Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nenah Choenaenah Raldianto
Abstrak :
ABSTRAK
Salah satu cara penyembuhan dan pemulihan kesehatan yaitu dengan cara transplantasi (pencangkokan) organ dan atau jaringan. Pengertian transplantasi ialah pemindahan atau pencangkokan organ atau jaringan tubuh dari seorang individu ke tempat lain pada individu itu atau ke tubuh individu lain. Dalam proses tindakan transplantasi itu ada pihak yang menerima (resipien) organ dan atau jaringan tubuh dan ada pihak yang memberi (donor) organ dan atau jaringan tubuh.

Pemberian resipien pelayanan medis dari dokter kepada pasien (resipien) demikian itu di samping mempunyai aspek medis juga mempunyai aspek yuridis yaitu timbulnya transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien (resipien) dan antara dokter dengan donor; penting adanya informed consent dari pasien dan donor, dan tanggung jawab hukum dokter di bidang perdata dan hukum pidana apabila dalam melakukan tugasnya dokter itu melakukan medical malpractice. Oleh karena itu membicarakan transplantasi ditinjau dari segi hukum berarti membicarakan perlindungan hukum dari gangguan yang mengancam kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam tindakan transplantasi yaitu: (a) perlindungan hukum terhadap dokter (yang memberikan pelayanan medis kepada pasien dan donor} dari gugatan pihak ketiga (pasien), (b} perlindungan hukum terhadap pasien (resipien) dan (c} perlindungan hukum terhadap pemberi organ (donor} apabila pada waktu dilakukan transplantasi terjadi medical malpractice. Perlindungan hukum demikian itu mempunyai arti penting bagi pihak-pihak yang bersangkutan, karena Peraturan pelaksanaan transplantasi (Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981) perlu peninjauan kembali misalnya tentang ?batasan mati" yang disimpulkan ?mati jantung" padahal pusat regulasi terletak di batang otak.

Dari segi kedokteran saat mati perlu ditetapkan, dalam hal transplantasi dari donor jenazah, dokter dihadapkan pada dua masalah yang harus diputuskan secara tepat melalui proses pengambilan keputusan yang relatif sangat singkat sehubungan dengan fungsi organ tersebut. Dokter (tim medis) harus memilih antara pertimbangan demi kesehatan penerima (resipien) yang akan ditransplantasi itu, atau pertimbangan akan harapan hidup donor yang mungkin masih diragukan kematiannya.

Faktor sosio-kultural dalam pelaksanaan transplantasi sangat berpengaruh, karena tampaknya nilai-¬nilai sosial budaya masyarakat Indonesia belum seluruhnya menerima kalau salah satu organ tubuh seseorang diambil untuk dimanfaatkan bagi orang lain yang membutuhkannya.

Pandangan hukum Islam terhadap hukum menyelenggarakan transplantasi merupakan hasil "ijtihad" para pakar agama Islam, dimasa yang akan datang sangat menunjang kemajuan ilmu kedokteran khususnya dan pelayanan medis pada umumnya di Indonesia.
1995
T20130
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandraker, Anil, editor
Abstrak :
Though kidney transplantation is considered a routine procedure, there are still significant challenges in post-transplant management. Core Concepts in Renal Transplantation is a clinically focused authoritative guide to the management of kidney transplantation. This comprehensive, state-of-the-art reference summarizes the recent changes in the field of transplantation, offering the complete range of up-to-date information on all the various aspects of basic immunobiology and the medical care of the transplant recipient.
New York: Springer, 2012
e20425883
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Marbun, Maruhum Bonar H.
Abstrak :
ABSTRACT
BACKGROUND:kidney transplantation has been developing rapidly in Indonesia in recent years, yet data on transplants' characteristics and survival is still unavailable. In Indonesia, only living donors are permitted. Living donor are advantageous, but challenging to recruit. This study aimed to establish the graft and patient survival rates and to describe the characteristics of recipient and donor as well as the process of donor recruitment and evaluation of kidney transplantation in Indonesia.METHODS:the study was a retrospective cohort on all donors and kidney transplant recipients at Cipto Mangunkusumo General Hospital (CMGH) from January 2011 to May 2017. Only recipients from January 2011 to May 2014 were included to establish the 1-year and 3-year graft and patient survival; which were described using Kaplan-Meier method. RESULTS:data from 492 kidney transplant procedures were obtained (donor median age, 30 (17 - 66) years; 25.1% were family-related. Recipients mean age, 47 (SD 13.18 years). Data from total of 138 kidney transplant recipients were further analyzed. The 1-year death- censored graft survival, all-cause graft survival and patient survival were 92 %, 82.6 % and 87%. The 3-year death-censored graft survival, all-cause graft survival and patient survival were 90.6%, 76.1% and 79.7%. Kaplan-Meier's curve showed the highest mortality rates occured in the early months.CONCLUSION:the 1-year graft and patient survival rate were 92% and 87%. The 3-year graft and patient survival rate were 90.6% and 79.7%. Only small percentage of donor were family-related. Living donor recruitment and evaluation are still a big challenge in Indonesia
Jakarta: Interna Publishing, 2018
610 IJIM 50:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ellya Thaher
Abstrak :
LATAR BELAKANG
Sklera merupakan jaringan ikat padat kuat yang saling berpotongan dalam berbagai arah. Susunan yang kuat ini menyebabkan sklera dipergunakan oleh banyak ahli untuk memperbaiki. keadaan patologis sklera yang lain. Sklera yang dipergunakan, seperti dianjurkan oleh Fred M. Wilson dapat berupa sklera yang segar atau sklera yang dipreservasi. Namun oleh karena sulit untuk memperoleh sklera yang segar, maka perlu dipikirkan bagaimana caranya melakukan preservasi sklera agar sklera itu dapat disimpan dengan baik dan tahan lama sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan. Yang dimaksud dengan preservasi sklera ini adalah suatu sistem penyimpanan sklera yang bertujuan untuk menjamin kualitas jaringan dan memperpanjang waktu penyimpanan maksimum. Sistem penyimpanan ini hendaknya dapat memudahkan transportasi dan mengurangi kemungkinan terjadinya kontaminasi jaringan yang dipreservasi. Sulitnya mendapatkan sklera yang segar menyebabkan para Ahli berusaha melakukan berbagai cara preservasi seperti :

