Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pohan, Bertyna Yulia M.
Abstrak :
Systemic lupus eryrhenzalasus (SLE) atau juga dikenal sebagai lupus adalah penyakit kronis yang melibatkan sistem kekebalan tubuh, di mana orang yang mengalaminya dapat menderita sejumlah gejala yang menyerang hampir di seluruh bagian tubuhnya. Para penderitanya sering disebut odapus atau orang dengan lupus. Secara khusus, wanita penderita lupus dapat mengalami kesulitan atau konflik ketika hendak memutuskan untuk memiliki anak. Konflik ini tezjadi karena penyakit yang dideritanya dapat menyebabkan ia sulit untuk mengandung. Jika wanita tersebut tetap memumskan untuk memiliki anak, maka risiko saat terjadirnya kehamilan harus segera dianlisipasi dengan ketat. Jika tidak, ia dapat mengalami keguguran. Sementara, jika wanita penderita lupus tidak mengandung atau memiliki anak, maka fungsi perkawinannya sebagai lembaga membangun keluarga dan keturunan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa menimbulkan perasaan tidak puas atau rendah diri pada wanita karena tidak bisa memberikan keturunan bagi keluarga. Tujuan dari penelilian ini adalah untuk Iungetahui gambaran pengambilau keputusan untuk memiliki anak pada wanita penderita SLE. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita penderita SLE yang berada dalam rentang 20-35 tahun (tahap perkembangan dewasa awal) dan sudah menikah. Penelilian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dianggap dapat menggali penghayatan subjek mengenai pengambilan keputusan untuk memiliki anak, Jumlah sampel yang digunakan adalah dua orang karena yang dipentingkan adalah penghayatan subjektifnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kedua subjek hanya melewati tahap 1, 2, dan 5 dalam proses pengambilan keputusan untuk memiliki anak. Mereka tidak lagi melewati tahap 3 dan 4. Sclain itu, terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak, yaitu pregfcrence, value, belief circumsrances, dan action. Terakhir, ditemukan bahwa kedua subjek mengalami konflik sewaktu mereka mengambil keputusan untuk memiliki anak, yakni adanya keinginan untuk menghindari akibat buruk dari SLE, yaitu keguguran atau gangguan pada bayi, dengan keinginan yang kuat untuk memiliki anak.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Hayati
Abstrak :
Latar Belakang: Anti dsDNA merupakan salah satu faktor risiko aterosklerosis yang berasal dari LES dan belum ada penelitian yang melihat hubungan antara kadar anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunik intima-media arteri karotis. Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang, melibatkan 84 pasien LES dengan kriteria inklusi adalah pasie LES yang memenuhi kriteria diagnosis sesuai dengan ACR 1997 atau SLICC 2012, dan kriteria eksklusi adalah bila terdapat variasi anatomi pembuluh darah yang tidak dapat dilakukan pengukuran. Anti dsDNA diperiksa dengan menggunakan ELISA dan USG Doppler dilakukan pada pasien untuk mengukur ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis (max-IMT). Analisa statistik dilakukan dengan uji parametrik Pearson dan bila tidak memenuhi syarat dilakukan uji non parametrik Spearman. Hasil: Delapan empat responden (82 perempuan dan 2 laki-laki) dilakukan analisa. Rerata usia pasien 35,5±8,9 tahun dengan 64,3% berusia di bawah 40 tahun, median anti dsDNA 38,9 IU/L(0,9 ? 750 IU/L) dan Median max-IMT adalah 581 μm (385-1800 μm). Terdapat 43 (51,2 %) pasien dengan ketebalan pada tunika intima-media arteri karotis, 36 (42,9%) pasien dengan ketebalan saja, 6 (7,1%) pasien dengan ketebalan pada tunika intimamedia dan plak dan 1 (1,2%) pasien dengan plak di near wall bulbus kiri tanpa disertai dengan ketebalan pada tunika intima-media. Plak terutama ditemukan pada bulbus karotis kanan dan kiri. Berdasarkan uji korelasi speraman's tidak terdapat korelasi antara ati dsDNA dengan ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis. (r = 0,073, p= 0,520). Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis pada pasien LES. ...... Background: Anti dsDNA is considered as one of SLE-related risk factors for atherosclerosis. The evaluation of Carotid intimal-media thickness has recently became one of the surrogate markers for atherosclerosis. Until now, there hasn't been any study relate the level of anti dsDNA antibody with Carotid intimal-media thickness. This study is conducted to determine the correlation between anti dsDNA and Carotid intima-Media Thickness. Methods: This is a cross sectional study, 84 SLE patients were included. Patients diagnosed as SLE according to ACR 1997 or SLICC 2012 criteria were included in the study, while SLE patients with anatomical variation which difficult to measured were excluded from this study. Doppler ultrasound was carried out for patients and max-IMT was measured. Anti dsDNA was measured