Besarnya perputaran finansial dalam tata kelola rumah susun komersial milik, tidak jarang menghadirkan hubungan asimetris antara pelaku pembangunan sebagai sektor swasta dan pemilik rumah susun sebagai warga negara. Kondisi ini ditandai oleh pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh pelaku pembangunan. Sepanjang tahun 2018, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerima berbagai keluhan terkait dengan tata kelola rumah susun, termasuk konflik kepentingan dan persoalan transparansi dalam Perhimpunan Penghuni dan Pemilik Satuan Rumah Susun (PPPSRS). Sebagai respons atas agenda kebijakan yang telah didorong oleh beberapa kelompok kepentingan sejak tahun 2006, pemerintah berusaha untuk merumuskan kebijakan publik dalam upaya melindungi setiap pihak yang terlibat dalam tata kelola perumahan bertingkat tinggi, terutama bagi warga negara. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji implementasi Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 132 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Apartemen Milik (Pergub 132/2018) pada bidang tata kelola di Apartemen Taman Rasuna dan Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan.
The magnitude of profit turnover in commercial apartments management, frequently led to the asymmetrical relationship between real estate developer as private sector and apartments’ owner as citizen. This condition was marked by administrative violations which often carried out by real estate developers. Throughout 2018, the DKI Jakarta Provincial Government received various complaints related to the apartments’ management and operation, including conflict of interests and transparancy issues in the Apartments’ Owners and Residents Association (PPPSRS). Following certain policy agenda that had been pushed by several interest groups since 2006, the government attempted to formulate a particular public policy to protect each party involved in the vertical housing operation, especially citizen. Conducted with a qualitative research method, the objective of this study is to examine the implementation of the DKI Jakarta Provincial Governor Regulation Number 132 Year 2018 concerning in the Management of Owned Apartments (Pergub 132/2018) inApartemen Taman Rasuna and Apartemen Kalibata City, South Jakarta.
Perpindahan dari satu titik ke titik lain biasa kita kenal dengan istilah mobilitas. Kegiatan berjalan kaki sebagai sarana mobilitas yang telah kita kenal sejak lama membutuhkan perhatian agar kelangsungannya dapat berjalan dengan baik. Mempercepat mobilitas berarti mempercepat pergerakan dengan cara mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk berpindah dari satu titik ke titik lainnya. Dalam konteks berjalan kaki, pengurangan waktu tempuh atau peningkatan mobilitas dapat dicapai dengan adanya permeabilitas suatu lingkungan terhadap aktor-aktor pergerakan yang adalah pejalan kaki itu sendiri. Permeabilitas lingkungan diciptakan dari faktor-faktor seperti konektivitas dan aksesibilitas. Dalam arsitektur, permeabilitas tercipta dari hal-hal fisik yang ada disuatu kawasan dan hal non fisik yaitu kenyamanan dari manusia itu sendiri. Skripsi ini akan mengulas tentang apa-apa saja yang seharusnya ada dalam suatu kawasan kota agar kota itu dapat bersifat permeabel bagi pejalan kaki khususnya di kawasan perkotaan dimana cenderung terjadi banyak aktivitas berjalan kaki. Lokasi penelitian berada di dua kawasan berbeda dengan harapan dapat terlihatnya perbedaan dalam hal permeabilitas pejalan kaki oleh perbedaan kondisi fisik yang terdapat di masing-masing kawasan.
We have known mobility as an activity that requires movement from one point to another. Activity of moving on foot as a primary mobility choice requires no less attention so that it may go well in practice. To increase mobility means to increase speed of human movement by reducing the time needed for movement from one point to another. In context of walking, reduction of such time or an increase of mobility can be reached by an existence of permeability in a neighborhood toward actors of movement whom we have known as the pedestrian. Permeability of a neighborhood is also formed by factors such as connectivity and accessibility. In architectural context, permeability is formed by physical things that are inside the neighborhood and also by non-physical factor which is the feeling of cozyness that a pedestrian can get from within the place itself. This undergraduate thesis is going to discuss about what should probably exist inside a neighborhood of a city so that the place can be permeable for pedestrian movement especially in a neighborhood where activity of movement/mobility is more likely to happen. Location of study is two different neighborhoods in hope that factors affecting pedestrian permeability will be more obvious by difference of physical condition within each respective neighborhood.