Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Julia R.D. Nizam
Abstrak :
UKSA metode Sabroe dinyatakan positif bila diameter edema akibat penyuntikan serum lebih besar atau sama dengan 1,5 mm dibandingkan dengan diameter edema akibat penyuntikan satin, dan eritema akibat penyuntikan serum sewama dengan eritema akibat penyuntikan histamin. Dengan menggunakan kriteria tersebut, sensitivitas berkisar 65-71 %, dan spesifisitas mencapai 78-81 %. RW Soebaryo (2002) dengan menggunakan metode tanpa kontrol positif (histamin), melaporkan angka kepositivan UKSA pada 31 pasien dari 127 pasien UK (24,4%). Penulis akan meneliti prevalensi kepositivan UKSA pada pasien UK dengan menggunakan pemeriksaan UKSA metode Sabroe yang dapat rnemberi hasil sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga dapat diperoleh angka morbiditas UA di antara pasien UK secara tepat. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH a. Penyebab UK sebagian besar (50-80 %) tidak diketahui (UKI). Sekitar 50% pasien UKI temyata memiliki etiologi autoimun. Untuk membuktikan etiologi autoimun dapat dilakukan pemeriksaan UKSA metode Sabroe yang memberikan angka sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi autoantibodi dalam serum pasien. b. Gambaran klinis pasien yang memiliki autoantibodi fungsional cenderung lebih parah dibandingkan dengan pasien tanpa autoantibodi. PERTANYAAN PENELITIAN a. Berapakah angka kepositivan UKSA metode Sabroe pada pasien UK di Departemen IKKK RSCM ? b. Apakah terdapat perbedaan keparahan klinis antara pasien UK dengan UKSA positif dan pasien UK dengan UKSA negatif ? TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui prevalensi kepositivan UKSA metode Sabroe pada pasien UK. 2. Menilai dan membandingkan gambaran klinis antara pasien UK dengan UKSA positif dan pasien UK dengan UKSA negatif.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T 21445
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Grace Nami
Abstrak :
Helicobacter pylori (Hp) infection is the most common chronic bacterial infection in human. The role of Hp infection in various GI disorders had been widely accepted. However, further studies have found new extragastrointestinal involvement such as urticaria. Chronic urticaria is a common disorder that has complex pathophysiologic mechanism. As mater of fact, etiology remains unclear in most of the cases. This condition is called Idiopathic Chronic Urticaria. Several studies had shown high prevalence of Hp infection in patients with ICU and improved symptoms after eradication therapy of Hp. This observation had suggested that Hp has important role as etiologic factor in some cases of ICU. The presence of Hp infection and its role in ICU should be proven before initiating eradication therapy, so that irrational used of drugs and antibiotics resistance can be prevented.
The Indonesia Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy, 2005
IJGH-6-2-August2005-48
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Marsha Bianti
Abstrak :
Latar belakang: Penilaian keaktifan penyakit urtikaria kronik selama ini menggunakan kuesioner Urticaria Activity Score (UAS) yang telah divalidasi namun memiliki kekurangan bersifat subjektif. Berbagai biomarker telah dilaporkan berpotensi menilai keaktifan penyakit urtikaria kronik secara objektif untuk melengkapi penilaian menggunakan kuesioner UAS tetapi belum secara rutin dan seragam digunakan pada urtikaria kronik. C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu biomarker potensial yang secara luas tersedia dengan biaya yang tidak tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian di Indonesia yang menilai apakah CRP dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menilai keaktifan penyakit urtikaria kronik. Tujuan: Menilai korelasi antara kadar CRP dengan keaktifan penyakit urtikaria kronik yang dinilai berdasarkan UAS7. Metode: Sebanyak 18 pasien urtikaria kronik berusia 18 – 59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan menjadi subjek penelitian. Dilakukan penilaian UAS7 dan pemeriksaan kadar CRP. Korelasi kadar CRP dan keaktifan penyakit yang dinilai dengan UAS7 dilakukan menggunakan uji Spearman. Hasil: Lebih dari 1/3 pasien dengan urtikaria kronik memiliki kadar CRP yang meningkat di atas normal dengan nilai median 2,5 (0,1 – 8,7) mg/L. Median skor UAS7 adalah 14 (5 – 32). Berdasarkan uji Spearman didapatkan nilai koefisien korelasi (r=0,529) dengan nilai p=0,024. Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara kadar CRP dengan keaktifan penyakit urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner UAS7. ......Background: Urticaria Activity Score is a questionnairres that has been use as a tool to assess disease activity. This tool is validated and of great value in the monitoring of patients with chronic urticaria, but has disadvantage of being subjective instrument. Several reports have suggested that blood parameter, such as CRP, may indicate disease activity and may be considered as potential biomarker for chronic urticaria however, it is not routinely used in daily practice in Indonesia. Therefore, research is needed to see whether CRP can be supporting examination of choice to assess disease activity. Objective: To assess the correlation between CRP levels and disease activity measured by UAS7. Method: Eighteen chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias are recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of CRP levels were performed. Correlation of CRP levels and diasease activity was done using Spearman analysis. Results: CRP levels was higher in more than 1/3 patients with chronic urticaria with median 2,5 (0,1 – 8,7) mg/L. The median of UAS7 is 14 (5 – 32. Based on Spearman analysis, the coefficient of correlation is 0,529 with p value = 0,024. Conclusion: CRP levels was significantly correlated with disease activity as measured by UAS7.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teffy Nuary
Abstrak :
Latar belakang: Penilaian kualitas hidup dibutuhkan untuk menilai respons terapi. Saat ini belum tersedia instrumen penilaian kualitas hidup pasien urtikaria kronik berbahasa Indonesia. CU-Q2oL merupakan kuesioner spesifik urtikaria kronik yang pertama kali dikembangkan dalam versi bahasa Italia. Proses adaptasi lintas bahasa dan budaya diperlukan agar kuesioner dapat digunakan di Indonesia. Uji validitas dan reliabilitas penting untuk memastikan telah digunakan bahasa atau istilah yang tepat sesuai budaya setempat dan tidak terdapat perubahan validitas dan reliabilitas kuesioner tersebut. Tujuan: Mendapatkan kuesioner CU-Q2oL berbahasa Indonesia yang diadaptasi dari CU-Q2oL berbahasa Italia untuk menilai secara spesifik kualitas hidup pasien urtikaria kronik. Metode: CU-Q2oL asli berbahasa Italia diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Pengisian kuesioner kualitas hidup urtikaria kronik (KHUK) dilakukan pada 40 pasien dengan urtikaria kronik di poliklinik Kulit dan Kelamin RS. Dr. Cipto Mangunkusumo secara daring menggunakan google form. Uji validitas dilakukan dengan menghitung nilai koefisien korelasi, uji reliabilitas dilakukan dengan menghitung nilai Cronbach α dan intraclass coefficient (ICC). Hasil: Adaptasi lintas bahasa dan budaya CU-Q2oL berbahasa Italia menghasilkan sebuah kuesioner KHUK. Nilai koefisien korelasi seluruh pertanyaan dengan skor total berkisar antara 0,467 – 0,856. Koefisien korelasi pertanyaan dengan skor ranah antara 0,585 – 0,958. Cronbach α seluruh pertanyaan 0,923 dan cronbach α pertanyaan sesuai ranah antara 0,738 – 0,904. ICC seluruh pertanyaan adalah 0,913 dan ICC setiap ranah antara 0,898 – 0,950. Kesimpulan: Telah diperoleh kuesioner KHUK berbahasa Indonesia berdasarkan adaptasi lintas bahasa dan budaya. Kuesioner KHUK berbahasa Indonesia dinyatakan valid dan reliabel sebagai suatu alat ukur untuk menilai kualitas hidup pasien urtikaria kronik di Indonesia. ......Background: Assessment of quality of life is needed to assess therapeutic response. There is no instrument for