with ELISA. Study results: Eighty four subjects (82 female, 2 male) were included. Mean age was 35,5 ±8,9 years old, 64,3 % between 18-39 years old, median anti dsDNA level 38,9 IU/L (0,9 - 750 IU), and median max-IMT value was 581 μm. There were 43 (51,2 %) patients Carotid intima-media thickness, 36 (42,9%) patients with increased IMT only, 6 (7,1%) patients with increase IMT and Plaque, and 1 (1,2%) patient with plaque in near wall left bulbus without increased IMT. Based on spearman's correlation test there are no correlation between anti dsDNA and max-IMT (r=-0,073, p= 0,520). Conclusion: There are no correlation between anti dsDNA level and Carotid intimal-media thickness this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giri Aji
Abstrak :
Lupu Eitematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun yang melibatkan multi organ yang umumnya menyerang wanita dan bersifat kronik yang perjalanan penyakitnya ditandai dengan relaps dan remisi. Penelitian ini bertujuan mencari faktor risiko perburukan pasien lupus eritematosus sistemik dengan menganalisa beberapa variabel seperti usia, tingkat pendidikan, anemia, obat-obatan dihubungkan dengan perburukan yang diukur dengan skor Systemic Lupus Eythematosus Disease Activity Index. Selain itu, dilakukan juga peneltian deskritptif mengenai sebaran gen Human Leucocyte Antigen pada subpopulasi penelitian. ......Systemic Lupus Erythemattosus is an autoimmune disease which involved multi organs and have chronic course and mostly inflicted woman , the nature of the disease involved relaps and remission This research aim to find risk factor for worsening (flare) of SLE by analysing variables like age, education level, anemia, drugs associated to flare measured by Systemic lupus erythematosus disease activity index and we also conduct Human Leucocyte Antigen genotyping for subpopulation of the study.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamid Faqih Umam
Abstrak :
Lupus Eritematosus Sistemik LES merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan adanya autoantibodi yang menyerang antigen sendiri. Kasus LES setiap tahunnya mengalami peningkatan. LES pada anak berkontribusi sebesar 15-20 dari keseluruhan penderita. Penyakit ini dapat menyerang berbagai sistem organ. Komplikasi endokrinopati berupa gangguan pubertas yang cukup sering terjadi pada anak. Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai gangguan pubertas pada anak LES di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya amenore pada anak LES. Penelitian dilakukan menggunakan desain potong lintang pada pasien anak perempuan usia 11-18 tahun di Poliklinik Alergi dan Imunologi dan Poliklinik Endokrinologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara. Terdapat 25 subjek yang diikutsertakan. Hasil penelitian dilakukan analisis statistik menggunakan uji Chi-square dan uji Fisher. Prevalensi pubertas terlambat terjadi pada satu subjek 4 ; IK95 = -0,04-0,12 dan amenore terjadi pada dua belas subjek 48 ; IK95 = 0,27-0,69. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara amenore dengan durasi penyakit p=1,000; PR=1,05, aktivitas penyakit p=1,000; PR=0,86, durasi kortikosteroid p=0,673; PR=1,23, dan jenis terapi p=0,198; PR=0,55. Hasil penelitian tidak bermakna karena besar sampel tidak memenuhi jumlah minimal. Dari hasil tersebut, belum dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara amenore terhadap durasi penyakit, aktivitas penyakit, durasi kortikosteroid, dan jenis terapi. ...... Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease characterized by autoantibodies that attack self antigen. The case of SLE each year has increased. SLE in children contributes 15 20 of all patients. This disease can attack various organ systems. Complications of endocrinopathy in the form of pubertal disorders are quite common in children. Until now, there has been no research on pubertal disorders in children with SLE in Indonesia. This study aims to determine the prevalence and associated factors of amenorrhea in children with SLE. This study was a cross sectional study in girls aged 11 18 years at Allergy and Immunology Polyclinic and Endocrinology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital. There are 25 subjects included. The result of the research was statistical analysis using Chi square test and Fisher test. The prevalence of delayed puberty occurs in one subject 4 IK95 0,04 0,12 and amenorrhea occurs in twelve subjects 48 IK95 0,27 0,69. There was no significant association between amenorrhea with disease duration p 1,000 PR 1,05, disease activity p 1,000 PR 0,86, corticosteroid duration p 0,673 PR 1,23, and type of therapy p 0,198 PR 0,55. The results were not significant because the sample size did not meet the minimum amount. From these results, it can not be concluded yet that there is no association between delayed puberty and amenorrhea with disease duration, disease activity, corticosteroid duration, and type of therapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frisky Maulida
