Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Savana Orcaputri
Abstrak :
Media sosial merupakan wadah komunikasi baru bagi masyarakat, untuk bisa saling berinteraksi dan bertukar informasi dengan menggunakan sistem elektromagnetik. Namun, dengan meningkatnya jumlah pengguna media sosial, hal tersebut juga diikuti dengan berkembangnya tindak kejahatan pornografi dengan menyalahgunakan media sosial yang ada. Maka dari itu, media sosial sebagai salah satu penyelenggara sistem elektronik (PSE) di Indonesia, dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum atas tindak pidana pornografi yang difasilitasi dalam sistem elektroniknya. Fokus penelitian ini, akan membahas lebih mendalam mengenai aplikasi TikTok, dan menguraikan secara akademis tentang (i) bagaimana kewajiban media sosial TikTok sebagai PSE dalam mematuhi norma kesusilaan berdasarkan hukum positif di Indonesia; (ii) bagaimana media sosial TikTok mengatur pembatasan muatan seksual yang dilarang untuk disiarkan; (iii) bagaimana pertanggungjawaban media sosial Tiktok terhadap konten pornografi yang ditayangkan pada sistem elektroniknya dalam fitur live streaming. Metode penelitian yang digunakan penulis ialah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan sumber penelitian pustaka, serta dengan sifat penelitian yang analitis dan berbagai jenis data sekunder yang mendukung. Dasar hukum utama yang mengatur mengenai media sosial sesuai dengan hasil analisis penulis ialah, UU ITE, UU Pers, serta UU Penyiaran. Namun penulis akan memfokuskan pembahasan kepada TikTok sebagai PSE resmi di Indonesia, yang diatur oleh peraturan turunan UU ITE, yakni Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019, dan Peraturan Menteri No. 5 Tahun 2020. Penelitian penulis juga ditinjau dari dasar hukum utama mengenai pornografi, yakni pada UU Pornografi dan KUHP. Pada dasarnya, ketentuan diatas telah memuat hak dan kewajiban TikTok sebagai PSE, yang dimana salah satunya untuk tidak menyebarkan informasi/dokumentasi elektronik yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Dalam praktiknya, TikTok masih menyebarkan konten pornografi, sehingga badan usaha asing tersebut wajib mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum dalam hal belum terpenuhi secara lengkap kewajibannya, sebagai PSE berdasarkan peraturan perundangundangan. ......Social media is a new communication platform for the public, to be able to interact and exchange information using electromagnetic systems. However, with the increasing number of social media users, this is also followed by the development of pornography crimes by abusing existing social media. Therefore, social media as one of the organizers of the electronic system (PSE) in Indonesia, can be held legally responsible for pornography crimes facilitated in its electronic system. The focus of this research, will go deeper into the TikTok app, and elaborate academically on (i) how TikTok’s as a social media comply with obligations as a PSE in based on moral norms positive law in Indonesia; (ii) how TikTok's as a social media regulates restrictions on sexual content that is prohibited from being broadcast; (iii) how Tiktok's as a social media is responsible for pornographic content that is aired on its electronic system in the live streaming feature. The research method used by the author is normative juridical research, using literature research sources, as well as with the analytical nature of research and various types of supporting secondary data. The main legal basis governing social media in accordance with the results of the author's analysis is the ITE Law, the Press Law, and the Broadcasting Law. However, the author will focus the discussion on TikTok as an official PSE in Indonesia, which is regulated by derivative regulations of the ITE Law, namely Government Regulation No. 71 of 2019, and Ministerial Regulation No. 5 of 2020. The author's research is also reviewed from the main legal basis regarding pornography, namely the Pornography Law and the KUHP. Basically, the provisions have contained the rights and obligations of TikTok as a PSE, one of which is not to disseminate electronic information/documentation that is prohibited by laws and regulations. In practice, TikTok still spreads pornographic content, so the foreign business entity is obliged to legally responsible its actions based on the law, in terms of they have not fully fulfilled their obligations as a PSE based on laws and regulations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Konstitusi Press, 2005
342 JIM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Okti Primurianti Zakaria
Abstrak :
Seiring dengan kemajuan di bidang teknologi dan komunkasi, Jaringan 3G adalah salah satu sumberdaya terbatas yang sangat diperlukan bagi industri telekomunikasi. Pemerintah dituntut untuk mengatur dan mengawasi pemakaian sumberdaya alam tidak terbatas tersebut, salah satunya dengan mekanisme perizinan dalam Undang-undang Telekomunikasi. Perizinan merupakan salah satu bagian dari hukum administrasi negara. Sanksi administrasi yang diangap kurang efektif membuat sanksi pidana akhirnya menjadi jalan untuk penegakan norma hukum administrasi negara, yang dikenal dengan administrative penal law. Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum mengenai administrative penal law membuat kebingungan disaat terjadi kasus pelanggaran terhadap administrative penal law yang juga memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Kasus semacam itu di satu sisi dapat digolongkan sebagai concurus idealis, tapi disisi lain ketentuan Pasal 63 ayat (2) yang menyangkut asas lex speclialis derogat legi generalisdalam kasus ini asas lex systematische specialiteit mengingat Undang-undang Telekomunikasi dan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan aturan pidana khusus-juga perlu diperhatikan untuk menentukan ketentuan mana yang harus diterapkan. ...... Along with the advances of technology and communication, the 3G network become one of most needed limited resources for telecomunication industry. Government forced to manage and control the usage of that limited resources, one of them is the licensing mechanism on Telecomunication Act. Licensing is one kind of administrative law. The uneffectiveness of administrtative sanctions made penal sanctions be the way to enforce the administrative norm, also known as administrative penal law. Lack of understanding about administrtive penal law by the law enforcement officers made confusion when there?s case that a violation of adinistrative penal law, in the same time breaking the law of Eradication of Criminal Acts of Corruption. A case like this can categorized as concursus idealis, but in the other side, we can?t avoid the provision of article 62 (2) of The Book of penal Code (KUHP) about lex specialis derogat legi generalis-in this case, lex systematische specialiteit, becasuse both of the Telecomunication Act and Eradication of Criminal Acts of Corruption are special rules of criminal offences-also need to be considered to determine which provisions should be applied.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62312
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library