Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
F.X. Siswo Murdwiyono
"Akhir abad ke-20 dan awal abad ke-2l, masalah moralitas dan budi pekerti menjadi keprihatinan dalam masyarakat kita. Realitas ini muncul dari berbagai kejadian yang meresahkan masyarakat, apalagi kejadian itu berkaitan dengan masalah remaja, sehingga kita patut bertanya bagaimana pendidikan moral yang selama ini diterapkan dalam keluarga kita? Kohlberg mengidentifikasi adanya enam tahap dalam perkembangan moral; dua tahap dalam tiga tingkatan yang dibedakan: pra-konvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tingkatan pra-konvensional, terdiri atas: tahap satu yang memiliki orientasi huk:uman dan kepatuhan, dan tahap dua yang mempunyai orientasi relativis instrumental. Tingkatan konvensional terdiri atas: tahap tiga yang berorientasi masuk dalarn "anak baik" dan "anak manis", tahap empat yang berorientasi pada hukum dan ketertiban. Sedangkan tingkatan pasca-konvensional yang memiliki ciri otonom dan berprinsip terdiri atas: tahap lima yang berorientasi pada kontrak sosiat legalistis, dan tahap enam orientasi pada azas etika universal. Pertumbuhan dalam pertimbangan moral merupakan proses perkembangan, yang menyangkut perubahan struktur kognitif. Pendidikan moral barns mempunyai tujuan untuk mencapai tahap pertimbangan moral yang lebih tinggi. Mutu lingkungan merupakan hal yang penting bagi penyusunan struktur moral yang barn. Tidak semua anak mengalami lingkungan yang menguntungksn, yang karena berbagai alasan barus berpisah dengan orangtuanya sejak kecil dan mereka harus menjadi penghuni penti asuban. Berdasarkan penelitian ini, pada umumnya remaja yang tinggal di panti asuban SOS Desa Taruna Jakarta memiliki tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan perkembangan usianya, yaitu pada usia 16 sampai 20 tahun seseorang bergerak dalam empat tahap perkembangan moral. Tahap penirnbangan moral mereka sesuai dengan perilaku berdasarkan penilaian pengasuhnya. Namun, kesimpulan tersebut kurang menunjukkan kesesuaian dengan perilaku partisipan yang ditunjukkan dari pengakuan mereka sendiri. Penelitian ini roenunjukkan bahwa 83 % partisipan pernah melakukan pencurian, 69% membolos, 42% melihat film porno, 35% merokok, 21% tawuran, dan 9,5 % pernah melakukan hubungan seksual. Jadi 1 tidak selalu ada hubungan antar apa yang dipikirkan dan dikatakan oleh partisipan tentang moral dengan perilakunya. Dalam konteks pendidikan moral, hukuman menunjukkan ketidakerektifunnya, karena justru membuat akibat negatif yang dialami anak. Ketika remaja bersalah, harapan partisipan pada pengasuhnya adalah berkomunikasi, berdialog, dan menasebati. Demikian juga pengasuh mempunyai idealisme dalam mendidik anak yang terbaik yaitu dengan melakukan dialog dan komunikasi. Jadi, terdapat kesesuaian harapan antara anak asuh dan pengasuh dalam konteks pendidikan moral Kedisiplinan menurut partisipan masih perlu ditingkatkan, yaitu dengan membuat peraturan yang lebih ketat, tetapi tidak dengan rnenggunakan hukuman keras (fisik} Maka dalam pendidikan moral, dialog dan komunikasi antara anak dan orang tua pada umumnya, menjadi sarana yang diharapkan oleh kedua belah piilak, dan diharapkan dapat membuat suatu perilaku yang diharapkan. Keterbatasan penelitian ini adalah hanya melibatkan satu panti asuhan. Banyak masalah yang dapat diperbandingkan, diperluas dan didalami, sehingga akan menjawab permasalahan yang muncul setelah membaca tulisan ini."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emma Indirawati
"Penyusunan modul pelatihan pembentukan identitas diri remaja ini dilakukan berawal dari Igeprihatinan penulis dengan keadaan remaja kita yang banyak melakukan perilaku yang kurang baik. Padahal jika disadari, berbagai perilaku negatif tersebut dilakukan rernaja karena mereka masih bingung dengan siapa dirinya dan bagaimana peran yang harus dilakukannya dalam masyarakat. Jadi pemtasalahan seputar pembentukan identitas diri adalah sejauhmana remaja bisa menentukan peranan sosial yang akan dipilihnya dalam kehidupan selanjutnya (Atkinson, Atkinson, dan Hilgrad, 1996). Oleh karena ilu, penulis melihat diperlukannya sebuah pelatihan unttlk rnembekali remaja dalam membentuk identitas dirinya melalui berbagai materi yang berkait erat dengan identitas diri. Pelatihan yang diranoang untuk dilakukan selama 2 hari ini akan diawali dengan pretest Q-sort yang mengukur sejauhmana konsep diri pada remaja telah terbentuk. Keniudian materi -materi yang akan disampaikan IVsecara berturutan adalah remaja seputar karalcteristik dan permasalahannya, teori psikososial Eriksonb yang akan membahas krisis identitas pada remaja, kecenderungan konformitas pada remaja yang berada dalam krisis identitas, kaimu amara idenmas diri dengan konseg din dan bagaimana membenwk konsep diri menjadi ideal. Setelah itu, sebulan kemudian para peserta diminta berkumpul kembali untuk mengikuti postes Q sort, untuk dilihat sejauhmana perkembangan konsep dirinya. Sebelumnya, penyusunan modul ini telah diujikan pada 3 orang sampel siswa yang berasal dari 3 sekolah yang berbeda, seorang siswa putri berasal dari SMU Labschool, seorang siswa putri lain bersekolah di SMU Diponegoro, Rawamangun serta seorang siswa putra berasal dari SMUN 12 Utan Kayu. Dua orang peserta telah duduk dibangku kelas 3 SMU sedangkan seorang lagi duduk di kelas 2 SMU. Uji coba dilakukan selama 2 hari, disesuaikan dengan jadwal yang ada pada rancangan modul pelatihan, meskipun walctunya lebih dipersingkat karena pesertanya yang hanya 3 orang. Hasilnya secara umum para peserta memiliki sikap positif dan rnerasa perlu diadakannya pelatihan ini bagi remaja seusia mereka, karena dapat rnenambah wawasan berpikir mereka dan pengenalan mereka terhadap diri sendiri. Selanjutnya saran untuk perbaikan program pelatihan ini dimasa mendatang adalah mencari metode permainan yang lebih bervariasi, memasukkan juga teori rogers sebagai landasan teori Q sort yang digunakan pada pretest dan postst, mengenalkan adanya heterogenitas dalam kehidupan nyata pada remaja, menyusun lémbar evaluasi yang dapat mengevaluasi isi materi yang disampaikan dengan lebih mendalam, menyajikan satu atau dua materi saja agar dapat efektif. Selain ilu, peran observer dan instruktur juga diperlukan dalam pelaksanaan pelatihan Akhimya penyusunan modul ini dihafapkan dapat bermanfaat bagi para remaja dalam membentuk identitas diri yang efektif demi memperbaiki kualitas perilaku dan kehidupan mereka di masa depan. Karena ditangan pemudalah, kepemimpinanan masayarakat bangsa ini akan diletakkan. Semoga hasil penelitian ini dapat mendorong munculnya berbagai gagasan lain yang lebih baik dalam membantu remaja menjalani kehidupannya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38375
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library