Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edy Muladi
Abstrak :
Masyarakat ada dalam dunia sosial yang kemudian menghasilkan produk sosial; salah satunya adalah ruang. Ruang seringkali diartikan sebagai sesuatu dimana kita dapat bergerak di dalamnya, atau secara konseptual diartikan sebagai tempat dimana tindakan-tindakan dilakukan. Dalam konteks tersebut, keragaman kebutuhan masyarakat akan sangat mendorong lahirnya konsep pemanfaatan ruang, termasuk ruang publik. Ruang publik didefinisikan sebagai tempat yang responsif, demokratis dan penuh makna dimana kepentingan penggunanya dilindungi. Ruang publik dapat diakses oleh berbagai kelompok untuk tindakan-tindakan bukan hanya yang bersifat bebas namun juga untuk klaim penguasaan yang temporer. Sebuah ruang publik dapat berupa ruang dimana setiap orang dapat bertindak secara Iebih bebas. Konsekuensinya, ruang publik dapat diubah oleh tindakan publik karena ruang publik dimiliki oleh semua orang. Ruang publik tersebut di atas, kemudian berubah menjadi ruang kuasi-publik (ruang publik semu) oleh mereka yang menginginkan akses tak terbatas, dan rentan dengan interpretasi negara akibat berbagai peraturan yang dilekatkan di dalamnya. Negara yang dianggap sebagai moderator penciptaan ruang-ruang publik, kemudian dengan representasi dari ?kepublikan' mempunyai peranan dan porsi besar di dalam bentuk kekuasaan. Ia memegang legitimasi kekuasaan yang besar melalui kelegalan, hukum dan perundangan. Kekuasaan negara yang dijalankan dengan mengatasnamakan yang "pubIik" tersebut tidak lain adalah "privat" alias merepresentasikan kemenangan sebuah kepentingan. Studi dilakukan di Hutan Kota Srengseng, kelurahan Srengseng, kecamatan Kembangan, Jakarta Barat sebagai salah satu Ruang Terbuka Publik yang ditetapkan berdasarkan SK Gubernur No. 202 tahun 1995. Metode yang diterapkan dalam Studi ini adalah metode kualitatif dengan pengamatan dan wawancara mendalam. Studi berisi gambaran tentang pemanfatan Hutan Kota oleh berbagai peran di dalamnya dan berbagai relasi sosial dan kekuasaan yang dijalinnya baik oleh kelompok maupun individu. Studi bertujuan memperlihatkan adanya hubungan antara penguasaan dan pemanfaatan ruang publik dengan bentuk-bentuk relasi sosial dan kekuasaan yang dibangun. Temuan dalam studi ini adalah bahwa relasi-relasi sosial dan kekuasaan ditandai dengan adanya hubungan kekuatan (sosial dan ekonomi) yang bertujuan pada pembentukan situasi yang dianggap strategis demi tujuan-tujuan berbagai peran yang rnemanfaatkan ruang publik. Relasi-relasi tersebut mendorong terjadinya perubahan gagasan secara terus menerus berhubungan dengan ketentuan: apa yang boleh, apa yang tidak boleh; apa yang dianjurkan dan apa yang ditentang. Pembahan yang terus menerus tersebut berkaitan dengan berkembangnya konflik-konflik, negosiasi-negosiasi dan teknik-teknik untuk menjaga dan meningkatkan posisi sosial berbagai peran, mulai dari cara-cara psikologis hingga melakukan kekerasan lewat intervensi material terhadap ruang kehidupan peran lainnya. Hal tersebut dapat terjadi karena Negara dengan Kekuasaannya yang besar sekaligus lemah dalam pelaksanaan peraturan akibat mengemukanya kepentingan pribadi aparat negara.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effa Millya Yulief
Abstrak :
Pembangunan kota Jakarta yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan kecenderungan terjadinya penurunan kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH). Kini luasan RTH Jakarta diperkirakan 9,67% pada tahun 2006 dari total luas kota Jakarta yaitu 66.152 hektar. Namun keberadaan hutan kota sering dianggap bernilai ekonomi rendah sehingga cenderung diabaikan dan dialihfungsikan. Kondisi tersebut menyebabkan pembangunan dan pemeliharaan hutan kota tidak menjadi prioritas, akibatnya kondisi hutan kota yang ada tidak berkembang sebagaimana harapan. Penilaian ekonomi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan perlu dilakukan. Nilai ekonomi hutan kota dilakukan melalui pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh manfaat dari barang dan jasa yang lain. Konsep ini yang disebut dengan keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan konsep ini, maka nilai ekologis hutan kota dapat dihitung secara ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa. Untuk mengetahui nilai ekonomi total dari hutan kota Srengseng didapatkan melalui nilai guna dan non guna dari hutan kota Srengseng yang terdiri dari nilai ekonomi kayu, nilai sewa lapak tanaman hias, nilai rekreasi, nilai serapan karbon, nilai kesejukan, nilai resapan air, nilai option dan nilai keberadaan hutan kota. Metode yang digunakan untuk menghitung nilai ekonomi hutan kota Srengseng antara lain melalui : 1) metode penilaian secara langsung (berdasarkan nilai pasar), 2) metode menggunakan nilai pasar barang pengganti, dan 3) metode survey. Contingent valuation method merupakan metode untuk penilaian barang publik melalui nilai kesediaan berkorban (willingness to pay). Nilai WTP yang diberikan masyarakat dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi. Kemudian untuk memperkuat nilai ekonomi hutan kota yang didapatkan, dilakukan konversi nilai lahan Hutan Kota Srengseng dengan menggunakan harga NJOP wilayah setempat. Dengan demikian akan diperoleh keberadaan hutan kota Srengseng secara ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh nilai ekonomi total hutan kota Srengseng sebesar Rp 310.075.842.525,- per tahun atau Rp 20.671.722.835,- per hektar lebih tinggi dari nilai lahan Hutan Kota Srengseng adalah sebesar Rp 172.928.550.000,-. Nilai ekonomi total Hutan Kota Srengseng yang diperoleh merupakan nilai aset Pemda DKI Jakarta yang belum pernah diketahui. Perolehan nilai ekonomi Hutan Kota Srengseng merupakan masukan bagi Pemda DKI Jakarta untuk dapat meningkatkan keberadaan hutan kota sebagai sebuah aset xekologis yang mempunyai nilai tinggi. Masukan tentang nilai ekonomi hutan kota akan memperkuat Pemda DKI Jakarta dalam meningkatkan dan mengembangkan ruang terbuka hijau khususnya hutan kota.