assessing the quality of life of chronic urticaria patients in Indonesia. CU-Q2oL is a specific questionnaire for chronic urticaria that was first developed in Italian version. Cross-language and cultural adaptation processes are needed so that the questionnaire can be used in Indonesia. Validity and reliability tests are important to ensure that the language or term that used is appropriate to the local culture and there is no change in the validity and reliability of the questionnaire. Objective: Obtain an Indonesian-language CU-Q2oL questionnaire that adapted from Itaian version of CU-Q2oL to specifically assess the quality of life of patients with chronic urticaria. Method: The Italian version CU-Q2oL was translated into Indonesian language. The KHUK questionnaire was answered by 40 chronic urticaria patients in dermatology dan venereologi clinic of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital using google form. Validity test is done by calculating the value of the correlation coefficient, reliability test is done by calculating the value of Cronbach α and intraclass coefficient. Result: Cross-language and cultural adaptations of Italian vesrsion CU-Q2oL resulted a KHUK questionnaire.. Correlation coefficient values for all questions with a total score ranging from 0.467 to 0.856. The question correlation coefficient with domain scores was between 0.585 - 0.958. Cronbach α of all questions 0,923 and the value of cronbach α of questions according to the realm ranged from 0.738 - 0.904. The ICC for all questions is 0.913 and the ICC for each domain ranges from 0.898 - 0.950. Conclusion: KHUK questionnaire based on cross – language and cultural adaptation has been obtained. The questionnaire is valid and reliable to assess the quality of life of chronic urticaria patients in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nopriyati
Abstrak :
Diantara peneliti ada perbedaan temuan klinis hasil ASST pada urtikaria kronik idiopatik (UKI). Tanuus dkk (1996) melaporkan tidak ada perbedaan klinis bermakna pada UKI, sedangkan Sabroe dkk (1999) menemukan perbedaan bermakna dalam hal durasi dan gatal pada UKI. Prevalensi urtikaria pada Rumah Sakit Dr. Moh. Hoesin Palembang memperlihatkan peningkatan tetapi tidak ada data mengenai UKI dan derajat gambaran klinis. Tujuan penelitian untuk mencari hubungan antara hasil ASST dengan derajat gambaran klinis UKI dan membandingkan gambaran klinis UKI dengan hasil ASST positif dan ASST negatif. Penelitian ini merupakan studi analitik dengan rancangan cross sectional. Lima puluh empat subjek diikutkan dalam studi setelah diseleksi. Persetujuan etik didapatkan dari Unit Bioetik dan Humaniora FK Unsri. Anamnesis UKI berupa gambaran klinis berupa skor klinis dan data hasil pemeriksaan fisik dikumpulkan dan dianalisis menggunakan piranti lunak SPSS. Korelasi Spiermann digunakan untuk menganalisis hubungan diantara derajat gambaran klinis UKI dengan hasil ASST. Ada hubungan bermakna diantara tingkat keparahan klinis UKI dengan hasil ASST (p=0,00; 0,598). Pasien UKI dengan skor 27 (nilai cut-off) 11 kali lebih sering menderita urtikaria autoimun daripada pasien dengan nilai cut-off dibawah 27 (p=0,00). ......There were differences in clinical finding among authors about autologous serum skin test/ASST result in chronic idiopathic urtikaria/CIU. Tanus et al (1996) reported there was no significant differences in clinical features of CIU, whereas Sabroe et al (1999) found significant differences in duration and itch of CIU patients. The prevalence of urticaria in General Hospital Dr. Moh. Hoesin Palembang showed increased tendency but there was no data about CIU and the severity of clinical features. The objectives of this study were to find out the significant correlation between ASST and severity of clinical features of CIU, and compared the difference of clinical features of CIU with and without positive ASST. This study was an observational analytic study, with cross sectional design. Fifty four subjects