Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yustinus Slamet Antono
Abstrak :
Transmigrasi adalah salah satu upaya pemerintah untuk membuat agar persebaran penduduk Indonesia merata. Untuk itu dicarilah lahan-lahan potensial yang bisa dipakai untuk areal pemukiman dan usaha tani bagi para transmigran. Tetapi daerah potensial dan subur itu makin lama makin sulit ditemukan. Daerah marginal pasang surut Sumatera Selatan merupakan salah satu alternatif yang dipilih untuk dijadikan pemukiman transmigran. Dalam suasana Orde Baru di mana korupsi merebak ke segala bidang kehidupan, muncul suatu pertanyaan bagaimana masyarakat yang biasa hidup bertani di daerah subur pada lahan kering dengan sistem pengairan irigasi dapat mempertahankan eksistensinya pada lahan basah pasang surut? Dalam antropologi pertanyaan seperti itu bisa dijawab melalui studi adaptasi manusia dengan lingkungannya. Studi adaptasi, (Bennet, 1976; Geertz, 1976; Fox, 1996; Steward, 1955; Rappaport, 1984; Wolf, 1983) banyak memperbincangkan bagaimana manusia menyesuaikan diri bila kondisi lingkungannya berubah. Melalui pendekatan kualitatif dengan rancangan penelitian etnografi, terbukti bahwa setelah mempelajari lingkungan fisik dan sosial, penduduk perlahan-lahan merubah sistem bertani yang sudah biasa dilakukan selama di Jawa dengan sistem baru yang cocok dengan kondisi pasang surut. Meninggalkan cara lama dan memilih cara baru adalah bentuk strategi yang dipilih oleh penduduk. Penduduk juga merubah, merombak tanaman yang tidak lagi memiliki nilai ekonomis. Penduduk yang kreatif memelihara sapi yang hasilnya bisa digunakan untuk membangun atau memperbaiki rumahnya. Tidak semua transmigran mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya, artinya mereka tidak mampu mengolah dan memanfaatkan lingkungannya untuk mendukung kehidupannya. Pulang ke daerah asal adalah salah satu alternatif yang dipilih oleh penduduk yang tidak berhasil. Merantau adalah pilihan lain selain pulang ke Jawa. Jumlah perantau di desa ini mencapai sekitar 40% tersebar ke berbagai daerah dan berbagai jenis pekerjaan termasuk sebagai buruh tani dan menyewa lahan pertanian. Merantau adalah salah satu bentuk strategi yang dipilih penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Artinya para perantau memperluas radius eksploitasi lingkungannya. Banyaknya transmigran yang gagal dalam mengolah tanah karena biaya produksi yang tinggi pada gilirannya membuat kita bertanya pada kejujuran studi kelayakan dan kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan transmigrasi terutama dalam persiapan, penempatan dan pengelolaannya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T549
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafkhardi
Abstrak :
Desa transmigrasi merupakan contoh lingkungan kehidupan manusia di pedesaan yang dibangun dengan terencana, lengkap dengan lahan usaha dan fasilitas umum yang dibutuhkan. Desa transmigrasi bukanlah hanya merupakan tempat tinggal saja tetapi juga sekaligus menyediakan potensi yang dapat diolah untuk kehidupan transmigran. Desa transmigrasi diharapkan menjadi lingkungan permukiman yang mampu memberikan kehidupan bagi penduduk transmigran. Perencanaan permukiman transmigrasi dilakukan pada daerah yang masih kosong penduduk atau masih merupakan hutan, sehingga konsep-konsep perencanaan lingkungan permukiman dapat diterapkan. Program transmigrasi merupakan bagian integral dari rencana pembangunan daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi diharapkan terjadi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan transmigran. Motivasi seseorang berpartisipasi dalam Program transmigrasi adalah untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera. Keberhasilan transmigran pada akhirnya diukur berdasarkan kesejahteraannya. Semakin baik kesejahteraan transmigran dapat dianggap semakin berhasil program transmigrasi yang dilaksanakan. Dengan mengetahui tingkat kesejahteraan transmigran diharapkan pemerintah bersama masyarakat dapat melakukan penilaian terhadap pelaksanaan proyek transmigrasi. Aktifitas kegiatan kehidupan transmigran di desa transmigrasi dimulai pada saat lokasi permukiman mulai didiami. Dengan berjalannya waktu, desa transmigrasi akan berkembang yang antara lain dapat dilihat dari pertambahan jumlah penduduk, perkembangan aktifitas kegiatan dan meningkatnya pelayanan jasa. Desa transmigrasi Dwi Warga Tunggal Jaya dan Desa Tunggal Warga di Kabupaten Tulang Bawang Lampung merupakan permukiman yang sudah ditempati oleh transmigran selama lebih dari 20 tahun. Di desa-desa ini jumlah penduduk dan aktifitasnya sudah berkembang. Telah terjadi pembauran antara penduduk transmigran dengan penduduk yang bukan transmigran. Penelitian ini ingin mengetahui keadaan kesejahteraan penduduk transmigran dan perbedaannya dengan penduduk yang bukan transmigran, serta beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan penduduk di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya dan Desa Tunggal Warga Kecamatan Banjar Agung Lampung. Manfaat penelitian ini adalah: 1. Sebagai masukan bagi kebijakan program transmigrasi di masa datang 2. Sebagai masukan bagi usaha untuk menanggulangi permasalahan di lokasi permukiman transmigran 3. Sebagai masukan untuk mempersiapkan calon transmigran 4. Sebagai masukan bagi proyek perencanaan permukiman baru atau proyek pemindahan penduduk selain transmigrasi Rumusan hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Tingkat kesejahteraan penduduk bukan transmigran di desa penelitian lebih tinggi dari tingkat kesejahteraan penduduk Transmigran di Desa Tunggal Warga dan Desa Dwi Warga Tunggal Jaya. 2. Dalam hal faktor yang mempengaruhi kesejahteraan penduduk di desa penelitian di Desa Tunggal Warga dan Desa Dwi Warga Tunggal Jaya, diduga: a. Motivasi mempunyai hubungan yang positif dengan kesejahteraan b. Penguasaan keterampilan mempunyai hubungan yang positif dengan kesejahteraan c. Tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang positif dengan kesejahteraan Pemilihan responden sebagai sampel dilakukan dengan metode Sampel Acak Distratifikasi (Stratified Random Sampling). Jumlah sampel di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya adalah 70 responden yang terdiri dari penduduk transmigran 35 responden dan penduduk bukan transmigran 35 responden. Demikian juga dengan Desa Tunggal Warga sebanyak 70 responden yang terdiri 35 responden transmigran dan 35 responden bukan transmigran. Total keseluruhan berjumlah 140 responden. Hipotesis pertama, yang dibuktikan adalah kesejahteraan penduduk bukan transmigran lebih tinggi dari kesejahteraan penduduk transmigran. Uji statistik yang digunakan adalah Uji Mann - Whitney atau disebut juga Uji U. Untuk menguji hipotesis 2a, 2b dan 2c digunakan metode korelasi rank (jenjang) Spearman. Pada umumnya responden transmigran mata pencahariannya adalah bertani dengan menanam karet dan singkong karena tanahnya tidak cocok buat tanaman lain. Rata-rata luas lahan karet yang berproduksi 0,7 Ha dan luas lahan singkong yang berproduksi 0,54 Ha. Mata pencaharian responden bukan transmigran umumnya di sektor jasa dan perdagangan, mareka tidak saja melayani daerah transmigran tetapi juga melayani daerah di sekitarnya. Jadi usaha mereka bisa berkembang dengan cepat. Penduduk bukan transmigran pada