Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 221 dokumen yang sesuai dengan query
cover
JPK 16:3(2010 )edkkusus
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kasyunnil Kamal
Abstrak :
ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi kandidosis kutis inguinalis pada pekerja bagian "Press 3" dan bagian "Line 9" di pabrik sepatu olah raga PT. A - Balaraja dan mengetahui hubungan lingkungan kerja panas dan lembab dengan prevalensi kandidosis kutis inguinalis. Metode penelitian ini menggunakan kros-seksional dengan uji statistik chi-kuadrat dan Kolmogorov Smirnov (bivariat) dan analisa multivariat dengan logistik regresi . Parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pajanan panas adalah "Indeks Suhu Basah Bola" (ISBB). Penelitian dilakukan terhadap 200 responden yang bekerja di lingkungan kerja yang berbeda, yang terdiri dari 100 responden terpajan panes dan 100 responden lainnya terpajan panas yang kadarnya lebih rendah. Untuk melihat pengaruh tekanan panas dan kelembaban terhadap tenaga kerja yang terpajan dilakukan dengan menggunakan kuesioner, pengamatan, perneriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium serta pengukuran lingkungan kerja. Hasil penelitian menunjukkan tekanan panas di lingkungan kerja bagian "Press 3" dan bagian "Line 9" melebihi batas yang diperkenankan ? sedangkan tingkat kelembaban masih dalam batas kenyamanan. Hasil pemeriksaan pada semua responden menunjukkan 56% responden mengalami kandidosis kutis inguinalis. Disamping itu dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang bekerja di lingkungan kerja yang mempunyai tekanan panas lebih tinggi (bagian "Press 3), prevalensi kandidosis kutis inguinalis lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan pekerja yang bekerja dengan lingkungan kerja yang mempunyai tekanan panas lebih rendah (bagian "Line 9). Hal ini ditunjang dari hasil uji statistik (p<0,05 dan OR>1). Faktor lain yang berpengaruh pada penelitian ini adalah higiene perorangan (p<0,05dan OR>l).
ABSTRACT The Relation Between Exposure To Heat And Humidity In The Work Environment With Prevalence Of Inguinal Cutaneous Candidiasis In Workers At Sport Shoe Factory At "A" Factory ? BalarajaThe objectives of this study are to know the prevalence of inguinal cutaneous candidiasis in workers at" Press 3" and "Line 9" sections at "A" factory a sport shoe factory in Balaraja and to know it's relationship with exposure to heat stress and humidity in the work environment. The design used in this study is cross sectional method. Chi-square and Kolmogorov Smimov test (bivaried) and Logistic regression (multivaried) were used for statistical analysis. Heat exposure level in the working environment was measured by using the Wet Bulb Globe Temperature Index. This study examined 200 workers who were exposed to heat stress; 100 workers who were exposed to higher heat stress and another 100 workers who were exposed to a lower heat stress. Questionnaire, physical & laboratory examinations, survey and the measurement of working environment have been used to know the influence of heat stress and humidity on exposed workers. This study shows that heat exposure level of working environment at "Press 3" and "Line 9" sections is above the recomended limits, meanwhile the humidity level is as the recomended limits. The result of the examinations prevalence of all workers shows 56% workers were inguinal cutaneous candidiasis. It also shows that workers who were exposed to higher heat stress ("Press 3" sections workers) have a higher prevalence of inguinal cutaneous candidiasis significantly compared to workers who were exposed to lower heat stress ("Line 9" sections workers) (p < 0,05 and OR>1). Another important factor associated the prevalence are individual hygiene (p.0,05 and OR>l).
