Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 388 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mala Kurniati
Abstrak :
LATAR BELAKANG: Anti Mullerian Hormon (AMH) adalah anggota dari golongan Transforming Growth Factor-β yang berperan dalam pengaturan folikuligenesis pada reproduksi wanita. Peningkatan kadar AMH 2 sampai 3 kali dijumpai pada pasien SOPK (Sindrom Ovarium Polikistik) daripada wanita dengan ovulasi normal. Pada penelitian ini dideteksi varian sekuen disepanjang daerah promoter gen AMH. Adanya variasi promoter gen AMH diduga mempengaruhi proses transkripsi gen AMH yang selanjutnya berimplikasi pada pembentukan protein AMH. Apabila terjadi gangguan pada pembentukan protein AMH maka akan berpengaruh terhadap kadar protein tersebut di dalam darah. BAHAN DAN CARA KERJA: Sampel penelitian ini berjumlah 114 pasien yang terdiri dari 60 pasien SOPK dan 54 pasien non SOPK (Kontrol). Kadar AMH dan Jumlah folikel antral didapatkan dari data rekam medik pasien Klinik IVF Yasmin, RSCM Kencana Jakarta. Analisis molekuler dan genotyping dilakukan dengan teknik PCR dan sekuensing kemudian dilanjutkan dengan analisis bioinformatika. HASIL : Dari penelitian ini ditemukan 60 titik varian mutasi promoter gen AMH. Jenis varian mutasi terbesar yang ditemukan adalah -674 G/A (100 %), -245 C/CT (88,2 %), dan -444 A/G (17,9 %) dari seluruh sampel. Berdasarkan hasil uji Wilcoxon Signed Ranks, pada kelompok SOPK ditemukan jumlah mutasi yang terjadi berpengaruh secara bermakna terhadap kadar AMH dan jumlah folikel antral (p<0,05). Pada kelompok kontrol ditemukan bahwa jumlah mutasi tidak berpengaruh secara bermakna terhadap kadar AMH (p>0,05), tetapi berpengaruh secara bermakna terhadap jumlah folikel antral (p<0.05). Ditemukan 60 titik varian pada promoter gen AMH. Jumlah mutasi pada promoter gen AMH berpengaruh terhadap kadar AMH dan jumlah folikel antral pada SOPK. Mutasi pada titik -674 G/A merupakan titik mutasi baru yang belum pernah dilaporkan oleh NCBI, ditemukan pada seluruh subyek penelitian baik kelompok SOPK maupun non SOPK. ...... INTRODUCTION : Anti-Mullerian Hormone (AMH) is a member of the Transforming Growth Factor-β group which plays an important role in the regulation of the female reproductive folliculogenesis. A 2-3 fold increase in AMH levels was found in patients with PCOS (Polycystic Ovary Syndrome) compared to women with normal ovulation. This study detected sequence variants in the AMH gene promoter region. The AMH gene promoter variation is thought to affect AMH gene transcription process implicated in the formation of proteins. In the event of disruption in the formation of these AMH proteins, the levels of these proteins in the blood will be affected. The purpose of this study was to detect variants of AMH gene promoter sequences. MATERIALS AND METHODS: The sample size was 114 patients consisting of 60 PCOS patients and 54 non-PCOS patients as control. The AMH levels and anthral follicle number obtained from the patients? medical records of the Yasmin IVF Clinic, RSCM Kencana Hospital, Jakarta. Molecular analysis and genotyping were performed by PCR and sequencing was followed by bioinformatics analysis. RESULTS: There were 60 point mutations in the AMH gene promoter variants. The highest variant types of mutations found was -674 G/A (100%), followed by -245 C/CT (88.2%), and -444 A/G (17.9%) in the entire sample. Based on the results of the Wilcoxon Signed Rank test, the number of mutations in the PCOS group were significant to effect the serum AMH level and the anthral follicle number (p<0.05). In the control group, the number of mutations had no significant effect on the levels of AMH (p>0.05), but significantly affected the number of anthral follicles (P<0.05). There were 60 point variances in the AMH gene promoter. The number of mutations in the gene promoter affected serum AMH levels and the number of anthral follicles in PCOS. A new point mutation was found in all subjects at position -674 G/A, which have not been reported by the NCBI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haris Setyawan
Abstrak :
Carpal Tunnel Syndrome occurs when the median nerve, which runs from the forearm into the hand, suffers pressure or is squeezed in the wrist. The results may be pain, weakness, or numbness in the hand and wrist, radiating up to the arm. This study aimed to examine the risk factors i.e age, sex, work period and repetitive movements toward Carpal Tunnel Syndrome complaints among food-packing workers in Karanganyar. The study was conducted in October to December 2014 that used analytic observational design with cross sectional study. Samples were 50 of 67 food-packing workers in Jaten Karanganyar industrial area as taken by using simple random sampling technique. Data were analyzed using chi square and multivariate logistic regression. Results showed that age and sex had significant relation with Carpal Tunnel Syndrome and age was the most influential factor 24 times to increased risk of Carpal Tunnel Syndrome (p value = 0.057, Exp.  = 24.965).

