Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Utoyo
Abstrak :
Pokok Masalah 1. Sejarah perkembangan industri sejak zaman Renaissance hingga sekarang adalah sejarah simulacra, yaitu sejarah imitasi, atau reproduksi sehingga rnenimbulkan persoalan makna, orisinalitas dan identitas manusia. 2. Masyarakat konsumer adalah nasyarakat dalam pertanyaan. 3. Sirnanya realitas "Not into nothingness, but into the more real than real (the triumph of simulacra) ? (Ecstasy: 103). 4. Perkembangan yang pesat dari teknologi diakhir abad 20 dan awal millennium ketiga ini telah melampaui batas-batasnya dan menjalar keseluruh sendi-sendi kehidupan manusia dan mengubah secara radikal cara pandang manusia terhadap dunia. Dipertanyakan kemampuan teori untuk menjawabnya. Dasar Teoritis Latar belakang pemikiran Baudrillard merupakan suatu intellectual landscape yang luas, yaitu bahwa: 1. Baudrillard dilihami oleh pernyataan Nietzsche bahwa "Tuhan sudah mati", sebenarnya adalah suatu upaya mencari nilai-nilai baru. 2. Gestell dart Heidegger, walaupun tidak langsung, tersebar didalam tulisan-tulisan Baudrillard. 3. Symbolic Exchange adalah teori yang diilhami oleh Accursed Share-nya Georges Bataille, Gift-Exchange-nya Marcel Mauss, dan Anagram-nya Ferdinand de Saussure. 4. Seduction adalah game of appearance yang berada pada tataran simbolik. 5. Fatal Strategy telah menggantikan teori yang menjadi usang karena tidak dapat mengikuti perubahan zaman yang pesat. 6. Symbolic exchange, seduction dan fatal strategy dapat dibandingkan dengan differance, differend dan chora. 7. Metamorphosis, Metaphor, Metastasis adalah tahapan proses dehumanisasi. 8. Vanishing of history adalah karena ruang-waktu non-Euclidian. Analisis Perlu digaris bawahi bahwa cara berpikir Baudrillard yang radikal, metaforis dan ironis disebabkan so great is the sway of the real over the imagination" (Fatal : 181), "... it's not a familiar form you can use and abuse, but something alien which has to be seduced" (Paroxysm: 32) dan untuk mengatasi tirani dari sign. Pada tahun 1960-an Baudrillard memulai penelitian strukturalis terhadap the consumer society, the society of spectacle pada industri kapitalis akhir. Masyarakat ini bukanlah masyarakat dalam artian yang sebenarnya, melainkan la masse, the silent majorities yang tidak mempunyai akar sosiologis - sehingga merupakan akhir dari masyarakat. Baudrillard juga mengkritisi Karl Marx, bahwa a) bukan produksi, melainkan konsumsi lah yang merupakan basis dari tatanan sosial, b) Use value adalah efek dari exchange value - use value adalah alibi agar produksi tetap berjalan. Ho mmo consumans atau ego consumans pada affluent society adalah manusia yang hidup dikelilingi oleh the system of objects. Ego consumans membutuhkan obyek hanya untuk dihancurkan sehingga diperoleh maknanya in its disappearance. Dari the system of objects ke the destiny of objects: Keunggulan object diatas subject, merupakan fatal strategies yang juga adalah the principle of evil yang bersifat seductive. Sejak jaman Renaissance hingga kini telah terjadi tiga kali revolusi simulacra, yaitu counterfeit, production dan simulation, yang merupakan nama yang berbeda untuk arti yang lama yaitu, imitasi atau reproduksi dari image atau obyek. Pertama, image merupakan representasi dari realitas. Kedua, image menutupi realitas. Ketiga, image menggantikan realitas yang telah sirna, menjadi simulacrum murni. Pada sign as sign, simbolika muncul dalam bentuk irruption. Baudrillard kemudian menambahkan tahapan keempat yang disebut fractal atau viral. Kesimpulan 1. Gagasan Nietzsche mengenai transvaluation of all values telah terwujud dalam kebalikannya: involution of all values. 2. There Is Never Anything To Produce, melainkan imitasi dan reproduksi (simulacra) menimbulkan krisis makna dan identitas (Bewahrung = proving oneself). 3. Kini kita pada tahapan fractal, suatu tahapan trans-everything yang mengubah secara radikal cara pandang kita terhadap dunia. 4. Diperlukan tatanan dunia baru horizontal in void.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T9504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hayon, Yohanes Pande
Abstrak :