a) Preservasi dengan menggunakan gliserin dan molekul sieve yang dilakukan menurut metode King,

b) Preservasi dengan alkohol,

c) Preservasi dengan pembekuan,

d) Preservasi dengan silica-gel.

M. Nakazuma (1984) berhasil mengobati stafiloma sklera pasca trauma dengan sklera yang sangat tipis pada seorang pasien Ehlers Danlos Syndrome, tipe V1 dengan sklera yang dipreservasi. Von Payrau dan Remky {1961) melaporkan keberhasilan mereka menggunakan sklera yang dipreservasi dengan silica gel untuk operasi sklerektasi, skleritis, dan skleromalasia serta operasi ablasi retina secara aman. Penggunaan lain sklera yang dipreservasi adalah untuk :

a) penghambat miopia tinggi,

b) operasi retraksi kelopak mata,

c) sebagai implan sekunder pada beberapa kasus yang menunjukkan terjadinya ekstruksi implan pada pasien pasca enukleasi,

d) perforasi sklera pada skleromalasia.

Melihat banyaknya kegunaan sklera yang dipreservasi untuk tujuan klinis, maka perlu diusahakan bagaimana caranya agar sklera yang berasal Bari donor mata Srilangka atau donor lokal dapat dimanfaatkan untuk tujuan klinis tersebut. Hal ini tentu dapat dicapai apabila sklera tersebut dapat dipreservasi dengan baik sehingga pada waktu diperlukan dapat diambil dari Bank Mata.

Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa sklera segar sukar diperoleh sehingga perhatian harus diarahkan kepada usaha-usaha untuk melakukan preservasi sklera sehingga jaringan sklera itu dapat disimpan untuk sewaktu-waktu diperlukan dapat digunakan bagi berbagai keadaan patologis sklera yang memerlukan "graft sclera". Untuk itu penulis merancang suatu eksperimen untuk melakukan preservasi sklera terhadap sklera yang berasal dari mata donor Srilangka dan donor local

Dari berbagai cara preservasi sklera yang dapat dilakukan, penulis membatasi pada cara preservasi dengan menggunakan alkohol dan dengan cara pendinginan. Selanjutnya, dari kedua cara preservasi sklera yang dilakukan itu, penulis merumuskan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu : Apakah ada perbedaan hasil preservasi sklera yang dilakukan dengan penggunaan alkohol dengan hasil preservasi sklera yang dilakukan dengan penggunaan larutan ampisilin pada suhu L0C.

