Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jusi Susilawati
Abstrak :
Latar Belakang: Harapan hidup pasien thalasemia bergantung transfusi bertambah baik karena transfusi darah dan terapi kelasi besi yang sesuai. Penyakit jantung akibat toksisitas besi tetap menjadi penyebab utama kematian pada pasien thalasemia bergantung transfusi. MRI T2* jantung dapat mendeteksi dini toksisitas besi di jantung dan dapat mengevaluasi hasil pengobatan dengan membandingkan nilai T2* pra dan pasca terapi kelasi besi. Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan mendapatkan profil perbaikan toksisitas besi di jantung pada pasien thalasemia dewasa bergantung transfusi. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat kesesuaian antara perbaikan nilai T2* jantung dengan perbaikan feritin serum dan saturasi transferin. Metode Penelitian: pre and post test dengan data sekunder retrospektif pada pasien dewasa thalasemia bergantung transfusi yang kontrol di poliklinik thalasemia Kiara dan poliklinik dewasa hematologi-onkologi medik RSUPN Cipto Mangukusumo. Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Desember 2019. Data sekunder diperoleh dari rekam medis dan registri pasien thalasemia berupa riwayat medis, jenis obat kelasi besi, nilai T2* jantung satu tahun berturut-turut, kadar feritin serum dan saturasi transferin. Analisis data berupa data deskriptif dan uji marginal homogeneity serta uji kappa. Hasil: Sebanyak 115 pasien dilibatkan dalam penelitian ini. Terdapat perbaikan T2* jantung sebanyak 7,0% dan menetap baik (T2* jantung tetap >20 milidetik) sebanyak 72,2%. Tidak terdapat kesesuaian antara perbaikan nilai T2* jantung dengan perbaikan feritin serum (nilai kappa = 0,044) dan perbaikan nilai T2* jantung dengan saturasi transferin ( nilai kappa = 0,011). Simpulan: Perbaikan toksisitas besi di jantung pasca terapi kelasi besi sebanyak 7,0% dan menetap baik sebanyak 72,2%. Tidak terdapat kesesuaian antara perbaikan nilai T2* jantung dengan perbaikan kadar feritin serum dan saturasi transferin.
Background: Life expectancy of the transfusion dependent thalassemia patients is getting better because of blood transfusion and appropriate iron chelation therapy. Heart disease due to iron toxicity remains the leading cause of death in thalassemia patients who need transfusion. MRI T2* can allow to detect premature iron toxicity in the heart and can evaluate the results by comparing myocardial T2* pre and post iron chelation therapy. Objectives: This study aims to obtain a profile of improvement in cardiac iron toxicity in adult thalassemia patients who need transfusion. This study also supports to see aggrement between improvement in myocardial T2* with improved serum ferritin level and transferrin saturation. Methods: pre and post test with retrospective secondary data in adult thalassemia patients requiring controlled transfusions in Kiara thalassemia clinic and hematology-medical oncology clinic Cipto Mangukusumo General Hospital. The study was conducted in July-Desember 2019. Data were obtained from medical records and thalassemia registry, which consisted of medical history, type of chelation, myocardial T2* within one year, serum ferritin level and transferrin saturation. Data analysis was performed in descriptive data and marginal homogeneity test and Kappa test. Results: A total of 115 patients were included in this study. There was an improvement of a myocardial T2* in 7.0% patients and persistently good (myocardial T2* remains >20 milliseconds) in 72.2%. There was no agreement between improvement in myocardial T2* with improvement in serum ferritin level (kappa value 0.044) and improvement in myocardial T2* with transferrin saturation (kappa value 0.011). Conclusion: Improvement of cardiac iron toxicity after iron chelation therapy was 7.0% and persistently good in 72.2%. There was no agreement between the improvement in myocardial T2* with improvement in serum ferritin level and transferrin saturation.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Sartika
Abstrak :
Remaja putri thalasemia mayor mengalami berbagai masalah psikologis, emosional, dan perilaku sosial sehingga berdampak pada persepsi akan dirinya sebagai perempuan di kemudian hari nanti. Tujuan dari studi kualitatif ini adalah untuk menggali persepsi remaja putri thalasemia mayor mengenai dirinya sebagai perempuan. Desain penelitian yang digunakan adalah fenomenologi deskriptif dengan pengumpulan data melalui waancara mendalam yang menggunakan pedoman wawancara semi terstruktur. Jumlah partisipan yang didapat hingga mencapai saturasi data adalah 12 orang yang menghasilkan 7 tema sebagai berikut: (1) ketakutan akan perannya sebagai perempuan tidak terpenuhi, (2) keinginan menjalani peran yang lengkap sebagai perempuan, (3) kekhawatiran akan terganggunya  pertumbuhan dan fungsi hormon, (4) adanya perasaan kurang percaya diri dalam berteman, (5) adanya perasaan yang tidak menentu sebagai remaja thalasemia, (6) merasa ada tantangan dalam melanjutkan pendidikan, dan (7) ketakutan akan adanya perlakuan yang tidak baik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan dalam pemberian asuhan keperawatan kepada remaja putri dengan thalasemia mayor, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya.  ......Young women with thalassemia major experience various psychological, emotional, and social behavior problems that have an impact on their perception of being a woman in the future. The purpose of this qualitative study is to explore the perceptions of thalassemia major girls regarding themselves as women. The research design used is descriptive phenomenology by collecting data through in-depth interviews using semi-structured interview guidelines. The number of participants obtained until reaching saturation of data is 12 people who produce 7 themes as follows: (1) fear of her role as a woman is not fulfilled, (2) the desire to undergo a complete role as a woman, (3) fears of disruption of growth and function of hormones, (4) a feeling of lack of confidence in making friends, (5) a feeling that uncertainty as adolescent thalassemia, (6) there are challenges in continuing education, and (7) fear of improper treatment. The results of this study are expected to provide information and input in the provision of nursing care to young women with thalassemia major to improve the quality of life.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Ayu Maharani
Abstrak :
Latar belakang. PMI merupakan suatu organisasi yang mendapat penugasan dari pemerintah untuk menyediakan darah bagi keperluan pengobatan dan terapi. Darah serta komponen yang dibutuhkan untuk transfusi harus memenuhi kriteria darah yang aman (bebas dari infeksi penyakit), dan kualitas darah yang baik, agar proses transfusi menjadi efisien dan efektif. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas darah yaitu adanya variasi donor, seperti adanya kelainan genetik pada sel darah merah. Thalasemia dan hemoglobin varian (Hb varian) merupakan kelainan genetik yang mempengaruhi sintesis dan kualitas Hb yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Prevalensi thalasemia dan Hb varian yang cukup tinggi di Indonesia, memungkinkan ditemukannya donor pembawa sifat thalasemia dan Hb varian. Seperti diketahui, pembawa sifat thalasemia dan Hb varian tidak mempunyai gejala klinis dengan konsentrasi Hb normal, sehingga dapat lolos seleksi donor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi pembawa sifat thalasemia dan Hb varian pada donor darah serta kualitas darahnya. Metodologi. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan sampel berasal dari 138 donor darah. Dilakukan skrining thalasemia dan Hb varian pada keseluruhan sampel, yang meliputi pemeriksaan hematologi rutin, analisis Hb metode HPLC dan analisis DNA (terutama pada suspek pembawa sifat thalasemia ?). Disertai dengan uji kualitas darah donor melalui pemeriksaan persentase hemolisis terhadap Whole Blood (WB) donor pada hari ke-1 dan ke-7 penyimpanan darah. Hasil. Berdasarkan hasil skrining terdeteksi pembawa sifat thalasemia dan Hb varian sebesar 7,97%, dengan rincian, pembawa sifat thalasemia ? 5 subjek ( 3,62%) yang salah satu diantaranya disertai dengan kelainan darah ovalositosis herediter tipe Asia Tenggara (South East Asian Ovalositosis / SAO), pembawa sifat thalasemia ? 3 subjek ( 2,17%), dan HbE 3 subjek ( 2,17%). Donor pembawa sifat thalasemia dan Hb varian serta SAO tersebut mempunyai persentase hemolisis pada darah simpan hari ke-7 kurang dari satu persen. Simpulan. Frekuensi total pembawa sifat thalasemia dan Hb varian pada populasi donor darah di UTD PMI DKI Jakarta adalah sebesar 7,97%. Keseluruhan sampel pembawa sifat thalasemia dan Hb varian serta SAO mempunyai kualitas darah simpan hari ke-7 cukup baik yang ditunjukkan dengan persentase hemolisis < 1%. ......Background. Red Cross Indonesia/Palang Merah Indonesia (PMI) is an organization that gets an assignment from the government to provide blood for the purposes of treatment and therapy. Blood and components needed for transfusion must meet the criteria for safe blood (free from infectious diseases) and the quality of blood transfusion should also be good, so that the process of transfusion becomes more efficient and effective. One of the factors that can affect the quality of blood storage is donor variations, such as genetic abnormalities in red blood cells. Thalassemia and Hemoglobin (Hb) variant is a genetic disorder that affects the synthesis and quality of Hb which serves as a carrier of oxygen from the lungs throughout the body. The prevalence of thalassemia and Hb variant are quite high in Indonesia, allow the identification of the donor carrier of thalassemia and Hb variant. As we known, thalassemia and Hb variants carier have no clinical symptoms with normal Hb concentration that can pass the donor selection. The aim of this study was to determine the frequency of Thalassemia and Hb variant among blood donors coming to Blood Centre Unit in Jakarta. It was also reviewed the quality of blood from donors identified as a carrier of thalassemia and Hb variant. Methods. This cross-sectional study was conducted on 138 blood samples obtained from blood donors in the Blood centre unit in Jakarta. All samples were tested for Thalassemia and Hb variant by Complete Blood Count (CBC) and Hb