Ludwig Anreas Feuerbach dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1804 di Landshut, Bavaria dan meninggal di Nuremberg pada tanggal 13 September 1872. Sejumlah karya-karya ilmiah telah dihasilkannya semasa hidupnya; antara lain: Thoughts on Death and Immortality (1830); The Contribution to the Critique of Hegelian Philosophy (1839) The Essence of Christianity (1841); Theogony (1857) ;God, Freedom and Immortality from the Standpoint of Anthropology (1866). Seluruh masa hidup Feuerbach dapat dibagi dalam 3 tahap, yakni: sebagai seorang teolog (tahap pertama); seorang Hegelian (tahap kedua) dan seorang ateis (tahap ketiga). Pembahasan dalam skripsi ini justru terpusatkan kepada pandangan dan kritik Feuerbach terhadap agama pada umumnya dan agama Kristen pada khususnya sejauh dibentangkannya di dalam bukunya The Essence of Christianity. Agama adalah ilusi dan Allah tidak lebih daripada suatu proyeksi manusia. inilah kata-kata kunci dalam seluruh kritik Feuerbach tentang agama. Untuk membenarkan teorinya itu Feuerbach bertolak dari manusia. Namun manusia ini bukanlah manusia individual, kongkret, jasmaniah dan yang terbatas -- meskipun segi ini ia tekankan juga - melainkan manusia yang senatiasa terlibat dalam perkaitan sosialnya; Aku yang harus selalu tertuju kepada Engkau; manusia yang tetap terbuka bagi sesamanya. Tegasnya, manusia umum atau manusia sebagai Gattungswesen dipandang sebagai makhluk yang luhur dan bersifat ilahi dan yang oleh Feuerbach dijadikan sebagai tempat pijakan, untuk melacak seluruh fenomen agama. Kodrat manusia, demikian Feuerbach, terbentuk dari sejumlah daya-daya ilahi yang disebut sebagai Rasio, Kehendak dan Cinta. Daya-daya ini hadir di dalam diri manusia individual, namun yang serentak menguasai dan yang mengatasi manusia individual. Daya-daya tersebut kemudian oleh manusia beragama diproyeksikan ke luar dirinya dan dipandang sebagai sesuatu yang otonom dan yang lantas dihormati sebagai Allah di dalam kebaktian. Kalau begitu jelaslah bahwasanya Allah itu tidak lain daripada proyeksi manusia sendiri. Karena itu dalam agama manusia memiskinkan dirinya dan memperkaya Allah dengan sifat-sifat yang ia miliki sendiri. Dengan agama, katanya, manusia menelanjangi dirinya sendiri demi kepentingan sebuah fiksi. Semakin manusia itu menjadi manusia beragama, tegasnya lagi, semakin ia melepaskan diri dari kemanusiaannya. Akibatnya sudah bisa diduga: gelombang alienasi yang terus-menerus menerpah manusia sepanjang hidupnya. Lantas, upaya penyelamatan macam apa yang harus ditempuh? Feuerbach sendiri menjawab: tak bisa lain selain Allah dan manusia harus kembali menjadi satu. Maka adalah tugas, filsafat yang baru untuk menyadarkan orang beragama agar menyadari kekhilafannya. Orang beriman harus dibangunkan dari mimpi-mimpinya yang kosong untuk mengerti keadaannya yang sebenarnya. Tegasnya, tugas filsafat yang baru ialah mengupayakan agar proses penyatuan antara yang ilahi dan yang manusiawi secepat mungkin berakhir. Setelah semuanya itu terlaksana, demikian Feuerbach, manusia akan memperoleh kembali seluruh keilahiannya. Kalau begitu manusia tidak memerlukan lagi suatu wujud asing. Manusia dengan itu harus membangun suatu kehidupan yang melulu manusiawi yang berlandaskan pada cinta manusiawi pula. Itu berarti kalau semua yang terbaik dalam diri manusia sudah terpulihkan, maka dengan sendirinya juga manusia harus menduduki tempat Allah dan teologi harus menjadi antropologi yang ditinggikan. Singkat kata, manusia menjadi Allah bagi dirinya sendiri. Tak dapat disangkal lagi, pandangan Feuerbach itu bernada ateistis. Tetapi sesungguhnya suatu ateisme antropologis, suatu pandangan yang tetap bertumpu pada humanisme sejati. Bagi orang beragama kritik ateistis Feuerbach itu tidak melulu bersifat negatif, melainkan juga positif. Harus diakui bahwa humanisme Feuerbach menantang setiap orang beriman untuk selalu bertanya pada diri sendiri apakah agama yang dianut sungguh-sungguh menjadi pendorong bagi terciptanya relasi yang baik dengan sesama manusia dalam suatu kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera, damai dan penuh cinta, atau bahkan menjadi penghalang? Sebagai kesimpulan, menurut penulis, kita tidak perlu saling menuding. Semua manusia dengan segenap keterbatasannya sama-sama mempunyai tugas untuk menata dunia ini agar menjadi tempat tinggal yang lebih layak. Membangun dunia yang bahagia merupakan tanggung jawab semua pihak, baik kaum ateis maupun kaum beragama. Maka, penulis berpendapat, ketulusan hati merupakan modal dasar untuk menciptakan suatu hidup yang lebih serasi antara sesama manusia. Kejujuran merupakan syarat mutlak untuk membangun dialog yang lebih manusiawi. Semangat saling menghargai merupakan langkah awal bagi tumbuhnya suatu kehidupan yang lebih harmonis.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S16046