The quantity and quality decreasing of public spaces, especially the Green Public Spaces, is the impact of Jakarta development that focuses on its economical improvement. To be more precise, the width of Green Public Spaces in 2006 is only about 9,67% of 66.152 hectar of Jakarta total areas. In this case, the urban forest socialization is one of the concrete ways to develop the Jakarta Green Public Spaces. The existence of urban forest, how ever, is often defined as the low economical value thing that leads to dysfunction and negligence. Such condition makes the development as well as the preservation of urban forest has not become a priority. Therefore, economic valuation of natural and environmental resources is considered to be a significant point. The concept of willingness to pay is one method in mensuring the economical value of urban forest. It is the concept of estimating the maximum cost that sameone is willing to pay for a natural or environmental product/service. Related to this, the ecological value of urban forest can be economically measured by evaluating its monetory value. In this study, the economical value of urban forest. This the existence of Srengseng Urban Forest will be economically obtained. Based on the study, it is defined that the total economical value of Srengseng Urban Forest is Rp 310.075.842.525/ year or Rp 20.671.722.835,- /hectar or higher than Srengseng Urban Forest land value as Rp 172.298.550.000. In this sense, the obtained Srengseng Urban Forest total economical value is the asset value of Pemda DKI Jakarta that has never been identified. It can be used to increase the existence of urban forest as a ecological valuable asset. Therefore, the proposal about economical value of urban forest will empower Pemda DKI Jakarta in increasing as well as improving the green public space, especially the urban forest.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Rosana
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian mengenai komunitas epifit telah dilakukan pada cuplikan seluas satu ha di Hutan Kota Muhammad Sabki (HKMS), Kota Jambi. Data diambil pada bulan Januari sampai Februari 2012. Jumlah seluruh pohon 489 individu, 25 individu yang terdiri atas 10 spesies menjadi inang epifit. Pohon inang yang paling banyak dijumpai adalah Hevea brasilliensis, ada 6 individu. Permukaan kulit Hevea brasiliensis memiliki karakteristik yang kasar dan banyak lekukan atau celah, banyak ditumbuhi epifit dengan jumlah 5 spesies. Epifit yang ditemukan terdiri atas Orchidaceae dan 4 suku tumbuhan paku-pakuan (Polypodiaceae, Aspleniaceae, Nephrolepidaceae dan Davalliaceae). Pyrrosia angustata, Microsorum superficiale, Lecanopteris sinuosa dan Drynaria sparsisora.merupakan spesies yang tercatat dari Polypodiaceae. Sementara itu suku lainnya hanya terdiri atas 1 spesies yaitu Aspleniaceae (Asplenium nidus), Nephrolepidaceae (Nephrolepis biserrata), Davalliaceae (Davallia divaricata) dan Orchidaceae (Dendrobium crumenatum). Spesies yang paling banyak tersebar pada petak pengamatan adalah Asplenium nidus, Pyrrosia angustata, Nephrolepis biserrata, Leconopteris sinuosa, Drynaria sparsisora, Dendrobium crumenatum dan Davallia divaricata. Selain terdapat di 7 petak pengamatan, Asplenium nidus juga menempati 7 spesies spesies pohon inang. Epifit yang memiliki Nilai Unggulan tertinggi adalah Lecanopteris sinuosa. Lima spesies epifit masing-masing terdapat di pangkal batang dan batang, dan empat spesies tercatat pada tajuk pohon.
