Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 45 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iswendy Sohe
"Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini sangat merugikan keuangan negara dan menghambat keberlangsungan pembangunan nasional. Dalam kasus tindak pidana korupsi, yang melibatkan tindak kriminal dilakukan oleh banyak pelaku, dimana pelakunya telah mengembangkan ikatan yang satu sama lainnya selama jangka waktu tertentu, baik melalui koneksi pribadi, koneksi bisnis ataupun melalui perkumpulan berdasarkan profesi dan kelembagaan. Ikatan seperti inilah yang seringkali menguntungkan posisi dan kepentingan si pelaku tersebut hal ini akan menyebabkan pelaku selalu bersatu padu dalam menghadapi penyidikan atau kemungkinan adanya sebuah tuntutan pidana. Untuk membongkar jaringan pelaku korupsi sangatlah sulit karena apabila koruptor tersebut terjerat hukuman maka orang-orang yang membantunya akan ikut terseret. Kondisi seperti inilah yang selalu di hadapi oleh aparat penegak hukum di Indonesia.
Oleh karena itu perlu dibuat sebuah mekanisme hukum yang mampu menerobos dan memecahkan problem sehingga aparat hukum di Indonesia dapat terbantu dari kerjasama yang berasal dari "orang dalam", dan mereka yang memiliki pengetahuan langsung mengenai kejahatan ini atau keterlibatan di dalamnya. Kadangkala, "orang dalam" ini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan dengan caranya tersendiri. Mereka ini dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa saja peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan dan dimana bukti lainnya bisa ditemukan.
Selain memberikan petunjuk bagi para penyidik, orang dalam ini kadangkala berpartisipasi juga dalam penyidikan dengan menyamar, merekam bukti suara atau video sebagai bukti penting dalam penuntutan. Akhirnya, orang dalam ini dapat menjadi saksi yang penting sewaktu persidangan, memberi bukti sebagai orang pertama, saksi mata dan kejahatan dan atas kegiatan para terdakwa. Dengan demikian diperlukan suatu bentuk perlindungan bagi saksi yang terlibat tindak pidana korupsi dari segala bentuk ancaman fisik dan tuntutan hukuman dari jaringan pelaku korupsi. Namun, hingga kini belum ada peraturan khusus yang dibuat untuk menjadi payung hukum bagi perlindungan saksi tindak pidana korupsi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahri Kurniawan
"Konsep saksi mahkota yang dilaksanakan di peradilan Indonesia saat ini masih menimbulkan kontroversi dan perdebatan dikalangan praktisi maupun akademisi, karena memang sesungguhnya belum ada definisi normatif tentang saksi mahkota termuat dalam undang-undang. Apabila dibandingkan dengan konsep saksi mahkota di negara lain, ternyata terdapat perbedaan yang sangat mendasar yaitu pada konsep di Eropa dan Amerika sebelum diterapkan saksi mahkota harus dilakukan terlebih dahulu kesepakatan kerjasama atara penuntut umum dan saksi mahkota dalam penuntutan tindak pidana, sedangkang di Indonesia lebih mengartikan saksi mahkota sebagai kesaksian saling menyaksikan antara sesama pelaku tindak pidana penyertaan dalam tindak pidana untuk tujuan sempurnaya pembuktian. Tujuan dari penelitian ini mengkaji mengenai penerapan saksi mahkota dalam peradilan pidana dan memperbandingkanya dengan pelaksanaan saksi mahkota di Belanda dan Amerika Serikat serta melihat paradigma saksi mahkota menurut hukum acara pidana yang akan datang. Metode penelitian yang digunaka yuridis normatif. Dari hasil penelitian diperoleh suatu kenyataan konsep saksi mahkota yang dilaksanakan dalam peradilan pidana di Indonesia saat ini melanggar asas non self incrimination. Peranan saksi mahkota dibutuhkan dalam menghadapi permasalahn kurangnya alat bukti saksi pada penyertaan dalam tindak pidana. Penerapan konsep saksi mahkota dalam peradilan saat ini hanya mewujudkan suatu kepastian hukum, sehingga kurang memperhatikan cara memperoleh alat bukti (exclusionary rule), dan pentinya alat bukti yang saling menguatkan (corroborating evidence) dalam penerapan saksi mahkota. Secara subtansi dalam RUU KUHAP terjadi perubahan sangat signifikat mengenai konsep saksi mahkota dengan menyerap konsep saksi mahkota yang di kenal di Eropa dan Amerika Serikat.