Carpal Tunnel Syndrome terjadi ketika saraf median, yang membentang dari lengan bawah ke tangan, mengalami tekanan atau terpuntir di pergelangan tangan. Hasilnya mungkin sakit, kelemahan atau mati rasa di tangan dan pergelangan tangan, yang memancar ke lengan tangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor risiko usia, jenis kelamin, masa kerja dan gerakan repetitif terhadap keluhan Carpal Tunnel Syndrome pada pekerja pengepakan makanan di Karanganyar. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2014 menggunakan desain observasional analitik dengan penelitian potong lintang. Sampel terdiri dari 50 orang dari total 67 pekerja pengepak makanan di kawasan industri Jaten Karanganyar yang diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling. Data penelitian diolah menggunakan uji kai kuadrat dan regresi logistik multivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia dan jenis kelamin signifikan berhubungan dengan keluhan Carpal Tunnel Syndrome, dan usia merupakan faktor yang paling berpengaruh 24 kali lipat untuk meningkatkan risiko terjadinya Carpal Tunnel Syndrome (nilai p = 0.057, Exp.  = 24.965).
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia, Faculty of Medicine, Occupational Safety and Health Department, 2017
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Zuraidah
Abstrak :
LATAR BELAKANG: Salah satu penyebab kematian bagi penderita kanker pada wanita adalah kanker serviks. Secara histopatologik kanker leher rahim yang banyak ditemukan adalah jenis karsinoma sel skuamosa. Pada penelitian diteliti beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan karsinoma sel skuamosa. METODE: Desain studi ialah kasus-kontrol dengan subyek penderita kanker leher rahim jenis karsinoma sel skuamosa berdasarkan pemeriksaan histopatologik yang datang ke RSUPNCM Jakarta dan belum mendapatkan pengobatan. HASIL: Dari 302 wanita penderita kanker leher rahim jenis karsinoma sel skuamosa yang diteliti terdapat 34,4% pada golongan umur 52 tahun sampai 62 tahun yang memiliki risiko tinggi, dengan rasio odd suaian (OR) 24,05 dan 95% interval kepercayaan 6,34 ; 91,24. Umumnya wanita berpendidikan tingkat SD dan wanita tidak sekolah memiliki risiko tinggi dibandingkan dengan wanita yang berpendidikan SMP ke atas, dengan rasio odd suaian berturut-turut 17,97 dan 12,91 dan 95% interval kepercayaan berturut-turut 2,82 ; 114,66 dan 1,96 ; 84,92. Jenis kontrasepsi yang digunakan yang dapat meningkatkan risiko adalah kontrasepsi hormonal jika dibandingkan dengan yang tidak memakai kontrasepsi, dengan rsio odd suaian 2,83 dan 95% interval kepercayaan 1,34 ; 6,00. KESIMPULAN: Pada penelitian ini terlihat bahwa faktor-faktor risiko dominan yang berhubungan dengan terjadinya kanker leher rahim jenis karsinoma sel skuamosa adalah umur yang lebih tua, tingkat pendidikan rendah dan penggunaan kontrasepsi hormonal.