1989
T 9094
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harnavi Harun
Abstrak :
Transplantasi ginjal dapat memperbaiki fungsi jantung Penelitianeksperimental pada binatang membuktikan bahwa peningkatan kadar hormoneritropoetin memperbaiki fungsi jantung namun secara klinis masih menjadi bahanperdebatan Tujuan: Untuk menilai hubungan peningkatan kadar eritropoetin dengan perbaikanfungsi jantung pada pasien gagal ginjal yang menjalani transplantasi Metoda: Penelitian Kohor prospektif pada pasien gagal ginjal yang menjalanitransplantasi di RSCM Jumlah subyek 21 orang yang dikumpulkan dalam kurunwaktu Maret September 2013 Pengambilan data ekokardiografi dan kadareritropoetin dilakukan sebelum dan 3 bulan sesudah transplantasi ginjal Analisisstatistik dengan uji korelasi Pearson atau Spearman Hasil: Penelitian ini menunjukkan peningkatan bermakna kadar eritropoetin 7 58 2 56 mlU ml menjadi 18 1 6 4 mlU ml Terdapat hubungan peningkatan kadareritropoetin dengan LVEDD r 0 56 p0 05 Kesimpulan: Terdapat hubungan peningkatan kadar eritropoetin dengan perbaikanLVH LVEDD pada pasien gagal ginjal yang menjalani transplantasi Tidak ada hubungan peningkatan kadar eritropoetin dengan perbaikan LVEF ......Kidney transplantation improved cardiac function Based on animaltrials elevated levels of erythropoietin hormone can improved cardiac function butin clinically still debate Aim: To determine association between elevated levels of erythropoietin andimprovement cardiac function on renal failure who underwent transplantation Methods: Prospective cohort study on renal failure who underwent kidneytransplantation at Cipto Mangunkusumo Hospital The study include 21 subjects whocollected it from Marct to September 2013 Data of echocardiography anderythropoietin level were collected at time prior to kidney transplantation and repeat 3months there after The association between elevated levels of erythropoietin andcardiac function was analyzed using Pearson correlation and Spearman test Results: The study showed a significantly elevated levels of erythropoietin from7 58 2 56 to 18 1 6 4 mlU ml There was statistically significant association between elevated levels of erythropoietin and LVEDD r 0 56 p Conclusions: There was association elevated levels of erythropoietin and improvement of LVH, LVEDD on renal failure who underwent transplantation, however, there was no association of elevated levels of erythropoietin level and improvement of LVEF.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Valerian Harjito
Abstrak :
[Latar Belakang Transplantasi ginjal adalah modalitas terapi pengganti ginjal yang paling baik bagi pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA). Saat ini di Indonesia transplantasi ginjal dengan donor hidup mulai semakin sering dilakukan, terutama di RSUPN Cipto Mangunkusumo, di mana dalam beberapa tahun terakhir lebih dari 50% kasus transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di rumah sakit ini. Walaupun demikian, data mengenai hasil transplantasi di Indonesia, baik kesintasan 1 tahun graft maupun pasien, serta faktor yang diduga mempengaruhinya masih belum ada. Diharapkan hasil transplantasi di rumah sakit ini dapat menggambarkan hasil secara keseluruhan di Indonesia. Metode Studi kohort retrospektif pada resipien transplantasi ginjal di RSUPN-CM dari Januari 2010 hingga Mei 2014. Data didapatkan dari penelusuran rekam medis serta menghubungi pasien secara langsung. Masing-masing resipien diikuti sejak tanggal transplantasi hingga kematian atau Mei 2015. Proporsi kesintasan graft dan pasien pada 1 tahun post transplantasi dan pada akhir studi didokumentasikan. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menggambarkan kesintasan pasien secara keseluruhan. Studi deskriptif dilakukan dengan melihat perbedaan proporsi variabel serta perbedaan rerata atau median pada pasien yang mengalami kegagalan graft 1 tahun serta tidak, serta pasien yang bertahan hidup atau meninggal. Hasil Berdasarkan hasil consecutive total sampling didapatkan 157 resipien yang menjalani transplantasi ginjal di RSUPN-CM, 137 resipien di antaranya memenuhi kriteria penelitian, seluruhnya mendapatkan ginjal dari donor hidup. Usia resipien rata-rata adalah 47,9 ± 13,9 tahun, rerata IMT 22,8 ± 3,7 kg/m2, dan proporsi resipien dengan diabetes 35,8%. Didapatkan 7 pasien mengalami disfungsi graft primer (kegagalan transplantasi), sehingga 130 pasien diikuti untuk melihat kesintasan jangka panjang. Pada akhir tahun pertama, didapatkan angka death-censored graft survival adalah 95,4%, all-cause graft survival 85,4%, kesintasan pasien 88,5%, dan death with a functioning graft sebesar 10%. Pada akhir studi, didapatkan angka kesintasan tersebut berturut-turut adalah 94,6%, 80%, 82,3%, dan 14,6%, dengan median waktu pengamatan 24 bulan (1 ? 64 bulan). Kurva Kaplan Meier menunjukkan angka mortalitas tertinggi didapatkan pada bulan-bulan awal post transplantasi. Kegagalan graft dan kematian didapatkan lebih banyak pada resipien yang berusia lebih tua, mengidap diabetes melitus, serta memiliki indeks komorbiditas yang tinggi. Penyebab kematian utama adalah infeksi (11,5%) diikuti dengan kejadian kardiovaskular (3,8%). Simpulan Death-censored graft survival 1 tahun resipien transplantasi ginjal di Indonesia sudah sangat memuaskan. Angka death with functioning graft masih cukup tinggi, sehingga menurunkan all-cause graft survival dan kesintasan pasien 1 tahun. Walaupun demikian, secara keseluruhan hasil ini masih sebanding dengan negara-negara berkembang lainnya.;Background Kidney transplant is established as the preferred modality for end stage renal disease patients. Living donor kidney transplant is increasingly popular in Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo Hospital, comprising more than 50% of all transplant procedures performed in Indonesia. However, data regarding one-year graft and patient survival in Indonesia is still scarce. This single-center study is hoped to represent the characteristics and results of graft and patient survival of living donor kidney transplant in Indonesia. Methods A retrospective cohort study with total consecutive sampling is performed on all kidney transplant recipients in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2010 until May 2014. Data is acquired by analysing medical records and contacting patients directly. Each recipient is followed from the day of transplant until death or May 2015, whichever comes first. One-year graft and patient survival is documented. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient survival until the end of study. Descriptive studies on risk factors of graft and patient survival is also conducted, using differences in proportions, means, and medians appropriately. Results Within the timeframe there are 157 recipients of living donor kidney transplants, 137 of which fulfill the inclusion criteria. The mean age is 47.9 ± 13.9 years, mean BMI is 22.8 ± 3.7 kg/m2, and 35.8% of all recipients are diabetics. Primary non-function/early transplant failure is present in 7 patients, so that 130 recipients are included for long term survival descriptions. In the end of the first year post transplant, death-censored graft survival is 95.4%, all-cause graft survival is 85.4%, patient survival is 88.5%, and death with a functioning graft is 10%. By the end of the study, the corresponding survival results are 94.6%, 80%, 82.3%, and 14.6%, respectively, with a median observation time of 24 months (1 ? 