umumnya mempunyai keterampilan yang dapat diandalkan sebagai mata pencaharian. Pendapatan penduduk transmigran di desa penelitian rata-rata berada di bawah kebutuhan hidup minimal. Pengelolaan data pendapatan penduduk dengan SPSS-10 memberikan hasil 60,64% penduduk transmigran di Desa Tunggal Warga pendapatannya berada di bawah kebutuhan hidup minimal. Penduduk transmigran Desa Dwi Warga Tunggal Jaya sebanyak 63,68% masih mempunyai pendapatan di bawah kebutuhan hidup minimal. Penduduk bukan transmigran yang umumnya bergerak dalam sektor pelayanan dan jasa, mempunyai pendapatan rata-rata di atas kebutuhan minimal. Untuk Desa Tunggal Warga hanya 0,89% yang pendapatannya berada di bawah kebutuhan hidup minimal. Penduduk bukan transmigran di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya 0,59% yang pendapatannya di bawah kebutuhan hidup minimal. Berdasarkan batas kebutuhan hidup minimal Rp. 93.172,- didapat skor rata-rata pendapatan penduduk transmigran di Desa Tunggal Warga adalah 3,114 dengan standar deviasi 0,796 dan di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya adalah 3,143 dengan standar deviasi 0,772. Untuk penduduk bukan transmigran di Desa Tunggal Warga skor rata-rata 6,457 dengan standar deviasi 0,780 dan untuk Desa Dwi Warga Tunggal Jaya didapat skor 6,343 dengan standar deviasi 0,802. Berdasarkan data respoden, skor partisipasi pendidikan rata-rata penduduk transmigran di Desa Tunggal Warga adalah 4,97 (standar deviasi 1,34) dan penduduk transmigran di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya 4,57 (standar deviasi 1,58). Penduduk bukan transmigran mempunyai skor partisipasi pendidikan yang lebih tinggi yaitu 6,8 (dengan standar deviasi 0,40) untuk desa Tunggal Warga dan 6,77 (dengan standar deviasi 0,49) untuk Desa Dwi Warga Tunggal Jaya. Data ini menggambarkan adanya kesadaran yang lebih tinggi di lingkungan penduduk bukan transmigran. Walaupun demikian partisipasi pendidikan penduduk transmigran di Desa Tunggal Warga rata-rata 4,97 (dalam skala 1 ski 7) dan Desa Dwi Warga Tunggal Jaya sebesar 4,57 (dalam skala 1 s/d 7) masih cukup baik karena sudah di atas 50%. Dari penelitian terhadap responden di Desa Tunggal Warga, keadaan kesehatan penduduk transmigran mempunyai skor rata-rata 3,71 (standar deviasi 1,51) dan penduduk bukan transmigran skor rata-rata 5,88 (standar deviasi 0,72). Untuk penduduk transmigran di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya skor keadaan kesehatan rata-rata adalah 4,0 (standar deviasi 1,31), sedangkan skor rata-rata penduduk bukan transmigran adalah 6,00 (standar deviasi 0,64). Keadaan kesehatan yang lebih baik pada penduduk bukan transmigrasi menggambarkan keadaan gizi yang lebih baik, kesadaran akan kebersihan yang lebih tinggi dan kondisi tempat tinggal yang lebih sehat. Keadaan rumah tinggal penduduk transmigran di kedua desa, yang terbanyak berlantai semen dan berdinding papan, walaupun sudah ada juga yang berlantai semen dan berdinding bata. Rumah tinggal penduduk bukan transmigran kebanyakan berlantai semen dan berdinding bata. Dari hasil penelitian didapat gambaran bahwa kualitas rumah tinggal penduduk bukan transmigran umumnya lebih baik dari rumah tinggal penduduk transmigran. Rata-rata kesejahteraan penduduk transmigran di Desa Tunggal Warga mempunyai skor 16,01 (dengan standar deviasi 3,98) dan rata-rata kesejahteraan penduduk bukan transmigran mempunyai skor 24,60 (dengan standar deviasi 2,28). Untuk Desa Dwi Warga Tunggal Jaya rata-rata skor kesejahteraan penduduk transmigran adalah 15,84 (dengan standar deviasi 3,94) dan penduduk bukan transmigran adalah 24,93 (dengan standar deviasi 2,36). Dari hasil tersebut didapat gambaran bahwa rata-rata kesejahteraan penduduk bukan transmigran lebih tinggi daripada kesejahteraan penduduk transmigran di desa penelitian. Untuk Desa Tunggal Warga skor motivasi penduduk transmigran rata-rata adalah 40,52 (dengan standar deviasi 6,68) dan skor motivasi penduduk bukan transmigran adalah 52,24 (dengan standar deviasi 2,08). Untuk Desa Dwi Warga Tunggal Jaya skor rata penduduk transmigran adalah 40,60 (dengan standar deviasi 5,67) dan skor penduduk bukan transmigran rata-rata 51,48 (dengan standar deviasi 2,94). Hasil ini memberikan gambaran kepada kita bahwa motivasi penduduk bukan transmigran lebih tinggi dibandingkan motivasi penduduk transmigran, baik di Desa Tunggal Warga maupun Desa Dwi Warga Tunggal Jaya. Penduduk pendatang yang bukan transmigran mencapai tingkat kehidupan yang baik karena mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan. Penduduk transmigran umumnya tidak mempunyai keterampilan selain berkebun singkong dan berkebun karet. Keadaan ini membuat mereka sangat bergantung kepada produksi komoditi tertentu, tergantung kepada keadaan kesuburan lahan dan harga jual komoditi yang diproduksi. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor tingkat pendidikan penduduk transmigrasi lebih rendah dari tingkat pendidikan penduduk bukan transmigran. Dari hasil penelitian dan pengujian hipotesis didapat kesimpulan sebagai berikut : 1. Program transmigrasi belum berhasil memberikan kesejahteraan kepada penduduk transmigran di desa-desa penelitian, walaupun kegiatan ekonomi dan jasa pelayanan di desa tersebut sudah berkembang. 2. Kesejahteraan penduduk bukan transmigran lebih tinggi dari kesejahteraan penduduk transmigran. Sebanyak 60,64% penduduk transmigran di Desa Tunggal Jaya dan 63,88% di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya pendapatannya di bawah kebutuhan minimal, sedangkan penduduk bukan transmigran di desa penelitian hampir semuanya berpendapatan di atas batas kebutuhan minimal. Walaupun demikian, umumnya penduduk transmigran mengatakan kehidupan mereka di Jawa sebelum ikut program transmigrasi lebih susah lagi karena tidak punya lahan. 3. Terdapat hubungan yang positif antara motivasi dengan kesejahteraan. Penduduk bukan transmigran mempunyai motivasi yang lebih tinggi daripada penduduk transmigran. Motivasi yang tinggi pada penduduk bukan transmigran didukung oleh informasi yang cukup dan gambaran yang lebih lengkap tentang daerah baru, sebelum mereka memutuskan untuk pindah. 4. Terdapat hubungan yang positif antara penguasaan keterampilan dengan kesejahteraan. semakin tinggi tingkat keterampilan semakin tinggi tingkat kesejahteraan. Penduduk bukan transmigran umumnya mempunyai penguasaan terhadap keterampilan sehingga dapat berperan dalam kegiatan perdagangan dan jasa. 5. Terdapat hubungan yang positif antara tingkat pendidikan dengan kesejahteraan. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk cenderung semakin tinggi juga tingkat kesejahteraannya. 6. Kriteria perencanaan permukiman transmigrasi yang berhubungan dengan tingkat kesuburan lahan yang sesuai, belum sepenuhnya diterapkan pada pelaksanaannya. Lahan garapan penduduk transmigran saat ini tidak dapat ditanami oleh tanaman selain singkong dan karet. Mereka tidak bisa beralih menanam komoditi lain walaupun harga jual singkong dan karet tidak dapat memberikan keuntungan yang memadai buat mereka. Di pihak lain harga pupuk dan bibit karet mereka rasakan cukup mahal. 7. Dampak lingkungan pembangunan permukiman dan pembukaan hutan belum dikaji dengan teliti. Saat ini terdapat ancaman hama belalang dan kesuburan tanah semakin lama semakin berkurang.
