Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adyuta Apsari
"Keluhan paling umum yang sering dialami perempuan usia reproduksi datang ke dokter adalah keputihan. Keputihan juga merupakan salah satu prediktor akan adanya infeksi menular seksual (IMS). Deteksi dini dan terapi yang adekuat pada IMS ini merupakan hal yang penting. Keputihan yang tidak diterapi dengan tepat memiliki risiko komplikasi terhadap organ reproduksi terutama pada perempuan dengan usia reproduksi yang seksual aktif. Data mengenai temuan mikroorganisme pada keputihan serta prevalensinya di Indonesia masih terbatas, terutama pada perempuan usia reproduksi seksual aktif. Penelitian ini bermaksud untuk menjawab masalah diatas. Temuan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data epidemiologis tambahan untuk klinisi dalam mendiagnosis keputihan pada perempuan usia reproduksi seksual aktif di Indonesia, sehingga dapat mengurangi terjadinya terapi yang tidak tepat.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan konsekutif sampling. Populasi target adalah semua perempuan usia reproduksi 15-49 tahun dengan keluhan keputihan. Populasi terjangkau adalah semua perempuan usia reproduksi yang sudah seksual aktif dengan keluhan keputihan yang datang ke poliklinik Ginekologi RSCM, RS puskesmas mitra RSCM, pada bulan Mei 2012 sampai Juni 2013.
Hasil: Temuan mikroorganime pada 81 subjek perempuan usia reproduksi seksual aktif dengan keluhan keputihan pada yang setuju mengikuti penelitian ini, yakni Candida sp. 31 orang (38,3%), Grup B Streptococcus 22 orang (27.2%), Trichomonas vaginalis 17 orang (21,0%), Staphylocossus aureus 16 orang (19.8%), Bacterial vaginosis 15 orang (18,5%), Chlamydia trachomatis sebanyak 11 orang (13,6%), Staphylococcus epidedermidis 8 orang (9.9%), Streptococcus viridans 5 orang (6.2%), Grup A Streptococcus 4 orang (4.9%), Acinetobacter baumanii 3 orang (3,7%), Neissseria gonorrhoe 2 orang (2,5%), Eschericia coli 2 orang (2.5%), Klebsiella pneumionia 2 orang (2.5%), Enterobacter aerogens 1 orang (1.2%), dan temuan mikroorganisme negatif pada 20 orang (24.6%). Pada identifikasi Candida sp, hasil kultur menunjukkan adanya Candida albicans pada 20 subjek (24,7%), Candida glabrata 5 subjek (6.2%), Candida tropicalis 3 subjek (3.7%), Candida parapsiolosis 2 subjek (2.5%).
Kesimpulan: Mikroorganisme yang ditemukan pada perempuan usia reproduksi yang seksual aktif dengan keluhan keputihan secara berurutan dari persentase yang tersering adalah Candida sp., Grup B Streptococcus, Trichomonas vaginalis, Staphylocossus aureus, Bacterial vaginosis, Chlamydia trachomatis, Staphylococcus epidedermidis, Streptococcus viridans, Grup A Streptococcus, Acinetobacter baumanii, Neissseria gonorrhoeae, Eschericia coli, Klebsiella pneumionia, Enterobacter aerogens. Pemeriksaan kultur menunjukkan spesies candida yang paling sering ditemukan secara berurutan adalah Candida albicans, Candida glabrata, Candida tropicalis, dan Candida parapsiolosis.

Background: The commonest complaint of reproductive age women visiting a doctor is because of vaginal discharge. Vaginal discharge is one of the predictor of a sexual transmitted disease. Early detection and adequate therapy of sexual transmitted disease is an important matter. Vaginal discharge which were given inadequate therapy, can risc having complication on reproductive organs, especially in sexually active reproductive age women. Study in Indonesia regarding microorganisme findings in sexually active reproductive age women is still limited. This study was meant to solve this problem.
Method: This study was descriptive observational study with consecutive sampling. The target population in this study were all sexually active reproductive age women who had complaints of vaginal discharge. The population of this study was affordable to all sexually active reproductive women who were treated at the Outpatient Clinic of Gynecology Unit of Ciptomangunkusumo Hospital and PHC partner of Ciptomangunkusumo Hospital in the period of may 2012 until June 2013.