included in this study after following selection. Ethical approval was obtained from Bioethics and Humanities Unit, Faculty of Medicine Sriwijaya University and Dr. Moh. Hoesin Hospital Palembang. The clinical feature of 54 patients with CIU were evaluated. The data of physical examination and the anamnesis about clinical scores collected and analyzed using SPSS software and Spierman correlation was used to analyze the correlation between clinical severity of CIU and ASST result. Student?s t-test was used to analyze the differences in clinical severity of CIU with and without positive ASST. There was significant correlation between the severity clinical feature of CIU and ASST result (p=0,00 ; R=0,598). Patients with positif ASST results (46,3%) had more duration of illness (0,00), higher pruritus score (0,00), and angiodema score (0,024). The CIU patients with severity clinical score of 27 (cut-off point), 11 times more likely to develop autoimmune urticaria than the patients with cut-off below 27 (p=0,00)
Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Grace Nami
Abstrak :
Urtikaria kronik (UK) adalah urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dengan frekuensi minimal kejadian urtika sebanyak dua kali dalam 1 minggu. Urtikaria kronik merupakan penyakit yang umum dijumpai dengan insidens pada populasi umum sebesar 1-3%, serta melibatkan mekanisme patofisiologi yang kompleks. Urtikaria kronik lebih sering ditemukan pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak dan wanita dua kali lebih sering terkena daripada pria. Laporan morbiditas divisi Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta antara Januari 2001 hingga Desember 2005 menunjukkan jumlah pasien UK sebesar 26,6% dari total 4453 orang pasien baru. Meski telah dilakukan pemeriksaan klinis maupun berbagai pemeriksaan penunjang, etiologi tidak ditemukan pada 80-90% pasien UK dan digolongkan sebagai urtikaria kronik idiopatik (UKI). Urtikaria kronik idiopatik seringkali menimbulkan masalah bagi dokter maupun pasien. Pada penelitian lebih lanjut ditemukan autoantibodi pelepas histamin pada 30-50% kasus UKI, sehingga digolongkan sebagai urtikaria autoimun (UA). Autoantibodi pada UA dapat dideteksi dengan beberapa pemeriksaan, antara lain uji kulit serum autolog (UKSA) atau disebut pula tes Greaves. Saat ini UKSA dianggap sebagai uji kiinik in vivo terbaik untuk mendeteksi aktivitas pelepasan histamin in vitro pada UA. Angka morbiditas UA di Indonesia belum pernah dilaporkan hingga saat ini. Soebaryo (2002) melaporkan angka kepositivan UKSA sebesar 24,4% pada 127 pasien UK, sedangkan Nizam (2004) memperoleh angka prevalensi kepositivan UKSA sebesar 32,1% pada 81 pasien UK. Infeksi kuman Helicobacter pylori (Hp) merupakan infeksi bakterial kronik tersering pada manusia, mencapai 50% dari seluruh populasi dunia. Peran infeksi Hp sebagai etiologi kelainan gastrointestinal telah diterima luas. Studi lebih lanjut menemukan keterlibatan infeksi Hp pada berbagai kelainan ekstragastrointestinal, antara lain UKI. Berbagai penelitian di Iuar negeri memperlihatkan tingginya prevalensi infeksi Hp pada pasien UKI, disertai dengan remisi klinis UKI pasca terapi eradikasi Hp. Pada penelitian-penelitian awal didapatkan angka prevalensi mencapai 80% dan remisi klinis pasta terapi eradikasi Hp terjadi pada 95-100% pasien. Pada penelitian-penelitian selanjutnya ditemukan prevalensi dan frekuensi keterkaitan yang bervariasi. Suatu studi meta-analisis mengenai infeksi Hp pada UKI menyimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya resolusi urtika empat kali lebih besar pada pasien yang mendapat terapi eradikasi Hp dibandingkan dengan pasien yang tidak diterapi. Namun demikian, remisi total hanya terjadi pada 1/3 pasien yang mendapat terapi eradikasi. Pengamatan ini mendasari timbulnya pemikiran bahwa Hp berperan penting sebagai etiologi pada sebagian kasus UKI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21318
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library