The Welfare of Transmigration Village Community in Kecamatan Banjar Agung (A Case Study on Welfare Differences Between Transmigrated Community and Non-Transmigrated Community in Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya, Kecamatan Banjar Agung Lampung) The transmigration village is a model for the rural community environmental village planned and developed with complete productive land and public facilities. The transmigration village is not only equipped with settlement opportunities but also provided with potential resources to support the transmigrant's life. The transmigration settlement plan is implemented in unoccupied areas or forests for the planning concept to be fully implemented. The transmigration program is an integrated part of the regional development plan to increase the economic growth in the area. It is expected that the economic growth will also increase transmigrant's income and welfare. The motivation of the community to participate in transmigration program is to get social and welfare betterment. The success of transmigration program is measured based on the welfare achieved. The more the welfare improvement, the more successful the transmigration program is. By identifying the level of welfare it is expected that the government together with the community are able to assess the implementation of the transmigration project. Transmigrant economic activities will begin at the time of the resettlement period. After a certain time, the transmigration village will develop and can be identified by population growth and development of activities and services. The transmigration village of Dwi Warga Tunggal Jaya and Tunggal Warga at Tulang Bawang Regency in Lampung Province have settlement occupied by transmigrants over 20 years. in these villages the population and activities have been growing. And assimilation has taken place among transmigrants and non-transmigrants. The objective of this research is to identify and compare (1) the welfare difference of transmigrant and non-transmigrant communities and (2) influential factors on community welfare in Desa Dwi Warga Tunggal Jaya and Desa Tunggal Warga in Banjar Agung District. The benefits of this research are: 1. An input and reference to the future policy of the transmigration program 2. An input to efforts to solve the problems in transmigration settlement 3. An input to the transmigrants preparation 4. An input to new settlement plans and population resettlement beyond the transmigration program. Hypotheses of this research are: 1. The level of community welfare of the non-transmigrants is higher than that of the transmigrant community in the researched villages (Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya). 2. For the studied village it is presumed that: a. Motivation has a positive correlation to welfare b. The skills level has a positive correlation to the welfare achieved c. The education level has a positive correlation to welfare The selection of the respondents used the Stratified Random Sampling System. The number of samples in Desa Dwi Warga Tunggal Jaya was 70 respondents that consist of 35 transmigrants and 35 non-transmigrants, and the same numbers and distribution is also applied in Desa Tunggal Warga, and the total number of respondents was 140. The first hypothesis was tested by Mann-Whitney Test or U test. Hypotheses a, b, and c were tested by applying Correlation of Spearman Rank. In general, the occupation of transmigrants is farming/cultivating rubber and cassava due to unsuitability to other plants. The average productive land of rubber plantation is 0.7 ha and cassava plantation is 0.54 ha. And the non-transmigrant's occupation and activities is `in the services and trade sectors. They do not only cover the area but also the adjacent villages so that their business grows faster. Most of the non-transmigrant communities possess reliable skill to support their occupation. The income of transmigrants in the studied sub district (desa) averages below the minimum standard of living. Data processing of community income results in 60.64% of the transmigrant community in Desa Tunggal falling under minimum standard of living. About 63.68% of transmigrated community in Desa Dwi Warga Tunggal Jaya falls under minimum standard of living. The non-transmigrant communities had an average income above the minimum standard of living. In Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya, namely 0.89% and 0.59% of the population have the income below standard of living. Based on the minimum standard of living of Rp 93,172, it is found that the score of the average income of the transmigrants community in Desa Tunggal Warga is 3.114 with a deviation standard of 0.796, and 3.143 with deviation standard of 0.772 for Desa Dwi Warga Tunggal Jaya. The non-transmigrant community in Desa Tunggal Warga scores 6.457 with deviation standard of 0.780, and 6.343 with deviation standard of 0.802 for Desa Dwi Warga Tunggal Jaya. Based on the respondent's data, scores of education of the average transmigrant community in Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya are 4.97 (deviation standard 1.34) and 4.57 (deviation standard 1.58) respectively. Non-transmigrant community had higher scores of 6.8 (deviation standard 0.40) and 6.77 (deviation standard 0.49) respectively for Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya. The data indicate that higher awareness exists in non-transmigrant community environment. However, the education of transmigrant community in Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya average 4.97 and 4.57 (scale of I - 7), which figures quite good and acceptable input. From the survey on respondents in Desa Tunggal Warga it is observed that the health conditions of transmigrants and non-transmigrants has an average score of 3.71 (deviation standard 1.51) and 5.88 (deviation standard 0.72). The transmigrants in Desa Dwi Warga Tunggal Jaya have an average score of 4.0 (deviation standard 1.31) and the non-transmigrants scored 6.00 (standard deviation 0.64). Better health conditions of nontransmigrants indicate a better nutrient and awareness of healthy and clean living condition. The houses of transmigrants in both villages consisted of cemented floor and wooden walls, and some have the permanent construction. The house of the non-transmigrants was mostly constructed by using permanent materials. The above description indicates that the house quality of non-transmigrants is better compared to those transmigrants. The average score of welfare of transmigrants and non-transmigrants community in Desa Tunggal Warga is 16.01 (deviation standard 3.98) and 24.60 (deviation standard 2.28) respectively. And the average score of welfare of transmigrants and non-transmigrants in Desa Dwi Warga Tunggal is 15.84 (deviation standard 3.94) and 24.93 (deviation standard 2.36) respectively. This describes that the average welfare score of nontransmigrants is higher than that of transmigrants in the studied area. The average motivation scores of transmigrants and non-transmigrants community in Desa Tunggal Warga are 40.52 (deviation standard 6.68) and 52.24 (deviation standard 2.08) respectively. The same categories for Desa Dwi Warga Tunggal Jaya have the motivation scores of 40.60 (deviation standard 5.67) and 51.48 (deviation standard 2.94) respectively. These results give us a description that motivation of non-transmigrants is higher than that of transmigrants community either in Desa Tunggal Warga or Desa Dwi Warga Tunggal Jaya. The migrated community, beyond a transmigration program, achieve better living standard due to applicable skill in the area. Most of the transmigrated community, which is included in transmigration program, do not have applicable skill other than cassava and rubber cultivation. This makes them to be dependent on the certain commodity production, land fertility, and price of sold commodity. The results of the study point out that the average score of level of education of 'transmigrants are lower than that of non-transmigrants. From the study and test of hypothesis, conclusion could be drawn as follows: 1. Although economic activities and services have already developed, transmigration program has not yet bring welfare to transmigrated community in the studied villages. 2. The level of welfare of non-transmigrants is higher than that of transmigrants. About 60.64% and 63.88% of transmigrants in Desa Tunggal Warga and Desa Dwi Warga Tunggal Jaya have the income below the minimum standard of living, and most of the non-tranmigrants in the studied villages have the income above the minimum standard of living. In general, however, the transmigrants said that their level of welfare in the original villages (namely, Java Island) was poorer and difficult because they did not have cultivated land. 3. There is a positive correlation between motivation and the level of welfare. The nontransmigrants have higher motivation than that of the transmigrants. Higher motivation of non-transmigrated community is supported by adequate information and complete description of the new area before making to decision to migrate. 