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Christiani Zega
Abstrak :
ABSTRAK

Zaman modern adalah sebuah masa yang mempunyai semangat perubahan, kemajuan, revolusi, dan pertumbuhan, dimana para pemikir ekofeminis sepakat melihat semangat ini adalah produk dari peradaban patriarkal. Industri kapitalis menjadi sebuah konsentrasi besar ekofeminisme yang melihat bahwa eksploitasi tidak hanya diarahkan kepada alam, melainkan juga perempuan. Vandana Shiva menjelaskan bagaimana perempuan, terutama di India, merupakan subjek yang paling dekat dan intim dengan alam, sehingga pada saat konsep pembangunan menundukkan alam muncul juga diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan. Dengan menjelaskan prakrti sebagai prinsip feminitas, Shiva berusaha untuk menunjukan bahwa alam dan perempuan merupakan produsen atau penghasil kehidupan, dimana perempuan menyelenggarakan kehidupan melalui peran sosialnya.


ABSTRACT

Modernism is an era that have enthusiasm to achieve something we called as progress, revolution, and development. But according to the ecofeminist, this kind of belief is a product from patriarchal culture which made gender-based ideology. Capitalism was the main concern to the ecofeminist who see it not only abused nature, but also women. Vandana Shiva explained how women, especially India‟s rural women, was an intimate part of nature, the only one that had a close relationship with nature. Thus, the capitalism would be the source of discrimination for both nature and women. With explained prakrti as a femininity principle, Vandana Shiva tried to show that nature and women as the producers of life, where women reproduce life not merely biologically, but also through their social role in providing sustenance.

Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57107
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turner, Johanna
London: Methuen, 1975
153.4 TUR c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Waluyo
Abstrak :
Tesis ini berusaha menjelaskan adanya persamaan dan perbedaan alam pikiran budayawan Lekra dan Manifestan dalam mencari sosok budaya bangsa Indonesia yang tidak kunjung selesai sampai sekarang. Proses pencarian sosok budaya bangsa sudah, diawali sejak perdebatan di kalangan budayawan/intelektual tahun 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dengan Ki Hadjar Dewantara (KID) dan kawan-kawan. Proses pencarian sosok budaya bangsa ini terus berlanjut dalam Kongres Kebudayaan Nasional I tahun 1948 di Magelang yang dilanjutkan dengan Konferansi Kebudayaan di Jakarta tahun 1950, Kongres Kebudayaan II tahun 1951 di Bandung, Kongres Kebudayaan III tahun 1954 di Surakarta, dan Kongres Kebudayaan IV tahun 1991 di Jakarta. Proses pencarian sosok budayabangsa tidak dapat dilepaskan dari situasi politik dalam dan luar negeri yang mempengaruhi alam pikiran penguasa politik di tanah air dan di kalangan budayawan. Kongres Kebudayaan I di Magelang dilaksanakan beberapa bulan sebelum terjadi peristiwa Madiun tahun 1948 dan Agresi Militer Belanda kee 2 tanggal 18 Desember 1948. Suasana hingar bingar politik pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959) turut pula menggiatkan suasana Kongres Kebuda.yaan II di Bandung tentang pentingnya organisasi kebudayaan. Pada tahun 1950 lahirlah organisasi kebudayaan yang berafiliasi kepada PKl, Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disingkat Lekra. Organisasi ini berkiprah di bidang kebudayaan sejak Kongres Kebudayaan II (1951) di Bandung. Pada tanggal 19 Nopember 1946 di Jakarta lahir gagasan dari kolompok "Gelanggang" yang didirikan oleh Chairil Anwar, Asrul Sani dan kawan-kawan. Di dalam