Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwinanda Aidina Fitrani
Abstrak :
Latar belakang: Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dapat menjadi infeksi oportunistik pada anak dengan HIV. Gejala infeksi EBV sulit dibedakan dengan infeksi HIV dan bersifat laten. Infeksi EBV laten dapat reaktivasi mulai dari gangguan limfoproliferatif hingga terjadinya keganasan. Di Indonesia belum ada data mengenai infeksi EBV pada anak dengan HIV. Tujuan: Mengetahui proporsi, karakteristik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada anak dengan HIV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Metode: Penelitian potong lintang untuk melihat karakteristik infeksi EBV pada anak dengan HIV dan faktor-faktor yang berhubungan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, periode bulan September 2020 hingga Februari 2021. Sampel darah diambil untuk dilakukan pemeriksaan PCR EBV kualitatif (whole blood), darah perifer lengkap, kadar CD4 dan viral load HIV. Hasil: Total subyek 83 anak dengan HIV. Proporsi subyek terinfeksi EBV sebesar 28,9%, dengan rerata usia 9,58 tahun. Limfadenopati merupakan gejala terbanyak, meskipun tidak dapat dibedakan dengan infeksi lain. Dua anak mengalami keganasan akibat EBV yaitu Limfoma Non Hodgkin dan leiomiosarkoma. Sebanyak 75% subyek terinfeksi EBV yang berusia di bawah 12 tahun mengalami anemia (rerata Hb 10,68 ± 2,86 g/dL), dapat disebabkan infeksi EBV atau penyebab lain. Hasil analisis bivariat menunjukkan kadar viral load HIV > 1000 kopi/mL berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada subyek (OR 2,69 (1,015-7,141); P = 0,043). Simpulan: Proporsi anak dengan HIV yang terinfeksi EBV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah 28,9%, dengan kadar viral load HIV > 1000 kopi/mL berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada anak dengan HIV. ......Background: Epstein-Barr virus (EBV) infection can be an opportunistic infection in HIV-infected children. EBV infection is difficult to be differentiated from HIV infection, and it can be latent. Latent EBV infection can reactivate into lymphoproliferative disorders and malignancy. There is no data on EBV infection in HIV-infected children in Indonesia. Objective: To identify the proportion, manifestations and factors associated with EBV infection in HIV-infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta. Methods: Cross-sectional study to examine the manifestations of EBV infection in HIV-infected children and it’s associated factors in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta, during September 2020 to February 2021. Blood samples were taken to examine qualitative EBV PCR (whole blood), complete blood count, CD4 levels and HIV viral load. Results: Total subjects were 83 HIV-infected children. The proportion of children infected with EBV was 28.9%, with mean age 9.58 years. Lymphadenopathy was the most common symptoms, although it was difficult to differentiate from other infections. Two children have malignancy due to EBV, namely Non-Hodgkin's lymphoma and leiomyosarcoma. Total 75% of EBV-infected subjects under 12 years of age were anemic (mean Hb 10.68 ± 2.86 g/dL), could be due to EBV infection or other causes. Bivariate analysis showed HIV viral load levels > 1000 copies/mL were associated with EBV infection in subjects (OR 2.69 (1.015-7.141); P = 0.043). Conclusion: The proportion of EBV infection in HIV-infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta is 28.9%, with HIV viral load levels > 1000 copies/mL were associated with the EBV infection in HIV-infected children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Plenum Medical , 1989
614.57 VIR (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti R. Hadi
Abstrak :
Tungau trombikulid mendapat perhatian karena mendapat perhatian karena perannya dalam penularan penyakit scrub typhus yang disebabkan oleh rickettsia tsutsugasushi. Dari hasil survei dan penelusuran literatur, terdapat 128 jenis spesies trombikulid di Indonesia. Menurut distribusi geografisnya, tungau trombikulid yang ditemukan di Indonesia, dibagi ke dalam 5 kelompok: kelompok wilayah barat (30 spesies), wilayah timur (9 spesies), wilayah Sulawesi (20 spesies), wolayah barat dan timur (52 spesies), dan kelompok wilayah pegunungan Jawa (3 spesies).