analysis with HPLC method and DNA analysis for the detection of ? thalassemia carrier, and for the quality of blood storage by hemolysis rate of red blood cells (RBCs) in Whole Blood (WB) on days 1 and 7. Results. Out of the 138 donors, 5 (3,62%) were diagnosed for ? thalassemia carrier which one of them is ? thalassemia carrier co-inherited with ovalositosis hereditary (Southeast Asian Ovalositosis / SAO) , 3 (2.17%) for ? thalassemia carrier, and 3 (2, 17%) for HbE carrier. Donors were detected carrier of thalassemia and Hb variant also SAO have hemolysis percentage until seven days storage is below one percent. Conclusion. The total number of thalassemia carrier and Hb variants in blood donors at blood centre unit red cross Indonesia in Jakarta is 7,97%. The quality of blood storage in seven day from donor with thalassemia and Hb variants carrier also SAO, have the quality of blood storage were quite good. Hemolysis frequency did not seem to be donor dependent.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyuni
Abstrak :
Latar Belakang: Talasemia merupakan anemia herediter yang salah satu pengobatannya adalah dengan tranfusi darah secara teratur yang dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar besi dalam tubuh. Peningkatan kadar besi tersebut meningkatkan jumlah besi bebas yang dapat membangkitkan ROS yang mengakibatkan terjadinya stres oksidatif. Kelator besi standar yang digunakan secara klinis saat ini adalah desferoksamin, deferipron, dan deferasirok, namun harganya sangat mahal dan efek sampingnya dapat memperburuk kondisi pasien. Alternatif yang digunakan adalah mangiferin, senyawa hasil ekstraksi kulit batang Mangifera indica L. yang terbukti sebagai kelator besi in vitro. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa mangiferin dan ekstrak air daun Mangifera foetida L. sebagai kelator besi dan antioksidan secara in vivo pada tikus Sprague Dawley yang telah diinduksi besi berlebih. Metode: Tikus jantan galur Sprague Dawley terbagi 5 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 6 tikus. Semua kelompok, kecuali kelompok normal, diinduksi besi berlebih dilakukan dengan pemberian injeksi iron dextran secara intraperitoneal dengan dosis total 90 mg/tikus (15 mg/tikus setiap 3-4 hari selama 3 minggu) yang diikuti dengan pemberian deferipron 462,5 mg/kg BB/hari, mangiferin 75 mg/kg BB/hari, ekstrak air 2930 mg/kg BB/hari selama 7 hari pada masing-masing kelompok secara oral. Parameter yang diukur adalah kadar besi plasma dan urin, aktivitas SOD, dan kadar MDA. Analisis data menggunakan uji ANOVA one way. Hasil: Mangiferin dan ekstrak air daun Mangifera foetida L. dapat menurunkan kadar besi dalam plasma dan meningkatkan ekresi besi dalam urin yang hasilnya tidak berbeda dengan efek terapi deferipron, serta mampu meningkatkan aktivitas SOD dalam darah, namun tidak mempengaruhi kadar MDA plasma. Kesimpulan: Mangiferin dan ekstrak air daun Mangifera foetida memiliki efek kelator besi dan antioksidan, sehingga potensial dapat digunakan untuk pengobatan kelebihan besi dalam tubuh manusia. ......Introduction: Thalassemia is a hereditary anemia requiring regular blood transfusions for survival. This may result in increasing of iron levels. The excess of iron deposition may lead to increased amount of free iron and the generated ROS can result in oxidative stress. At present, the standard iron, chelators used in human are desferrioxamine, deferiprone, and deferasirox, which are expensive and associated side effects. Mangiferin is an alternative compound from extract of selected species of Mangifera indica L. that has iron-chelating effect in vitro. The aim of this study is to prove that the mangiferin and aqueous extract Mangifera foetida L. leaves have iron chelating and antioxidants effect in Sprague Dawley rats in vivo. Methods: Five groups of six Sprague Dawley rats each, were treated with iron dextran, iron dextran and deferiprone, iron dextran and mangiferin, iron dextran and aqueous extract of Mangifera foetida L. leaves, and untreated, respectively. All groups, except the untreated one, were brought to iron overload by giving iron dextran injection intraperitoneally with a total dose of 90 mg/mouse (15 mg/mouse every 3-4 days for 3 weeks) followed by oral administration of deferiprone 462,5 mg/kg bw/day, mangiferin 75 mg/kg bw/day, the aqueous extract of Mangifera foetida L. leaves 2930 mg / kg bw / day for 7 days, respectively. Outcome measures in this study were the iron content of plasma and urine, the activity of Superoxide Dismutase (SOD), and Malondialdehida (MDA) plasma levels. Data were analized by using one way ANOVA test. Result: Mangiferin and aqueous extract of Mangifera foetida L. leaves decreased iron levels in plasma and increased urinary iron excretion which were comparable to that of deferiprone and increased the activity of SOD, but did not affect on MDA plasma levels. Conclusion: Mangiferin and aqueous extract of Mangifera foetida L. leaves have iron chelating and antioxidants effect that can be potentially useful for the treatment of iron overload.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Syafitri Evi Gantini
Abstrak :