Risk Factors of Cervical Squamous Cell Carcinoma in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta 1997-1998BACKGROUND: Mortality of cervical cancer is highest among cancer in women. The histological type of cervical cancer is mostly squamous cell carcinoma. The purpose of this study is to show the risk factors of cervical squamous cell carcinoma. METHOD: The design is a case control study carried out in patients from Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta during 1997-1998 confirmed histologically with cervical squamous cell carcinoma, who has not started any treatment. RESULT: From 302 women with squamous cell carcinoma of cervix examined, the high risk groups were found to be as follows : 1) 52-62 year age group (34,4%) with adjusted odds ratio (OR) 24,05 and 95% confidence interval (95% CI) 6,34 ; 91,24 2) low education level, elementary 1 no education compare with women with higher education level showed adjusted odds ratio (OR) 17,97 and 12,91, and 95% confidence interval (95% CI) 2,82 ; 114,66 and 1,96 ; 84,92 3) hormonal contraception compared with those who didn't use any contraception showed adjusted odds ratio (OR) 2,83 and 95% confidence interval (95% CI) 1,34 ; 6,00. CONCLUSION: This study showed that older age group, low education and hormonal contraception were dominant risk factors of cervical squamous cell-carcinoma.
2001
T10520
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syukriman Bustami
Abstrak :
Sindrom Down merupakan suatu kelainan genetik dengan angka kejadian relatif tinggi, relatif mudah dikenal sejak rnasa bayi, dan didapati secara universal pada semua ras atau tingkat social ekonomi.

Di Indonesia, sebagaimana negara sedang berkembang lainnya, kelainan ini belum mendapat cukup perhatian. Pemerintah sedang berjuang mengatasi penyakit infeksi dan masalah defisiensi gizi. Dengan membaiknya kondisi ekonomi, diharapkarn 20 tahun mendatang masalah infeksi dan defisiensi gizi tidak lagi merupakan masalah besar. Seba1iknya kelainan bawaan atau kelainan genetik akan muncul menjadi masalah kesehatan masyarakat (Wahidiyat, dkk., 1987).

Angka kejadian sindrom Down di Indonesia hingga saat ini belum diketahui. Di RSCM, Jakarta, pada periode 1975-1979, dari sejumlah 19.382 kelahirarn hidup dilaparkan 21 kasus {1,08 perseribu) bayi sindrom Down, (Kadri, dkk., 1982). Angka ini sesuai dengan angka kejadian rata-rata sebesar 1 perseribu, sebagaimana dilaporkan oleh banyak penelitian. Seandainya angka ini diberlakukan umum di Jakarta dengan penduduk 8.498.709 jiwa dan kelahiran hidup 231. 165 jiwa atau 2,72% pertahun (BPS Pusat, 1988), akan ditemukan sekitar 231 kasus baru sindrom Down setiap tahun.

Lebih luas lagi, di Indonesia dengan sekitar 5 juta kelahiran hidup (BPS Pusat, 1988), akan dijumpai sekitar 5000 kasus baru sindrom Down setiap tahunnya. Keadaan ini dapat merupakan masalah besar baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, lapangan kerja maupun dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi masalah tersebut.

Lebih dari 50 gejala klinis dilaporkan dapat menyertai sindrom ini. Sebagian besar diantaranya, seperti kelainan pada mata, rigi kulit atau tangan, tidak menimbulkan masalah kesehatan. Gejala-gejala ini bervariasi dari sedikit atau tanpa defek sampai abnormalitas berat, dan selama proses tumbuh kembang dapat berubah menjadi lebih atau kurang derajat abnormalitasnya (Dreg, 1975; National Information, Center for Handicapped Children and Youth, 1983; Cunningham, 1988).