Abstrak :
Background: Infection has been identified as a major cause of death and also morbidity in SLE patients. Studies in SLE patients have shown several risk factors that contribute to fungal infections or infections in general, including the risk of certain pharmacological treatments such as corticosteroids and cytotoxic agents, as well as the effects of intrinsic factors such as CD4 + counts. Methods: A total of 20 medical records of SLE patients with fungal infections were obtained, and a case control study was carried out with age and gender suitable for a control group of 20 patients. Data obtained from the Cipto Mangunkusumo National Hospital. The confirmation diagnosis of SLE was based on the 2012 ACR criteria. Patients with comorbidities of various chronic diseases (diabetes, HIV, CKD) were excluded. In identifying risk factors, Chi-square and Mann-Whitney U-tests were used. Results: The maximum corticosteroid dose of 24 (4-250) mg over the past 1 year was statistically significant with the development of fungal infections (P = 0.047). Lower ALC (748 (99-3312)) compared to the control group (1635 (259-2743)) was also significantly correlated with the occurrence of fungal infections in patients diagnosed with SLE. Conclusion: Identifying predisposing factors in SLE patients is important to prevent the occurrence of serious fungal infections which are one of the main causes of death in SLE patients.
Latar Belakang: Infeksi telah diketahui sebagai penyebab utama kematian dan juga morbiditas pada pasien SLE. Studi pada pasien SLE telah menunjukkan beberapa faktor risiko yang berkontribusi terhadap infeksi jamur atau infeksi secara umum, termasuk risiko pengobatan farmakologis tertentu seperti kortikosteroid dan agen sitotoksik, serta efek faktor intrinsik seperti jumlah CD4 +. Metode: Total 20 catatan medis pasien SLE dengan infeksi jamur diperoleh, dan studi kasus kontrol dilakukan dengan usia dan jenis kelamin yang cocok untuk kelompok kontrol yang terdiri dari 20 pasien. Data diperoleh dari Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo. Diagnosis konfirmasi SLE didasarkan pada kriteria ACR 2012. Pasien dengan komorbiditas berbagai penyakit kronis (diabetes, HIV, CKD) dikeluarkan. Dalam mengidentifikasi faktor-faktor risiko, Chi-square dan Mann-Whitney U-test digunakan. Hasil: Dosis kortikosteroid maksimum 24 (4 - 250) mg selama 1 tahun terakhir bermakna secara statistik dengan perkembangan infeksi jamur (P = 0,047). ALC yang lebih rendah (748 (99-3312)) dibandingkan dengan kelompok kontrol (1635 (259-2743)) juga secara signifikan berkorelasi dengan terjadinya infeksi jamur pada pasien yang didiagnosis dengan SLE. Kesimpulan: Mengidentifikasi faktor predisposisi pada pasien SLE penting untuk mencegah terjadinya infeksi jamur serius yang merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pasien SLE.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oriana Zahira Putri
Abstrak :
Latar Belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang dapat melibatkan berbagai organ dan sistem tubuh. Pasien dengan LES tidak bisa disembuhkan, melainkan dikontrol dengan pendekatan terapi treat-to-target bertujuan mencapai low lupus disease activity state (LLDAS) atau remisi. Pemantauan dilakukan secara berkala setiap 3-6 bulan sekali untuk menghindari kerusakan organ lebih lanjut. Metode: Penelitian analitik observasional dengan desain kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien LES di RSCM. Didapatkan total 66 pasien yang telah berobat selama 6 bulan pada Mei 2021—Juni 2022. Respons yang dilihat yaitu status aktivitas penyakit berdasarkan skor SLEDAI-2K pada bulan pertama dan keenam serta luaran penyakit, meliputi remisi, perbaikan, persisten aktif, dan perburukan. Hasil: Sebagian besar pasien LES adalah perempuan (95,5%), rerata usia 31,23 tahun, dan keterlibatan organ terbanyak muskuloskeletal (93,9%). Hidroksiklorokuin dan metilprednisolon merupakan terapi yang paling banyak didapatkan pasien. Setelah 6 bulan terapi, status aktivitas penyakit pasien membaik dengan luaran penyakit perbaikan (33,3%) dan remisi (10,6%). Kesimpulan: Setelah menjalani pengobatan selama 6 bulan, status aktivitas penyakit pasien membaik dari kategori aktivitas penyakit sedang (37,9%) menjadi ringan (48,5%). Terdapat perbedaan yang bermakna signifikan secara statistik dan klinis antara skor SLEDAI-2K bulan pertama dengan bulan keenam (p = 0,000). ......Introduction: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a systemic autoimmune disease that involve various organs and body systems. Patients with SLE cannot be cured, but rather controlled with