Latar Belakang: Setiap individu memiliki antigen sel darah merah (SDM) yang unik pada membrannya. Terdapat lebih dari 300 antigen SDM yang dapat membagi darah ke dalam 36 sistem golongan. Adanya variasi pada antigen sel darah merah menyebabkan uji kecocokan darah antara pasien dengan donor wajib dilakukan guna mencegah terjadinya reaksi antara antigen donor dengan antibodi pasien. Pasien thalassemia memerlukan transfusi darah rutin yang dapat meningkatkan risiko terbentuknya aloantibodi, sehingga seringkali sulit untuk menemukan darah donor yang kompatibel. Unit Transfusi Darah (UTD), dalam rangka menjamin keselamatan pasien, harus mampu menyediakan darah donor tanpa antigen yang dapat menyebabkan reaksi transfusi. Pemeriksaan genotipe akan memberikan gambaran variasi antigen SDM donor, sehingga memudahkan pencarian donor yang sesuai untuk resipien.

Tujuan: Mengetahui adanya variasi genotipe antigen SDM pada donor sehingga dapat diupayakan penyerasian antigen darah donor untuk pasien transfusi berulang.

Metoda: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan desain potong lintang. Subyek pada penelitian ini adalah donor untuk pasien thalassemia. Sampel darah donor dikumpulkan untuk dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO, Rhesus, ekstraksi DNA, dan genotipe antigen SDM.

Hasil dan Diskusi: Dari total 161 subyek penelitian, distribusi ABO/Rhesus donor adalah 68 subyek O+(42,24%), 43 subyek A+, 41 subyek B+, dan 9 subyek AB+. Setelah dilakukan pemeriksaan genotipe antigen SDM, didapatkan golongan darah dengan genotipe tersering untuk masing-masing golongan darah sebagai berikut Ce (98%) pada Rhesus, k/k (100%) pada Kell, Jka/Jkb (40,76%) pada Kidd, Fya/Fya (74,84%) pada Duffy, Dib/Dib (99,36%) pada Diego, Dob/Dob (80,89%) pada Dombrock, Coa/Coa (100%) pada Colton, Yta/Yta (98.09%) pada Cartwright, MN (47,37%), s (86,54%) pada MNS dan Lub/Lub (100%) pada Lutheran. Pada studi ini juga ditemukan beberapa antigen darah langka seperti cE (1,33%), cEe (2%), CEe (1,33%), Fyb (1,29%), DiaDib (0,64%), YtaYtb (1,91%), dan S (1,94%). Perlu diperhatikan antigen darah langka yang ditemukan pada donor/ populasi umum, bila ditransfusikan kepada pasien dengan antigen umum, dapat memicu timbulnya antibodi.

Kesimpulan: Pada penelitian ini ditemukan beberapa variasi genotipe antigen golongan darah pada donor, termasuk antigen langka. Perbedaan variasi antigen sel darah merah donor dan pasien dapat menyebabkan timbulnya aloantibodi, terutama pada pasien transfusi berulang. Oleh karena itu, pemeriksaan genotipe antigen SDM diharapkan dapat mengurangi reaksi transfusi dan meningkatkan keamanan pasien, terutama pasien yang membutuhkan transfusi berulang.

Kata kunci: antigen sel darah merah, genotipe, donor, aloantibodi


Background: Every individual has unique antigens on their red blood cells surface. There are more than 300 antigens of red blood cells that differentiate blood into 36 blood group systems. Due to the variation in antigen of red blood cell, it is a must to perform blood group matching between the patients and donors blood to prevent reactions between the donors antigen and patients antibody in the blood. Thalassemia patients require regular transfusions which resulting in the production of alloantibody, hence making it difficult to find compatible blood. Blood Transfusion Units (UTD) is required to provide blood without antigen that can trigger transfusion reaction to ensure patient safety. Red blood cell antigen genotyping from the donor can describe the variation of red blood cell antigen from the donor.

Aims: To identify the genotype variation of the donor red blood cells antigen, hence optimizing the donors antigen matching in patients with regular transfusion.

Methods: This was a descriptive observational study with cross sectional design. Subjects in this study were donor for thalassemia patients. Blood samples from donors underwent several examinations, such as the ABO blood type testing, Rhesus testing, DNA extraction, and red blood cell antigen genotyping.