Hipotoni merupakan salah satu gejala utama yang biasanya berkurang derajatnya dengan bertambahnya umur. Pada bayi yang menderita sindrom Down, 45-80% kasus disertai gejala ini, sedangkan pada anak berkisar antara 60-85%. Persentase Hipotoni menurut golongan umur dalam tahun belum ada yang melaporkan (Levinson, dkk., 1955; Lee dan Jackson, 1972; Breg, 1975; Nara, 1976; Henderson, 1987; Cunningham, 1988).

Mekanisme pasti bagaimana kelainan kromosom menyebabkan gejala hipotoni belum diketahui, begitu juga kaitan dengan gejala atau variabel lain (Jebsen, dkk., 1961; Rabe, 1964; Currni)gham, 1988). Meskipun kelainan ini disebabkan faktor genetik, tetapi masih dapat dipengaruhi oleh lingkungannya.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Witri Ardini
Abstrak :
Tujuan: Mengetahui hubungan antara rasio asam arakidonat (AA):asam eikosapentaenoat (EPA) eritrosit serta faktor-faktor lainnya dengan Sindroma Metabolik pada karyawan PT. Krakatau Steel, Cilegon. Tempat: RS Krakatau Medika, Cilegon. Metodologi: Penelitian desain potong Iintang pada 76 subyek yang dipilih secara acak dari karyawan PT. Krakatau Steel. Data yang dikumpulkan meliputi karalcteristik demografi, asupan asam lemak omega-3 dan omega-6 dengan metode tanya ulang 1 x 24 jam dan food frequency questionnaire (FFQ) semikuantitalif 3 bulan terakhir, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, indeks massa tubuh (IMT), lingkar pinggang, tekanan darah, kadar gula darah puasa, kadar trigliserida, kadar kolesterol HDL, serta kadar AA dan EPA pada membran eritrosit. Hasil: Nilai tengah usia subyek adalah 46 (37-54) tahun, sebagian besar tergolong kelompok usia 41-50 tahun (80,3%), berpendidikan menengah (85,5%), perokok aktif (63,1%), gaya hidup kurang aktif (44,7%), dan semua subyek berpenghasilan di atas UMK Cilegon. Sebanyak 65,7% tergolong status gizi lebih. Prevalensi SM menurut kriteria ATP III yang dimodifikasi adalah 19,7%. Rerata kadar AA adalah 401,04 ng/mg (40,1-1213,0), kadar EPA 48,06 ng/mg (3,2-96,71), dan rasio AA:EPA adalah 12,8 (3,27-77,24). Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan bermakna antara (1) rasio asupan AL∞6:AL∞3 (p=0,004), (2) asupan kalori total (p=002), (3) indeks massa tubuh/IMT (p=4,012), dan (6) rasio AA:EPA eritrosit (p=0,001) dengan sindroma metabolik. Asupan ikan (OR=0,013) dan kekerapan mengkonsumsi ikan (OR=0,063) merupakan faktor protektif terhadap tingginya rasio AA:EPA eritrosit, sedangkan asupan kalori total (OR=4,216) serta rasio ALw6:ALco3 (OR=4,208) merupakan faktor risiko tingginya rasio AA:EPA eritrosit. Terdapat perbedaan bermakna kadar EPA dan rasio AA:EPA eritrosit sejalan dengan peningkatan frekuensi konsumsi ikan. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara rasio AA:EPA pada membran eritrosit dengan sindroma metabolik. Terdapat perbedaan bermakna kadar EPA clan rasio AA:EPA eritrosit sejalan dengan peningkatan frekuensi konsumsi ikan. ...... Objective: To determine the relationship between ratio of arachidonic acid (AA):eicosapentaenoic acid (EPA) in erythrocyte membrane and other factors with metabolic syndrome (MS) at PT Krakatau Steel employees, Cilegon. Location: Krakatau Medika Hospital, Cilegon. Method: A cross sectional study has been carried out on 76 subjects using random sampling method among PT Krakatau Steel employees. Data collected consist of demography characteristics, omega-3 (m3FA) and omega-6 fatty acid (ea6FA) intake by dietary recall 1 x 24 hr and semiquantitative food frequency questionnaire (FFQ) in the last three months, smoking