Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 539 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adriani, Pieter Jacob Albert, 1879-
Amsterdam: L.J. Veen, 1954
BLD 343.492 04 ADR h (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sodikin
Abstrak :
Pajak Hotel dan Restoran adalah suatu jenis pungutan pajak yang dikenakan atas pembayaran pelayanan di Hotel dan Restoran. Pajak ini pemungutannya menganut sistem self assessment. Sebagai konsekuensi logis atas kepercayaan yang telah diberikan kepada Wajib Pajak, Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Untuk pajak yang masih kurang dibayar akan diikuti dengan tindakan penagihan. Tujuan diadakan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana penerapan tindakan penagihan aktif melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 terhadap tunggakan Pajak Hotel dan Restoran pada Dinas Pendapataan Daerah DKI Jakarta. Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan metode penelitian lapangan (field research) dan penelitian Kepustakaan (library research) dengan analisa data menggunakan metode diskriptif. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa untuk penerapa pelaksanaan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomnor 19 Tahun 2000 terhadap tunggakan Pajak Hotel dan Restoran pada Dipenda DKI Jakarta ,perlu dibuatkan dasar hukum Pelaksanaan Penagihan Pajak Daerah dengan Surat Paksa yang mengacu pada ketentuan pelaksanaan di Direktorat Jenderal Pajak berupa Surat Keputusan Gubernur DKI Jakata dan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Daerah DKI Jakarta.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7599
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Ferdy Alfonsus
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penanganan tindak pidana perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak. DiIatar belakangi pemikiran bahwa rendahnya kepatuhan Wajib Pajak disebabkan belum adanya penerapan sanksi hukum (pidana) yang tegas terhadap pelaku tindak pidana perpajakan. Penelitian dilakukan dengan mengkaji permasalahan yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak dan kelemahan yang terdapat dalam kebijakan penanganan tindak pidana perpajakan itu sendiri, lalu diqpayakan mencari solusi untuk mengatasi permasalahan yang ada. Dari hasil penelitian diketahui bahwa di samping terdapat kelemahan dalam pelaksanaan penanganan tindak pidana perpajakan dan kelemahan dalam kebijakan, ternyata juga dari sisi Wajib Pajak ada kendala yang menyebabkan WP sulit untuk melaksanakan kewajiban perpajakan secara patuh dan benar. Banyak WP yang tidak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya secara benar karena banyaknya praktek uang suap, sogok dan pungli yang dialami oleh bayak pelaku usaha. Banyaknya uang siluman itu dibebankan melalui mark up biaya dalam laporan keuangan, yang pada akhirnya mempengaruhi jurnlah pajak yang harus dibayar. Sedangkan kelemahan dalam pelaksanaan kebijakan antara lain, rendahnya kinerja Ditjen Pajak dalam penanganan tindak pidana perpajakan yang ditandai dengan sedikitnya jumlah WP yang dilakukan penyidikan dibandingkan dengan data ketidakpatuhan WP berupa tidak menyampaikan SPT Tahunan yang jumlahnya menurut data intranet bulan Maret Tahun 2002 mencapai 808.022 SPT PPh WP Orang Pribadi dan 399.273 SPT Tahunan PPh Badan. Koordinasi PPNS dan POLRI yang berbelit-belit sehingga proses penyidikan menjadi lama. Di bidang kebijakan penanganan tindak pidana perpajakan melalui KEP-02/PJ.7/1990 dan SE-36/PJ.73/1990 mengandung kelemahan, seperti tidak jelasnya kriteria hash pemeriksaan bukti permulaan yang bagaimana yang dikeluarkan produk skp atau dilanjutkan ke penyidikan, tidak jelasnya kriteria seorang Pengamat dan tidak diaturnya prosedur penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan apabila WP membayar lunas utang pajak, sesuai Pasal 44 B UU KUP, serta perlunya koordinasi antara POLRI dan Penyidik Pajak dalam penentuan ruang lingkup tindak pidana perpajakan agar tidak terjadi benturan kepentingan soal kewenangan melakukan penyidikan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11413
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susilo
Abstrak :