Results and Discussions: From a total of 161 research subjects, the distribution of ABO/Rhesus blood grouping are 68 of O+(42,24%), 43 of A+, 41 of B+, and 9 of AB+. From the red blood cell antigen genotyping, variations of red cell antigens were found in several blood group systems as follows, Rhesus, Kidd, Kell, Duffy, MNS, Diego, Dombrock, Colton, Cartwright, and Lutheran. Our findings also shown several rare antigens such as cE (1,33%), cEe (2%), CEe(1,33%), Fyb (1,29%), DiaDib (0,64%), YtaYtb (1,91%), S (1,94%). It is important to note that rare blood antigens were found in donors/ general population, if blood is transfused to patients, it can trigger the alloantibody production.

Conclusion: Our study found there were genotype variations in the blood antigen of donor, some of them were rare types. The difference of red blood cell antigen between donors and patients may lead to the development of alloantibody, especially in patients who need multiple transfusion. Therefore, red blood cell antigen genotyping is expected to decrease the incidence of transfusion reactions and increase patient safety, especially in patients that required multiple transfusions.

Keywords: Red blood cells antigen, genotyping, donor, alloantibody

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yehezkiel Alexander Eduard George
Abstrak :

Latar belakang: Kondisi besi berlebih dalam tubuh dapat terjadi karena besi yang masuk mengalami peningkatan atau salah satu komponen ekskresi besi mengalami gangguan. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien talasemia, terutama yang mendapat transfusi darah secara rutin. Transfusi darah rutin dapat menyebabkan kondisi kelebihan besi dan akumulasi besi pada berbagai organ, termasuk limpa. Oleh karena itu, pasien membutuhkan obat kelasi besi, tetapi harganya mahal dan banyak efek samping. Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa mangiferin memiliki efek mengikat besi, namun bioavailabilitasnya rendah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek mangiferin dan mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat sebagai obat kelasi besi.

Metode: Limpa tersimpan dari dua puluh lima tikus jantan Sprague-Dawley dibagi ke dalam 5 kelompok, yaitu tikus normal (N), tikus yang diberi besi berlebih (KN), tikus yang diberi mangiferin 50 mg/kgBB (M50), tikus yang diberi mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat 50 mg/kgBB (MN50), dan tikus yang diberi mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat 25 mg/kgBB (MN25). Perlakuan pada hewan coba dilakukan selama 28 hari. Setelah 28 hari, tikus dikorbankan dan organ limpa diambil untuk pengukuran kadar besi pada limpa. Pengukuran menggunakan spektrofotometer serapan atom dengan panjang gelombang 248,3 nm.

Hasil: Dari pengukuran, rata-rata kadar besi organ limpa (µg Fe/g jaringan) pada kelompok M50 (1200,80±126,05), kelompok MN50 (918,38±427,63), dan kelompok MN25 (645,73±178,89). Ketiga kelompok tersebut tidak berbeda signifikan dengan kelompok KN. Namun, terdapat perbedaan signifikan antara kelompok M50 dan MN25 (p=0,006).

Kesimpulan: Mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat dosis 25 mg/kg BB dapat menurunkan kadar besi di limpatikus yang diberi besi berlebih lebih baik dari mangiferin saja.


Background: Iron overload is a condition caused by increased intake or disruption of the excretion process. Thalassemia is one of the causes of iron overload, especially transfusion-dependent thalassemia (TDT). Transfusion-dependent thalassemia can cause iron overload and iron accumulation in several organs, including the spleen. Therefore, the patients also need iron chelator to excrete excessive iron, but it is expensive and has many side effects. The previous study shows mangiferin could act as an iron chelator but has low bioavailability. Therefore, we conducted this experimental study to compare mangiferin and mangiferin in chitosan-nanoparticle as an iron chelating agent.

Methods: Spleens from twenty five male Sprague-Dawley rats were divided into 5 groups, which are normal (N), negative control (KN), mangiferin 50 mg/kgBW (M50), mangiferin in chitosan-alginate nanoparticle 50 mg/kgBW (MN50), and mangiferin in chitosan-alginate nanoparticle 25 mg/kgBW (MN25). After 28 days, rats were sacrificed and the spleen were taken to measure the iron level using atomic absorbance spectrophotometer at 248,3 nm wavelength. 

Results: From the measurement, the mean of iron level in spleen (µg Fe/g tissue) of M50 group (1200,80±126,05), MN50 group (918,38±427,63), and MN25 group (645,73±178,89). In this study, those three groups did not significantly different with negative control group (KN). But, there was a significant difference between M50 and MN25 groups (p=0,006).

Conclusion: Mangiferin in chitosan-alginate nanoparticles 25 mg/kg BW decreases the iron level in spleen of the iron overload rats better than mangiferin only.

