Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizka Nur Fadila
Abstrak :
Pendahuluan. Beban TB di Indonesia masih masuk lima tertinggi di dunia. Temuan kasus dan pengobatan adalah pilar utama program penanggulangan TB. Survei nasional menunjukkan peningkatan penggunaan obat non-program TB dari 16,8% (2010) menjadi 55,6% (2013). Peningkatan penggunaan obat non-program TB diduga berpengaruh terhadap ketidakpatuhan berobat. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari ketidakpatuhan berobat pada orang dengan TB yang menerima obat non-program TB dan obat program TB. Metode. Penelitian menggunakan data sekunder Riskesdas 2010. Analisis logistik multivariabel dilakukan pada sampel 971 orang dengan TB yang selesai mendapatkan pengobatan. Hasil. Ada kecenderungan orang dengan TB yang menerima obat non-program TB ketidakpatuhan berobat lebih tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan odds untuk tidak menyelesaikan pengobatan lebih tinggi pada orang yang menerima obat non-program TB dibandingkan orang yang menerima obat program TB, yaitu rasio odds terkontrol 2,4 (95% CI RO: 1,7-3,5). Simpulan. Dalam upaya menjamin kepatuhan berobat TB perlu didukung dengan mutu program pengobatan, diantaranya adalah ketersediaan obat program TB, penyetaraan standar pengobatan antara fasyankes swasta dan publik, dan sistem pemantauan minum obat. ...... Background. TB in Indonesia is one of five highest burden countries. Case finding and treatment are the main pillars of TB control program. National survey reports the increase in the use of non-TB program’s drugs from 16,8% (2010) to 55,6% (2013). Increased use of non-TB program’s drugs associate with non-compliance TB treatment. Objective. The study purposed to compare the non-compliance of TB treatment among people who received TB program’s drugs and people who received non-TB program’s drugs. Methods. The study used secondary data of National Health Survey 2010. Analysis used multivariable logistic through 971 people who completed TB treatment. Result. The findings were people who received non-TB program’s drugs had higher non-compliance TB treatment than people who received TB program’s drugs. The result also showed that the odds of people not to complete the treatment was higher in people who received non-TB program’s drugs than who received TB program’s drugs, adjusted OR was 2,4 (95% CI OR: 1,7-3,5). Conclusion. To assure the compliance to TB treatment is strengthening TB treatment program; such as the availability of TB program’s drugs, the equality of standard TB treatment among public and private health services, and the system of observed treatment.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55062
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frisca Anindhita
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
S26447
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Siane
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: diabetes termasuk dalam 8 faktor risiko tertinggi berkembangnya tuberkulosis (TB). Diabetes melitus (DM) meningkatkan risiko TB 3 kali, sedangkan infeksi TB memperburuk kontrol glikemik pasien DM dengan risiko kegagalan terapi TB 69% dan relaps 4 kali. Strategi pengobatan optimal untuk pasien TB-DM belum ditemukan, pengelolaan TB-DM sama dengan pasien TB non-DM. Sejak 2017, WHO tidak lagi merekomendasikan pemberian obat intermiten pada fase lanjutan karena risiko kegagalan terapi, kekambuhan, dan resistensi obat yang lebih tinggi dibandingkan pemberian harian. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pengobatan dan efek samping pengobatan TB-DM fase lanjutan antara pemberian setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu. Metode: penelitian retrospektif menggunakan rekam medik pasien TB-DM dengan desain potong lintang. Sampel penelitian adalah seluruh pasien TB-DM yang sudah memasuki fase lanjutan dan memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien TB-DM tanpa HIV, tanpa gangguan fungsi ginjal atau hati, berusia ≥18 tahun yang mendapat pengobatan TB yang diberikan setiap hari dan tiga kali seminggu di RSUP Persahabatan periode 1 januari 2015-31 desember 2018. Hasil: 64 subyek pada kelompok pengobatan setiap hari dan 69 subyek pada kelompok pengobatan intermiten tiga kali seminggu memenuhi kriteria inklusi. Tidak didapatkan perbedaan antara kelompok pengobatan setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu dalam hal kesembuhan (41,4% vs 44,2%, p=0,814, IP=1,122; IK95%:0,432-2,909), pengobatan lengkap (45,7% vs 50%, p=1,0, IP=1,188; IK95%: 0,430-3,282), gagal (3,4% vs 2,3%, p=0,888, IP=0,667; IK95%: 0,040-11,104), dan putus obat (54,7% vs 49,3%, p=0,533, IP=0,805; IK95%:0,407-1,592). Hanya 1 subyek (3,1%) yang mengalami kekambuhan pada kelompok pengobatan intermiten (p=1,0, IP=0,910; IK95%: 0,910-1,031). Satu subyek (1,6%) pada kelompok pengobatan setiap hari dan 9 subyek (13%) pada kelompok intermiten mengeluhkan efek samping ringan (p=0,018, IP=0,106, IK95%: 0,013-0,861). Sebagian besar pasien pada kedua kelompok menjalani pengobatan selama lebih dari 6 bulan hingga 9 bulan. Kesimpulan: tidak terdapat perbedaan hasil pengobatan antara pemberian obat setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu pada pasien tuberkulosis dengan diabetes melitus. Terdapat perbedaan dalam hal efek samping, yang sifatnya ringan, antara kedua kelompok pengobatan. Sebagian besar pasien pada kedua kelompok menjalani pengobatan selama lebih dari 6 bulan hingga 9 bulan.
Background and aim: diabetes is the 8th highest risk factor for tuberculosis. Patients with diabetes mellitus (DM) have three times higher risk of active TB. Tuberculosis disturbs glycemic control in DM patients and 69% TB-DM patients would have failed and the risk for relapse is 4 times higher. The optimal treatments strategy for TB-DM patients is not found yet. Management of TB-DM patients is similar with TB without DM. Since 2017, WHO no longer recommends intermittent drug regiment in advanced phase therapy due to the higher risk of treatment failure, TB recurrence, and drug resistance. This study aims to compare treatment outcomes and safety of advanced phase treatment between daily and intermittent treatment in TB-DM patients. Methods: this is a retrospective study with cross sectional design using medical record at Persahabatan Hospital from 1 January 2015 to 31 December 2018. The study sample are all TB-DM patient who have entered the advanced phase that met inclusion criteria, which are TB-DM patients without HIV/ impaired kidney or liver function, aged ≥18 years who had tuberculosis treatment. Results: 64 subjects in daily treatment group and 69 subjects in intermittent group met the inclusion criteria. There are no difference between daily and intermittent group in term of cured (41,4% vs 44,2%, p=0,814, IP=1,122; IK95%:0,432-2,909), completed treatment (45,7% vs 50%, p=1,0, IP=1,188; IK95%: 0,430-3,282), failed (3,4% vs 2,3%, p=0,888, IP=0,667; IK95%: 0,040-11,104), and dropouts (54,7% vs 49,3%, p=0,533, IP=0,805; IK95%:0,407-1,592). Only 1 subject (3,1%) in intermittent group had recurrence (p=1,0, IP=0,910; IK95%: 0,910-1,031). One subject (1,6%) in daily treatment group and 9 subjects (13%) in intermittent group had minor side effects (p=0,018, IP=0,106, IK95%: 0,013-0,861). Most subjects in both groups underwent treatment for more than 6 months up to 9 months. Conclusion: there were no differences in cure rate, complete treatment, failure and dropouts between daily and intermittent treatment in diabetic pulmonary tuberculosis patient. There is difference in side effects, which mostly are mild, between the two group. Most patients in both groups underwent treatment for more than 6 months up to 9 months.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library