Results: Microorganism findings in 81 sexually active women 18-45 years old who participated in this study, are Candida sp. 31 subject (38,3%), Grup B Streptococcus 22 subject (27.2%), Trichomonas vaginalis 17 subject(21,0%), Staphylocossus aureus 16 subject(19.8%), Bacterial vaginosis 15 subject(18,5%), Chlamydia trachomatis 11 subject (13,6%), Staphylococcus epidedermidis 8 subjects (9.9%), Streptococcus viridans 5 subjects (6.2%), Grup A Streptococcus 4 subjects (4.9%), Acinetobacter baumanii 3 subjects (3,7%), Neissseria gonorrhoeae 2 subjects (2,5%), Eschericia coli 2 subjects (2.5%), Klebsiella pneumionia 2 subjects (2.5%), Enterobacter aerogens 1 subjects (1.2%), negative findings on 20 subjects(24.6%). In the Identification of Candida sp, Culture result showed Candida albicans on 20 subjects (24,7%), Candida glabrata 5 subjects (6.2%), Candida tropicalis 3 subjek (3.7%), Candida parapsiolosis 2 subjects (2.5%).
Summary: Microorganism findings in sexually active reproductive age women from the highest percentage order, are Candida sp.,Grup B Streptococcus, Trichomonas vaginalis, Staphylocossus aureus, Bacterial vaginosis, Chlamydia trachomatis, Staphylococcus epidedermidis, Streptococcus viridians, Grup A Streptococcus, Acinetobacter baumanii 3, Neissseria gonorrhoeae, Eschericia coli, Klebsiella pneumionia, Enterobacter aerogens. In the Identification of Candida sp, culture result from the highest percentage order are, Candida albicans, Candida glabrata Candida tropicalis, and Candida parapsiolosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aliefatien Asmanuwati
"Latar belakang: Keputihan merupakan sering dijumpai menjadi alasan wanita berobat ke dokter. Pengenalan faktor risiko dan gejala yang menyertainya serta kaitannya dengan penyebab mikrobiologi keluhan keputihan dapat berguna bagi klinisi dalam praktik sehari-hari. Penelitian ini mencari hubungan antara faktor risiko dan gejala yang dialami terhadap temuan mikrobiologi penyebab keputihan pada wanita usia reproduksi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang di Departemen Obstetri & Ginekologi RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Wawancara dilakukan pada pasien di poliklinik dengan keluhan keputihan untuk identifikasi faktor risiko dan gejala. Temuan mikrobiologi dikonfirmasi dengan pemeriksaan yang spesifik sebagai baku emas.
Hasil: Sebanyak 81 subjek ikut serta dalam penelitian ini. Candida sp merupakan penyebab infeksi tunggal terbanyak yang ditemukan (17 subjek, 12,3%). Hubungan seksual yang sering (≥3 times/week, p<0,001) dan keputihan meningkat setelah berhubungan seksual (p=0.04) bmerupakan faktor risiko dan gejala yang berhubungan dengan Bacterial vaginosis, berturut-turut. Bau amis (p=0,09), nyeri vulva (p=0,026), dan peningkatan keputihan setelah hubungan seksual (p=0,002) merupakan gejala yang berhubungan dengan Trichomonas vaginalis. Gatal (p=0,028), keputihan seperti gumpalan susu (p<0,001), dan keputihan meningkat setelah hari ke-14 siklus menstruasi (p<0.001) berhubungan dengan Candida sp sementara penggunaan pil KB kombinasi (p=0,03) dan perdarahan setelah hubungan seksual (p=0,009) merupakan gejala yang berhubungan dengan Chlamydia trachomatis.
Kesimpulan: Beberapa faktor risiko dan gejala berhubungan dengan temuan mikrobiologi spesifik sebagai penyebab keluhan keputihan pada populasi wanita usia reproduksi.

Background: Vaginal discharge is a common reason for women to seek medical attention worldwide. Recognition risk factors and symptoms and their association to specific microbiological causes of vaginal discharge can be benefical for clinician in clinical practice. This study aimed to identify risk factors and symptoms and their association to specific microbiological causes of vaginal discharge among reproductive aged women.
Methods: This was a cross-sectional study conducted in Department of Obstetric & Gynecology, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. We interviewed outpatient subjects with vaginal discharge for risk factors and symptoms. Microbiological causes identification was performed using gold standard methods.
