Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meilia Witri Budi Utami
Abstrak :
Indonesia sebagai negara yang mempunyai cita negara hukum harus memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi warga negaranya dan bila terjadi pelanggaran atas hak asasi manusia tersebut, harus disediakan lembaga yang mampu memberikan keadilan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting dalam suatu negara hukum. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara serta penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Oleh karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara hukum. Jika dalam suatu negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya. Terdapat beberapa alasan perlindungan saksi dan korban antara lain: keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan, memberikan keterangan membuang waktu dan biaya, aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang tersangka/terdakwa dan bagi saksi (apalagi yang awam hukum) memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah. Pada pelanggaran HAM yang berat dapat dikatakan telah ada peraturan yang memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Adapun perlindungan terhadap saksi dan korban secara umum baik di dalam kasus pelanggaran HAM berat ataupun di luar kasus pelangggaran HAM berat, belum ada peraturan yang mengaturnya. Padahal, perlindungan saksi dan korban mutlak diperlukan bukan hanya pada kasus tertentu (dalam hal ini kasus pelanggaran HAM berat) melainkan pada semua kasus. Selain itu terdapat pula aturan mengenai perlindungan saksi dan korban yang tersebar di antaranya pada kasus tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan sebagainya. Perlindungan saksi dan korban yang diatur tersebar dan berupa peraturan pemerintah masih kurang memadai, dan seharusnya diatur dalam undang-undang tersendiri. Kemudian Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemeberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, mengamanatkan perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban. Berdasarkan amanat TAP MPR tersebut, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemudian mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 27 Juni 2002. RUU Perlindungan Saksi dan Korban ditetapkan sebagai salah satu dari 55 RUU prioritas yang akan dibahas oleh DPR dan Pemerintah dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hingga saat ini, RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih dalam tingkat pembahasan di DPR. Selanjutnya, sebagai perbandingan dapat kita lihat pelaksanaan perlindungan saksi dan korban di Amerika Serikat, Inggris dan Jerman. Hak-hak saksi dan korban yang seharusnya ada antara lain hak atas kemanan fisik dan mental, hak atas pendampingan, hak atas penerjemah, hak atas informasi, hak atas perlindungan bagi saksi yang renatan, hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Selain itu terdapat pula perlindungan saksi dan korban yang berupa relokasi. Hak-hak saksi dan korban yang seharusnya dilindungi oleh negara sebagai pelaksanaan hak asai manusia di dalam wadah negara hukum, membawa keharusan untuk menyediakan legislasi, lembaga yang berwenang dan juga pembiayaan serta sumber pembiayaan yang diperlukan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mudzakkir
Abstrak :
Korban kejahatan, setelah menjadi korban kejahatan, harus menghadapi suatu problem hukum yang krusiai yang menyebabkan dirinya mengalami viktlmlsasi sekunder (secondary victimization) karena adanya penolakan secara sistematis oleh sistem peradilan pidana. Sebagal pihak yang menderita dan dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana yang sedang diperiksa, korban kejahatan tidak dillbatkan dalam proses peradilan pidana (atau out sidet), keouali hanya sebagai saksi, dan semua reaksi terhadap pelanggar dimonopoli oleh negara (polisi dan jaksa). Hubungan hukum antara korban kejahatan di satu pihak dengan pelanggar hukum pidana dan negara (polisi dan jaksa) di lain pihak tidak diatur secara jelas. Masalah posisi hukum korban ini menjadi problem hukum yang mendasar karena menyangkut keberadaannya dalam hukum pidana secara menyeluruh. Disertasi ini mengkaji tentang posisi hukum korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana yang diatur dalam hukum positif (ius constitum) dan pengaturannya di masa datang (ius constituendum) melalui kajian peraturan perundang-undangan, yurisprudensi MARI, dan telaah pustaka serta dilengkapi dengan kajian hukum pidana Belanda sebagai contoh atau bahan analisis pengaturan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana. Nilai keadilan yang menjadi pangkal tolak pengaturan korban kejahatan dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana adalah keadilan