preamblue anggaran dikatakan bahwa "Generasi Gelanggang'' terlahir dari pergolakan roh hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian dari bangsa kita. Kita hendak melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk, dan kita berani menantang pandangan, sifat, dan anasir lama ini untuk menjalankan baru kekuatan baru. Akar budaya "humanisme universal" ternyata sudah masuk ke tanah air bersamaan dengan masuknya sistem pendidikan masa kolonial Belanda yang terkenal dengan nama "Budi Utomo," tetapi sudah memikirkan tentang "pentingnya" persatuan di kalangan "pribumi" yang kemudian diikuti dengan ikrar "Sumpah Pemuda" pada tanggal 2.8 Oktober 1928. Pada tahun 1930-an, seorang seniman muda Indonesia yang menyadari akan arti penting "persatuan dan kesatuan" memperjuangkan kemerdekaan di bidang kebudayaan (sastra) dan melahirkan aliran "Pujangga Baru" yang ingin melepaskan kreativitas sastra daerah (Malaya) menjadi sastra Indonesia yang dimanifestasikan dalam bahasa Indonesia Gerakan di bidang kebudayaan ini terus berlanjut dengan perdebatan STA dengan KHD mengenai sejarah dan perkembangan kebudayaan Indonesia di masa depan. Perdebatan di kalangan budayawan tahun 1930-an ini sudah terlihat adanya dua pola pikir yang "bertabrakan" yaitu pola. pikir "Barat? yang dikehendlaki oleh STA dengan pola pikir :?Tradisi" yang dikehendaki oleh KHD dan kawan-kawan. Pola pikir STA sangat dipengaruhi oleh pola pikir :Barat" yang dalam hal ini diartikan Belanda. Ide dasar perjuangan budayawan yang mendukung prinsip "humanisme universal" ialah "kebebasan kreatif." Ide dasar "humanisme universal" terus berkembang menjadi gerakan yang manuntut "kemanusiaan yang adlil dan beradab" yang dituntut Chairil Anwar dalam "Aku ini binatang jalang, dan kumpulan yang terbuang" dan melahirkan Angkatan 45 di bidang kesastraan yang dilanjutkan oleh Asrul Sani dan kawan-kawan dangan kelompok Galanggangnya. Perdebatan di kalangan budayawan kembali menghangat setelah situasi politik dalam negeri yang didukung dengan "Manifesto Politik" Soekarno yang memperkenalkan konsepsi baru dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang disebut NASAKOM (Nasional-Agama-Komunis). Konsepsi ini sangat didukung oleh budayawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) karena sejalan dengan ideologi realisme sosialis yang merupakan bagian dan ajaran komunisme, sedangkan budayawan Manifestan menggunakan ideologi humanisme universal yang merupakaan bagian dari ideologi liberalisme untuk menentang kebijakan pemerintah di bawah rezirn Saekarno. Kontroversi lahirnyaPancasila dan gagalnya Konstituante (1959) dalam memecahkan masalah "dasar negara" Islam, Pancasila, atau Sosial-Ekonomi, menjadikan' bangsa ini tidak matang dalam kehidupan berbaangsa, bernegara, dan bermasyarakat, Sebagai orang Indonesia, budayawan Lekra dan Manifestan sangat menyadari akan arti penting "seni" dalam kehidupan mereka, tetapi sebagai warga bangsa dan negara Indonesia, budayawan Lekra dan Manifestan memanfaatkan "situasi politik" bagi kelompoknya daripada kepentingan bangsa dan negara Indonesia berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tesis ini menyimpulkan bahwa budayawan Lekra dan Manifestan baru menyadari kedudukannya dan perannya sebagai anggota kelompok "seniman kerakyatan" atau "seniman inerdeka" tetapi belum sepenuhnya menyadari kedudukan dari perannya sebagai "warga bangsa Indonesia" yang berkepentingan dalam mowujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undarig Dasar 1945 di dalam negara persatuan yang bernama Repubik Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bono, Edward de
Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999
153.42 BON n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Osborn, Alex
New York: Charles Scribner`s Sons, 1952
153.42 OSB w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Russell, Bertrand, 1872-1970
New York: George Allen and Unwin, 1956
153.42 RUS a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bury, J.B.
Jakarta: Yajasan Pembangunan, 1951
153.420 9 BUR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Neisser, Ulrich
San Francisco: W.H. Freeman, 1976
153.4 NEI c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>