4. There is a positive correlation between skill mastering and welfare, the higher the level of skill the higher the level of welfare. Non-transmigrants possess specific skill applicable to the activities in the village that they play important role in sectors of trade and services. 5. There is a positive correlation of the level of education and the level of welfare, the higher the level of education the higher the level of welfare that may take place. 6. The criteria for transmigrants resettlement planning that concern with the land suitability and fertility are not yet fully implemented. Cultivated land of the transmigrants cannot grow plants other than cassava and rubber. They cannot shift to other commodities though the price of cassava and rubber is low that they cannot get sufficient income to support their living expenses, and on the other hand the price of fertilizer for their plantation is relatively high and expensive. 7. The environmental impact of resettlement development for transmigrants and forest and land clearing is not carefully analyzed and studied. At the current time, there are threats of grasshoppers scourge and decreasing land fertility in the transmigration area.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 10769
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Muslih
Abstrak :
Pelaksanaan program transmigrasi sebagai strategi pemberdayaan masyarakat miskin yang tidak memiliki lahan dan keswadayaan masyarakat sebagai dampak dari program transmigrasi di Unit Pemukiman Transmigrasi Sungai Bahar Kabupaten Muara Jambi secara umum berada diatas rata-rata dari desa lainya yang ada di wilayah ini baik untuk kategori desa tradisional maupun desa sejenis (desa transmigrasi), namun hal ini tidak merata terjadi pada masing-masing unit di Pemukiman Transmigrasi Sungai Bahar ini, dimana masih di temukan Unit Pemukiman yang memiliki perkembangan yang sangat lamban dari unit lainnya meskipun fasilitas yang diberikan adalah dengan pet-khan yang sama. Perkembangan yang terjadi pada unit-unit ini setidaknya juga berpengaruh pada pelaksanaan dan wujud keswadayaan yang di hasilkan oleh masyarakat di Unit/desa yang ada di kawasan pemukiman ini. Untuk memahami dan menjawab perbedaan yang terjadi, mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi, melihat perubahan sosial ekonomi sebagai dampak dari program tersebut serta penemuan model keswadayaan yang berlaku di kawasan pemukiman lid, dilakukan suatu kajian mengenai teori dan konsep keswadayaan yang dibangun oleh para ahlinya seperti, David Caftan, David Morris, covey, Soedjatmoko, Dawan Rahardjo, Soetjipto Wiryosarjono dan Bambang Ismawan. Dengan memperhatikan fenomena yang terjadi dilapangan dilakukan pengelompokkan terhadap konsep dan teori keswadayaan tersebut menjadi keswadayaan internal, keswadayaan internal kolektif dan keswadayaan eksternal. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan pertimbangan wujud keswadayaan yang terjadi dapat diketahui dengan menelusuri kembali proses pemberdayaan yang dialami oleh masyarakat, pengalaman dan upaya yang dilakukan untuk memanfaatkan peluang-peluang dan kesempatan yang diberikan melalui program ini serta motivasi untuk mengubah tingkat kehidupan berdasarkan motif keikutsertaan mereka. Untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai keswadayaan masyarakat desa rnaka dilakukan wawancara mendalam tak terstuktur kepada informan yang dianggap relevan, dan pengamatan tak terlibat kepada institusi kelembagaan yang ada sebagai upaya pengumpulan data primer. Sedangkan data sekunder dilakukan dengan mengkaji dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang diajukan. Untuk melihat perbedaan tingkat keswadayaan di unit pemukiman ini maka di lakukan komparasi terhadap desa yang merniliki tingkat keswadayaan tinggi (Desa Suka Makmur) dan keswadayaan rendah (Desa Jenang) yang di tetapkan secara purporsive berdasarkan identifikasi perkembangan sarana dan prasanan secara fisik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan program transmigrasi belum secara optimal memberikan dampak pada proses pemberdayaan masyarakat, hal ini terlihat dari pola hubungan yang masih bersifat patron client pada hubungan dan plasma dan berlakunya monopoli kapitalistik pada hubungan tersebut. Disamping itu pengembangan wilayah yang seharusnya di dukung oleh pengembangan terhadap fasilitas penunjang, tidak dilakukan pada unit-unit di kawasan ini. Ketiadaan dukungan ini disebabkan oleh tidak kontinyunya proses monitoring dan evaluasi program dan lepasnya peran leading sector (c.q.pihak transmigrasi), dan ketiadaan lembaga independent yang berperan sebagai perekat antara Tim TP3D dengan pihak perkebunan sebagai pemodal sehingga menghilangkan posisi tawar-menawar bagi petani plasma. Pelaksanaan program hanya mengejar target semata sehingga peserta yang diikutsertakan tidak terseleksi sesuai dengan tujuan program, pembinaan yang dilakukan menjadi tidak optimal karena adanya penduduk yang tidak menetap dan tidak terpenuhinya persyaratan tugas dan unsur pembina yang terjadi di Desa Jenang. Temuan lainnya memperlihatkan bahwa keswadayaan masyarakat desa di pemukiman transmigrasi ini dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : Motivasi untuk mengubah hidup, Stabilitas dan manajemen kepemimpinan Kepala Desa, berfungsi tidaknya Lembaga Ekonomi Desa dan aktifitas Kelompok Tani. Interaksi sosial antara masyarakat didalam Kelompok Tani di kedua desa ini di pengaruhi oleh aktifitas mereka dan keterlibatan dari masing-masing kelompok serta lestari tidaknya ikatan awal proses penempatan mereka. Namun secara lebih luas interaksi ini dipengaruhi oleh faktor-faktor makro sepeni adanya dukungan dari kestabilan pemerintahan desa dan dukungan otoritas desa, perkembangan KUD dan peran lembaga sosial. Dari tingkat pendapatan jika dibandingkan sebelum mereka mengikuti program ini, dari beberapa informan, terjadi peningkatan pendapatan. Kondisi ekonomi keluarga peserta dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketrampilan yang dimiliki, jiwa kewiraswastaan, biaya pemeliharaan kebun, biaya sekolah anak pada level SLTA dan bantuan buat keluarga dekat. Semakin dominan biaya yang di keluarkan tanpa diikuti dengan ketrampilan dan jiwa kewiraswastaan maka semakin kurang baik kondisi ekonomi keluarga mereka. Perubahan lingkungan pemukiman penduduk yang juga merupakan wujud keswadayaan internal terlihat dari perubahan rumah standar menjadi permanen yang hanya II, 75% terjadi di Desa Jenang dan 85 % di Desa Suka Makmur. Model faktor internal dari temuan penelitian ini adalah merupakan motivasi yang didasarkan pada motif keikusertaan yang diiringi oleh motivasi untuk mengubah hidup, kemampuan adaptasi dan kesadaran untuk mengembangkan fasilitas yang diberikan. Model faktor internal kolektif dari temuan penelitian ini adalah merupakan hubungan antara kelompok tani sebagai wadah keswadayan di tingkat mikro dan KUD sebagai wadah keswadayan di tingkat makro sedang model faktor eksternal merupakan hubungan antara unsur internal kolektif dengan pihak outsider (PTP dan Bank). Rekomendasi terhadap hasil temuan penelitian ini dalam rangka pengaplikasian perencanaan strategis pada desa transmigrasi yang berbasis keswadayaan disarankan dengan mengupayakan : lebih menekankan kepada pendekatan swadaya internal, internal kolektif dan eksternal, melakukan indentifikasi hasil studi kelayakan berdasarkan target calon transmigran dan lokasi transmigrasi, indentifikasi isu-isu prioritas kebutuhan masyarakat setempat, menetapkan misi program dengan cara menentukan transmigrasi yang akan dilayani dan mekanisme pelaksanaannya secara mikro dan makro, menetapkan visi program dengan cara menentukan situasi ideal program transmigrasi yang ingin dicapai berdasarkan nilai yang berlaku, menetapkan tujuan program dengan memperhatikan gambaran program yang ingin dicapai dalam jangka pendek maupun jangka panjang untuk mempercepat terwujudnya pusat pertumbuhan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11433
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Gunthar Riady
Abstrak :