a treat-to-target therapy approach aimed at achieving low lupus disease activity state (LLDAS) or remission. Monitoring is carried out regularly every 3- 6 months to avoid further organ damage. Method: Observational analytical study with retrospective cohort design using database from medical records of SLE patients at RSCM. There were a total of 66 patients who had received treatment for 6 months in May 2021—June 2022. The interests were disease activity based on the SLEDAI-2K score in the first and sixth months as well as disease outcomes, such as remission, improvement, persistently active, and flare. Results: Most SLE patients were women (95.5%), the average age was 31.23 years, and the most organ involvement was musculoskeletal (93.9%). Hydroxychloroquine and methylprednisolone are the most common therapy received by patients. After 6 months of therapy, the overall patient's disease activity status improved with an outcome of improvement (33.3%) and remission (10.6%). Conclusion: After undergoing treatment for 6 months, the patient's disease activity status improved from moderate (37.9%) to mild (48.5%) disease activity category. There was a statistically and clinically significant difference between the SLEDAI-2K score for the first month and the sixth month (p = 0.000).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Immanuel Adhimulia
Abstrak :
Trombositopenia merupakan manifestasi hematologis pada pasien lupus eritematosus sistemik (LES) yang berhubungan dengan prognosis buruk. Kadar C3, C4, dan anti-dsDNA berhubungan dengan aktivitas penyakit pada pasien LES. Peningkatan aktivitas penyakit berhubungan dengan penurunan kadar trombosit pada pasien LES melalui aktivasi komplemen dan interaksi autoantibodi dengan trombosit. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi kadar serum C3, C4, dan anti-dsDNA terhadap hitung trombosit pada pasien LES dengan trombositopenia. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan menggunakan desain studi potong lintang. Penelitian ini merekrut subjek LES dengan hitung trombosit <150.000/µL. Kadar C3, C4, dan anti-dsDNA serta hitung trombosit diukur pada awal kunjungan pasien. Didapatkan 41 subjek LES dengan trombositopenia. Hitung trombosit memiliki korelasi yang bermakna terhadap kadar C3 (p=0.004; r=0.445) dan anti-dsDNA (p=0.001; r=-0.481). Namun, tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara hitung trombosit dengan kadar C4 (p=0.052; r=0.306). Terdapat korelasi yang bermakna antara hitung trombosit dengan aktivitas penyakit dan kadar C3 serta anti-dsDNA pada subjek LES dengan trombositopenia. Namun, tidak terdapat korelasi yang bermakna antara hitung trombosit dengan kadar C4. ......Thrombocytopenia is a hematological manifestation in systemic lupus erythematosus (SLE) patients that is associated with a poor prognosis. C3, C4, and anti-dsDNA levels have been associated with disease activity in SLE patients. Increased disease activity is associated with decreased platelet levels in SLE patients through complement activation and autoantibody interactions with platelets. The aim of this study was to determine the correlation of serum levels of C3, C4, and anti-dsDNA with platelet counts in SLE patients with thrombocytopenia. This research is an observational analytical study using a cross-sectional study design. This study recruited subjects of SLE patients with platelet counts <150,000/µL. C3, C4, and anti-dsDNA levels and platelet counts were measured at the initial patient visit. This study recruit 41 samples of SLE patients with thrombocytopenia. Platelet count had a significant correlation with C3 levels (p=0.004; r=0.445) and anti-dsDNA (p=0.001; r=-0.481). However, no significant correlation was found between platelet count and C4 levels (p=0.052; r=0.306). There is  a significant correlation between platelet count and disease activity and C3 and anti-dsDNA levels in SLE patients with thrombocytopenia. However, there was no significant correlation between platelet count and C4 levels.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Fadilah
Abstrak :
Kerusakan struktur dan penurunan fungsi ginjal pada anak pengidap Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Chronic Kidney Disease (CKD) mengakibatkan penumpukan produk sisa-sisa metabolisme yang disebut uremia. Komplikasi ini mengakibatkan terjadinya gangguan integritas kulit berupa kulit kering (xerosis) yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan menimbulkan infeksi lebih lanjut. Karya ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak pengidap SLE dengan komplikasi CKD dan menganalisis penerapan intervensi pemberian Virgin Coconut Oil (VCO) pada masalah gangguan integritas kulit. Intervensi diterapkan sebanyak dua kali dalam sehari dan dilakukan selama 3 hari. Metodologi yang digunakan adalah metode studi kasus. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat penurunan luas kulit yang mengalami xerosis yang ditandai dengan penurunan nilai overall dry skin score dari 4 menjadi 3 dan keluarga mampu melakukan perawatan kulit secara mandiri. Rekomendasi dari studi kasus ini adalah diharapkan pemberian VCO dapat menjadi terapi penunjang sebagai upaya untuk mengatasi gangguan integritas kulit pada kondisi xerosis. ......Structural damage and decreased kidney function in children with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with the Chronic Kidney Disease (CKD) complication caused accumulation of metabolic waste products called uremia. This complication resulted in impaired skin integrity in the form of dry skin (xerosis) which can affect the patient's quality of life and lead to further infection. This scientific work aims to provide an overview of nursing care in children with SLE with complication of CKD and to analyze the intervention of Virgin Coconut Oil (VCO) application to the impaired skin integrity area. The intervention applied twice a day and has been carried out for 3 days. The methodology used is the case study method. The results of the analysis showed that there was a decrease in the area of skin with xerosis which was indicated by a decrease in the overall dry skin score of 4 to 3 and the family was able to perform skin care independently. The recommendation from this case study is application of VCO can be a supporting therapy as an effort to overcome impaired skin integrity in xerosis conditions.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdy Ferdian
Abstrak :
Background. Antibody to complement C1q (Anti-C1q Antibody) can be found in Systemic Lupus Erythematosus (SLE) patients. Complement C1q plays a role in the clearance of apoptotic cells and immune complexes. Anti-C1q causes complement C1q become inactive so that the clearance decreases, which induces self antigen and inflammatory response. Many tissue inflammation are associated with disease activity and lupus manifestations. The aim of this study is to find out the correlation of anti-C1q level with disease activity, so that anti-C1q can be used as an objective indicator of inflammation along with SELENA-SLEDAI. Method. This is an analytic descriptive study with cross sectional design. Anti-C1q antibody levels were measured in 52 SLE patients who are hospitalized or treated routinely in outpatient clinic of Rheumatology Dr.Hasan Sadikin Hospital Bandung Indonesia from October to December 2015. Result. Most of the study subjects were women (94%), with a median age of 33 years. There were 13 new patients (25%), and the rest 42 patients were treated routinely. The median SELENA-SLEDAI was 6 (0-32). Subject were divided into no activity (11.5%), low disease activity (34.6%), medium disease activity (25%) high disease activity (15.4%) and very high disease activity (13.5%). Median anti-C1q level was 3.92 U/mL (range 0.6-100.2 U/mL). Anti-C1q antibody levels were positively correlated with SLE disease activity based on SELENA-SLEDAI scores (r=+0.304; p=0.014) Conclusion. Anti-C1q antibody levels has mild correlated with lupus disease activity based on SELENA-SLEDAI score
Jakarta: University of Indonesia School of Medicine, 2019
616 IJR 11:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
G. Kambayana
Abstrak :
Background. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is an Autoimmune inflammatory disease that is systemic and chronic inflammation with heterogeneous of history, clinical manifestations, and prognosis. The disease activity of SLE has been proven as a predictor of organ damage and death by evidenced of inflammatory markers involved in this disease. Neutrophil to Lymphocyte Ratio (NLR) is useful for estimating the activity of autoimmune disease and inflammation that easily obtained from blood test and low cost and measurable as new biomarker to assess inflammatory response or activity of SLE. This study aimed to determine the relationship between NRL and Disease Activity based on Mex-SLEDAI in patients SLE. Methods. This study is an analytic study with cross sectional design. It started from November 2016 until March 2017. Mex-SLEDAI and blood sampling used in this study. Result. Total sample in this study is 54 patients with median age was 28.5 years, with mostly female (85,2%). Result analysis with positive correlation between NLR with disease activity on SLE (r=0.399 p=0.003 n=54), thus the Scatter plot shows there is a correlation between NRL with Mex-SLEDAI. Conclusion. Positive correlation between NLR and disease activity of the SLE, the higher of the disease activity/Mex-SLEDAI will be followed by the increase of NLR.
Jakarta: University of Indonesia School of Medicine, 2019
616 IJR 11:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>