64 months). Kaplan-Meier curve showed that the mortality rate is higher in the early months after transplant. More deaths and graft failures are found in older and diabetic recipients, as well as those with a high comorbidity index. The main causes of death are infections (11.5%) and cardiovascular diseases (3.5%). Conclusions The outcome of one-year death-censored graft survival in Indonesia is very satisfactory. The incidence of death with functioning graft is relatively high, causing a decline in one-year patient survival and all-cause graft survival. However, the overall results are still comparable to other developing countries;Background Kidney transplant is established as the preferred modality for end stage renal disease patients. Living donor kidney transplant is increasingly popular in Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo Hospital, comprising more than 50% of all transplant procedures performed in Indonesia. However, data regarding one-year graft and patient survival in Indonesia is still scarce. This single-center study is hoped to represent the characteristics and results of graft and patient survival of living donor kidney transplant in Indonesia. Methods A retrospective cohort study with total consecutive sampling is performed on all kidney transplant recipients in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2010 until May 2014. Data is acquired by analysing medical records and contacting patients directly. Each recipient is followed from the day of transplant until death or May 2015, whichever comes first. One-year graft and patient survival is documented. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient survival until the end of study. Descriptive studies on risk factors of graft and patient survival is also conducted, using differences in proportions, means, and medians appropriately. Results Within the timeframe there are 157 recipients of living donor kidney transplants, 137 of which fulfill the inclusion criteria. The mean age is 47.9 ± 13.9 years, mean BMI is 22.8 ± 3.7 kg/m2, and 35.8% of all recipients are diabetics. Primary non-function/early transplant failure is present in 7 patients, so that 130 recipients are included for long term survival descriptions. In the end of the first year post transplant, death-censored graft survival is 95.4%, all-cause graft survival is 85.4%, patient survival is 88.5%, and death with a functioning graft is 10%. By the end of the study, the corresponding survival results are 94.6%, 80%, 82.3%, and 14.6%, respectively, with a median observation time of 24 months (1 ? 64 months). Kaplan-Meier curve showed that the mortality rate is higher in the early months after transplant. More deaths and graft failures are found in older and diabetic recipients, as well as those with a high comorbidity index. The main causes of death are infections (11.5%) and cardiovascular diseases (3.5%). Conclusions The outcome of one-year death-censored graft survival in Indonesia is very satisfactory. The incidence of death with functioning graft is relatively high, causing a decline in one-year patient survival and all-cause graft survival. However, the overall results are still comparable to other developing countries;Background Kidney transplant is established as the preferred modality for end stage renal disease patients. Living donor kidney transplant is increasingly popular in Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo Hospital, comprising more than 50% of all transplant procedures performed in Indonesia. However, data regarding one-year graft and patient survival in Indonesia is still scarce. This single-center study is hoped to represent the characteristics and results of graft and patient survival of living donor kidney transplant in Indonesia. Methods A retrospective cohort study with total consecutive sampling is performed on all kidney transplant recipients in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2010 until May 2014. Data is acquired by analysing medical records and contacting patients directly. Each recipient is followed from the day of transplant until death or May 2015, whichever comes first. One-year graft and patient survival is documented. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient survival until the end of study. Descriptive studies on risk factors of graft and patient survival is also conducted, using differences in proportions, means, and medians appropriately. Results Within the timeframe there are 157 recipients of living donor kidney transplants, 137 of which fulfill the inclusion criteria. The mean age is 47.9 ± 13.9 years, mean BMI is 22.8 ± 3.7 kg/m2, and 35.8% of all recipients are diabetics. Primary non-function/early transplant failure is present in 7 patients, so that 130 recipients are included for long term survival descriptions. In the end of the first year post transplant, death-censored graft survival is 95.4%, all-cause graft survival is 85.4%, patient survival is 88.5%, and death with a functioning graft is 10%. By the end of the study, the corresponding survival results are 94.6%, 80%, 82.3%, and 14.6%, respectively, with a median observation time of 24 months (1 ? 64 months). Kaplan-Meier curve showed that the mortality rate is higher in the early months after transplant. More deaths and graft failures are found in older and diabetic recipients, as well as those with a high comorbidity index. The main causes of death are infections (11.5%) and cardiovascular diseases (3.5%). Conclusions The outcome of one-year death-censored graft survival in Indonesia is very satisfactory. The incidence of death with functioning graft is relatively high, causing a decline in one-year patient survival and all-cause graft survival. However, the overall results are still comparable to other developing countries, Background Kidney transplant is established as the preferred modality for end stage renal disease patients. Living donor kidney transplant is increasingly popular in Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo Hospital, comprising more than 50% of all transplant procedures performed in Indonesia. However, data regarding one-year graft and patient survival in Indonesia is still scarce. This single-center study is hoped to represent the characteristics and results of graft and patient survival of living donor kidney transplant in Indonesia. Methods A retrospective cohort study with total consecutive sampling is performed on all kidney transplant recipients in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2010 until May 2014. Data is acquired by analysing medical records and contacting patients directly. Each recipient is followed from the day of transplant until death or May 2015, whichever comes first. One-year graft and patient survival is documented. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient survival until the end of study. Descriptive studies on risk factors of graft and patient survival is also conducted, using differences in proportions, means, and medians appropriately. Results Within the timeframe there are 157 recipients of living donor kidney transplants, 137 of which fulfill the inclusion criteria. The mean age is 47.9 ± 13.9 years, mean BMI is 22.8 ± 3.7 kg/m2, and 35.8% of all recipients are diabetics. Primary non-function/early transplant failure is present in 7 patients, so that 130 recipients are included for long term survival descriptions. In the end of the first year post transplant, death-censored graft survival is 95.4%, all-cause graft survival is 85.4%, patient survival is 88.5%, and death with a functioning graft is 10%. By the end of the study, the corresponding survival results are 94.6%, 80%, 82.3%, and 14.6%, respectively, with a median observation time of 24 months (1 – 64 months). Kaplan-Meier curve showed that the mortality rate is higher in the early months after transplant. More deaths and graft failures are found in older and diabetic recipients, as well as those with a high comorbidity index. The main causes of death are infections (11.5%) and cardiovascular diseases (3.5%). Conclusions The outcome of one-year death-censored graft survival in Indonesia is very satisfactory. The incidence of death with functioning graft is relatively high, causing a decline in one-year patient survival and all-cause graft survival. However, the overall results are still comparable to other developing countries]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Ronald Christian Agustinus
Abstrak :

Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi pada laparotomi transplantasi ginjal dikategorikan pada nyeri sedang sampai berat. Tatalaksana nyeri yang efektif dapat membantu pemulihan yang lebih baik. Epidural kontinyu merupakan pilihan analgesia yang digunakan pada operasi laparotomi transplantasi ginjal di RSCM  namun ditemukan masih adanya pasien yang merasakan nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara blok Quadratus Lumborum (QL) bilateral dengan blok epidural kontinyu terhadap derajat nyeri dan kebutuhan morfin pascaoperasi.

Metode: Penelitian ini merupakan uji kontrol acak pada 38 pasien yang menjalani operasi laparotomi resipien transplantasi ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Sesaat sebelum pasien diekstubasi, 20 subjek dalam kelompok blok QL bilateral mendapatkan ropivacaine 0,375% sebanyak 20 mL bilateral dan 18 subjek pada kelompok epidural kontinyu mendapatkan infus epidural ropivakain 0,2% 6 mL/jam. Hasil dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji statistik Mann Whitney. 

Hasil: Penelitian ini tidak menemukan perbedaan bermakna derajat nyeri VAS istirahat antara kelompok blok epidural dan kelompok blok QL pada saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24 (p = 0,228; 0,108; 0,224; 0,056 dan 0,179). Tidak terdapat perbedaan VAS bergerak antara kedua kelompok saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24 (p = 0,813; 0,865; 0,947; 0,063; dan 0,408). Kebutuhan morfin pada 24 jam pascaoperasi tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada semua jam pengukuran (p = 0,380; 0,425; 0,664; 0,854). Waktu saat pertama kali menekan PCA morfin juga tidak bermakna dengan p 0,814. Ketinggian blok pada 1 jam pascaoperasi pada kedua kelompok sama, yaitu blokade 100% pada T10-L1. Tidak terdapat perbedaan dosis minimal dan maksimal dobutamin dan norepinefrin antara kelompok QL dan epidural kontinyu. Jumlah produksi urin 24 jam, skor Bromage, dan skor Ramsay tidak berbeda pada kedua kelompok.

Simpulan: Blok QL tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik daripada blok epidural kontinyu.


Background: Postoperative pain in laparatomy for kidney transplant is moderate to severe. Effective postoperative pain promotes better recovery. Continuous epidural is the current analgesia of choice in laparatomy for kidney transplant in Cipto Mangunkusumo Hospital; however, undermanaged pain was still reported. This study aims to compare the effectivity between bilateral Quadratus Lumborum block and continuous epidural in managing pain and reducing morphine requirement.