ABSTRACT Transmigrasi merupakan alternatif penting dalam rangka memecahkan masalah kepadatan penduduk khususnya di Pulau Jawa. Mereka yang ditransmigrasikan itu, pada umumnya adalah dari kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah, tidak mempunyai lahan yang cukup untuk mengembangkan usaha-usaha pertanian. Berdasarkan hal itu maka sudah sewajarnya mereka ini mendambakan adanya tingkat kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan kehidupannya di daerah asal. Akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah selalu diikuti dengan tingkat keberhasilan seperti yang diharapkan. Transmigrasi dengan segala dampak permasalahannya adalah . merupakan tantangan yang harus diatasi dalam rangka meningkatkan sumberdaya manusia.Dengan berpindahnya kelompok transmigran dengan sistem budayanya ke daerah lain yang mempunyai kondisi fisik, sosial budaya yang berbeda menimbulkan masalah yang perlu dicermati. Masalah pokok yang dapat timbul dalam kaitannya dengan hal itu adalah masih banyaknya di antara mereka yang belum terangkat ke keadaan yang lebih baik. Dalam hal ini tampaknya adaptasi terhadap daerah pemukiman yang baru merupakan faktor yang menentukan. Adanya perubahan lingkungan hidup buatan yang ditemui transmigran di tempatnya yang baru, menuntut mereka untuk dapat mengembangkan strategi adaptasi dan kemampuan beradaptasi yang tinggi. Dan menurut asumsi sementara terlihat bahwa tingkat kemampuan adaptasi masyarakat transmigran di daerah pemukiman transmigrasi Kota Bangun adalah rendah. Indikasi dari hal itu ditandai dengan banyaknya warga transmigran yang meninggalkan lokasi pemukiman, disamping secara umum terlihat bahwa tingkat kesejahteraannya yang masih rendah. Rendahnya kemampuan adaptasi ini diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor tingkat pendidikannya, tingkat teknologi yang dikuasainya, tingkat orientasi pasarnya, tingkat kebutuhan hidupnya, pekerjaan pokok di daerah asalnya dan motivasinya untuk bertransmigrasi. penelitian ini dilakukan di Unit Pemukiman Transmigrasi Kota Bangun dengan sampel penelitian sebanyak 120 orang kepala Keluarga RT 3, RT 6, RT 7 dan RT 12 Unit Pemukiman Transmigrasi Kota Bangun II. Sampel ini diambil dengan cara two stage cluster sampling. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola dan strategi adaptasi yang dikembangkan transmigran, kondisi sosial ekonominya,serta kemampuannya beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Secara khusus penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui korelasi antara tingkat pendidikan, tingkat teknologi yang dikuasai, tingkat orientasi pasar, tingkat orientasi kerja, tingkat kebutuhan, pekerjaan pokok di daerah asal dan motivasinya bertransmigrasi terhadap kemampuannya adaptasi; 2. Untuk mengetahui korelasi tingkat kemampuan adaptasi transmigran terhadap tingkat pendapatannya. Untuk mendapatkan data digunakan daftar pertanyaan dan wawancara yang mendalam. Data kuantitatif dianalisis dengan uji statistik Kuadrat Chi dan Roefisien Kontingensi. Sedangkan data kualitatif dianalisis dengan cara interpretasi. Dari analisis data ditemukan bahwa : 1. Tingkat kemampuan adaptasi transmigran adalah rendah.Hanya 21% dari responden yang mempunyai klasifikasi tinggi. Hal ini diperkuat pula oleh kenyataan bahwa tingkat pendapatan Keluarga transmigran pada umumnya rendah. Hanya 35% dari mereka yang termasuk kategori tidak miskin dengan tingkat pendapatan > Rp 455.900,- perkapita per tahun. Hasil penelitian ini juga menunjukkan pula kemampuan adaptasi transmigran berkorelasi langsung dengan tingkat pendapatannya (nilai C=0,48), yang berarti bahwa tingkat keeratan korelasi tersebut adalah kuat. 2. Hasil perhitungan kuadrat Chi dan Koefisien Kontingensi dengan (=0,05) maka dapat diketahui bahwa: (a) Tingkat kemampuan adaptasi transmigran di pengaruhi oleh tingkat pendidikan (C=0,35), artinya hubungan kedua variabel tersebut tergolong cukup kuat; (b) Tingkat kemampuan adaptasi transmigran dipengaruhi oleh tingkat teknologi yang dikuasainya (C=0,55), artinya tingkat keeratan hubungan itu kuat; (c) Tingkat kemampuan adaptasi transmigran dipengaruhi oleh tingkat orientasi pasar (C=0,38), artinya tingkat keeratan hubungan itu termasuk cukup kuat; (d) Tingkat kemampuan adaptasi transmigran dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan hidupnya (C=0,28), artinya keeratan hubungan itu termasuk cukup kuat; (e) Tingkat kemampuan adaptasi transmigran dipengaruhi oleh pekerjaan pokok di tempat asalnya (C=40), artinya tingkat keeratan hubungan itu termasuk kuat; (f) Tingkat kemampuan adaptasi transmigran dipengaruhi oleh motivasinya bertransmigrasi (C=0,42), artinya tingkat keeratan hubungan tersebut termasuk kuat. Daftar Kepustakaan: 50 buku, 4 dokumen dan 10 artikel (1974 - 1993)
ABSTRACT Transmigration is one of the important alternatives in coping with problems of population density, especially on the Island of Java. People who are transmigrated are mostly those of low income, who do not possess sufficient land to develop agriculture. Therefore, they are hoping of getting better level of welfare than what they had in their home village. But the fact is that such hope does not always' come true as expected. Transmigration with all the impact matters is really a challenge that needs to overcome within the framework of human resource development. By migrating, the transmigration community and its cultural system to a new area with different physical and cultural conditions create new problems that have to be settled. The main problems is that there are still many of the transmigrants who are not jet exercising a better living condition. In this case it seems that adaptation to the new settlement area is the determining factor. The change man made environment encountered by the transmigrants demand them to develop high adaptation strategies and adaptive ability. The preliminary assumption is that the adaptation level of transmigrants at the transmigration settlement in Rota Bangun is considered low. That is indicated by the fact that a number of transmigrants have left the settlement, besides the level of welfare of the transmigrants is still low. The low level of adaptation is through to be influenced by several factors such as : education level, level of technology adopted, level of market orientation, level of working orientation, level of living needs, main job in theirs home village, and their motivation to migrate. This research is done in the Transmigration Settlement Unit at Kota Bangun with the research sample of 120 household heads living in RT (Administrative Neighborhood Association) III, VI, VII, and XII at the Transmigration Settlement Unit of Kota Bangun II. Samples were by drawn using the "two stage cluster sampling". In general, this research aims to see the patterns of adaptation strategies developed by the transmigrants, the social economic conditions and their ability to adapt to the environment. Specifically, this research aims: 1. to know the correlation of the level of education, level of technology adopted, level of market orientation, level of working orientation, level of living needs, main job in the home village and motives to migrate the adaptation ability of the transmigrants. 2. to know the correlation between the adaptation ability of the transmigrants and their level of income. To get the necessary data, the researcher used questionnaires and in depth interview. The quantitative data were analyzed by using statistical analysis of Contingency Coefficient. While the qualitative data were analyzed through interpretation and logical comprehension. From the analysis of data is found that: 1. The adaptation level of the transmigrants is low. Only 21% of the respondents belong to the high level of adaptation ability classification. This is also supported by the fact that the income level of the household heads is generally low. Only 35% of them (15 household heads) belong to non poor category with yearly per capita income of > Rp.455,900.O0. The results of this research also shows that the adaptation ability of the transmigrants has direct correlation to the income level (C=0.48) which belongs to high category. 2. The result of Contingency Coefficient computation using (= 0.05) shows that: (a) the level of adaptation ability of the transmigrants is influenced by level of education (C=0.35)), which means that the correlation between the two variables is medium; (b) the level of adaptation ability of the transmigrants is influenced by the level of technology adopted (C=0.55), which means that the correlation between the two variables is high; (c) the level of adaptation ability of the transmigrants is influenced by the level of market orientation (C=0.38), which means that the correlation between the two variables is medium; (d) the level of adaptation ability of the transmigrants is influenced by the level of living needs (C=0.28), which means that the correlation between the two variables is medium; (e) the level of adaptation ability of the transmigrants is influenced by the level of main job in the home village (C=0.40), which means that the correlation between the two variables is high; (f) the level of adaptation ability of the tranmigrants is influenced by the motive to migrate (C=0.42), which means that the correlation between the two variables is high. Bibliography: 50 literatures, 4 documents and 10 articles (1974 - 1993).