The concept of crown witness implemented in Indonesian courts is still causing controversy and debates among practitioners and academicians, because actually there has been no normative definition of crown witness contained in the legislation. When compared with the concept of crown witness in other countries, there are fundamental differences. In Europe and the USA before crown witness is applied, a cooperation agreement shall be made first between the public prosecutor and the crown witness in a criminal proceeding; whereas in Indonesia what is referred to as crown witness is a witness who came from suspects or defendants and testify against other suspects/perpetrators in a crime in order to obtain perfect/complete evidence. The purpose of this research is to examine the application of crown witness in the criminal proceedings and compare it with the implementation of crown witness in the Netherlands and the United States as well as to see the crown witnesses paradigm in accordance with the law of criminal procedure which will be applicable in the future. The research method employed is judicial normative. Based on the research findings it is discovered that the concept of crown witness in criminal proceedings in Indonesia today violates the principle of non-self incrimination. The role of crown witnesses is required as a consequence of lack of evidence of witnesses in the participation (deelneming) in a crime. The application of the crown witness concept in court today is only to realize the rule of law so it does not take into consideration the manner in obtaining evidence (exclusionary rule) and the importance of corroborating evidence in the application of crown witnesses. In substance, the Draft of the Criminal Procedure Code experiences very significant changes in the concept of crown witness by absorbing the concept of crown witnesses which is known in Europe and the United States.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35481
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Indraputra
"Upaya aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu kejahatan tentunya akan berbicara mengenai pembuktian yang dimiliki oleh penyidik atau penuntut umum. Permasalahan seputar kekurangan atau minimnya saksi selalu menjadi permasalahan yang klasik apabila berhadapan dengan kasus-kasus yang melibatkan organisasi kejahatan yang terorganisir. Peranan “orang dalam” dalam organisasi tersebut dinilai mempunyai potensi yang cukup signifikan untuk membuka lebih jauh tabir kejahatan yang terjadi. Konsep whistleblower dan justice collaborator diyakini merupakan salah satu terobosan dalam pengungkapan suatu kejahatan yang bersifat sistematis dan terorganisir. Whistleblower dan justice collaborator pada dasarnya merupakan konsep protection of witness dalam UNCAC yang melibatkan seorang pelapor atau saksi yang juga terlibat dalam suatu tindak pidana. Permasalahan menjadi kompleks bilamana mereka tidak bersedia untuk memberikan informasi atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana yang bersangkutan, mengingat potensi ancaman dan intimidasi yang rentan diterima oleh mereka. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan whistleblower dan justice collaborator dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, mengetahui fungsi pemberian perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya mengungkap kejahatan, dan mengetahui bentuk perlindungan yang dilaksanakan oleh LPSK. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa konsep whistleblower dan justice collaborator tidak diadopsi secara utuh oleh Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban, namun tetap mengakui kedudukan whistleblower sebagai pelapor dan justice collaborator sebagai saksi pelaku yang bekerjasama yang harus dilindungi. Fungsi pemberian perlindungan ini adalah sebagai strategi agar mereka bersedia mengungkap lebih jauh suatu kejahatan. Sedangkan bentuk perlindungan yang diberikan adalah perlindungan fisik, psikis, perlindungan hukum dan penanganan secara khusus. Pemberian perlindungan ini diharapkan sebagai upaya dalam pemenuhan hak-hak whistleblower dan justice collaborator yang berpartisipasi dalam proses penegakan hukum.

The efforts of law enforcement authorities in revealing offences will certainly address about evidentiary held by investigators and prosecutors. Issues around lacks of witnesses have always been classic issues when dealing cases of organized crime. The role of “insider” is considered has significant potential for revealing further about the offences. Concept of whistleblower and justice collaborator is considered as one of the breakthroughs in revealing organized offences. Whistleblower and justice collaborator are basically a protection of witness concept in UNCAC that involves a reporting person or witnesses involved in crimes. The problem becomes complex when they are not willing to give testimonies or information related to the offences, considering potential and intimidation threats that are vulnerable accepted by them. The objectives of this research are to find out the standing of whistleblower and justice collaborator in Witness Protection Act of 2006, to find out the function of providing protection for whistleblower and justice collaborator to reveal offences, and to find out forms of protection carried by LPSK. The method used in this research is normative legal. The results of this research is that concept of whistleblower and justice collaborator are not fully adopted by Witness Protection Act of 2006, but still acknowledged the standing of whistleblower as a reporting person and justice collaborator as cooperative offenders who should be protected. The function of providing protection is as a strategy that they are willing to reveal further a crime. While the forms of the protection provided are protection of physical, psychological, legal protection and special measures. This protection is expected as an effort to fulfill whistleblower and justice collaborator rights who participated in law enforcement process.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Flora Dianti