Results: A total of 81 subjects were included in this study. Candida sp was the commonest single infection (17 subjects, 12.3%). Frequent (≥3 times/week) sexual intercourse (p <0.001) and increased discharge after sex (p=0.04) were risk factor and symptom associated with Bacterial vaginosis, respectively. Fishy odor (p=0.09), vulva pain (p=0.026), and increased discharge after sex (p=0.002) were symptoms associated with Trichomonas vaginalis. Itchy sensation (p=0.028), clumps of milk appearance (p<0.001), and discharge increased after 14th day of cycle (p<0.001) were associated with Candida sp while taking combination pill (p=0.03) and bloody discharge after sex (p=0.009) were associated with Chlamydia trachomatis.
Conclusion: Several risk factors and symptoms found to be associated with microbiological causes of vaginal discharge in our population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggrainy Dwifitriana Kouwagam
"Latar Belakang:
Prolaps Organ Panggul (POP) merupakan kondisi kompleks yang terjadi akibat defek pada struktur penyokong vagina. Kondisi ini dapat disebabkan oleh proses trauma pada otot penyokong levator ani yang menyebabkan melebarnya luas hiatus genital. Pelebaran hiatus genital ini disebut ballooning. Prevalensi POP berkisar antara 20-50%, dengan insidensi mencapai 1,5 – 1,8 per 1000 wanita per tahun dengan puncak usia 60 – 69 tahun. Kondisi POP memberi dampak terhadap kualitas hidup seorang wanita dan sering dikaitkan dengan gangguan berkemih, buang air besar hingga disfungsi seksual. Tatalaksana definitif dalam penanganan POP adalah tindakan pembedahan. Tindakan levatorplasty dapat dilakukan pada kasus penurunan kompartemen posterior, terutama pada pasien POP dengan hiatal ballooning. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi risiko prolaps berulang di masa mendatang. Pasien dengan rencana operasi POP di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta yang disertai ballooning pada pemeriksaan USG pre-operatif dilakukan tambahan tindakan levatorplasty, namun belum ada penilaian pasca operasi mengenai perbaikan kondisi ballooning tersebut.
Objektif:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbaikan ballooning sebelum dan setelah dilakukannya tindakan levatorplasty pada pasien dengan POP. Perbaikan yang dinilai berupa perbaikan luas dan panjang diameter anterioposterior hiatus levator, perbaikan panjang Gh + Pb, serta perubahan skor keluhan disfungsi dasar panggul sebelum dan sesudah tindakan. Penilaian dilakukan dengan menggunakan USG 3 dan 2 dimensi untuk hiatus levator, pemeriksaan klinis Pelvic Organ Prolapse Quantification System (POP-Q) untuk panjang Gh + Pb, serta kuisioner Pelvic Floor Distress Inventory-20 (PFDI-20) untuk penilaian keluhan klinis disfungsi dasar panggul.
Metode:
Studi analitik komparatif berpasangan dengan desain gabungan kohort retrospektif dan kohort prospektif yang dilakukan di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan Divisi Uroginekologi dan Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Pengumpulan data retrospektif dilakukan dari Oktober 2021 hingga April 2022, dengan pengumpulan data prospektif untuk dilakukan tindakan levatorplasty dilakukan dari Oktober 2021 hingga Januari 2022. Sampel penelitian adalah wanita dengan POP dan ballooning yang dinilai dengan pemeriksaan USG Transperineal serta POP-Q, dan akan menjalani operasi levatorplasty.
Hasil:
Tingkat keberhasilan levatorplasty pada pasien POP dengan ballooning dilihat dari penurunan derajat ballooning berdasarkan kategori Lh max pada 28 pasien (87,5%), Ap hiatal pada 26 pasien (81,25%), dan panjang Gh + Pb pada 25 pasien (78,1%). Parameter PFDI yang diukur juga mengalami perbaikan dengan penurunan nilai median PFDI mencapai 31,2 (p = 0,009), serta penurunan pada nilai median sub-bagian POPDI-6 hingga 20,8 (p = 0,009), CRADI-6 hingga 6,2 (p = 0,096), dan UDI-6 hingga 10,4 (p = 0,360).