Methods: This is a randomized controlled study on 38 patients undergoing laparatomy for kidney transplant in Cipto Mangunkusumo Hospital. Before extubation, 20 subjects in QL group received 20 ml 0.375% ropivacaine while 18 subjects in continuous epidural group received epidural infusion of 0.2% ropivacaine at 6 ml/hour. The result was analysed using Mann Whitney test.

Results: This study found no difference between resting VAS score of QL and epidural group in recovery room, at 2nd, 6th, 12th, and 24th hour (p = 0,228; 0,108; 0,224; 0,056 dan 0,179). There was no difference between moving VAS of both groups in recovery room, at 2nd, 6th, 12th, and 24th hour (p = 0,813; 0,865; 0,947; 0,063; dan 0,408). Morphine requirement on 24th hour post surgery showed no difference in all observed hours (p = 0,380; 0,425; 0,664; 0,854). Time to first PCA press was also insignificant (p 0,814). Block height at 1st hour post surgery was the same in both groups, with 100% blockade at T10-L1. There were no difference at minimal and maximal dobutamine and norepinephrine dose in between the two groups. Total 24 hour urine production, Bromage score, and Ramsay score was not different in both groups.

 

Conclusion: QL block did not provide better analgesia compared to continuous epidural.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58711
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zakia
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Mendapatkan satu embrio dengan potensi implantasi yang tertinggi merupakan hal penting dari teknologi fertilisasi invitro. Metode yang banyak digunakan selama ini untuk seleksi embrio adalah melalui penilaian morfologi. Namun morfologi embrio belum dapat menggambarkan potensi embrio dengan baik. Teknologi metabolomik merupakan metode yang memiliki potensi yang cukup baik karena memiliki beberapa kelebihan yaitu pengukuran yang cepat dan tidak bersifat invasif. Viabilitas hasil konsepsi dipengaruhi oleh proses biologis intrasel yang menghasilkan metabolom. Embrio dengan morfologi yang baik ternyata memiliki gambaran metabolomik yang berbeda. Dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan model prediksi dari pola metabolomik medium kultur embrio untuk memprediksi kemampuan pembentukan blastokista. Jika kita dapat memprediksi potensi keberhasilan pembentukan blastokista dengan cara yang nir invasif dan cepat, diharapkan dapat meningkatkan proses pemilihan embrio dengan potensi implantasi yang tinggi, tanpa memperpanjang masa kultur embrio hingga hari kelima.

Tujuan: Mengembangkan metode nir invasive dalam memprediksi kemampuan embrio berkembang menjadi blastokista.

Metode: Penelitian kohort terhadap data spektrum FTIR medium kultur embrio hari pertama dan hari ketiga dalam memprediksi keberhasilan pembentukan blastokista, dengan membuat model prediksi dari spektrum tersebut.

Hasil: Didapatkan blastokista dengan kualitas baik sebanyak 16 dari 44 embrio yang diteliti. Didapatkan nilai AUC 0,752 pada model prediksi analisis FTIR medium kultur embrio hari pertama. dengan sensitifitas 0,727 dan akurasi 72,7%. Pada analisis spektrum hari ke 3 didapatkan model prediksi dengan AUC 0,674, dengan sensitifitas 0,614 dan akurasi 0,614.

Kesimpulan: Pola metabolomik medium kultur embrio dapat membedakan antara embrio yang berhasil menjadi blastokista kualitas baik dan tidak menjadi blastokista kualitas baik. Perbedaan ini dapat dideteksi dengan menggunakan analisis dengan FTIR yang kemudian dibuat model prediksinya.
ABSTRACT
Background: To get an embryo with the highest implantation potential is an important aspect of in vitro fertilization. The most widely used method for embryo selection is morphological assessment. However, embryo morphology has not been able to describe the potential of an embryo properly. Metabolomic technology is a method that has good potential because it has several advantages, namely rapid measurement and not invasive. Viability of the results of conception is influenced by intracellular biological processes that produce the metabolome. Embryos with good morphology have a different metabolomic profilling. From this research it is expected to produce a predictive model of the metabolomic profilling of embryo culture medium to predict the successful of good quality blastocyst formation. If we can predict the potential success of blastocyst formation in a non-invasive and fast way, it is hoped that it can improve the process of selecting embryos with high implantation potential, without extending embryo culture to the fifth day.

Objective: To develop a non-invasive method for predicting the ability of an embryo to develop into a good quality blastocyst.

Method: A cohort study of FTIR spectrum data of first and third day embryo culture medium in predicting the success of good quality blastocyst formation, by making a prediction model of the spectrum.

Results: There were good quality blastocysts from 16 of the 44 embryos studied. AUC value of 0.752 was obtained from the FTIR analysis model prediction for the first day of embryo culture medium. with a sensitivity of 0.727 and an accuracy of 72.7%. In the spectrum analysis of day 3was obtained predictive models with AUC of 0.674, with a sensitivity of 0.614 and an accuracy of 0.614.