Abstract
Research on the epiphytic community was performed on a one-hectare sample in Hutan Kota Muhammad Sabki (HKMS), Kota Jambi. The data were collected on January to February 2012. A total of 489 individual trees was recorded, of which 25 individuals of 10 species were hosts of the epiphytes. The most common host tree was rubber tree, Hevea brasilliensis, totalling 6 individuals. The barks of Hevea brasiliensis trees have rough surfaces with many loopholes, overgrown by epiphytes totalling 5 species. The epiphytes recorded consist of Orchidaceae and four fern families (Polypodiaceae, Aspleniaceae, Nephrolepidaceae and Davalliaceae). Pyrrosia angustata, Microsorum superficiale, Lecanopteris sinuosa and Drynaria sparsisora are the species of Polypodiaceae recorded. Meanwhile, the other families each consists of only one species, i.e., Aspleniaceae (Asplenium nidus), Nephrolepidaceae (Nephrolepis biserrata), Davalliaceae (Davallia divaricata) and Orchidaceae (Dendrobium crumenatum). The species that are distributed in most quadrats are Asplenium nidus, Pyrrosia angustata, Nephrolepis biserrata, Leconopteris sinuosa, Drynaria sparsisora, Dendrobium crumenatum and Davallia divaricata. In addition to its occurrence in seven quadrats, Asplenium nidus inhabited also seven of the ten host-tree species. The epiphyte having the highest Prevalence Value was Lecopteris sinuosa. Five species of epiphytes, respectively, occurred on the bases of trees and tree, and only four species was recorded in the tree crowns.
2012
T31010
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Adiyanti
Abstrak :
ABSTRAK


Meningkatnya suhu udara dan menurunnya kadar oksigen di udara dalam perkotaan perlu ditanggulangi dengan mempertahankan fungsi ekosistem alamiah. Salah satu upaya tersebut, adalah dengan mengusahakan pengadaan tegakan pohon di daerah perkotaan, dalam suatu komunitas yang utuh.

Karena itulah, maka penelitian ini dilakukan, dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana vegetasi berperan dalam menciptakan kenyamanan udara, dengan suhu dan persentase oksigen di udara sebagai indikator. Sebagai kawasan vegetasi, digunakan dua jenis vegetasi yang ditanam di hole 8 Padang GoIf Halim II, yaitu Fagraea fragrans Roxb. (Tembesu) dan Alstonia spatulata B1. (Pule). Penelitian juga dilakukan di tepi jalan depan Gedung Olah Raga TNI-AU - Halim Perdanakusuma, Jakarta Tinur dan taman Fatahilah - Kota, Jakarta Barat, sebagai kawasan non vegetasi.

Penelitian yang dilakukan bersifat eksploratif dan deskriptif analitik, dengan rancangan faktorial dan variabel penentu terdiri atas: lokasi penelitian serta waktu pengukuran I - VI dan I - III (masing-masing untuk pengukuran suhu dan persentase oksigen di udara). Data pelengkap yang digunakan adalah kelembaban udara, luas daun, luas tajuk, keliling batang, dan tinggi pohon jenis Tembesu dan PuIe.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, suhu udara maksimum di kawasan vegetasi 2,4oC lebih rendah dari suhu udara maksimum di kawasan non vegetasi, dan persentase oksigen di udara di kawasan vegetasi dapat mencapai 2% lebih tinggi dari persentase oksigen / di kawasan non-vegetasi. Kerapatan dan jumlah daun dalam suatu tegakan pohon ternyata mempengaruhi suhu udara rata-rata di bawah naungannya, sehingga suhu udara di kawasan Tembesu 2% lebih rendah dari suhu udara di kawasan Pule.

Dengan suhu dan persentase oksigen di udara sebagai indikator, terlihat bahwa kenyamanan udara di kawasan vegetasi lebih tinggi daripada di kawasan non vegetasi, serta jenis Tembesu memberikan manfaat regulatif dan produktif yang lebih besar dari jeais Pule.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grey, Gene W., 1931-
New York: John Wiley & Son, 1996
715.2 GRE u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Almas Ratna Salsabila
Abstrak :
Menipisnya ketersediaan air bersih yang tersimpan di lapisan akuifer bumi, keringnya permukaan akibat presipitasi yang tinggi oleh global warming, dan semakin tingginya kebutuhan akan air itu sendiri merupakan serangkaian krisis air yang saat ini sedang dialami. Salah satu pemicu terjadinya krisis tersebut adalah berkurangnya infrastruktur alami yang mampu memproses/mengelola siklus air, yaitu hutan. Karya perancangan arsitektur ini merupakan solusi spekulatif dalam merespon isu tersebut dengan metode biomimikri. Metode ini mengimitasi sistem untuk mengelola air pada hutan yang diasumsikan tidak hadir lagi di masa depan karena laju deforestasi yang terus naik. Studi yang dilakukan dimulai dari memahami struktur dan komponen hutan, anatomi, dan morfologi tumbuhan sebagai satu sistem spesifik dari tingkat organisme hingga sel. Kemudian merekonstruksikan komponen-komponen, yang memiliki peran dalam pengelolaan air, menjadi sebuah form mekanik yang seolah-olah diproduksi oleh teknologi ciptaan manusia. Form mekanik tersebut disusun dalam komposisi tektonika membentuk sistem modul yang bekerja layaknya komponen dalam hutan. Sistem air baru, hasil rekonstruksi, mengintervensi ruang-ruang kota secara spasial dan fungsional dalam pembentukan siklus air yang dapat mengakomodasi