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ramadhan
Abstrak :
Strategi penanggulangan TB melalui strategi DOTS (Directly Observed Trearmem Shorlcourse) memprioritaskan penemuan pasien melalui pemeriksaan mikroskopis, oleh karena itu mutu pemeriksaan mikroskopis perlu dipantau tems. Hasil pemeriksaan mikroskopis sputum BTA ,oleh 54 pemugas laboratorium puskesmas (Puskesmas Ruiukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri) di Provinsi Jambi pada tahun 2004 ada 29 puskesmas yang hasil error rate 25%, sedangkan pada tahun 2005 mcnjndi 32 puskcsmas yang hasil error rare-nya 25%. Untuk itu pcrlu dilakukan penilaian terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan mutu pemeiiksaan mikroskopis sputum BTA. Penelitian ini bertuiuan untuk mengetahui gambaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan mutu pemeriksaan mikroskopis sputum BTA pada laboratorium puskesmas (PRM dan PPM) di Provinsi Jambi tahun 2006, dengan menggunakan metodologi kuantitatif yang bersifat deskriptif dengam desaiu” penelitian berupa pcndckatan cross sectional, terhadap 56 petugas laboratorium puskesmas di PRM dan PPM (total populasi). Hasil pemeriksaan mikroskopis sputum BTA yang bermutu baik masih rendah, hanya 35,7%. Adapun faktor yang berhubungan signiiikan dengan mutu pemeriksaan mikroskopis sputum BTA adalah pelatihan (tanpa dikontrol), dan faktor pengalaman kelfia, supervisi, kepuasan kerja, dan penerapan SOP (dengan dikontrol). Faktor yang paling dominan bcrhubungan dengan rnutu pemeriksaan mikroskopis sputum BTA aclalah pencmpan SOP. Disarankan kepada puskcsmas agar petugas laboratorium selalu menerapkan SOP, meqiaga keamanan bckclja di laboratorium, dan merawat mikroskop dcngan bai[c. Kepada Dinas Kesehatan K.abupatenfKota agar pembinaan petugas laboratodum dilakukan torus-mcncms melalui peiaksanaan supenkisi yang baik. Kepada Dinas Kesehatan Provinsi agar dapat rpelatih semua petugas laboratoriurn puskesmas, melaksanakan pertemuan untuk pembinaan dan pcrnbekalan pengetahuan terhadap petugas TB kabupatenfkota dan petugas laboratorium puskesmas, dan juga perlu bckcrjasama dengan Balai Laboratorium Kesehatan untuk melakukan pembinaan di puskesmas (PRM dan PPND. ......TB prevention strategy with DOTS (Directly Observed Treatment Short course) give priority to patient’s invention by microscopic examination, therefore we must always control the microscopic examination. The result of BTA sputum microscopic examination by 54 government clinic laboratory assistant (Microscopic Reconciliation Government Clinic/PRM and Autonomy Execution Government Clinic/PPM) in Province of Jamb in year 2004, there was 29 local govemment clinic with error rate 25%, whereas in 2005 became 32 local government clinic with error rate 25%. Because of that, we need to evaluate about factors which related with quality of BTA sputum microscopic examination. The purpose of the research is to get the description and factors that related with quality of BTA sputum microscopic control, at PRM and PPM laboratories in Province of Jambi, in year 2006, by using quantitative methodology, which have descriptive characteristic with cross sectional approaching research design, toward 56 laboratory assistant at PRM and PPM (total population). The result of BTA sputum microscopic examination with good quality is still low, that is only 35.7% The factors that have a significant relation with quality of BTA sputum microscopic examination are training (without controlling), and work experience factor, supervision, work satisfaction, and SOP implementation (without controlling). The most dominant factor which related with quality of BTA sputum microscopic examination is SOP examination. We suggest to government clinic is laboratory assistant must implement SOP, maintain the security of laboratory, take good care of microscope. For public service in Regency, they must train laboratory assistant continually with good supervision. For public service in Province, they must train all laboratory assistant of local government clinic by meeting for founded and provided knowledge towards TB Regency officer and laboratory assistant of public government clinic, and also good cooperate with Health Laboratory Center to make founding at local government clinic (PRM and PPM).