"Penelitian dilakukan dalam rangka melakukan: l.identifikasi permasalahan hukum pembuktian dalam proses penyelesaian perkara pidana terkait dengan keterangan saksi anak sebagaimana rumusan peraturan perundangan-undangan, UU Nomor 8 Tahun 1981 serta Revisi UU Nomor 8 Tahun 1981; 2. Melakukan analisis atas permasalahan hukum pembuktian secara khusus yang ditemukan dalam praktik peradilan di Indonesia mengenai saksi anak; 3.Memberikan suatu pemikiran akademis dalam rangka revisi UU Nomor 8 Tahun 1981 demi tercapainya suatu pembaruan hukum pembuktian mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi anak dalam proses penyelesaian perkara pidana. Pasal 171 huruf a UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)menyatakan anak di bawah 15 tahun tidak berkompeten menjadi saksi, sehingga saksi yang kurang umurnya dari 15 tahun tidak boleh memberi keterangan di bawah sumpah. Penjelasan Pasal 171 tersebut menyatakan saksi anak dapat dijadikan petunjuk. Adapun petunjuk yang dimaksud bukanlah alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud pasal 188, karena sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk terbatas dari alat-alat bukti yang sah yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2), yaitu alat bukti Keterangan Saksi; Surat; dan Keterangan Terdakwa. Keterangan saksi anak sendiri tidak dilakukan di bawah sumpah, sehingga saksi anak tidak dianggap sebagai alat bukti keterangan saksi. Secara maksimal keterangan anak hanya dapat menambah keyakinan hakim, jika ditunjang oleh alat bukti yang sah lainnya. Di sisi lain, karakteristik tindak pidana yang menyangkut anak sendiri, sangat komplek. Salah satu permasalahan, pelaku pidana terhadap anak kebanyakan adalah orang dekat, atau bahkan keluarga atau lingkungan keluarga/ teman korban, sehingga tindak pidana terhadap anak jarang memiliki saksi lain yang berkompeten untuk memberikan keterangan yang dapat mendukung. Dengan kata lain tidak ada alat bukti saksi yang melihat, mengalami dan mendengar langsung peristiwa pidana, sehingga saksi yang paling berkompeten adalah anak itu sendiri. Akibatnya, putusan peradilan mengenai tindak pidana tersebut sangat bergantung pada kredibilitas dan kemampuan anak sebagai saksi utama untuk memberikan keterangan yang selengkap dan seakurat mungkin mengenai tindak pidana tersebut. Praktek pemeriksaan perkara pidana yang melibatkan anak, memperlihatkan kenyataan adanya keadaan saksi anak yang kurang kompeten dan distabil, karena traumatis akan pemeriksaan yang penuh tekanan serta intimidatif, sehingga akhirnya mengakibatkan saksi anak mengundurkan diri ketika pemeriksaan sampai di tahap persidangan. Dari identifikasi di atas jelas bahwa perlu diciptakan suatu prosedur penanganan perkara yang memberikan perhatian yang lebih difokuskan pada perlindungan saksi korban terutama saksi anak, demi meningkatkan kompetensi serta kekuatan pembuktian saksi anak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irenrera Putri
"Peranan dan kedudukan karyawan Notaris cukup besar untuk membantu kinerja Notaris dalam melayani jasa pembuatan akta, seorang karyawan Notaris selain harus mampu membantu kinerja Notaris dalam menjalankan jabatannya secara optimal, juga harus mampu menjadi saksi instrumentair dalam pembuatan dan peresmian akta notaris sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam ketentuan Pasal 40 Undang - Undang Jabatan Notaris yaitu saksi paling sedikit berusia 18 tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf, dan tidak memiliki hubungan perkawainan dengan notaris atau para pihak. Karena karyawan notaris yang berperan sebagai saksi instrumentair dalam peresmian akta, sudah masuk dalam lalu lintas hukum yang memiliki akibat hukum, sehingga apabila suatu akta notaris dikemudian hari terjadi masalah atau kasus maka karyawan notaris dengan sendirinya ikut terlibat dalam masalah atau kasus tersebut.
Sebagaimana saksi dalam kasus lain, maka karyawan notaris sebagai saksi dalam kasus akta notaris juga harus mendapat perlindungan hukum dan harus dijamin keselamatannya dalam hal terjadi kasus atau gugatan di Pengadilan terhadap suatu akta dimana karyawan tersebut menjadi saksi. Walaupun tindakan karyawan notaris sebagai saksi instrumentair dalam peresmian akta notaris sudah termasuk dalam bidang kenotariatan, akan tetapi Undang - Undang Jabatan Notaris tidak memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dalam peresmian akta, terutama terhadap karyawan notaris. Hal tersebut karena di dalam UUJN yang mendapat perlindungan hukum hanya Notaris, sehingga perlindungan hukum terhadap karyawan notaris sebagai saksi instrumentair dalam peresmian akta notaris tidak ditemukan dalam undang - undang tersebut.