Conclusion: The metabolomic profilling of embryo culture medium can distinguish between an embryo that succeeds in becoming a good quality blastocyst and not a good quality blastocyst. This difference can be detected by using analysis with FTIR.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Susalit
Abstrak :
ABSTRAK Penderita gagal ginjal kronik progresif yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan konservatif akan mengalami gagal ginjal tahap akhir. Untuk kelangsungan hidupnya, penderita gagal ginjal tahap akhir memerlukan terapi pengganti yang bisa berupa hemodialisis, dialisis peritoneal atau transplantasi ginjal (1,2). Penanggulangan gagal ginjal di Indonesia belum mencapai hasil yang diinginkan, walaupun sudah dilakukan sejak tahun 1960-an, karena sarana yang ada sekarang masih terbatas (3). Transplantasi ginjal yang berhasil sebenarnya merupakan cara penanggulangan gagal ginjal tahap akhir yang ideal karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal (3). Selain itu, transplantasi organ tubuh merupakan prosedur klinik yang sudah diterima di seluruh dunia (4). Cyclosporine-A (siklosporin) merupakan obat imunosupresif pilihan pada transplantasi organ karena sudah berhasil meningkatkan angka ketahanan hidup (survival) organ tanpa menimbulkan supresi sumsum tulang (5). Meskipun pada transplantasi ginjal siklosporin telah dapat meningkatkan angka ketahanan hidup ginjal dan penderita secara dramatis (6), obat ini mempunyai beberapa efek camping, antara lain yang terpenting adalah efek nefrotoksisitas (7). Efek nefrotoksisitas siklosporin dalam klinik dapat terjadi secara akut dan kronik. Mekanisme yang paling sering dikemukakan pada tipe akut adalah penurunan aliran darah ginjal akibat vasokonstriksi arterial aferen glomerulus. Sedangkan pada tipe kronik disebabkan oleh iskemia kumulatif, akibat vasokonstriksi arteriol aferen glomerulus pada fase akut dan lesi iskemik vaskuler yang berupa arteriolopati, akibat pengaktifan trombosit lokal (8). Efek nefrotoksisitas akibat penggunaan siklosporin jangka panjang yang berupa arteriolopati sukar dihambat, sedangkan efek vasokonstriksi akut siklosporin masih mungkin dikurangi, misalnya dengan penambahan obat seperti antagonis kalsium yang bisa menghambat efek vasokonsriksi lersebut. Antagonis kalsium dikenal sejak tiga dekade yang lalu, namun baru pada dekade terakhir golongan obat ini diselidiki secara lebih mendalam tentang manfaatnya terhadap fungsi ginjal (9). Antagonis kalsium [ermasuk dalam golongan obat antihipertensi yang pemakaiannya semakin banyak di Indonesia (10). Beberapa penelitian sudah dilakukan dengan mencoba memberikan antagonis kalsium bersama siklosporin, baik pada hewan percobaan maupun dalam penelitian klinik (11-13). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa antagonis kalsium verapamil dan diltiazem agaknya bermanfaat mengurangi nefrotoksisitas yang disebabkan oleh siklosporin, walaupun faktor yang berperan belum diketahui secara pasti. Antagonis kalsium verapamil dan diltiazem dilaporkan dapat meninggikan kadar siklosporin dalam darah resipien, yang disebabkan oleh metabolisme kompetitif pada sistem enzim sitokrom P-450 dalam hepar (14). Antagonis kalsium golongan dihidropiridin, kecuali nikardipin (15), dilaporkan tidak mengganggu metabolisme siklosporin, karena golongan that ini tidak terlalu terkonsentrasi dalam hepar (16). Amlodipin yang termasuk dalam golongan dihidropiridin generasi terbaru, mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Kelebihan tersebut di antaranya adalah mempunyai rasio selektivitas vaskuler yang sangat tinggi dan dosis hanya sekali sehari, serta tidak menimbulkan efek inotropik negatif, aritmia dan tahikardia. Selain itu, efek samping seperti sakit kepala, pusing dan edema lebih ringan, dan lebih jarang terjadi (17). Amlodipin dengan dosis 5-10 mg sekali sehari sudah dibuktikan dapat menaikkan laju filtrasi glomerulus 13% dan aliran plasma ginjal efektif 19%, serta menurunkan resistensi vaskuler ginjal 25% pada penderita hipertensi esensial (18). Seperti diketahui laju filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal efektif menggambarkan fungsi glomerulus dan tubulus, dan secara keseluruhan kedua fungsi tersebut juga menggambarkan fungsi ginjal. Siklosporin menyebabkan gangguan perfusi ginjal kemungkinan besar dengan Cara peningkatan tonus arteriol aferen glomerulus, karena obat ini sendiri bersifat vasokonstriktor (19). Siklosporin juga bisa menimbulkan efek vasokonstriksi tersebut secara tidak langsung, misalnya melalui stimulasi sistem renin-angiotensin (11) dan atau stimulasi sistem saraf simpatis (20), melalui stimulasi produksi hormon vasokonstriktor endotelin (21) atau akibat perubahan keseimbangan produksi prostaglandin lokal antara yang bekerja sebagai