retributif (retributive Justice) dan keadilan restoratif (restorative Justice). Kedua konsep Ini memiliki sejumlah perbedaan dalam memahami konsep dasar dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana dan posisi hukum korban. Sebagai elemen fiiosofis dari suatu sistem hukum (pidana) perbedaan ini adalah mendasar — atau perbedaan paradigmatik — yang mempengaruhi elemen substantif lainnya. Perkembangan pemikiran hukum pidana hingga sekarang menunjukkan adanya pergeseran perspektif dari retributive Justice kepada restorative Justice. Pengaturan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana melalui pembaruan hukum pidana Tahun 1981 (UU. No. 8 Tahun 1981, tentang KUHAP) secara umum telah mengubah elemen filosofis dan asas-asas hukum sebagai landasan filosofis peraturan hukum dari undang-undang sebelumnya (HIR), tetapi sejauh mengenai pengaturan korban kejahatan perubahan tersebut tidak sampai mengubah elemen filosofis dan asas-asas hukumnya. Masuknya 'hak-hak korban kejahatan' dalam KUHAP tidak diperkuat oleh landasan filosofis dan teori hukum yang mengakibatkan korban kejahatan tetap tidak diakui eksistensi dan posisi hukumnya sebagai korban dari pelanggaran hukum pidana yang menjadi baglan dari hukum pidana. Kelemahan aspek pengaturan korban ini berlanjut dalam praktek hukum yakni tidak dikembangkannya metode penemuan hukum yang inovatif untuk mendukung keadilan bagi korban kejahatan. Yurisprudensi MARI cenderung mempersempit (restriksi) dalam melakukan penafsiran hukum tentang penegakan hak-hak korban. Sesuai dengan dasar falsafah Pancasila dan konsep hukum pengayoman, kebijakan pembaruan hukum pidana yang beroiientasi kepada korban kejahatan (victim oriented) yang bertitik-tolak pada keadilan restoratif (restorative justice) diperlukan sebagai kebljakan penyeimbang (balance) pembaruan hukum sebelumnya yang berorlentasi kepada peianggar (offender oriented), atau sebagai kebijakan yang parity bukan priority, dikuatkan oleh kenyataan praktek hukum sehari-hari (aspek empirik), perkembangan teori hukum pidana (aspek teoretik), ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pokok serta kecenderungan masyarakat Internasional atau PBB (aspek yuridik/normatif). Keadilan restoratif (restorative Justice) dijadlkan kerangka dasar pengaturan korban kejahatan menuntut adanya perubahan pemahaman mengenal beberapa konsep dasar dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana, yaitu kejahatan atau pelanggaran hukum pidana adalah utamanya melanggar hak korban kejahatan, di samping melanggar kepentingan masyarakat dan negara; pengakuan eksistensi dan posisi hukum korban kejahatan; sistem peradilan pidana sebagai sistem penyelesalan konflik; dan restitusi dan kompensasi sebagai baglan dari hukum pidana dan pemidanaan. Strategi kebijakan terhadap korban kejahatan dilakukan; pertama, memberi perspektif baru (restorative Justice) dalam penyelenggaraan peradilan pidana tanpa campur tangan legislatif dan, kedua, kemudian mengubah peraturan hukum. Dalam penataan sistem peradllan pidana, pertama, mendampingkan penyelesaian perkara pidana menurut konsep restorative Justice dengan sistem peradilan yang berlaku sekarang sebagai sarana penyaring masuknya perkara ke pengadilan dan mencangkokkan restorative Justice ke dalam sistem peradllan pidana sekarang.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1783
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahetapy, J.E.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987
345.02 SAH v
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Gosita
Jakarta: Akademika Pressindo, 1993
362.880 2 ARI m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Latuma Erissa
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang prospek penerapan keadilan restoratif dalam tindak pidana pencurian ringan. Banyaknya perkara-perkara pencurian ringan yang lazimnya dilakukan oleh golongan marjinal telah menimbulkan keresahan tersendiri di tengah masyarakat. Bagaimana tidak, perkara yang dimasukkan dalam sistim Peradilan Pidana ini memiliki konsekuensi yuridis tersendiri akibat diperkarakan dengan menggunakan pasal 362 KUHP (pencurian biasa) sebagai tindak lanjut dari sudah tidak relevannya pasal 364 KUHP (pencurian ringan) dengan perkembangan ekonomi saat ini. Hal ini kemudian berimplikasi pada terusiknya rasa keadilan masyarakat dan munculnya rasa ketidakpuasan terhadap kinerja dari sistim Peradilan Pidana yang ada. Untuk membahas permasalahan tersebut, penulis membagi kajian tesis ini menjadi tiga bagian yaitu, pengalihan (diversi) perkara pencurian ringan ke pendekatan keadilan restoratif oleh polisi, solusi penyelesaian kasus tindak pidana pencurian ringan dalam perspektif keadilan Restoratif, serta kendala