Kesimpulan:
Prosedur levatorplasty ditemukan dapat memperbaiki kondisi ballooning pada pasien POP yang dinilai dari perbaikan nilai luas dan panjang diameter anteroposterior hiatus levator, perbaikan klinis secara objektif (yang dinilai dengan pemeriksaan POP-Q) serta secara subjektif (yang dinilai dengan kuisioner PFDI-20). Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bukti untuk penerapan prosedur levatorplasty untuk dapat dilakukan pada pasien-pasien POP yang disertai dengan ballooning di tempat praktik klinis di semua penjuru Indonesia.

Background:
Pelvic Organ Prolapse (POP) is a complex condition resulting from defects in the supporting structures of the vagina. This condition can be caused by a traumatic process to the supporting muscles of the levator ani which causes the widening of the genital hiatus. This widening process is called ballooning. The prevalence of POP ranges from 20-50%, with an incidence reaching 1.5-1.8 per 1000 women each year with a peak age of 60-69 years. POP conditions may have an impact on a woman's quality of life and are often associated with urinary and defecation disorders, and also sexual dysfunction. The definitive treatment for POP is surgery. Levatorplasty can be performed in cases of posterior compartment descent, especially in POP patients with Hiatal ballooning. This action aims to reduce the risk of recurrent prolapse in the future. At Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Jakarta, patients with POP who are found with Hiatal ballooning during pre-operative ultrasound examination will be planned for an additional levatorplasty procedure. But there was no postoperative assessment regarding the improvement of the ballooning condition.
Objective:
This study aims to determine the improvement of ballooning after the levatorplasty procedure in patients with POP. The improvements assessed were the area and length of the anteroposterior diameter of the levator hiatus, the length of Gh + Pb, and complaints improvement for pelvic floor dysfunction. The assessment was done using 3- and 2-dimensional ultrasound for levator hiatus, clinical examination of the Pelvic Organ Prolapse Quantification System (POP-Q) for length Gh + Pb, and the Pelvic Floor Distress Inventory-20 (PFDI-20) questionnaire to assess clinical complaints of pelvic floor dysfunction.
Methods:
A paired comparative analytic study with a combined retrospective and prospective cohort design was carried out at the Obstetrics and Gynecology Outpatient Unit, Division of Urogynecology and Reconstruction, Department of Obstetrics and Gynecology, dr. Cipto Mangunkusumo Central General Hospital Jakarta. Retrospective data was collected from October 2021 to April 2022, with prospective data for levatorplasty performed from October 2021 to January 2022. The study sample was women with POP and ballooning who were assessed by transperineal ultrasound examination and POP-Q examination and will undergo levatorplasty procedure.
Result:
The success rate of levatorplasty in POP patients with ballooning was seen from the decrease in the degree of ballooning by the measurement of Lh max in 28 patients (87.5%), Ap hiatal in 26 patients (81.25%), and the length of Gh + Pb in 25 patients (78, 1%). The measured PFDI parameters also improved with a decrease in the median value of PFDI reaching 31.2 (p = 0.009), as well as a decrease in the median value of the POPDI-6 subsection to 20.8 (p = 0.009), CRADI-6 to 6.2 (p = 0.096), and UDI-6 to 10.4 (p = 0.360).
Conclusion:
The levatorplasty procedure is proven to repair the ballooning conditions in POP patients as assessed by improvements in the area and length of the anteroposterior diameter of the levator hiatus, clinical improvement objectively (as assessed by the POP-Q examination), and subjectively (as assessed by the PFDI-20 questionnaire). The results of this study are expected to be evidence for the application of the levatorplasty procedure to be performed on POP patients accompanied by ballooning in many clinical practices throughout Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilkinson, Edward J.
"Designed for quick, easy reference in the office or clinic, Atlas of Vulvar Disease is a robust pictorial and textual guide to the diagnosis, treatment, and management of vulvar diseases. Written by Edward J. Wilkinson, MD, a professor of pathology and expert in gynecologic pathology, and I. Keith Stone, MD, a professor of obstetrics and gynecology, this atlas is a must-have resource for both clinicians and pathologists focused on women{u2019}s health. Organized by dermatologic findings, Atlas of Vulvar Disease presents a complete overview of diseases within each broader topic area. Each disorder includes a definition, general features, clinical presentation, microscopic features, differential diagnosis, clinical behavior and treatment, and progressive therapeutic options, to guide the diagnosis and treatment of various vulvar diseases."
Philadelphia: Wolters Kluwer Health, 2012
618.16 WIL w
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library