Dalam tahun 2002, perkembangan Reksa Dana (mutual funds) sebagal salah satu instrumen investasi di Pasar Modal Indonesia cukup menggembirakan. Hal tersebut terlihat dari perkembangan jumlah Reksa Dana, jumlah pemodal, dan nilai aktiva bersih. Sampai Desember 2002 total Reksa Dana adalah 131 Reksa Dana, dengan dana yang dikelola sebesar Rp 46,613 triliun dan jumlah pemodal 125.820 pemodal. Pesatnya perkembangan industri Reksa Dana tersebut tidak terlepas dan adanya insentif di bidang perpajakan terhadap industri ini berupa dikecualikannya bunga obligasi yang diperoleh atau diterima perusahaan Reksa Dana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha. Pembenan insentif ini mengingat Reksa Dana merupakan salah satu altematif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil atau pemodal yang tidak ingin menanggung risiko tinggi. Dan hasil penelusuran yang penulis lakukan, yang menjadi perumusan masalah di sini adalah apakah penerapan babas pajak atas pendapatan bunga obligasi (bond interest income) yang diperoleh atau diterima Reksa Dana masih dapat dianggap relevan, dan bagaimana implikasi jika masih diterapkan aturan yang ada dan sebaliknya terhadap industri Reksa Dana. Untuk menjawab masalah tersebut, data yang dikumpulkan dari berbagai sumber akan dianalisis dengan mengambil sampel praktek perpajakan Reksa Dana di berbagai Negara dan di Indonesia. Data yang dikumpulkan akan diklasifikasi sesuai pokok bahasan, kemudian dilakukan pembandingan. Dari analisis pembandingan dilakukan evaluasi kemungkinan penerapan pajak penghasilan untuk Reksa Dana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan bebas pajak (tax free) alas bunga obligasi yang diperoleh atau diterima Reksa Dana dapat dianggap tidak relevan, karena sebagian besar investor yang melakukan investasi pada Reksa Dana adalah para pemodal besar, bukan pemodal kecil sebagaimana yang dijelaskan dalam memori penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf j UU Nomor 17 tahun 2000. Hal lni dibuktikan, dari Rp 46,613 triliun total dana kelolaan Reksa Dana sampai akhir tahun 2002 sebesar Rp 37,357 triliun (80,15%) merupakan Reksa Dana Pendapatan Tetap yang portofolio investasinya ke Obligasi. Di samping itu, batasan umur Reksa Dana yang dikenakan pajak merupakan 'loophole' para Manajer Investasi dengan cara menutup Reksa Dana yang telah berumur lebih dari 5 tahun dan menggantinya dengan Reksa Dana baru. Dari pengkajian, analisis dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa : (1) pemberian fasilitas bebas pajak untuk reksa dana dapat dianggap sudah tidak relevan lagi, (2) apabila masih diterapkan, diperlukan aturan baru sebagai batasan atau rambu-rambu yang mengatur arah penerapan kepemilikan Reksa Dana yaitu untuk kesejahteraan bangsa. Berdasarkan basil kajian, penulis memberikan saran: (1) agar peraturan di bidang perpajakan yang mengatur Reksa Dana ditinjau kembali atau diganti dengan aturan pengenaan pajak penghasilan atas Reksa Dana yang lebih bersifat netral, (2) apabila diterapkan pajak perlu aturan yang tegas dan jelas batasan investor kecil sehingga insentif pajak yang diberikan tepat sasaran, dan (3) untuk lebih menyakinkan diperlukan penelitian lebih lanjut.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hotmauli
Abstrak :
Persoalan pengenaan pajak oleh pemerintah menjadi perbincangan yang menarik untuk dicermati, disebabkan dalam pengenaan pajak, pengaturan mengenai hak dan kewajiban wajib pajak maupun fiskus menjadi hal yang wajib ada dalam dasar hukum pengenaannya. Untuk rnenyeimbangkan hak dan kewajiban ini dalam peraturan perpajakan dibutuhkan politik hukum pemerintah yang mampu mengakomodasi kedua hal ini. Tesis ini menuangkan bagaimana "Politik Hukum Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia". Ada tiga masalah penting yang diamati dalam tesis ini, yaitu; politik pembentukan hukum, politik penegakan hukum pajak bumi dan bangunan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi politik hukum pajak bumi dan bangunan di Indonesia. Perbedaan-perbedaan politik pembentukan hukum pengenaan pajak bumi dan bangunan ditentukan oleh tiga faktor pengaruh yaitu, konsep penguasaan dan pemilikan hak atas tanah, perkembangan singkat keadaan negara, khususnya yang berkaitan dengan kebijaksanaan fiskal dalam penerimaan negara dan politik pemerintahan secara umum pada masa pemberlakuan peraturan perundangan-undangan pajak bumi dan bangunan. Dalam hal politik penerapan dan penegakan hukum ada perbedaan yang muncul dalam hal pelaksanaan kewajiban perpajakan. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan sejak tahun 1985, tanggung jawab pelaksanaan pajak bumi dan bangunan tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab wajib pajak. Wajib pajak hanya berkewajiban untuk membayar pajak bumi dan bangunannya, sedangkan proses penetapan dan penghitungan pajak bumi dan bangunan dilakukan oleh aparat perpajakan dengan menggunakan sistem official assessment. Politik hukum pelayanan pajak bumi dan bangunan dilaksanakan untuk mencapai dua tujuan yaitu; pertama, kebijaksanaan pelayanan hukum pajak bumi dan bangunan ditujukan untuk membantu pemerintah dan masyarakat merealisasikan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan pajak bumi dan bangunan; kedua, kebijaksanaan pelayanan hukum pajak bumi dan bangunan ditujukan sebagai sarana untuk mewadahi pelayanan hukum pemerintah sebagai kontraprestasi akibat adanya pembebanan pembayaran pajak yang dikenakan pada masyarakat. Realisasi kebijaksanaan hukum yang pertama ditunjukkan dengan adanya sistem pelayanan pajak bumi dan bangunan berdasarkan fungsinya. Berbeda dengan yang pertama, realisasi kebijaksanaan hukum yang kedua sampai saat ini belum ada pengaturan yang tegas.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Rusli
Abstrak :
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada pertengahan 1997 menegaskan dan menyadarkan pengelola negara akan bahayanya ketergantunaan kepada utang luar negeri. Secara historis sesungguhnya semenjak Orde Baru sisi penerimaan pemerintah lebih didominasi oleh bantuan luar negeri. Ketergantungan ini hanya menurun pada saat terjadi oil boom, yaitu melonjaknya harga minyak dunia di tahun 1973 dan 1982 saja. Setelah berakhirnya oil boom kedua, pemerintah baru menyadari pentingnya penerimaan dalam negeri, khususnya dari pajak. Karena untuk mewujudkan kemandirian fiskal, penerimaan inilah yang seharusnya mendominasi sisi penerimaan anggaran belanja suatu negara. Maka di tahun 1984 dilakukan reformasi perpajakan yang intinya penyederhanaan sistem dan administrasi terutama tarif pajak dan perubahan penilaian pajak dari official assessment menjadi self assessment. Hasilnya cukup menggembirakan, terjadi peningkatan proporsi pajak dalam penerimaan negara. Namun demikian reformasi perpajakan ini dirasakan belum memadai terutama bila dibandingkan dengan rata-rata ASEAN, tax ratio Indonesia masih dibawahnya. Oleh karenanya dilakukanlah perubahan kebijakan pajak kedua yaitu dengan berlakunya UU pajak tahun 2000. Secara lebih konkret lewat uji regresi terhadap APBN dari tahun 1969-2002 ditemukan adanya pengaruh positif yang signifikan antara penerimaan pajak dan penerimaan dalam negeri. Artinya peningkatan penerimaan pajak akan secara signifikan mengangkat jumlah angka penerimaan dalam negeri, sehingga dengan tes regresi lainnya akan mengurangi defisit anggaran belanja. Dengan kata. lain ditemukan hubungan negatif yang signifikan antara penerimaan pajak dengan besarnya defisit anggaran. Fakta - fakta di atas menegaskan bahwa reformasi perpajakan harus menjadi strategi utama dalam mengurangi defisit anggaran belanja sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap bantuan luar negeri. Namun apabila dalam jangka pendek target tax ratio tidak terpenuhi maka pilihan menambah hutang tidak dapat di.hindari, namun tetap dengan tingkat yang menurun karena Debt Service Ratio (DSR) Indonesia sudah mencapai 32,2% di tahun 2002 jauh di atas standar Bank Dunia 20%. Oleh karenanya strategi lain perlu dikedepankan, yaitu mengurangi pengeluaran pemerintah lewat pengurangan subsidi, salah satunya adalah subsidi BBM, yang banyak dinikmati justru oleh sebagian kecil masyarakat kita. Langkah ini juga harus diambil berbarengan dengan langkah lain seperti percepatan asset recovery dari PPA dan penuntasan kasus-kasus korupsi serta pengembalian uang negara yang diselewengkan. Sementara itu dukungan dari sektor moneter juga diperlukan dalam menunjang keberhasilan kebijakan fiskal dan perpajakan, dimana kebijakan sektor moneter yang kondusif, diantaranya suku bunga yang rendah dapat menetralisir efek kontraktif dari peningkatan tax ratio, sehingga momentum pemulihan perekonomian nasional tetap terjaga.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13197
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Freddy Kusnady
Abstrak :
ABSTRAK Dewasa ini perkembangan dunia usaha di Indonesia terasa makin mantap, keadaan perekonomiannya secara merata makin membaik dan jenis-jenis usaha banyak bermunculan, mulai dari usaha-usaha kecil sampai ke industri-industri besar. Jenis-jenis pendidikan dan keterampilan juga makin banyak dan diminati oleh segala lapisan masyarakat, mulai dari pendidikan keterampilan sampai dengan pendidikan tinggi, dan peminat-peminatnya ini tidak terbatas pada jenis kelamin. Angin segar yang berembus dalam dunia usaha di Indonesia ini membawa dampaknya pula, yaitu pengusaha-'pengusaha dan jabatan-jabatan kunci tidak lagi didominasi oleh kaum pria, tetapi sudah mulai digeluti oleh wanita. Kini mulai banyak bermunculan istilah wanita pengusaha, wanita karir, majikan wanita dan lain