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enninurmita Hazrudia
Abstrak :
Talasemia merupakan penyakit herediter yang ditandai oleh penurunan sintesis rantai ? atau dari globin. Di Indonesia, prevalensi penderita talasemia mayor cukup tinggi. Menurut data RS Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2008, terdapat 1412 pasien talasemia, yang mendapatkan terapi dengan mortalitas sebesar 0.8%. Pengobatan talasemia masih terbatas pada transfusi darah untuk menekan eritropoesis yang tidak efektif. Agen kelasi diperlukan untuk menurunkan akumulasi besi di organ akibat transfusi. Kelator yang biasa digunakan ialah desferoksamin, tetapi harganya mahal dan memiliki beragam efek samping. Oleh karena itu, diperlukan pengobatan yang aman dan terjangkau menggunakan ekstrak etanol Mangifera foetida L. yang mengandung mangiferin. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa ekstrak etanol daun Mangifera foetida L. 0.25 mg memiliki efek kelasi terhadap serum pasien talasemia. Desain penelitian berupa studi eksperimental pada 7 sampel serum pasien talasemia dibagi ke dalam 3 kelompok perlakuan secara exvivo. Parameter yang diukur adalah perhitungan nilai absorban tiap kelompok perlakuan (? 200-500 nm). Uji normalitas Shapiro-Wilk menunjukkan data terdistribusi normal. Hasil penelitian dan perhitungan dengan uji statistik One Way Anova menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun Mangifera foetida L. memiliki efek kelasi terhadap serum penderita talasemia (p=0,031). Uji Post Hoc menunjukkan bahwa ekstrak etanol dosis 0,25 mg memiliki efek kelasi yang hampir sama dengan kontrol positif mangiferin (p=0,138). Bila dibandingkan dengan ekstrak air, efek kelasi ekstrak etanol daun Mangifera foetida L. menunjukkan gambaran yang lebih baik. Hal ini diduga dipengaruhi oleh perbedaan kelarutan bahan aktif dalam etanol. ......Thalassemia is a hereditary disorder that is caracterized by decreasing of ? or ? globin chain synthesis. The prevalention of thalassemia cases in Indonesia is high enough. In Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, there are 1412 patients of thalassemia who get therapy with the mortality rate 0.8%, in 2008. Blood transfusion to suppress ineffective eritropoesis still becomes the choice of thalassemia therapy. Chelating agent is needed to decrease iron acumulation in body organs as the complication of transfusion. Chelator agent that is commonly used is Desferoxamin. However, it is expensive and having various side effects. Safe and affordable treatment of thalassemia is needed. This study aims to prove that the ethanol extract 0.25 mg of Mangifera foetida L. leaf has chelating effect to serum of thalassemia patient. Research designed which is used is experimental study with 7 serum as sample, divided to 3 groups by exvivo. Parameter measured is the calculation of absorban values in each group (? 200-500 nm). Shapiro-Wilk test showed the data were normally distributed. The result of experiment using One Way Anova statistical test, showed that ethanol extract of Mangifera foetida L. leaf has the chelating effect on serum of thalassemia patients (p=0,031). According to the Post Hoc test, ethanol extract of 0.25 mg dose has chelating effect that nearly similar with mangiferin as a positive control (p=0.318). When compared with the water extract, ethanol extract of Mangifera foetida L. leaf showed the better result, that maybe influenced by the differences in solubility of the active substances in ethanol.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasna Afifah
Abstrak :
Talasemia adalah penyakit monogenik paling umum di Asia, termasuk Indonesia. Pengobatan utama yang ada bersifat paliatif, yaitu transfusi darah secara teratur untuk mempertahankan kadar hemoglobin pada darah penderita. Komplikasi pasca transfusi darah adalah penyumbang mortalitas terbesar penderita akibat penumpukan besi. Studi ekstrak air daun Mangifera foetida L. yang mengandung mangiferin berhasil membuktikan adanya efek kelasi besi terhadap serum penderita talasemia pada dosis 0,75 mg dan 1,125 mg. Akan tetapi, polifenol seperti mangiferin yang diduga berefek sebagai agen kelasi diketahui lebih larut dalam pelarut organik yang kurang polar seperti etanol. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkonfirmasi penelitian sebelumnya dengan menggunakan etanol pada dosis yang lebih rendah, yaitu 0,5 mg secara ex vivo. Sebanyak 7 sampel serum dibagi menjadi 3 kelompok: kontrol negatif, kontrol positif dan kelompok uji ekstrak 0,5 mg. Indikator efek kelasi besi pada penelitian ini diukur dalam absorban oleh spektofotometer pada panjang gelombang (?) = 200-400 nm. Uji hipotesis One-Way Anova menunjukkan adanya perbedaan bermakna di antara kelompok (p = 0,012). Analisis lanjutan menggunakan uji Post-Hoc, kelompok uji berbeda bermakna dengan kontrol negatif (p = 0,004) dan memiliki efek kelasi yang sama dengan mangiferin sebagai kontrol positif (p = 0,07). Hasil penelitian ini membuktikan ekstrak Mangifera foetida L. dosis 0,5 mg memiliki efek kelasi besi pada serum penderita talasemia dan setara dengan 100 ?g mangiferin. ......Thalassemia is the most common monogenic disorder in Asia, including Indonesia. The main therapy for this disorder is palliative blood transfusions to maintain adequate hemoglobin levels in the blood of patients. Unfortunately, the complication of post-transfusion is also the largest contributor to its mortality rates, mainly due to iron overload. A study of the aqueous extract from Mangifera foetida L. leaf containing mangiferin proved the effect of iron chelation on serum thalassemic patients at 0,75 and 1,125 mg dose but not better than 100 ?g of mangiferin. However, polyphenol such as mangiferin is hypothesized to be more soluble in less polar organic solvents such as ethanol. Therefore, this study aims to confirm the previous study by using ethanol as a solvent at lower dose, ie 0,5 mg. There were three experiment groups as follows: negative control group; 100 ?g of mangiferin as positive control group and the treated group of extract 0,5 mg. Our samples were obtained from 7 serums which were divided into 3 groups each. The indicator of iron chelation effect in this study was measured in absorbance by a spectrophotometer at = 200-500 nm wavelength (?). The indicator of iron chelation effect in this study measured in absorbance by a spectrophotometer at a wavelength (?) = 200-400 nm. The hypothesis was tested using One-Way Anova which shows a significant difference between groups (p = 0,012). Further analysis using Post-Hoc test found that the ethanol extract had a significant difference againts negative control (p = 0,004) and the equal iron chelation effect with mangiferin 100 ?g as a positive control (p = 0,07). This finding shows relevancy to previous study as a potential iron chelating therapy to thalassemic patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Sagran
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Thalassemia adalah suatu kelainan genetik akibat kegagalan sintesis rantai globin, mengakibatkan terjadinya anemia berat akibat peningkatan aktivitas eritropoiesis yang inefektif dan hemolisis. Peningkatan aktivitas eritropoiesis akan memacu peningkatan absorpsi besi di usus sehingga terjadi kelebihan besi dalam tubuh. Transfusi darah dilakukan secara berkala untuk mengatasi anemia yang timbul pada pasien thalassemia mayor. Pemberian transfusi berulang akan mempercepat terjadi secondary iron overload, untuk mengatasinya diberikan terapi kelasi rutin.

