through interest groups who refused the church's construction contributed negatively to conflict resolution because it succeeded in conquering democratic political authority, namely the State represented by the Bekasi Regency local government.
Depok: Universitas Indonesia, 2020
T55338
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tendean, Meriell Jade Eugenia
Abstrak :
Penelitian ini mengkaji faktor-faktor yang terkait dengan kepuasan penggunaan metaverse sebagai media ibadah gereja, yang belum banyak dikaji dari perspektif studi komunikasi. Studi ini menggunakan teori Media Richness dan Electronic Propinquity sebagai kerangka teori untuk mengkaji hubungan pengalaman, persepsi richness metaverse, dan rasa kedekatan pada kepuasan terhadap metaverse. Studi dilakukan dengan metode survei terhadap anggota gereja di Indonesia yang pernah menghadiri ibadah menggunakan metaverse sebelum studi. Temuan menunjukkan hubungan antara pengalaman dan kepuasan tidak bersifat langsung namun dimediasi oleh persepsi terhadap media richness dan kedekatan. Lebih lanjut media richness juga memiliki hubungan dengan kedekatan. Temuan penelitian ini berkontribusi untuk memperluas literatur tentang Media Richness dan Electronic Propinquity dengan mengevaluasi hubungan antara dua konstruk ini terhadap penggunaan metaverse untuk keperluan religi. Rekomendasi terkait studi kedepan dan implikasi praktis disarankan pada bagian akhir tesis. ......This research examines the factors contributing to user satisfaction of metaverse as a medium for church services, that has not been studied extensively from a communications study perspective. Using Media Richness and Electronic Propinquity as the theoretical framework, this study assesses the relationship between experience, richness perception of the metaverse, and propinquity on the satisfaction of metaverse. Survey was employed to collect data from Indonesian church members who have attended a metaverse service prior to the study. The findings suggest that the relationship between experience and satisfaction is mediated by the perception of media richness and propinquity. Moreover, media richness is also related to propinquity. These findings contributed to expanding research on Media Richness and Electronic Propinquity by evaluating the relationship between these constructs against the use of metaverse for religious purposes. Recommendations related to future research and practical implications are outlined at the end of the thesis.
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>