sebagainya. Kedudukan hukum mereka sebagai wanita kawin di dalam dunia usaha memang dikecualikan seperti yang disebutkan dalam Pasal 113 BW. Dalam hukum pajak setelah reformasi pajak (tax reformation) tahun 1983, kedudukan hukum wanita kawin mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Pasal-Pasal 105, 108, 109 dan 110 BW, yang menekankan ketidakmampuan seorang isteri untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tanpa izin dari suaminya. Akibatnya yang menjadi wajib pajak adalah suaminya, walaupun suaminya tidak berpenghasilan sama sekali, sedangkan isterinya adalah seorang pengusaha. Sebaliknya dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, hak dan kedudukan hukum isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan hukum suami dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974). Atas dasar inilah, maka akan diadakan penelitian terhadap reaksi-reaksi para wanita kawin yang memegang peranan penting dalam dunia usaha, yang berarti bahwa sebagai pengusaha mereka akan memperoleh penghasilan, atas penghasilan tersebut mereka akan dikenakan pajak penghasilan dan pajak penghasilan yang disetor ke kas negara adalah atas nama "suaminya" sebagai wajib pajak. Dari hasil penelitian yang diperoleh, nantinya dapat diharapkan kegunaannya, baik secara teoretis maupun secara praktis. Dari segi teoretis dapat diharapkan akan menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan tentang kedudukan hukum dan peranan wanita kawin dalam dunia usaha yang dibatasi oleh peraturan-peraturan perundangundangan, padahal potensinya cukup besar sebagai penyetor.
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
M. Zainal Abidin
Abstrak :
Reformasi perpajakan Desember 1983 terutania disebabkan oleh (1) lemahnya pengaturan ketentuan subyek dan obyek pemajakan serta mekanisme pemungutan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama sehingga di satu pihak kurang memberi ruang bagi aparat pajak untuk lebih proaktif secara intensif maupun ekstensif menggali potensi perpajakan, dan dipihak lain membuka peluang terjadinya penghindaran dan kecurangan perpajakan; (2) masih minimnya partisipasi masyarakat memenuhi kewajiban perpajakannya; dan (3) kurangnya koordinasi antar instansi terkait dalam mengoptimalkan penggalian potensi pajak. Oleh karenanya reformasi perpajakan, khususnya Pajak Penghasilan, harus dapat membawa pengaruh terhadap perubahan ketentuan dan mekanisme perpajakan atas penghasilan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang PPh, yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Undang-« undang Nomor 7 tahun 1991,Nomor lOtahun 1994, dan Nomor 17tahun2000. Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) memiliki sasaran utama agar penerimaan pajak dari sektor pendapatan dapat menjadi bagian dominan dari penerimaan negara. Namun demikian dalam ketentuaii tersebut ditetapkan beberapa jenis penghasilan yang bukan merupakan obyek pajak PPh, yang pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah PPh yang dapat diperoleh untuk pembiayaan pembangunan nasional. Tujuan penulisan tesis adalah untuk merumuskan kebijakan perpajakan penghasilan yang memenuhi azas keadilan yang universal dalam menentukan jenis penghasilan yang bukan obyek PPh. Metode penelitian menggunakan jenis penelitian deskriptif analisis, yang meliputi analisis teoritis dan analisis empiris, dengan teknik pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dengan mempelajari referensi ilmu perpajakan berupa buku, peraturan, dan bahan tertulis lainnya, serta melakukan wawancara dengan pihak yang kompeten dalam perpajakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan perpajakan dalam penentuan penghasilan yang bukan obyek PPh belum sepenuhnya memenuhi azas keadilan yang universal. Penetapan jenis penghasilan yang bukan obyek PPh dalam pasal 4 ayat (3) tersebut seharusnya dapat diminimalisasi sedemikian rupa sehingga mekanisme pemajakan berdasarkan azas perpajakan yang universal dapat lebih mudah dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat wajib pajak. Dengan mekanisme pengaturan yang tepat diharapkan dapat terjadi penambahan atau peningkatan kualitas dan kuantitas penerimaan PPh, sehingga dapat memberikan kontribusi positip bagi pembiayaan pembangunan nasional.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T302
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basuki Yunanto
Abstrak :