Tujuan : Mendapatkan perubahan nilai indeks transferin, saturasi transferin, dan feritin sebelum dan sesudah transfusi dan juga sebelum dan sesudah terapi kelasi pada pasien thalassemia mayor. Mendapatkan perbedaan indeks transferin dan saturasi transferin, dan feritin sebagai parameter untuk menilai perubahan status besi pada pasien thalassemia mayor pasca transfusi dan terapi kelasi.

Metode: Desain penelitian kohort prospektif. Subjek penelitian terdiri dari 35 pasien thalassemia mayor usia 7-18 tahun yang mendapat transfusi berulang dan kelator besi rutin. Dilakukan pemeriksaan kadar besi serum, UIBC, TIBC, feritin, transferin, saturasi transferin dan indeks transferin pre transfusi, pasca transfusi dan pasca terapi kelasi.

Hasil: Rerata indeks transferin pasca transfusi 124±22 % lebih rendah secara bermakna dari pre transfusi dengan nilai p=0,016, sedangkan pasca kelasi 123 ± 34.5 % (p=0,045). Saturasi transferin pasca transfusi 96 (51 – 100)% meningkat secara bermakna dibangdingkan pre transfusi 87(69-100)% dengan nilai p=0,026, namum tidak berbeda bermakna pada pasca kelasi 87 (39-100). Kadar feritin serum pasca transfusi 3737 (649 -17.094) mg/dL, meningkat secara bermakna dibandingkan pre transfusi 3315 (544,7-14.964) mg/dL (p=0,018). Perbedaan indeks transferin dan saturasi transferin pre transfusi 45(22-153)% lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pasca transfusi 35(6-89)% dengan nilai p=0,000, sedangkan pasca kelasi adalah 41±25 dengan nilai p=0,036.

Kesimpulan: pemeriksaan indeks transferin untuk pemantauan efektifitas terapi kelasi pada pasien thalasemia mayor dapat dipertimbangkan.
ABSTRACT
Introduction. β thalassemia syndromes are a group of hereditary disorder characterized by genetic deficiency in the synthesis of β-globin chains. It is associated in severe anemia caused by an increase in ineffective erythropoiesis activity and hemolysis. Erythropoiesis activity will spur increased iron absorption in the intestine so there will be an excess of iron in the body. Blood transfusion is used routinely to treat anemia arising in patients with thalassemia major. Repeated transfusion will accelerate occur secondary iron overload, to solve given chelation therapy routine.