Universitas Indonesia, 1989
D653
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Pamungkas
Abstrak :
Dalam upaya menginduksi kekebalan berspektrum luas yang responsif terhadap subtipe-subtipe HIV-1 yang berbeda, telah diteliti imunisasi vaksin DNA menggunakan vektor plasmid DNA dan virus fowlpox rekombinan dengan memanfaatkan gen-gen HIV-1 yang dirancang dari runutan konsensus turunan subtipe-subtipe HIV-1 di dunia yang mengekspresikan semua protein dari genom HIV-1 dengan peptida berukuran 30 asam amino yang overlapping dan tersusun secara acak (scrambled antigen vaccines, atau SAVINE). Tiga grup hewan coba yang terdiri dari masing-masing tujuh beruk (Macaca nemestrina) diimunisasi dengan regimen vaksin DNA standar dengan veklor plasmid DNA pHIS-64 dan vektor virus fowlpox rekombinan (rFPV) berbasis gen gag dan pol dan HIV-1 subtipe B, regimen vaksin DNA SAVINE dengan vektor pHIS-64 dan vektor rFPV berbasis genom HIV-1 yang diacak, serta vektor plasmid pHIS-64 dan FPV yang tidak mengandung gen sebagai grup kontrol. Respon kebal selular diamati dengan teknik ELiSpot dan pewamaan silokin intraselular, sedangkan respon kebal humoral diamati dengan teknik ELISA. Pada ketujuh hewan coba yang diimunisasi dengan vaksin DNA HIV-1 standar, secara umum hasil penelitian menunjukkan terinduksinya respon kebal selular terhadap protein Gag HIV-1 serta respon kebal humoral yang ditunjukkan dengan terdeteksinya antibodi terhadap protein p24 HIV-1. Respon kebal selular silang terhadap protein Gag HIV-1 dari subtipe yang berbeda juga ditunjukkan pada grup yang sama. Namun upaya melakukan imunisasi boosting ke-dua dengan vektor rFPV tidak menunjukkan perbaikan induksi respon kebal. Berbeda dari grup hewan coba yang menerima regimen vaksin DNA HIV-1 standar, pada grup yang menerima regimen vaksin DNA HIV-1 SAVINE secara umum tidak menunjukkan adanya induksi respon kebal, kecuali pada satu ekor hewan yang menunjukkan respon kebal selular yang lebih luas terhadap protein Pol dan protein-protein lain HIV-1 meski pada tingkat induksi yang amat rendah. Pengembangan teknologi vaksin SAVINE terus diperbaiki dan disempumakan dengan kemungkinan melibatkan vektor virus aktif yang lain sehingga induksi respon kebal yang diharapkan bisa tercapai. Specific Immune Responses to the Human Immunodeficiency Virus Type-1 (HIV-1) Proteins In Pigtail Macaque (Macaca nemestrina) Immunized with Whole Gene and Whole Virus Scrambled Antigen Vaccines T cell immunity plays a critical role in controlling HIV-1 viremia, and encoding a limited set of HIV-1 genes within DNA and poxvirus vectors can, when used sequentially, induce high levels of T cell immunity in primates. However, a limited breadth of T cell immunity exposes the host to potential infection with either genetically diverse HIV-1 strains or T cell escape variants of HIV-1. In an attempt to induce maximally broad immunity, we examined DNA (prime) and recombinant Fowlpox virus (rFPV, boost) vaccines encoding all HIV-1 genes derived from a global HIV-1 consensus sequence, but expressed as multiple overlapping scrambled 30 amino acid segments (scrambled antigen vaccines, or SAVINEs). Three groups of 7 pigtail macaques (Macaca nemestrina) were immunized with sets of DNA and rFPV expressing Gag/Pol antigens only, the whole genome SAVINE antigens, or no HIV-1 antigens. T cell immunity was monitored by ELISpot and intracellular cytokine staining, while the humoral immune response was monitored by p24 antibody capture ELISA. High levels of cross-subtype HIV-specific T cell immunity to Gag were consistently induced in the 7 macaques primed with DNA and rFPV vaccines expressing Gag/Poi as intact proteins. The humoral immunity was also induced in the animals from the same group. It was however, difficult to repeatedly boost immunity with further rFPV immunizations, presumably reflecting high levels of anti-FPV immunity. Unfortunately, this vaccine study did not consistently achieve a broadened level of T cell immunity to multiple HIV genes utilizing the novel whole-virus SAVINE approach, with only one of 7 immunized animals generating broad T cell immunity to multiple HIV-1 proteins. Further refinements are planned with alternate vector strategies to evaluate the potential of the SAVINE technology.