kebutuhan air dalam konteksnya. ......The depletion of clean water availability that is stored in the earth's aquifers, the dryness of the surface due to high precipitation owing to global warming, and the increasing demand for water itself are a series of water crises that are currently being experienced. One of the triggers of the crisis was lacking natural infrastructure capable of processing/managing the water cycle, namely forests. This architectural design work is a speculative solution in responding to this issue with the biomimicry method, which is imitating a system for managing water in forests that are assumed to lose its existence in the future due to the ever-increasing rate of deforestation. The study was carried out starting from understanding the structure and components of the forest, anatomy, and morphology of plants as a specific system from the organism to the cell scale. Then reconstruct the components, which have a role in water management, into a mechanical form that seems to be produced by human-made technology. The mechanical forms are arranged in a tectonic composition to form a module system that works like components in a forest. ‘Planting’ the module in the middle of the city is an effort to convey a message of human greed, who is in power, in exploiting nature, accepting the impact of his actions and re-seeing the potential of nature as a solution presented. The new water system, a product of reconstruction, intervenes in urban spaces spatially and functionally in order to create a water cycle that is able to accommodate urban water needs.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Sudharnoto
Abstrak :
Pembangunan di wilayah perkotaan sering lebih banyak digambarkan oleh adanya perkembangan fisik kota. Gejala pembangunan kota pada mass lalu mempunyai kecenderungan untuk meminimalkan Ruang Terbuka Hijau dan menghilangkan wajah alam. Lahan-lahan pertumbuhan banyak yang dialihfungsikan menjadi peerrnukiman, perkotaan, industri, tempat-tempat rekreasi, dan lain-lain. Untuk itu kini semakin disadari, bahwa wilayah penyangga hijau di kota tidak hanya menjadikan indah dan sejuk, namun aspek kelestarian, keserasian, keselarasan dan keseimbangan sumber daya alam akan menjadi terjaga, yang pada giliirannya akan ikut memberikan kenyamanan, kesegaran dan terbebasnya kota dari polusi dan kebisingan. Wilayah penyangga hijau akan sangat dibutuhkan pada wilayah perkotaan guna mencegah degradasi kualitas lingkungan, di samping meningkatkan kebutuhan akan sarana dan prasarananya. Dan catatan sejarah dinyatakan bahwa sekitar 2000 tahun yang silam, tepatnya (100 - 44 S.M.) Julius Caesar dari Roma pernah merasa terganggu dengan suara-suara keras yang timbul dari roda-roda besi kereta kuda {kariot). Untuk itu diperintahkan memindahkan jalur jalur yang dilalui kariot tersebut dengan suatu pemisah, yakni berupa hutan-hutan kota dari lingkungan pemukiman penduduk agar polusi suara yang ditimbulkannya dapat teredam. Pemikiran semacam perlindungan terhadap suara yang tidak dikehendaki (bising) demi meningkatkan/melestarikan kualitas lingkungan rupanya sudah dipikirkan pada masa 2000 tahun lebih yang lalu. Meskipun demikian pemikiran semacam perlindungan terhadap kebisingan tidak berkembang dengan pesat. Hal ini dimungkinkan karena sebelumnya masih dianggap remeh. Sejalan dengan berkembangnya hutan kota, rupanya orang mulai memikirkan manfaat-manfaat yang didapat dengan adanya hutan kota tersebut, termasuk adanya kenyamanan dalam hal penurunan kebisingan. Melalui hutan kota, dapat pula dirasakan iklim mikro yang cukup nyaman karena pepohonan dan vegetasi yang ada di dalamnya mampu menciptakan iklim mikro yang nyaman bagi manusia melalui pengaturan suhu, cahaya, kelembaban dan aliran udara. Di Indonesia, melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kaitannya dengan lingkungan hidup dan penghijauan, pembangunan hutan kota merupakan suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari rangkaian usaha pembangunan nasional dalam mewujudkan kemakmuran masyarakat yang merata, seperti yang dimaksudkan dalam falsafah serta tujuan hidup Bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Keberhasilan suatu pembangunan jelas tidak dapat dipisahkan dari dasar hukum, atau peraturan perundang-undangan yang mendasarinya maupun yang mengatur pelaksanaannya demi tercapainya tujuan. Pegangan dasar tentang pemanfaatan hutan kota secara tersirat telah termaktub dalam pedoman pegamalan Pancasila, UUD 1945, terutama dalam Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi : "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Sedangkan landasan konsepsional pemanfaatan hutan kota diliput dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Bahkan dalam undang-undang mengenai lingkungan hidup, terdapat undang-undang: 1. Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang diundangkan pada tanggal 24 Mei 1967. Pasal 5 ayat (1), menyatakan bahwa, "Semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara"
3. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengaturan tentang lingkungan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, membuktikan bahwa Pemerintah memandang panting fungsi dari ekosistem yang lestari, baik terhadap ekosistem di Iuar areal perkotaan maupun di dalam areal perkotaan. Pada saat ini, hares disadari bahwa lingkungan merupakan sumber daya lainnya yang tidak dapat diabaikan. Hal ini disebabkan suatu disain pembangunan kota tanpa disertainya disain lingkungan sebagai sumberdaya alam, tidak akan mencapai basil yang diinginkan. Kiranya hutan kota merupakan salah satu altematif terhadap upaya perbaikan lingkungan, terutarna di perkotaan yang umumnya lahan semakin berkurang. Untuk itu kiranya perlu upaya semaksimal mungkin agar peranan hutan kota menjadi lebih besar lagi, terutama dengan adanya perubahan suhu melalui kegiatan evapotranspirasi sehingga tercipta suatu suhu nyaman. Suatu lingkungan dapat dikatakan nyaman apabila perbedaan antara suhu minimun dan maksimuni tidak berbeda jauh dan tingkat kelembabannya relatif tinggi. Hutan kota merupakan komponen lingkungan yang memiliki potensi sangat luas penyusunan program pembangunan hutan kota asas-asas yang mendasarinya adalah asas kelestarian, asas manfaat, serta asas keserasian dan keseimbangan. Asas kelestarian menghendaki agar vegetasi sebagai penghasil oksigen, tanah dan air sebagai kebutuhan esensial mahluk hidup akan tetap berfungsi secara maksimal dan lestari. Asas manfaat mempersyaratkan agar setiap penggunaan ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak. Di samping itu, jajaran pepohonan juga berfungsi menyegarkan udara karena mengkonsurnsi karbondioksida (CO) dan menghasilkan oksigen (02), selain secara tidak langsung ikut pula menurunkan tingkat kebisingan. Bahkan dalam hal penurunan tingkat kebisingan, hutan kota mempunyai kontribusi yang cukup besar. Berkaitan dengan uraian di atas maka masalah pada penelitian ini adalah : 1. Sejauh manakah keberhasilan hutan kota dalam upaya meredam kebisingan, khususnya pada tempat kegiatan bekerja penduduk kota dan sekitarnya ?
2. Sejauh manakah keterkaitan antar faktor-faktor ekologis hutan kota, seperti struktur hutan kota dapat ikut berpengaruh terhadap kemampuan meredam suara bising lalu lintas ? Dari permasalahan tersebut, penelitian ini akan mencari hubungan antar keberadaan hutan kota dengan masing-masing variabel yang diujikan, seperti suhu udara, kelembaban udara, tingkat kebisingan dan kecepatan angin. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : a. Keberadaan hutan kota mempunyai hubungan dengan perbaikan mutu lingkungan, berupa adanya penurunan tingkat kebisingan lalu lintas.
b. Adanya hubungan keberadaan hutan kota dengan perbaikan mutu lingkungan, berupa adanya penurunan nilai temperatur dan naiknya kelembaban udara.
c. Adanya hubungan yang berkorelasi positip antara komposisi dan struktur pembentuk suatu hutan kota dengan penurunan tingkat kebisingan lalu lintas.
d. Adanya hubungan antara modifikasi temperatur dan kelembaban udara akibat keberadaan hutan kota dengan tinggi rendahnya nilai kebisingan terekam. Penelitian dilakukan selama 21 hari berturut-urut di Hutan Kota Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat. Jenis penelitian adalah Stratified Purposed Random Sampling dengan mengambil data-data untuk kebisingan, suhu dan kelembaban pada titik-titik yang telah ditentukan sebelumnya. Pengambilan data dilakukan secara serentak pada waktu-waktu yang juga telah ditentukan sebelumnya. Jumlah data secara keseluruhan adalah 144 untuk masing-masing variabel yang akan diujikan. Untuk pengumpulan data tambahan, dilakukan pengukuran arah dan kecepatan angin. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan untuk mendapatkan dan membaca hasil yang lebih maksimal dipergunakan histogram antar masing-masing variabel, begitu pula untuk melihat hubungan antar variabel yang diujikan. Hasil penelitian adalah sebagai berikut : 1. Adanya hubungan antara keberadaan hutan kota dengan perbaikan mutu lingkungan, berupa penurunantingkat kebisingan lalu lintas. Meskipun demikian dapat dirinci lebih jauh lagi :
a. Relatif tidak berbedanya penurunan kebisingan antar satuan hari kesibukan, dimana satuan hari Senin-Jum'at (75,42 dB) mempunyai tingkat kebisingan tertinggi diantara satuan hari Selasa-Rabu-Kamis (75,30 dB) dan Sabtu-Mmggu (75,09 dB).
b. Ada perbedaan rata-rata tingkat kebisingan antar satuan waktu tingkat kepadatan lalu lintas, dimana waktu Sangat Padat/pukul 0600 - 10°° berada pada tingkat kebisingan tertinggi (74,95 dB) di antara ketiga waktu pengukuran yang lain, yaitu Sedang/pukul 1100 - 15° (65,09 dB), Padat/pukul 1600 - 20°0 (65,76 dB) dan Lengang/pukul 2100 - 01°0 (60,02 dB).
c. Ada perbedaan rata-rata tingkat kebisingan antar titik pengukuran berdasarkan jarak dan struktur vegetasi pembentuknya, dimana titik pengukuran I berada pads tingkat kebisingan tertinggi (75,27 dB) diantara ketiga titik pengukuran lainnya, yaitu titik II (62,59 dB), titik III (55,62 dB) dan titik IV (60,34 dB).
2. Adanya hubungan yang berkorelasi positip, dimana struktur hutan kota yang lebih rapat dan berstrata banyak mempunyai keefektifan yang lebih besar dalam upaya peredaman tingkat kebisingan lalu limas.