Objective :To know the index value changes transferrin, transferrin saturation, and ferritin before and after transfusion and also before and after chelation therapy in patients with thalassemia major. To know difference transferrin index and transferrin saturation, and ferritin as a parameter to assess changes iron status in patients thalassemia major post-transfusion and chelation therapy.

Methods. This was prosphective cohort, There were 35 patients with thalassemia major who receive repeated transfusions and iron kelator routine, with age 7-18 years. Examination of serum iron levels, UIBC, TIBC, ferritin, transferrin, transferrin saturation and transferrin index before transfusion, after transfusion, and after chelation therapy.

Results. Mean transferrin index post-transfusion 124±22% was significantly lower than pre transfusion (p=0.016), as well as post-chelation 123±34.5% with a value of p=0.045. Transferrin saturation post-transfusion 96 (51-100)% increased significantly with pre transfusion 87 (69-100)% with a value of p=0.026, However no significant difference were observed in post chelation therapy 87 (39-100). Post-transfusion serum ferritin level 3737 (649-17094) mg/dL, increased significantly compared to pre transfusion 3315 (544.7-14,964) mg/dL (p=0.018). Differences transferrin index and transferrin saturation pre transfusion was 45 (22-153)% significantly higher than the post-transfusion 35 (6-89)% with a value of p=0.000, while the post chelation thyrapy was 41±25% (p=0.036).

Conclusion. Transferrin index can be considered for monitoring the effectiveness of chelation therapy in patients with thalassemia major.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Putri Tungga Dewi
Abstrak :
ABSTRAK
Secondary iron overload pada thalassemia mayor terjadi karena eritropoiesis inefektif dan tranfusi berkala. Besi melebihi transferin sehingga banyak non transferin bound iron NTBI yang mengkatalisasi terjadinya ion radikal bebas yang merusak jaringan. Pengendapan besi pada saluran cerna mengakibatkan perubahan fungsi, kerusakan organ, gangguan ketersediaan asam amino. Iron overload dikurangi dengan kelasi besi. Transferin merupakan kelator alami tubuh terdiri asam amino dominan alanin, leusin, glisin, asam aspartat. Berdasarkan penelitian, pasien iron overload memiliki transferin lebih rendah dibandingkan non iron overload. Penelitian bertujuan mengetahi perubahan status besi, profil asam amino dan hubungan iron overload dengan profil asam amino. Parameter yang diteliti : besi serum, unsaturated iron binding capacity UIBC , total iron binding capacity TIBC , feritin, saturasi transferin, indeks transferin, alanin, leusin, glisin, asam aspartat. Desain penelitian kohort dengan 21 subjek, yaitu 13 thalassemia beta mayor dan 8 thalassemia beta HbE. Hasil penelitian didapatkan perubahan status besi bermakna yaitu peningkatan feritin pasca transfusi, penurunan feritin pasca kelasi 1 bulan, peningkatan kadar besi pasca kelasi 3 bulan. Perubahan asam amino bermakna yaitu penurunan alanin, leusin, serta peningkatan glisin pasca kelasi 1 bulan Terdapat hubungan kuat, bermakna searah antara indeks transferin dan alanin pre transfusi. Terdapat hubungan kuat, bermakna, searah antara indeks transferin dengan alanin dan glisin pasca transfusi.
ABSTRACT
Secondary iron overload in thalassemia major occurs due to ineffective erythropoiesis and periodic transfusions. The excess of iron exceed transferrin so there are many non transferrin bound iron NTBI that induce tissue damaging free radical ion. Accumulation of iron in intestine can lead to changes in the function, organ damage, lack of amino acid availability. Iron overload can be reduced by iron chelation. Transferrin is the body 39 s natural chelator comprising of dominant amino acid alanine, leucine, glycine, aspartic acid. Research found that transferrin were lower in iron overload patients. This study aims to acquire the changes of iron status, amino acid profile, and correlation between iron overload and amino acid profile. Studied parameter were serum iron, unsaturated iron binding capacity UIBC , total iron binding capacity TIBC , ferritin, transferrin saturation, transferrin index, alanine, leucine, glycine, aspartic acid. The study design were cohort with 21 subjects consisted of 13 beta major thalassemia and 8 beta Hbe thalassemia. The result showed significant iron status changes ferritin increased post transfusion, ferritin decreased after 1 month chelation and serum iron increased after 3 months chelation. Significant amino acid profile changes decreased of alanine and leucine, and glycin increased after 1 month chelation. There rsquo s significant correlation between transferrin index and alanine pre transfusion. There rsquo s significant correlation between transferrin index and alanine, glycine after 3 month chelation.
2017
T55642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>