penerapan keadilan restoratif dalam tindak pidana pencurian ringan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan sosio-legal, sementara sumber data yang digunakan berasal dari data primer yang dihimpun melalui serangkaian wawancara. Setelah menganalisa permasalahan, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yaitu bahwa polisi dapat menggunakan kewenangan diskresinya pada tahap praadjudikasi sebagai jalan untuk mengalihkan perkara pencurian ringan menuju pengimplementasian keadilan restoratif. Selain itu, solusi yang ditawarkan dengan pendekatan keadilan restoratif terhadap tindak pidana pencurian ringan adalah dengan memulihkan keadaan korban seperti sebelum dilaksanakannya tindak pidana oleh pelaku. Pemulihan ini dapat dilakukan pelaku dengan bekerja selama 2 (dua) hari dengan durasi waktu 4-5 jam di rumah korban. Aspek yang terakhir ialah kendala penerapan keadilan restoratif terhadap tindak pidana pencurian ringan dimana kendala yang paling substansial terletak pada ketiadaan suatu aturan normatif yang mengatur penerapannya serta korban yang tidak bersedia untuk didamaikan.
This thesis discusses about the prospect of restorative justice in petty stealing. Seriously, many petty criminal cases, that commonly conducted by the marginalized groups, have resulted a restlessness in the community. In fact, the criminal justice system as the official system that addresses the petty crime has its own juridical consequnce since it applies article 362 of the substantive of law to sue the defendant. Article 362 is being used as the response to Article 364 which is no longer relevant due to the economic development nowadays. Unfortunately, It then provoked the community attention since suing the defendant in such a way would harm the justice, especially for the marginalized groups. In order to address this crucial issue in depth, the writer comprised the focus into three discussions which covered the act of the police to divert the petty crime to the restorative justice approach, the solution to resolve the petty crime through restorative justice perspective, and the constraints which impede the implementation of restorative justice while addressing the petty crime. Furthermore, this study used a juridical normative research method with socio-legal as the approach, meanwhile the source of data was taken by a series of interviews with a number of respondents that are closely related to this study. At the end, the result of this study showed that the police, somehow, can use their authority discretion in the pre-adjudication phase to divert the petty crime into the implementation of restorative justice. Moreover, the solution that can be offered through the restorative justice perspective in addressing the petty crime covered restoring the victim before the criminal act for two days with the duration of four to five hours at the victim's residence. Finally, the most substantial constraint that hindered the implementation of restorative justice toward the petty crime relied on the absence of normative regulations to organize its implementation and the victim who is unwilling to be reconciled.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30680
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cithayu Dyah Utami
Abstrak :
Penelitian ini membahas peran yang dilakukan oleh SELDA dan Karapatan dalam proses agenda setting pada Kebijakan Human Rights Victims Reparation and Recognition di Filipina tahun 2012-2013. Dalam mengkaji peran yang dilakukan oleh SELDA dan Karapatan tentang proses agenda setting Kebijakan Human Rights Victims Reparation and Recognition, penulis menggunakan teori agenda setting dan konsep NGO untuk menganalisis. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif. Fokus penelitian ini terletak pada peran SELDA dan Karapatan sebagai NGO yang bergerak di bidang HAM dalam proses agenda setting Kebijakan Human Rights Victims Reparation and Recognition. Peran yang dilakukan oleh SELDA dan Karapatan adalah 1 advokasi terhadap isu Human Rights Victims Reparation and Recognition; 2 artikulasi kepentingan Pemerintah Filipina. ...... This study examines the roles performed by SELDA and Karapatan in the agenda setting process on Human Rights Victims Reparation and Recognition Act in the Philippines 2012 2013. In examining the roles performed by SELDA and Karapatan in the agenda setting process of Human Rights Victims Reparation and Recognition Act, the authors use the agenda setting theory and the concept of NGO to analyze. This study is a descriptive research using qualitative method. The focus of this study lies in the role of SELDA and Karapatan as NGOs working in the field of human rights in the process of agenda setting the Human Rights Victims Reparation and Recognition Act. The roles performed by SELDA and Karapatan are 1 advocacy on the issue of Human Rights Victims Reparation and Recognition 2 articulation of interests of the Philippine Government.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Chaerudin