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T32045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benedictine Widyasinta
Abstrak :
Sebagai alat diagnosis kepribadian, tes Wartegg sudah banyak digunakan di Indonesia Walaupun demikian tidak banyak penelitian dilakukan untuk melihat Akurasinya. Pentingnya masalah ini mengingay kritik yang dilontarkan terhadapnya. Padahal tes Wartegg sebagai tes gambar memiliki nilaio diagosis yang baik Penelitian ini akan dibatasi pada nilai diagnosis tes Wartegg untuk gejala menarik Alasannya individu menaxik ciiri akan mengalami kesulitan dalazrn berinteraksi dengan lingkungan sosial sekitarnya. Menarik diri merupakan fenomena yang bervariasi, baik dilihat dari pengertian, bentuk, serta intensitasnya. Diantara sekian banyak variasi yang ada, peneliti meneoba mengacu definisi Schneider (1964) yang cukup mendasar dan dapat menealcup variasi tersebut. Gejala menarik cliri dalam peneljtian ini diartikan sebagai tendensi untuk bereaksi melarikan diri dari tuntutan, tekanan, ancaman, atau frustrasi yang dialami ketika berinteraksi bersama manusia lain di lingkungannya, yang ditandai oleh empat ciri utama, yakni: (1) keterbatasan kontak sosial, (2) keterbatasan kontak realitas, (3) keterbatasan afek, serta (4) keeemasan. Keempat ciri utama dan rnendasar ini dapat bergradasi dari sanat ringan (normal) hingga berat (abnormal) serta muncul dalam berbagai bentuk gcjala menarik diri yang ada (misalnya psikosis; depresi; ketergantungan za! psikoaktif; gangguan atau gaya kepribadian avoidanl, schrkoii schizogypal). Homey (1951) menggunakan islilah moving away from peopfe untuk menjelaskan fenomena menarik diri, yang cliartikan sebagai tendensi untuk selalu berrelasi dengan manusia lain karena takut bahwa relasi tersebut akan membangkitkan perasaan dan hasrat yang akhirnya dapat menimbulkan Huslrasi dan konflik. Gejala menarik diri seperti diskripsi Hommey ini memperlihatkan orang yang takut berperan serta dalam kehidupan bersama manusia Iain. Gejala ini serupa dengan yang pernah disebutkan Tillich (1951) sebagai akibat dari lack courage to be as a part. Seseorang menarik cliri dnri relasi interpersonal kanena kurang memiliki kebencian dan kemauan untuk menjadi bagian dmi kebersamaanyang lebih luas. Alasannya adalah ketika seseorang menyatakan kesediaannya menjadi bagian dmi sesuam maka konsekuensinya adalah orang itu harus siap tnmpil sebagai individu dengan segala keunikarmya, juga merelakail sebagian dari individualitasnya unmk lebur dalam kebersamaan itu. Jika seseorang menyadari bahwa ia belum mengembangkan identitas dirinya secara kokoh dan jelas maka orang itu juga akan merasa takut betada dalam kebersamaan. Kesadaran mengenai identitas diri merupakzm hal yang penting bagi seseorang untuk berpartisipasi dalam kebetsamaan- Jika identitas diri seseorang belum jelas dengan sendirinya ia juga tidak tahu bagaimana menghadirkan dirinya dalam kebersamaan itu. Jadi dapat disimpulkan bahwa menaztik diri seperti yang didieskripsikan Harney atau yang oleh Tillich disebut sebagai lack of courage to be as a part, pada dasarnya bersumber dari kesadaran akan krisis identitas. Akhirnya kembali pada tujuan penelitian untuk melihat nilai diagnosis tes Wartegg terhadap gejala menarik diri, maka peneliti bermaksud melihat apakah subyek dengan gejala menarik diri secara diferensiatif