3. Adanya hubungan antara keberadaan hutan kota dengan perbaikan mutu lingkungan yang secara umum diikuti dengan penurunan nilai temperatur dan naiknya kelembaban udara.
4. Adanya hubungan antara temperatur dan kelembaban udara akibat keberadaan hutan kota dengan tinggi rendahnya nilai kebisingan yang terekam, dimana secara umum naiknya temperatur cenderung akan menyebabkan naiknya tingkat kebisingan terekam, sebaiknya naiknya kelembaban udara secara umum cenderung akan menyebabkan turunnya tingkat kebisingan. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan hutan kota yang biasanya diketahui sebagai penghasil oksigen (D2), ternyata juga mempunyai peranan cukup penting dalam upaya memperbaiki kondisi lingkungan fisik perkotaan lainnya, terutama untuk perbaikan penurunan tingkat kebisingan, di samping secara umum terjadi pula penurunan suhu udara dan peningkatan kelembaban udara. Dengan demikian diharapkan timbul kesadaran dan kepedulian penduduk perkotaan untuk mengambil manfaat yang akan didapat dengan menanam pepohonan baik di pekarangan maupun pada lahan-lahan penghijauan. ...... The development in the city areas is mostly characterized by the existence of the city's physical growth. The trend of the city development in the past was more inclined to minimize green open space and to dissipate the nature itself. Arable land mostly became residential area, city, industrial estate, recreational parks and any more. Therefore now it is becoming a major concern, that green sustenance area in the city is not only making it beautiful and cool, but the aspect of preservation, compatibility and balanced of natural resources can be maintained, which later on they can provide comfortness, refreshness and freedom the city from pollution and noise. Green preserved area will be highly needed in the city area prevent the defradation of the environment quality, besides to improve the needs of facilities and infrastructures. Based on history, about 2,000 years ago, around (100 - 44 BC) Julius Caesar from Rome was disturbed by the noises accured from the chariots wheels. Therefore, there was a decree to move lanes designated for chariots with a boundary, which was city forest within residential area, with purpose to reduce the noise level. The thought such as protecting from the unwanted noise in order to improve/maintain their environment quality was actually a major concern about 2,000 years ago. With such fact, the thought of protecting from the noise did not grow rapidly. The reason behind this was due the ignorance of most people. Along with the Urban Forest development, then people started to be concern the benefit of it including the comfortness in terms of noise reduction. Through Urban Forest, also we can sense the comfort of climate on micro level, since tress and vegetation in it can create micro climate which comfort for people through coordination of temperature, light, humidity and air circulation. In Indonesia, through the existing laws in relation with living environment and green movement, the development of urban's forest is such activity that cannot be separated from the national development which is aimed to achieve the prosperity for all the people, as stated in the national philosophy of Indonesia, Pancasila. The success of development definitely cannot be separated from the fundamental principle, or laws which area the guidance or as regulation in aiming the objective. The basic principle about utilization of urban forest is explicitly stated in the implementation guidance of Pancasila, 1945 State Constitution, particularly in chapter 33 articles 3 says: "Land, water and natural resources are controlled by the state and fully utilized for the benefit of the people". While the basic concept of the city forest utilization is described in state policies. Even within the environment laws, there are: 1. Law Number 411982 about Principle Decree of Environmental Management.
2. Law Number 511967 about Forestry Principle Decree which was ratified on May 24, 1967. Chapter 5 article 1, state that ?All forest within the area of the Republic Indonesia includes its natural resources area controlled by the State.
3. Law Number 511990 about Conservation of Biological Natural Resources and Its Ecosystems. The environmental management which is stated in laws, it is proved that the government puts major priority on the function of sustainable ecosystem, both for ecosystem inside and out of urban area. At the moment, we need to be aware that environment is another natural resource which cannot be neglected. Therefore, such city master plan which has no environment design, cannot optimally achieved the objective. City is an alternative for environmental improvement, especially in urban area which is generally facing land deterioration. Therefore, we need to put our great effort to strengthen the role of urban forest, especially due to the temperature change as a consequence of evapotranspiration if the difference between minimum and maximum temperature is not quite different and its humidity level is relatively high. Urban forest is an environment component which has great advantage to play a major role as needed. In formulating the development program of the urban forest, some basic principles to be considered are preservation, benefit, harmonious and stability. The principle of preservation is aimed to have vegetation as oxygen producer, land and water as the essential need for human being to be optimally utilized and preserved at the same time. The principle of benefit is required to each use of space and natural resource in it can be beneficial for the welfare of the whole people. Moreover, the trees are serving as air refresher, since they consume carbon dioxide and supplies oxygen, and indirectly also reduce the noise level. Even in reducing the noise level, urban forest has such major contribution. In relation with the above explanation, the issues in this thesis are: 1. How far the success of urban forest in reducing the noise level, particularly in the business district of the urban population and its vicinity?