Jakarta: Grhadhika Press, 2004
345.05 CHA k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, 2007
347.066 IND u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dwinanto Agung Wibowo
Abstrak :
Peran pelaku kejahatan yang merupakan 'orang dalam' dianggap mempunyai potensi dalam membuka tabir kejahatan lebih signifikan. Terlebih lagi pada kejahatan yang melibatkan beberapa pelaku. Ia dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan, dan dimana bukti lainnya bisa ditemukan. Agar 'orang dalam' ini mau bekerjasama dalam pengungkapan suatu perkara, para penuntut umum di berbagai negara menggunakan perangkat hukum yang ada di masing-masing negaranya itu. Di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Italia dan Belanda, pelaku kejahatan yang merupakan 'orang dalam' yang mau bekerja sama dengan menjadi saksi terhadap pelaku kejahatan lainnya ini diberikan perhargaan atas peranannya tersebut. Dengan memberikan penghargaan merupakan cerminan perlindungan terhadap saksi. United Nations Convention Against Corruption, memberikan 2 macam bentuk perlindungan, yaitu pengurangan hukuman, dan kekebalan dari penuntutan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui konsep saksi mahkota di Indonesia dan perbandingannya dengan negara lain, mengetahui bagaimana saksi mahkota dalam praktik peradilan pidana di Indonesia dan mengetahui pengaturan mengenai saksi mahkota dalam hukum acara pidana di Indonesia yang akan datang. Metode yang dipergunakan dalam penelitian adalah yuridis normatif. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa konsep saksi mahkota di Indonesia adalah saksi yang diambil dari tersangka atau terdakwa dalam kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama dan kesaksian yang diberikannya dipandang sebagai alat bukti dan atas kesaksiannya itu dapat diberikan pengurangan hukuman. Sedangkan saksi mahkota yang ada di Amerika Serikat, Italia dan Belanda, yaitu pelaku kejahatan yang mau bekerja sama dengan penegak hukum dengan memberikan informasi dan/atau menjadi saksi terhadap pelaku kejahatan lainnya dan atas kerjasamanya itu dimungkinkan untuk diberikan kekebalan dari penuntutan. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Rancangan Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban telah memasukkan ketentuan pemberian kekebalan dari penuntutan dan ketentuan perlindungan hukum lainnya kepada saksi mahkota yang telah turut serta berperan dalam upaya penanggulangan kejahatan. ......A criminal's role who inner-cicle criminal is considered has a potency in revending crime more significant. More over in crime which involve a few doers. He can provide important evidence about who involved, what is role each does, how is crime is done, and where is another evidence can be found. In order that inner-cicle criminal wants to collaborate in revealing a case, prosecutor at various state utilize law's instrument which it's own in each state. At amount state, such as United States, Italy and Dutch, a criminal that is innercicle criminal who want to cooperate as witness for other criminal can be gived reward for his role. With gives appreciation to constitute protection reflection to witness, United Nations Convention Against Corruption give 2 kind of protection which is mitigating punishment and immunity from prosecution. The objective of this reseach to know crown witness concept at Indonesia and its compare with other state, know how crown witness in criminal justice praticaly at Indonesia. Method that is used in research is normatif's judicial formality. Of research result can be know that crown witness concept at Indonesia is witness that takes from suspected or defendant in a crime was done by together and witness that be given viewed as evidence and witness up it that can give mitigating punishment. Meanwhile crown witness that is at United States of America, Italy and Dutch, which is criminal who wants to cooperate with law enforcement officer with give information or as witness to another criminal and up that its cooperation is enabled to be given immunity from prosecution. The draft of Criminal Code Procedure dan the draft of Witness Protection Law of 2006 revision have inserted immunity from prosecution rule and other witness protection rule that senteced crown witness who participate in effort tacling crime.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28577
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>