Frequency which happened in relative short-time in the regulation of luxury goods classification and tariff on implementing Tax on Luxury Goods (PPnBM) Collection shows existing effort maximally from the Directorate General of Tax to determine luxury goods classification which will be imposition of Tax on Luxury Goods (PPnBM) in the certain tariff so that the objective of Tax on Luxury Goods (PPnBM) imposition can be reached optimally, in accordance with consideration that each alteration of government regulation: in context to give more law certainty and justice". The happen of development of Tax on Luxury Goods (PPnBM) collection objective as mentioned in the explanation memory of Article 5 Regulation of Value Added Tax (PPN) 1984 that probably it can be contradiction each other in the implementation. Therefore in the development have happened several alterations of classification for taxable goods which classified luxury also tariff level developing of Tax on Luxury Goods (PPnBM) which purposed to fulfill the objective of Tax on Luxury Goods (PPnBM) collection. If be monitoring the alteration of taxable goods classification which classified luxury that is purposed to the objective of accepting achievement so can cause the characteristic movement of goods which mentioned Luxury. Based on the detail explanation as mentioned above so basic problems can be formulated such the following questions: a. Is the Taxable Goods (BKP) classification which classified luxury at the present excluded Tax on Luxury Goods (PPnBM) imposition to the goods which known by characteristic not in the luxury goods ? b. Is the classification selectively on items of luxury Taxable Goods (BKP) and Tax on Luxury Goods tariff as the way to determine optimal achievement of accepting objective and other objectives which covering the justice creation in Value Added Tax (PPN) burden (Regressive Effect Reduction of Value Added Tax (PPN) burden), and the control of Consumptive Pattern on Taxable Goods which classified luxury ? c. Is the alteration of Taxable Goods classification which classified luxury mentioned will be administration burden ? and, is better not doing the system change of tax imposition in the relation to cover the weakness of regressive Value Added Tax (PPN) ? The objective of this written is as the research to purpose for answering several questions as follow : 1) Is the Taxable Goods (BKP) classification which classified luxury at the present excluded Tax on Luxury Goods (PPnBM) imposition to the goods which known by characteristic not in the luxury goods?. 2) Is the classification selectively on items of luxury Taxable Goods (BKP) and Tax on Luxury Goods tariff as the way to determine optimal achievement of accepting objective and other objectives which covering the justice creation in Value Added Tax (PPN) burden (Regressive Effect Reduction of Value Added Tax (PPN) burden), and the control of Consumptive Pattern on Taxable Goods which classified luxury? 3) Is the alteration of Taxable Goods classification which classified luxury mentioned will be administration burden ? and, is better not doing the system change of tax imposition in the relation to' cover the weakness of regressive Value Added Tax (PPN) ? Through this research, wished to able to get the existing significant practice and academic as follow : 1. Significant Practice, as the input to government in order to the administration of sales tax collection system on taxable goods which classified luxury mentioned is more appropriate with its collection objective and not difference from characteristic of taxable goods which classified luxury. 2. Significant academic, collecting the empirical data which can give the contribution to department of academic administration knowledge, especially to administration of tax policy in order that can be more developing and be used for further research. This research uses the method of qualitative analysis description to be able to answer the objective of this research. The result of this research shows that regulation regarding to Taxable goods classification which classified luxury still contain that there is taxable goods known by characteristic not as luxury goods. Regulation of luxury goods classification tends changing to follow the value of money development and public economic so that it will be the permanent burden administration. Optimal objective achievement of Tax on Luxury Goods (PPnBM) imposition is reached by harmony achievement on each objective of Tax on Luxury Goods imposition so not just priority to the side of accepting achievement only. Optimum point can not determine because no exact measurement of each objective variable mentioned.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14186
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>