2. Is there any correlation between temperature and humidity in the urban area that possible to influence the high or low level of noise reduction caused by traffic activity? From the problem concerned, this research will find the correlation between the existences of urban forest with each variable being tested, such as temperature, humidity, noise level and wing speed. Hypothesis being proposed in this research is: a. The existence of urban forest has correlation with the improvement of environment quality, such as the reduction of traffic noise level.
b. There is correlation of the existence of urban forest with the improvement of environment quality, such as the reduction of temperature and the rise of humidity.
c. There is positive correlation between the composition and form structure of urban forest with the reduction of traffic noise level.
d. There is correlation between the composition of temperature and humidity due to the existence of urban forest with its high and low of noise value being recorded. Research was conducted for 21 days consecutively at Manggala Wanabakti Urban Forest, Central Jakarta. The type of research is Stratified Purposed Random Sampling by taking data for noise, temperature and humidity on certain targeted points. Data collection was conducted at once at designated time. The total data is 144 for each variable which will be tested. For additional data collection, the measurement of wind direction and speed was performed. Data analysis was done descriptively and in getting much better result, we use histogram between variables, as well as for knowing the correlation between variables being tested. Results of the research are: 1. There is correlation between the existences of urban forest with the improvement of environment quality, in the form of the reduction of traffic noise level. Nevertheless, the details further are:
a. Relatively no difference in the decrease of noise on each busy day, where each day of Monday-Friday (75,42 dB) has be highest noise level among each day of Tuesday, Wednesday and Thursday (75,30 dB) and Saturday-Sunday (75,09 dB).
b. There is difference of average noise level on each period of heavy traffic level, where period of Very Heavy/between 0600 - 10°° is on the highest noise level (74,95 dB) among the three other time measurement, that is Medium/between 110° - 1500 (65,09 dB), Heavy/between I6°° - 20°° (65,76 dB) and Light/between 2100 - 0100 (60,02 dB).
c. There is different of average noise level on each point of measurement based on distance and its form of vegetation structure, where point of measurement T is on the highest noise level (75,27 dB) among the three other point of measurement, that is point of measurement point II (62,59 dB), point III (55,62 dB) and point IV (60,34 dB).
2. There is positive correlation, where the structure of urban forest which is closer and with strata has much larger\electiveness in reducing the traffic noise level.
3. There is correlation between the existence of urban forest with the improvement of environment quality which generally followed by the reduction of temperature and the rise of humidity.
4. There is correlation between temperature and humidity due to the existence of urban forest with its high and low of noise value being recorded, where generally the rise of temperature tends to cause the rise of recorded noise value, on the other hand the rise of humidity generally tends to cause the reduction of noise level. Based on the result of hypothesis testing, thus we can conclude that the existence of urban forest which is known as oxygen producer, in fact it has also important role in improving the physical condition of other city environment, especially for improving the reduction of noise level, besides in general there is also temperature reduction and the rise of humidity. Therefore, we hope that there will be awareness and concern of urban population to take the advantage by planting trees both in their yard or green areas.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Syihabuddin
Abstrak :
ABSTRAK
Dibangunnya kawasan hijau dalam bentuk hutan kota di sekitar kawasan industri Pulogadung atas dasar keyakinan peranan fungsi jasa ekologis komunitas berbagai jenis tumbuhan yang dinilai mampu memperbaiki kualitas lingkungan kawasan industri. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis dinamika pertumbuhan hutan kota, kondisi iklim mikro, besaran karbon, pengetahuan dan sikap masyarakat, dan upaya pengelolaan hutan kota kawasan industri. Penelitian dilakukan di Hutan Kota kawasan Industri Pulogadung, Kelurahan Rawa Terate, Kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur. Sampel vegetasi terdiri dari 3 petak tunggal, sedangkan sampel manusia terdiri atas 40 responden dan 2 informan. Struktur dan komposisi vegetasi yang mendominasi di Hutan Kota Kawasan Industri Pulogadung Trembesi Samanea saman untuk fase pohon dengan INP 74,98 ; Mahoni Swietenia mahagoni untuk fase tiang dengan INP 177,67 ; petai cina Leucaena leucocephala untuk fase pancang dengan INP 61,33 . Profil vegetasi menunjukkan kriteria pohon masa kini 100 didominasi oleh model arsitektur Troll dengan kerapatan vegetasi pohon 225 individu/Ha. kondisi iklim mikro masuk kategori tidak nyaman yaitu 29,75, padahal kondisi idealnya atau kondisi nyaman pada kisaran 25,0-
ABSTRACT
The construction of green areas in the form of urban forest around Industrial Estate Pulogadung on the basis of the role of faith communities ecological service functions of various types of plants are considerably to improved the environmental quality of industrial estates. The purpose of the study is to analyze the dynamics of the growth of the urban forest the micro climatic conditions the amount of carbon the knowledge and attitudes and the urban forest manegement efforts industrial estate. The study was conducted the Urban forest Industrial Estate Pulogadung, East Jakarta. Samples of vegetation consist of 3 single swath, while the human sample consisted of 40 respondents. The structure and composition of vegetation that dominates in Urban forest Industrial Estate Pulogadung Samanea saman for phase IVI tree with 74.98 Swietenia mahagoni for phase pole with IVI 177.67 Leucaena leucocephala for phase with IVI 61,33 stake. Profile vegetation shows trees criteria today 100 dominated by Troll architectural model with a density of 225 trees vegetation individuals ha. micro climatic conditions in the category of uncomfortable 29.75 , whereas the condition or conditions ideally convenient in the range 25,0