2005
D754
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika, 2008
616.925 FLU
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Galasso, George J.
New York: Raven press, 1984
616.9 Gal a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Cooper, J.I.
New York: Chapman and Hall, 1984
576.5 COO v
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Wolters Kluwer, 2013
616.910 1 FIE
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Guntoro
Abstrak :
Avian Influenza atau flu burung adalah jenis penyakit yang berasal dari virus H5N1. Penyakit ini menyebar dengan sangat cepat dan sangat potensial untuk menyebabkan kematian. Virus ini dapat menular melalui perantaraan unggas dan dapat menular dari unggas kepada manusia sehingga masyarakat Indonesia perlu berhati-hati dalam melakukan tindakan preventif dalam menghadapi penyakit flu burung ini. Dengan beragamnya perbedaan perilaku masyarakat Indonesia, tentunya akan menyebabkan perbedaan pula dalam melakukan penyikapan menghadapi flu burung. Sebuah lembaga tertentu melakukan survey di beberapa provinsi di Indonesia dimana telah terjadi kasus penularan flu burung kepada manusia. Terdapat 60.016 responden dengan 19 variabel kategorik yang akan dilibatkan dalam penelitian. Berdasarkan data ini, dilakukan analisis data yang menghasilkan kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam menyikapi flu burung adalah provinsi, jenis kelamin, pengetahuan mengenai penularan flu burung, sarana pembuangan, pemeliharaan unggas, kepemilikan binatang peliharaan dan jarak rumah ke pasar. Diantara faktor-faktor tersebut, faktor yang paling mempengaruhi perilaku masyarakat dalam menyikapi flu burung adalah pengetahuan mengenai penularan flu burung. Profil masyarakat yang mempunyai perilaku baik dalam menyikapi flu burung adalah memiliki pengetahuan penularan FB yang baik, berasal dari provinsi Jambi dan Nusa Tenggara Barat, memiliki tempat penampungan air limbah, saluran pembuangan air limbah, tempat sampah diluar rumah, punya tempat penampungan sampah organik, tidak memiliki binatang peliharaan.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
S27798
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Sulaeman
Abstrak :
Latar belakang: Kanker nasofaring merupakan keganasan yang unik dimana angka kejadiannya termasuk jarang disebagian besar negara, namun endemis di wilayah tiongkok selatan, dan asia tenggara termasuk Indonesia. Histopatologi kanker nasofaring di daerah endemik biasanya merupakan karsinoma jenis tidak berkeratin tidak berdiferensiasi dan selalu terkait dengan infeksi EBV. Berbagai jenis protein virus diekspresikan pada infeksi laten EBV termasuk EBNA1 dan LMP1 mungkin berkontribusi dalam perkembangan kanker. Oleh karenanya, kami ingin menginvestigasi peran onkoprotein virus tersebut terhadap agresivitas dan respon terapi kanker nasofaring. Metode: Spesimen biopsi jaringan dan darah yang diambil dari pasien kanker nasofaring diukur kadar EBNA1 dan LMP1 dengan menggunakan pemeriksaan ELISA kit masing-masing dari DRG® dan MyBioSource® kemudian dikorelasikan dengan voume tumor dan KGB terlibat yang dinilai berdasarkan delineasi berbasis pencitraan 3D. Pasien kemudian menjalani terapi standar, dan dilakukan penilaian 3 bulan paska terapi. Respon terapi akan dinilai hubungannya dengan kadar EBNA1 dan LMP1. Hasil: 23 