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herwini Wahyu Susanti
Abstrak :
Transmigrasi sebagai program redistribusi penduduk, merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk mengatasi masalah ketidakmerataan pembangunan antar daerah yang masih terjadi di Indonesia sampai saat ini, baik dalam hal pembangunan fisik maupun pembangunan sumberdaya manusia. Dalam perjalanannya program ini selalu menuai kontroversi dalam penilaian mengenai keberhasilan dan kegagalan yang telah dicapainya. Ketiadaan instrumen sebagai pengukur tingkat keberhasilan pembangunan transmigrasi merupakan salah satu kendala dalam melakukan evaluasi dan analisis terhadap kebijakan dalam penyelenggaraan program tersebut. Tesis ini bertujuan menyusun suatu indeks komposit yang diharapkan bisa menjadi instrumen pengukur keberhasilan pembangunan transmigrasi, yang selanjutnya disebut Indeks Keberhasilan Transmigrasi (IKT). Melalui representasi dari indikatorindikator yang membangun indeks tersebut dapat dilakukan evaluasi dan analisis terhadap kebijakan penyelenggaraan transmigrasi, sehingga hasil evaluasi dan analisis tersebut dapat digunakan sebagai dasar dan informasi pendukung dalam perencanaan pembangunan transmigrasi agar lebih terarah dan tepat sasaran. Penggunaan metode Analytic Hierarchy Process (AHP) yang didukung oleh metode penghitungan lain dalam menentukan rumusan IKT dan proses penghitungannya untuk menentukan tingkat keberhasilan pembangunan Transmigrasi di Kabupaten Pesisir Selatan, ternyata cukup mampu merepresentasikan pencapalan basil pembangunan transmigrasi di Unit Permukiman Transmigrasi yang ada di kabupaten tersebut. Tingkat keberhasilan Pembangunan Transmigrasi yang "cukup berhasil" di Kabupaten Pesisir Selatan, dapat ditangkap dengan cukup jelas oleh indikator-indikator yang membangun Indeks tersebut.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T20546
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tubagus Rismunandar Ruhijt
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data, menganalisis dan membahas tentang visi, misi, sasaran dan strategi yang sesuai dengan pembangunan transmigrasi pasca reformasi. Jenis penelitian ini adalah penelitian kasus. Untuk mendapatkan data yang diperlukan diambil sampel responden dari Para ahli yang berkaitan dengan pelaksanaan transmigrasi sebanyak 5 orang yang terdiri Kepala Biro Perencanaan Departemen Transmigrasi dan PPH, Kepala Bagian Rencana Departemen Transmigrasi dan PPH, Staf Ahli Menteri Departemen Transmigrasi dan PPH, Kepala Puslitbang Departemen Transmigrasi dan PPH, dan Kepala Pusat Data dan Ieformasi Departemen Transmigrasi dan PPH. Data dikumpulkan melalul angket dan wawancara. Data yang terkumpul diolah dengan Analysis Hirearchy Process dan analisis SWOT. Teknik analisis data dibantu dengan menggunakan program Expert Choice. Berdasarkan hasil analisis data maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor yang menunjang terhadap keberhasilan pelaksanaan program transmigrasi adalah; sumberdaya manusia, lahan yang tersedia,krisis ekonomi, persepsi masyarakat tentang transmigrasi, kerjasama dengan pihak swasta, otonomi daerah, lembaga ekonomi, dan globalisasi. 2. Kendala-kendala dalam pelaksanaan pembangunan transmigrasi adalah persepsi yang negatif dari masyarakat tentang transmigrasi, citra negatif pembangunan transmigrasi, persepsi dunia internasional yang salah tentang transmigrasi, kelestarian iingkungan, bencana alam, perubahan sumber dana, dan kurangnya koordinasi lintas sektor. 3. Visi yang paling sesuai untuk pembangunan transmigrasi pada masa pasca reformasi adalah visi nomor I yang berbunyi "Pembangunan Transmigrasi Merupakan Tulang Punggung bagi Upaya Pemerataan dan Peningkatan Pembangunan Daerah yang mampu mendukung Konsolidasi Kekuatan sinergi dan seluruh potensi pembangunan nasional agar Indonesia dapat menjadi Negara Industri Maju di Tabun 2020" 4. Prioritas misi yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut : a. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dalam Arti Seluas-Iuasnya di Daerah Transmigrasi (Misi 1 dengan nilai 0,252) b. Modernisasi Pertanian di Daerah Pedesaan Melalui Pengintegrasian Pendekatan Agribisnis dalam Kegiatan Usaha (Misi 3 dengan nilai 0,0129) c. Pembinaan dan Pengembangan Kegiatan Usaha di Wilayah Pengembangan Transmigrasi Melalui Pengintegrasian dan Pengintensifan Kegiatan Usaha (Misi 2 dengan nilai 0,102) d. Peningkatan Kesempatan Kerja dan Pembukaan Peluang Berusaha di Wilayah Pengembangan Transmigrasi (Misi 4 dengan nilai 0,089) e. Peningkatan Pendayagunaan Potensi Sektor Swasta (Non Pemerintah) bagi Pembangunan Transmigrasi (Misi 5 dengan nilai 0,083) 5. Prioritas sasaran yang diperoleh dari hasil penelitian adalah sebagai berikut : a. Mengembangkan Pusat Pertumbuhan Baru dan Mendukung Peningkatan Pusat Pertumbuhan yang Sedang Berkembang (Sasaran 3 dengan nilai 0,096). b. Meningkatkan Proses Integrasi Masyarakat dan Akulturasi Budaya Bangsa (Sasaran 2 dengan nilai 0,066). c. Meningkatkan Pendapatan Transmigrasi (Sasaran 1 dengan nilai 0,052). d. Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi dan Sosial Penduduk Lokal Melalaui Pola Usaha Transmigrasi (Sasaran 4 dengan nilai 0,038). 6. Adapun strategi-strategi yang ditemukan untuk peningkatan keberhasilan transmigrasi adalah strategi SO yaitu meningkatkan peluang (opportunity) untuk memanfaatkan kekuatan (strength) yang ada. 7. Pada pelaksanaan transmigrasi di PIR Trans Tania Selatan masih ada yang belum sesuai dengan misi tersebut. Hal ini ditandai oleh belum sepenuhnya melaksanakan modernisasi pertanian melalui pengintegrasian pendekatan agribisnis dalam kegiatan usaha dan juga kerjasama dengan lembaga-lembaga ekonomi yang ada beium dilembagakan secara maksimal. Kemudian pembinaan dan pengembangan kegiatan usaha di wilayah pengembangan transmigrasi melalui pengintegrasian dan pengintensifan kegiatan usaha di Tania Selatan belum lagi dikembangkan. Dan belum mengarahkan dalam peningkatan kesempatan kerja dan pembukaan peluang berusaha di wilayah pengembangan transmigrasi. 8. PIR Trans Tania Selatan telah dilakukan kerjasama dengan pihak swasta namun ada kerjasama yang melembaga dengan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat seperti KUD atau koperasi lainnya sehingga penyaluran hasil usaha petani masih dikuasai pihak tertentu saja sehingga harga yang diharapkan belum memenuhi harapan petani. 9. Pola transmigrasi disesuaikan dengan potensi daerah. Pada PIR Tania Selatan sasaran belum dapat terlaksana. Hal ini terlihat dari jenis tanaman yang ditanam hanya kelapa sawit, padahal di daerah Tania Selatan juga sangat cocok dengan tanaman lain seperti coklat. 10. Keterkaitan antara kegiatan ekonomi di daerah transmigrasi dengan pembangunan daerah sekitarnya perlu dikembangkan dalam rangka pertumbuhan perekonomian rakyat yang bersemangat swadaya. Sasaran ini belum sepenuhnya terlaksana pada PIR Tania Selatan, sebab pelaksanaan transmigrasi masih tergantung kepada sumber dana yang disesuaikan pemerintah. 