akan menampilkan profil tertentu dalam tes Wartegg, dibandingkan dengan subyek tampa gejala menarik diri. Jika dalam penelitian ini ditemukan ada proiil ten tu untuk gejala menarik diri dan secara diferensiatif membedakan dari subyek non menarik diri, maka ada profil tersebut dapat dijelaskan oleh konsep yang dikemukakan oleh Homey dan Tillich. Dengan latarbelakang seperti yang diuraikan diatas, maka secam umum permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai: Bagaimakah tes Wartegg dapat berfungsi sebagai alat diagnosis unruk gejala menarik. Permasalahan tersebut diatas dijawab rnelalui pendekatan kua1itatif§ dengan menggunakan dokumen kasus sebagai datas sekunder. Pengambilan sampel dilakukan secara non probabilita dengan teknik insidental sampling. Dengan demikian basil penelitian ini terbatas hanya berlaku untuk sampel yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan: tm Wartegg dapat berfungsi sebagai diagnosis gejala menarik diri. Secara Iebih rinci hasilnya adalah sebagai berikut: 1. Pada subyek menarik diri adalah, untuk (1) aspek keterbatasan kontak sosial, menonjol dan relatif konsisten diwakili oleh indikator absence or scan! of animate ature, isolation, emptiness, disusul soft intensity+poor form Ievei serta dominant straight lines; (2) aspek keterbatasan kontak realitas diwakili indikator isolation; (3) aspek keterbatasan afek diwakili oleh absence or scan of animate nature, isolation, serta empxiness; (4) aspek kecemasan diwakili oleh indikator reinforcement serta small drawings. 2. Secara diferensiatif tes Wartegg dapat membedakan subyek penelitian menarik diri dari subyek penelitian nun menarik. Jika dalam penelitian ini pada basil tes Wartegg ditemukan indikator empiiness bukan jizii covering; isolation bukan conleri; constriction bukan expansion; sofi imensity+poor form level bukan moderate to strong intensity; dominan sir-aight lines bukan dominant curved; maka kenlungkinan besar subyek bertenden menarik. 3. Ditemukan ada kesesuaian antara hasil tes Wartegg dengan hasil wawancara untuk gejala menarik
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Christina
Abstrak :
Alat tes psikologi yang bersifat proyektif umumnya menggunakan stimulus visual sehingga tidak dapat digunakan oleh tunanetra. Hari ini memotivasi Wijayanto untuk menciptakan Hand Test Tiga Dimensi. Penelitian awal menunjukkan bahwa Hand Test Tiga Dimensi memiliki validitas yang kurang baik. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut tentang validitas Hand Test Tiga Dimensi sebagai alat ukur tingkah laku Acting Out pada tunanetra. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif yang melibatkan 30 orang subjek ini, dilakukan di Yayasan Mitra Netra, PSBN Lebak Bulus, PSBN Tartrat, dan PSBN Taman Harapan. Perhitungan statistik dengan Chi Square untuk memperoleh criterion-related validity dilakukan dengan mengkorelasikan hasil perbandingan Acting Out Ratio dari Hand Test Tiga Dimensi dengan hasil kuesioner tio: tingkah laku Acting Out. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara skor Acting Out Ratio (OR) pada Hand Test Tiga Dimensi dengan skor kriteria penilaian mengenai tingkah laku Acting Out- Ada dua hal yang mungkin berperan penting dalam mempengaruhi hasil penelitian ini, yaitu homogenitas dan jumlah sampel yang kecil serta kriteria mengenai tingkah laku Acting Out yang mungkin belum memenuhi aspek pengukuran yang memadai. Untuk penelitian berikutnya, sebaiknya dilakukan dengan jumlah subjek yang lebih besar dan melakukan uji validitas dengan metode lain, misalnya validasi konstruk.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Safrina Dahri
Abstrak :