Dengan tidak adanya pengaturan dalam Undang - Undang Jabatan Notaris tentang perlindungan bagi karyawan notaris yang menjadi saksi instrumentair dalam peresmian akta, maka perlindungan hukum terhadap karyawan notaris yang berperan sebagai saksi tersebut baru dapat ditemui dalam ketentuan diluar peraturan jabatan notaris, yakni Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Walaupun dalam Undang - Undang tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai saksi dalam peresmian akta notaris, akan tetapi ketentuan - ketentuan dalam undang - undang tersebut dapat diaplikasikan terhadap kedudukan karyawan notaris sebagai saksi instrumentair dalam peresmian akta yaitu dalam hal saksi tersebut dipanggil dalam suatu proses perkara.

The role and position of notary`s employees is large enough to help the Notary Deeds performance in serving the service making the notary deed, an employee other than Public Notary must be able to assist in running performance in an optimal position, should also be able to being instrumentair witness in the field of making the notary deeds and inauguration the notary deeds, as long as eligible that stipulated on Article 40 Undang-Undang Jabatan Notaris, that is the minimum of age for being witness should be 18 or already married, capable of legal actions, understand the language used in the notary deed, may affix a signature and initials, and do not have marital relationships with notaries or parties.
Because the role and position of notary`s employees that act in being the instrumentair witness in the field of making the notary deeds and inauguration the notary deeds, has already in the traffic of law that has legal effect, if Notary`s deed in the future has problems or another cases, so notary`s employee also involved in the issue or case. As witnesses in other cases, so that notary`s employees that act as witness in the case of notary deed should also get legal protection and should be guaranteed his safety in case or claim in court against actions about notary deed where the employee act as witnesses. Although the action of notary`s employee as witnesses in the field of making the notary deeds and inauguration the notary deeds have already included in the field of Notary, but then Undang-Undang Jabatan Notaris cannot giving the legal protection to witnesses in the field of dedication the notary deeds, especially for notary`s employees. It is because in the Undang - Undang Jabatan Notaris, the legal protection just given to Notary, so that the legal protection for notary`s employees did not stipulated yet on that regulation.
In the absence of regulation in Undang - Undang Jabatan Notaris about legal protection for notary`s employees that act as instrumentair witnesses in the field of making the notary deeds and inauguration the notary deeds, so that we can find the regulation about legal protection for notary`s employees in the outside of that regulations, it is in the Undang - Undang Nomor 13/2006 concerning about Legal Protection for witnesses and Victims. Although in that Undang - Undang did not specified stipulated about witnesses in the field of dedication of Notary deeds, but then stipulation in that Regulation can be applied to the role of notary`s employees that act as instrumentair witnesses in the field of inauguration the notary deed in the case of such a witness called in a process of case."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27313
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Uni Ilian Marcianty
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Universitas Indonesia, 2003
S22151
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafvan Rizki
"Teleconference sebagai cara yang digunakan untuk melindungi saksi pada saat memberikan keterangan di persidangan telah diatur dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Teleconference juga bisa dikategorikan sebagai manifestasi bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada saksi pada kasus-kasus tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Akan tetapi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) bahwa semua bentuk perlindungan yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru dapat diberikan setelah adanya persetujuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sementara dalam Pasal 9 ayat (3) jo. Pasal 9 ayat (1), bahwa pemeriksaan saksi melalui teleconference baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari hakim. Skripsi ini menganalisis siapa sesungguhnya yang berwenang dalam menentukan apakah seorang saksi diperiksa melalui teleconference atau tidak, khususnya pada Persidangan Tindak Pidana Terorisme Atas Nama Terdakwa Abu Bakar bin Abud Ba?asyir Alias Abu Bakar Ba?asyir Nomor Register Perkara 148/Pid.B/2011/PN.JKT.Sel. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode kepustakaan dengan metode pendekatan perudang-undangan dan pendekatan kasus.

Abstract
Teleconferencing as an option for protecting the witness when he or she gives his or her testimony on a trial has been regulated in article 9 paragraph (3) of Law No. 13/2006 about The Protection of Witness and Victim. Teleconferencing as a form of protection that may provided for witness in certain cases refers to article 5, paragraph (1) of Law No.13/2006. However, as article 5 paragraph (2) has determined that all forms of protection refers to article 5 paragraph (1) allowed only after the approval of Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) (The Body of Witness and Victim Protection). Although article 9 paragraph (3) jo. Article 9 paragraph (1) that the interrogation of witness via teleconference may be done only after receiving permission from the judge. This thesis mainly discussed about the authority to determine whether a witness examined via teleconference or not, especially on the trial of a terrorism crime in the name of offender Abu Bakar bin Abud Ba'asyir alias Abu Bakar Ba'asyir Case Number 148/Pid.B /2011/PN. JKT.Sel. This thesis is using the normative method research in statue approach and case approach."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S266
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Zulfan Reza
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S3024
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>