vasokonstriktor dan vasodilator (22). Efek nefrotoksik akut siklosporin yang khas adalah penurunan aliran plasma ginjal efektif dan laju filtrasi glomerulus sekitar 40 %, dan ini berarti bahwa fungsi ginjal transplan menjadi sekitar 60 % dari nilai semula (7). Penurunan kedua parameter ini umumnya sebanding sehingga fraksi filtrasi biasanya tidak banyak berubah (23). Penelitian yang dilakukan pada hewan percobaan menunjukkan bahwa antagonis kalsium meningkatkan aliran plasma ginjal efektif dan laju filtrasi glomerulus dengan cara pengurangan efek vasokonstriksi berbagai vasokonstriktor seperti angiotensin ll, norefinefrin, tromboksan, dan endotelin pada arterial aferen tanpa mempengaruhi tonus arteriol eferen (16). Pada resipien transplantasi ginjal yang mendapat siklosporin, penambahan antagonis kalsium amlodipin diharapkan akan dapat mengurangi efek vasokonstriksi arteriol aferen oleh siklosporin tersebut. Sampai saat ini belum ada data mengenai manfaat antagonis kalsium amlodipin terhadap penghambatan penurunan fungsi ginjal pada resipien transplantasi ginjal yang mendapat siklosporin. Selain itu, pengetahuan tentang mekanisme yang mendasari manfaat tersebut sangat menarik untuk diselidiki. Andaikan memang benar bermanfaat, namun masih belum diketahui pula apakah penghambatan penurunan fungsi ginjal oleh amlodipin tersebut melalui penurunan sintesis berbagai vasokonstriktor ataukah melalui cara lain.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
D374
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandini Phalita Laksmi
Abstrak :
Latar Belakang: Meningkatnya angka kejadian stroke dan beratnya disabilitas dari penderita stroke yang bertahan hidup, menjadikan diperlukannya terapi yang optimal untuk restorasi paska stroke. Neurorestorasi dengan transplantasi sel punca menjanjikan perbaikan luaran fungsional yang baik pada pasien stroke iskemik. Penelitian ini dibuat untuk mengamati efek transplantasi Stem Cell from Human Exfoliated Deciduous Teeth SHED pada luaran klinis dan rasio sel neuron mati pada model stroke iskemik, untuk mendapatkan terapi yang optimal untuk stroke iskemik. Metode: Pembuatan tikus model stroke iskemik dilakukan dengan oklusi arteri cerebri media (MCAO). Pada 48 jam setelah MCAO, dilakukan transplantasi sel mesenkimal asal SHED secara intravena, dengan dosis 2x106/kgBB. Dilakukan evaluasi fungsional tikus secara neurobehaviour dengan tes Y Maze, dan evaluasi sensorimotor tikus dengan tes silinder. Evaluasi rasio neuron mati dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Hasil: Terdapat perbaikan evaluasi neurobehaviour dengan Y Maze (p=0,04) dan evaluasi sensorimotor dengan tes silinder (p=0,04) pada 14 hari setelah transplantasi pada kelompok tikus yang ditransplantasi SHED dibandingkan kontrol. Terdapat pengurangan rasio sel neuron mati (p=0,0) pada tikus yang ditransplantasi SHED pada 21 hari setelah MCAO. Kesimpulan: Transplantasi SHED pada tikus model stroke iskemik pada fase akut stroke menunjukkan perbaikan klinis dan terdapat pengurangan rasio neuron mati pada otak tikus model stroke iskemik yang di transplantasi dengan sel mesenkimal asal SHED.
Background: The incidence of stroke reaches 15 million cases worldwide, and 5 million stroke survivors suffered permanent disability. Ischemic stroke causes a burden on health problems particularly in Indonesia. The prevalence of stroke in Indonesia in 2013 is 7 per 1000 population. The optimal stroke restoration therapy required, and neurorestoration with stem cell transplantation is a promising therapy that provides functional improvements for ischemic stroke. This research was conducted to observe the effects of Stem Cell from Human Exfoliated Deciduous Teeth (SHED) transplantation on the clinical improvement and neuron death ratio in the brain of rats models with ischemic stroke. Methods: One group of normal rats and two groups (n=5) of male wistar rats undergone permenents Middle Cerebral Artery Occlusion (MCAO). SHED transplantation performed 48 hours after MCAO, by intravenous injection with a dose of 2x106 cells/kg. Functional evaluation conducted in rats with Y Maze and cylinder Test. Evaluation of the death neurons ratio in brain cortex area done by Hematoksilin and Eosin staining.Results : The functional evaluation using Y Maze and Cylinder Test was significantly improved in the treatment group compared to the control stroke group p < 0,05 14 days after MCAO. There was a reduction in the neuron death ratio p = 0.0 in rats transplanted with SHED.Conclusion : SHED transplantation in acute stroke showed clinical improvement and reduction in the neuron death ratio in the brain of rat models with ischemic stroke. Keywords: Cell transplantation, Ischemic Stroke, MCAO, SHED
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>