Diantara banyak teknik proyektif tes yang sering dipakai dalam pemeriksaan psikologis adalah tes Wartsg. Sebagai salah satu teknik proyektif tes Wartegg memiliki kualitas nilai sebagai alat cliagnostik dan bersifat praktis sehubungan dengan waktu yang diperlukan untuk administrasi, skoring dan interpretasi. Salah satu pertimbangan yang digunakan dalam menganalisis hasil gambar adalah dengan melihat hubungan stimulus dan gambar (stimulus drawing- relations), selain dua pertimbangan lainnya yaitu isi gambar (content) dan cara. pelaksanaan (execution). Pada dasarnya, masing-masing stimulus memiliki sifat yang berbeda sehingga penting untuk melihat kesesuaian gambar yang dihasilkan subyek dengan sifat dari stimulus itu sendiri (afinitas) Stimulus tes Wartegg dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu stimulus feminin (stimulus l,2,7, dan 8) dan stimulus maskulin (stimulus 3,4,S dan 6). Afinitas laki-laki biasanya lebih baik terhadap stimulus yang maskulin, sedangkan afinitas perempuan biasanya Iebih baik terhadap stimulus yang feminin. Perspektif mengenai peran dan stereotipi gender tidak terlepas dzui konteks budaya. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk melihat atinitas laki-laki dan perempuan pada sampel penelitian di Indonesia. Penelitian dilakukan pada mahasiswa UI, Sl reguler dengan tujuan memperoleh subyek yang memiliki kecerdasan rata-rata. Teknik yang digunakan adalah melihat kesesuaian gambar subyek clengan sifat-sifat yang terkandung didalam stimulus tersebut(stimulus-drawing relations). Uji sinifikansi clilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan afinitas subyek laki-laki dan perempuan terhadap stimulus maskulin, dan sebaliknya terhadap stimulus yang feminin. Hasil penelitian terhadap 62 subyek yang terdiri dad 31 subyek laki-laki dan 31 subyek perempuan menunjukkan bahwa subyek laki-laki mempunyai afinitas yang baik terhadap stimulus maskulin maupun terhadap stimulus feminine. Begitu pula sebaliknya, subyek perempuan mempunyai afinitas yang baik terhadap stimulus feminin maupun terhadap stimulus maskulin. Uji signifikansi pada l.o.s menunjukkan bahwa afinitas laki-laki dan perempuan hanya berbeda pada stimulus 2 (stimulus feminin) dan stimulus 4 (stimulus maskulin). Berdasarkan hasil penelitian, beberapa satan untuk penelitian selanjutnya adalah menambah jumlah subyek, meneliti subyek dengan karakteristik peran gender tradisional dimana pada penelitian ini mahasiswa diasumsikan lebih memiliki peran gender yang modern dan penelitian mengenai atinitas laki-laki dan perempuan terhadap stimulus maslculin dan feminin dengan mempertimbangkan pekerjaan subyek.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyawati Patricia Melati
Abstrak :
Dari sekian banyak tes psikologi, tes Wartegg adalah salah satu dari alat tes proyektif yang sering digtmakan dalam seleksi pegawai maupun setting klinis. Hal ini antara lain disebabkan karena tes Wartegg memiliki beberapa ketmtungan antara lain adalah waktu yang relatif singkat dalam pengadministrasian, skoring dan juga kaya dalam interpretasi. B Dalam tes Wartegg, jenis kelamin subyek memiliki arti interpretalif yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena nilai simbolik rangsang-rangsangnya rnemiliki hubungan dengan jenis kelamin. Di dalam tes ini terdapat 4 rangsang yang disebut dengan rangsang maskulin dan 4 rangsang lainnya yang disebut dengan rangsang feminin. Dalam penelitiannya, Kinget membuktikan bahwa afinitas laki-laki lebih baik pada stimulus maskulin sedangkan aflnitas perempuan lebih baik pada stimulus feminin. Dahii 2002, dalam penelitiannya mengenai alinitas laki-laki dan perempuan terhadap stimulus maskulin dan stimulus feminin pada tes Wartegg, mencoba membuktikan hal tersebut. Penelitian yang dilakukan dengan menyebarkan tes Wartegg kepada 62 orang mahasiswa Universitas Indonesia membuktikan bahwa baik subyek laki-laki dan subyek perempuan memiliki afinitas yang sauna baiknya terhadap stimulus feminin ,dan stimulus maskulin. Afinitas laki-laki dan perempuan pada stimulus feminin hanya berbeda pada rangsang nomor 2 sedangkan afinitas subyek laki-laki dan perempuan pada stimulus maslculin hanya berbeda pada rangsang nomor 4. Penulis berusaha membuktikan teori Kinget ini dengan melakukan usaha replikasi dan unelitian telah dilakukan oleh Dahri. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat aiinitas laki-laki dan perempuan yang berperan gender tradisional dalam menjawab stimulus feminin dan maskulin dalam tes Wartegg. Penelitian dilakukan dengan mengadministrasikan tes Wartegg kepada 2 kelompok subyek yang memiliki profesi sesuai dengan peran gender tradisionalnya yakni montir bagi laki-laki dan baby sitter bagi perempuan. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis menunjukan bahwa laki-lalci dan perempuan yang memiliki pekerjaan sesuai dengan peran gender tradisionalnya memiliki afinitas yang kurang lebih sama baiknya pada stimulus nomor l,2, 5 dan stimulus nomor 6. Afinitas laki-laki dan perempuan terhadap stimulus Wartegg ditemukan menunjukkan perbedaan yang signiikan pada stimulus no 3,4,7 dan 8. Pada stimulus nomor 3 dan 4 yang merupakan stimulus maskulin, jumlah laki-laki yang beraiinitas terhadap stimulus ini secara sitnifikan lebih banyak dihandingkan dengan perempuan. Sedangkan pada stimulus nomor 7 dan 8 yang merupakan stimulus feminin, jumlah perempuan yang beraktvitas terhadap stimulus ini secara signifikan lebih banyak dibandingkan dengan subyek laki-laki. Untuk dapat mempertajam hasil penelitian ini masih dibutuhkan penelitian-penelitian lanjutan di masa yang akan datang.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tirza Z. Tamin
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
D1750
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Avianti
Abstrak :
ABSTRAK
Pada penelitian mengenai penentuan obat pilihan berdasarkan tes kepekaan secara invitro telah diperiksa 109 strainkuman patogen, yang terdiri dari 16 strain Streptococcus viridans, 17 strain Streptococcus pneumoniae, 24 strain Staphy lococcus aureus, 22 strain Psedornonas aeruginosa, 10 strain Proteus vulgaris, 10 strain Escherichiaco1i dan 10 strain Kiebsiella pneumoniae, yang semuanya berhasil diasingkan dani para penderita yang datang di Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Tes kepekaan ini dilakukan dengan jalan membandingkan kepekaan pelbagai kuinan Patogen tersebut terhadap beberapa obàt antibiotika, yang urnurnnya digunakan untuk terapi seperti Penisum, Ampisilin, K16ksas1in, Sulbenisilin, Eritromisin,Gentamisin, Kanarnisin, Tetrasiklin, Kloramfenikol, Streptomisin dan beberapa obat termasuk golongan sulfonamida,yaitu Kotrirnoksasol, Sulfafurazin,. Sulfonamida, Sulfadiazin, Sulfatiazoidan Sulfan-tetôxazol.

Media untuk tes kepekaan kuman yang digunakan pada penelitian ini adalah media agar "DiagnosticSensitivity Test"(DST), seperti yang dianjurkan olehOrganisasi Kesehatan Dunia.

Hasil percobaán menunjukkan, bahwa dari semua obat antibiotika yang dicoba ternyata Gentainisin merupakan obat yang paling poten yang ternyata efektif terhadap beberapa kurnaii patogen seperti S.aureus, P.vulgaris, E.coli dan K.pneuniôniae, sedangkan dan obat golongan sulfonamida ternyata kotrimoksasol merupakan obat yang paling poten terhadap kuman patogen berikut mi : S.viridans, S.pneu.inoniae, S.aureus,P.vulgaris, E.coli, dan K.pneumoniae.

Oleh karena Kotrirnoksasol Diemiliki spektrurn antibakteri yang luas sedangkan efek sarnpingnya relatif kurang serta harganya yang juga relatif rnurah, bila dibandingkan dengan Gentamisin maka obat tersebut dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan obat pilihan dalam terápi suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman-kuman patogen tersebut diatas.
1982
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>