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Urfi Izzati
Abstrak :
Sempadan sungai adalah kawasan lindung di kanan kiri sepanjang sungai yang secara alami diperuntukkan bagi vegetasi. Faktanya, kualitas sempadan sungai semakin menurun akibat alih fungsi lahan sempadan sungai oleh masyarakat, terutama di perkotaan sehingga dapat mengganggu fungsi ekologisnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis fungsi ekologis sempadan sungai morfologi sempadan sungai, keanekaragaman jenis pohon dan burung , menganalisis kondisi sosial ekonomi pemahaman, pandangan, perilaku, dan kondisi ekonomi masyarakat yang tinggal di sempadan sungai, dan merumuskan strategi pengelolaan lingkungan sempadan sungai berbasis hutan kota berkelanjutan. Morfologi sempadan sungai dianalisis menggunakan Sistem Informasi Geogrfis SIG ; kenaekaragaman jenis pohon diukur menggunakan petak ukur dengan metode jalur berpetak, sedangkan keanekaragaman jenis burung diukur menggunakan transek garis kemudian dianalisis dengan indeks keanekaragaman Shannon Wiener; kondisi sosial ekonomi menggunakan kuesioner, dan penentuan strategi pengelolaan yang tepat menggunakan Analytical Hierarchy Process AHP. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan tegakan sebesar 15,73. Indeks keanekaragaman jenis pohon sebesar 2,707 dan burung sebesar 2,794 yang termasuk kategori Sedang berdasarkan Indeks Shannon Wiener. Pemahaman masyarakat Tinggi dan pandangan masyarakat Cukup Baik, tetapi kondisi ekonomi dan perilaku masyarakat yang tinggal di sempadan sungai Kurang Baik. Kesimpulannya adalah melalui strategi pengelolaan lingkungan sempadan sungai berbasis hutan kota berkelanjutan secara collaborative management dengan peranan masyarakat yang tinggal di sempadan sungai dan pemerintah yang saling mendukung untuk meningkatkan fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi sempadan sungai.
Stream buffer is a protected area on either side along a river that is naturally destined for vegetation. In fact, quality of stream buffer was declining due to conversion of riparian land by people, especially in urban areas, which may disrupt its ecological functions. This study aim to analyze ecological function of stream buffer morphology of stream buffer, diversity of tree and birds species, to analyze socio economic conditions understanding, point of views, behavior, and economic conditions of riverside community, and to formulate strategies that will be used for managing sustainable stream buffer based on urban forests. Stream buffer morphology was analyzed using Geographic Information System GIS diversity of tree species was measured using a stripping route plot method, while diversity of bird species was measured using line transects and then analyzed by Shannon Wiener 39 s diversity index socio economic conditions was investigated using questionnaires, and appropriate strategies was determined using Analytical Hierarchy Process AHP. The results showed a decrease in stands of 15,73. Tree species diversity index was 2,707 and bird species diversity index was 2,794, which belongs to moderate category based on Shannon Wiener Index. Understanding of riverside community is high and their viewpoint is quite good, but their economic and behavioral conditions are less adequate. This study conclude that through sustainable urban forest based management of environmental stream buffer strategy in collaborative management with role of riverside community and mutually supportive government to improve the ecological and sosio economic functions of stream buffer.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfa Nadia
Abstrak :
Pertumbuhan penduduk di Kota Depok pada 20 tahun terakhir tercatat mencapai 2 kali lipatnya dari tahun 2020 sehingga menyebabkan adanya perubahan lahan dari tutupan vegetasi menjadi non vegetasi sebagai ruang terbuka hijau publik. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah struktur komposisi vegetasi dan keanekaragaman burung di Hutan Kota UI berdasarkan NDVI, menganalisis pengaruh kerapatan vegetasi pada suhu permukaan (LST) dan kelembaban lahan (NDMI), menilai kemampuan Hutan Kota UI dalam menyerap karbon, menganalisis persepsi masyarakat dan membangun konsep sosiobioekologi hutan kota berkelanjutan pada Hutan Kota UI. Metode yang digunakan adalah metode campuran yaitu menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada beda keragaman vegetasi pada tiap kelas NDVI dan ada beda nyata keragaman burung pada tiap kelas NDVI. Hutan Kota UI mampu menyerap karbon sebesar 612.259ton/ha (6,17triliun rupiah). Masyarakat merasa senang dengan keberadaan hutan kota sehingga status sosiobioekologi Hutan Kota UI adalah baik. ......Population growth in Depok City in the last 20 years was recorded to have doubled from 2020, causing a change in land from vegetation cover to non-vegetation. This study aims to examine the structure of vegetation composition and bird diversity in the UI City Forest based on NDVI, analyze the effect of vegetation density on surface temperature (LST) and soil moisture (NDMI), assess its ability to absorb carbon, analyze community perceptions and build socio-bioecology concepts of sustainable urban forests in the UI Urban Forest. The method used is a mixed method using quantitative and qualitative. The results showed no difference in the vegetation diversity but a significant difference bird each NDVI class. UI Urban Forest can absorb carbon of 612,258 tons/ha (6.17 trillion rupiahs) also the community perception is happy with the urban forest’s existence so that the socio-bioecological status of the UI City Forest is good.
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>