subjek dimasukan kedalam studi, 69,5% berada pada stadium IVA keatas, dengan mayoritas laki-laki sebanyak 61%. Median volume tumor primer dan volume KGB masing masing 41,4cc (13,2-128,8) dan 40,1cc (1,2-633,5). Uji korelasi Spearman mendapatkan hubungan bermakna (p=0,032) antara kadar LMP1 jaringan dan volume tumor sebelum terapi (r=0,448). Tren korelasi yang moderat terlihat pada kadar EBNA1 di jaringan dengan di darah, kadar EBNA1 di jaringan dengan volume tumor primer, kadar EBNA1 di darah dengan volume KGB, serta Kadar LMP1 baik di jaringan maupun di darah dengan volume KGB, meskipun secara keseluruhan tidak bermakna secara statistik. Sementara itu, pengaruh kadar LMP1 dan EBNA1 terhadap respon terapi belum dapat disimpulkan. Kesimpulan: Semakin tinggi kadar LMP1 di jaringan tumor akan diikuti oleh semakin besarnya volume tumor primer nasofaring. Korelasi moderat tidak signifikan pada variabel lain mungkin diakibatkan oleh jumlah sampel yang kurang. Penambahan besar sampel diperlukan untuk konfirmasi signifikansi dari korelasi tersebut. ......Background: Nasopharyngeal cancer is an unique malignancy where the incidence is rare in most countries but endemic in Southern China and Southeast Asia, including Indonesia. The histopathology of nasopharyngeal cancer in endemic areas is usually an undifferentiated nonkeratinizing type carcinoma and is always associated with EBV infection. Various viral proteins are expressed in latent EBV infection, including EBNA1 and LMP1. These viral oncoproteins may contribute to cancer development, but they are not always be defined. Therefore, we want to investigate the role of these viral oncoproteins when it comes to the aggressivity and treatment response of nasopharyngeal cancer. Methods: Tissue biopsy and blood specimens taken from nasopharyngeal cancer patients were measured for EBNA1 and LMP1 using the ELISA kit examination from DRG® and MyBioSource® respectively, then correlated with primary tumor and nodal volume, which was calculated by delineation based on 3D imaging. Patients then underwent standard therapy, and was assessed 3 months post-therapy. Response to therapy will be assessed in relation to levels of EBNA1 and LMP1. Results: 23 subjects were included in the study, 69.5% was at stage IVA and above with the majority being males (61%). The median primary tumor and lymph node volume were 41.4cc (13.2-128.8) and 40.1cc(1,2-633.5), respectively. Spearman correlation test found a significant relationship (p=0.032) between tissue LMP1 levels and tumor volume before therapy (r=0.448). A moderate correlation trend was seen in EBNA1 levels in tissue with blood, EBNA1 levels in tissue with primary tumor volume, EBNA1 levels in blood with lymph node volume, and LMP1 levels both in tissue and in blood with lymph node volume, although overall it was not statistically significant. Meanwhile, the effect of LMP1 and EBNA1 levels on the response to therapy cannot be concluded. Conclusion: The higher the level of LMP1 in the tumor tissue, the larger the volume of primary nasopharyngeal tumor will be. Moderately insignificant correlation on the other variables may be caused by a small number of samples. The addition of the sample size is needed to confirm the significance of the correlation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>