11. Otonomi daerah pada transmigrasi PIR Tania Selatan masih dikelola oleh pusat dan belum dikelola oleh Pemda setempat, jadi otonomi transmigrasi di Tania Selatan belum terlaksana. 12. Peningkatan koordinasi lintas sektor dan lintas subsektor transmigrasi sejak dari perencanaan , pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dalam pengembangan wilayah pembangunan transmigrasi. Koordinasi ini di Tania Selatan belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Hal ini terlihat belum padunya kerjasama antara badan-badan yang terlibat dalam organisasi transmigrasi dengan lembaga-lembaga penunjang transmigrasi. 13. Kesenjangan analisa Iingkungan ekstemal antara Top Down dengan Bottom Up yaitu adanya otonomi daerah menjadikan peluang yang dapat Iebih dioptimalkan bagi pemerintah daerah. 14. Kesenjangan analisa internal antara Top Down dengan Bottom Up, Pernda akan Iebih optimal karena membangun di daerah sendiri, perubahan organisasi dilihat dengan Iebih positif oleh Pemda karena otonomi Iebih banyak, namun kualitas SDM dan pengelolaan transmigrasi di daerah menjadi kendala. 15. Kesenjangan alternatif strategi yang ditemukan menurut Top Down dan Bottom Up adalah sebagai berikut : a) Kesenjangan pada startegi SO (Strength - Opportunity) yaitu tidak berbeda antara Top Down dengan Bottom Up, dimana strateginya adalah memanfaatkan lembaga ekonomi, penyesuaian dengan potensi daerah dan kerjasama antara pusat dan daerah. b) Kesenjangan pada strategi ST (Strength -- Threats) yaitu strategi Top Down cenderung mengarah pada penyesuaian dengan keragaman wilayah, sedangkan Bottom Up cenderung mengarah pada pelaksanaan transmigrasi dengan otonomi daerah yang disesuaikan dengan potensi daerah masing-masing. c) Kesenjangan pada strategi WO (Weaknesses - Opportunity) yaitu menurut Top Down dan Bottom Up tidak begitu berbeda, hanya saja Bottom Up (Pemda) cenderung mengarah pada pelaksanaan transmigrasi melalui otonomi daerah. d) Kesenjangan pada strategi WT (Weaknesses - Threats) yaitu menurut Top Down mengarahkan strategi WT kepada perbaikan citra transmigrasi pada dunia luar dan pembukaan lapangan kerja, sedangkan menurut Bottom Up, cenderung mengarah kepada peningkatan pelestarian lingkungan dan mempertimbangkan bencana alam. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut: 1. Perlu adanya pendmpatan transmigran yang berorientasi agribisnis dengan diversifikasi pola usaha. Dalam kaitan ini diupayakan untuk dikerjasamakan dengan pihak investor. 2. Perlunya mengintegrasikan daerah pemukiman transmigrasi dengan desa setempat. 3. Pola transmigrasi hendaknya disesuaikan dengan potensi daerah. 4. Pilihan komoditas yang dikembangkan di setiap wilayah seyogyanya mengacu pada keunggulan komparatif wilayah dan peluang pasar, baik pasar lokal, regional, maupun international. 5. Pembangunan kawasan transmigrasi sebaiknya diarahkan ke wilayah¬wilayah yang penduduknya masih relatif jarang dan masih membutuhkan tambahan penduduk, baik untuk memenuhi permintaan tenaga kerja maupun untuk pengembangan wilayah. 6. Keterkaitan antara kegiatan ekonomi di daerah transmigrasi dengan pembangunan daerah sekitarnya perlu dikembangkan dalam rangka pertumbuhan perekonomian rakyat yang bersemangat swadaya. 7. Pengembangan wilayah pembangunan transmigrasi hendaknya dilakukan secara seksama dengan memperhatikan keragaman antara wilayah serta keunikan wilayah tertentu, khususnya potensi sumber daya, agroekologi, selaras dan seimbang. 8. Pembangunan wilayah pengembangan transmigrasi sebaiknya ditekankan pada peningkatan pendapatan rumah tangga transmigran wilayah, sehingga keseimbangan pendapatan dan taraf hidup rumah tangga antar wilayah dapat diperkecil. 9. Karena minimnya sumber dana APBN diupayakan menarik investor baik investor dalam negeri maupun asing. 10. Perlu meningkatkan peran lembaga ekonomi khususnya yang ada pada wilayah transmigrasi. 11. Sistem perencanaan sebaiknya berorientasi memanfaatkan otonomi daerah. 12. Perlu peningkatan koordinasi lintas sektor dan lintas subsektor transmigrasi sejak dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dalam pengembangan wilayah pembangunan transmigrasi. 13. Perlu usaha - usaha informasi untuk memberi citra pada dunia luar bahwa program transmigrasi justru membangun dan melestarikan Iingkungan hidup (hutan tropis) dan pembinaan sumberdaya manusia. 14. Perlu adanya penyiapan informasi tentang peluang kerja dan kesempatan berusaha di daerah tujuan transmigrasi, terutama di sektor ekonomi sekunder dan tertier. 15. Perlu adanya usaha pengembangan sistem informasi antar daerah tujuan transmigrasi (peluang kerja dan kegiatan usaha yang tersedia) dengan daerah sasaran pengarahan sebagai sumber talon transmigran atau penduduk yang berminat.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sindhung Wardana
Abstrak :
Badan Pusat Statistik mencatat bahwa hingga tahun 2010, 57% penduduk Indonesia berada di pulau Jawa dan Bali. Program Transmigrasi adalah salah satu strategi untuk mengatasi ketimpangan persebaran penduduk tersebut. Data menunjukan bahwa pelaksanaan program Transmigrasi tidak diimbangi dengan mitigasi dampak lingkungan sebagaimana ketentuan yang seharusnya. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tren daya dukung lingkungan di Kawasan Transmigrasi Salimbatu (KTSb), Provinsi Kalimantan Utara beserta prediksinya pada tahun 2032. Metode riset yang digunakan adalah kombinasi antara metode analisis spasial, analisis statistik, pemodelan system dynamics dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun pada tahun 2020 daya dukung lingkungan KTSb masih berada pada ambang batas aman, namun telah menunjukkan adanya tanda-tanda tekanan lingkungan yang dengan indikator daya dukung lingkungan yang semakin mendekati titik optimal dan diprediksi akan melampaui daya dukungnya setelah tahun 2021. ......The Central Bureau of Statistics noted that up to 2010, 57% of Indonesia's population was on the islands of Java and Bali. The Transmigration Program is one of the strategies to overcome this imbalance in population distribution. Data shows that the implementation of the Transmigration program is not balanced with mitigating environmental impacts as required. This research was conducted to get an overview of the trend of environmental carrying capacity in the Salimbatu Transmigration Area (KTSb), North Kalimantan Province and its predictions in 2032. The research method used is a combination of spatial analysis methods, statistical analysis, dynamic system modeling and in-depth interviews. The results show that although in 2020 the environmental carrying capacity of KTSb is still at the safe threshold, it has shown signs of environmental pressure with indicators of environmental carrying capacity that are getting closer to the optimal point and are predicted to exceed their carrying capacity after 2021.
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tobing, Henriko
Abstrak :
Transmigrasi adalah program pembangunan yang memiliki beberapa dimensi baik dimensi demografi, sosial ekonomi dan politik sekaligus. Program ini diharapkan tidak hanya mampu mengatasi permasalahan distribusi penduduk namun juga mampu mengatasi permaslahan kesejahteraan, ketimpangan pembangunan serta persatuan dan kesatuan bangsa. Namun hingga kini program transmigrasi masih menuai perdebatan apakah program ini dapat dikategorikan berhasil atau malah sebaliknya. Ukuran yang paling sederhana dalam melihat keberhasilan atau ketidak berhasilan program ini adalah dengan melihat keberadaan unit-unit permukiman transmigrasi yang ada apakah mereka mampu mecapai target dan sasarannya atau malah menjadi beban pembangunan itu sendiri. Berdasarkan data terdapat lebih kurang 383 UPT yang masih harus dibina dimana 60 persen diantaranya masa pembinaannya sudah lebih dari lima tahun. Pembinaan diatas lima tahun mengindikasikan bahwa terdapat permasalahan yang belum terselesaikan sehingga UPT tersebut masih belum bisa mandiri atau dapat dikategorikan sebagai UPT tertinggal. Salah satunya dan juga menjadi objek penelitian ini adalah UPT Gajah Mati SP.6. UPT ini berlokasi di Kec. Pematang Panggang, Kab. Ogan Komering Ilir, Prov. Sumatera Selatan dengan masa pembinaan lebih dari lima tahun. Tujuan dari penulisan ini adalah mencoba menghadirkan solusi bagi penanganan permasalahan UPT tersebut melalui pencarian akar masalah sebagai dasar dalam penentuan skala prioritas penyelesaian masalah dengan menggunakan alat bantu Analytic Hierarchy Process (AHP). Metode AHP ini dipergunakan karena kemampuan metode ini dalam hal pemilihan prioritas dan pemilihan kebijakan khususnya dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang kompleks dan tidak terstruktur. Berdasarkan hasil penelitian upaya penanganan permasalahan air bersih menjadi prioritas utama dalam penanganan permasalahan yang terjadi di lokasi ini.
Transmigration is a development program that has several dimensions such us demographic, socioeconomic and political as well. This program is expected, not only be able to overcome the problems of population distribution, but also the problems of welfare, inequality of development and national unity. However, the transmigration program is still reaping the debate until now whether the program can be categorized as successful or even vice versa. The simplest measure in view of the success or lack of success of this program is to see the existing condition of the unit of transmigration settlements (UPT), whether they are able to reach the target or even become a burden of development itself. Based on the data, approximately 383 UPT remains to be fostered, where 60 percent of the time built it was more than five years. Fostered by over five years indicates that there are unresolved issues that UPT is still not able to be independent or may be categorized as under developed UPT. One of them, and also becomes the object of this study is the UPT Gajah Mati SP.6. Unit is located in the district of Pematang Panggang, Ogan Komering Ilir regency in South Sumatra Province with the guidance of more than five years. The purpose of this paper is trying to present a solution for handling problems of UPT through searching the root problem as the basis for determining priorities in solving the problem using the tools Analytic Hierarchy Process (AHP). AHP method was used because of the ability of this method in the selection of priorities and policies, especially in solving a complex and unstructured problems. Based on this research, efforts to address clean water issues become a top priority in handling problems that occur at this location.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T29509
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Widyastuti
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai dinamika dalam proses pelaksanaan program transmigrasi bedol desa korban Merapi dan dampaknya. Terjadinya letusan Gunung Merapi pada tahun 1961 menjadi faktor utama yang mendorong dilaksanakannya program transmigrasi bedol desa. Transmigrasi dengan konsep bedol desa merupakan pemindahan penduduk yang meliputi seluruh penduduk desa beserta pejabat-pejabat pemerintah desa ke daerah transmigrasi. Dari peristiwa tersebut, program transmigrasi memindahkan penduduk dari beberapa desa di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ke wilayah Balau Kedaton, Lampung. Perpindahan penduduk tersebut menyebabkan wilayah Balau Kedaton yang semula jarang memiliki penduduk kemudian menjadi wilayah yang cukup padat penduduk. Dengan adanya program transmigrasi bedol desa yang dilakukan pada tahun 1961 juga terbukti berhasil karena mampu meningkatkan kesejahteraan kehidupan keluarga para transmigran danmampu memajukan wilayah Balau Kedaton melalui peningkatan sarana dan prasarana yang ada di wilayah Balau Kedaton. Penulisan skripsi ini menggunakan empat tahap metode sejarah untuk menjelaskan bagaimana transmigrasi bedol desa korban merapi dapat menimbulkan dampak bagi diri transmigran dan wilayah penempatan. ......This thesis discusses the dynamics in the process of implementing the bedol desa transmigration program in the Merapi victims and its impact. The eruption of Mount Merapi in 1961 was the main factor that led to the implementation of thebedol desa transmigration program. Transmigration with the concept of bedol desa is the migration of residents from villages who are invited by the government officials to transmigration areas. From this incident, the program of population movement from several villages in Magelang District, Central Java to the Balau Kedaton area, Lampung. The displacement of the population caused the Balau Kedaton region which had a population to become a fairly densely populated area. With the existence of the bedol desa transmigration program carried out in 1961 it also proved successful in improving the family life of the transmigrants and was able to advance the Balau Kedaton area through the improvement of existing facilities and infrastructure in the Balau Kedaton area. This thesis uses historical methods to explain the transmigration of village bedol victims of Merapi can have an impact on transmigrants themselves and the placement area.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>