habit, physical activity, body mass index, waist circumference, blood pressure, fasting glucose, triglyceride, HDL-cholesterol, and fatty acid concentration (AA and EPA) in the erythrocyte membrane. Result: Median age of subjects is 46 years (37-54), most of them are 41-50 years (80,3%), moderate educational background (85,5%), active smokers (63,1%), less physical activity (44,7%), overweight (65,7%), and all subjects have an income above minimum standard payment in Cilegon district. Mean of AA concentration is 401,04 ng/mg(40,1-1213,0), EPA is 48,06 rig/mg (3,2-96,71), and AA:EPA ratio is 12,8 (3,27-77,24). Bivariat analysis found significant relationship between (1) ratio of ∞6FA∞3FA intake (p=0,004), (2) total calorie intake (p=0,004), (3) BMI (p=0,012), and (4) AA:EPA ratio (p=0,001) with MS. Fish intake (OR=0,013) and fish consumption frequency (OR=0,063) are protective whereas total calorie (OR=4,216) and ratio of ∞6FA∞3FA intake are risk factors for the high AA:EPA ratio. There is a significant relationship between EPA concentration and AA:EPA ratio in accordance with fish consumption frequency. Conclusion: There is a significant relationship between AA:EPA ratio in erythrocyte membrane and metabolic syndrome. There is a significant relationship between EPA concentration and AA:EPA ratio in accordance with fish consumption frequency.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17696
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Arifiani
Abstrak :
Ruang lingkup dan metodologi Getaran pada kendaraan bajaj dirasakan cukup tinggi dan Para pengemudi bekerja dalam waktu yang cukup lama setiap harinya. Untuk itu, perlu dilihat prevalensi sindrom getaran tangan dan lengan akibat kerja (SGTLAK) pada pengemudi bajaj serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini bersifat retrospektif dengan responden yang dipilih secara acak dari penelitian survey di mana perbandingan kasus dan kontrol adalah 1 : Peserta yang dijaring dari survey adalah 336 orang dan yang dimasukkan dalam uji kasus kontrol lebih lanjut berjumlah 240 orang. Setiap responden dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pengukuran tingkat akselerasi pada tangan dan kemudi bajaj diukur dengan akselerometer. Pemeriksaan dilakukan di Klinik Dokter Keluarga FKUI Kayu Putih. Waktu pemeriksaan berlangsung sejak 23 Nopember hingga 16 Desember 2005. Regresi logistik digunakan untuk menilai hubungan berbagai faktor risiko yang merpengaruhi terjadinya SGTLAK pada pengemudi bajaj. Hasil dan kesimpulan Dari survey didapatkan bahwa 80 orang (23,6 %) mengalami SGTLAK antara stadium 1 hingga 3 berdasarkan kriteria Stockholm. Tingkat akselerasi getaran rata-rata pada kemudi bajaj adalah 1,47 + 0,63 m/s2. Berdasarkan hasil analisis, tingkat akselerasi getaran pada kemudi bajaj tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan terjadinya SGTLAK pada pengemudi bajaj. Berdasarkan hasil analisis multivariat, tingkat akselerasi pada leher yang lebih dari 0,125 m/s2 mempunyai risiko 5,571 kali lebih besar dibandingkan pengemudi bajaj dengan tingkat akselerasi gear pada leher kurang dari 0,125 m/s2 (95 % CI 1,539 - 17,203 and p = 0,008). Dosis pajanan lebih dari 21.681 jam m/s2 memiliki risiko 2,028 kali lebih besar (95% CI 1,112 - 3,376 dan p=4,020). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hubungan getaran pada leher terhadap gangguan tangan dan lengan cukup signifikan sehingga pencegahan SGTLAK pada pengemudi bajaj harus memperhatikan pengendalian getaran seluruh tubuh yang diduga berkaitan besar dengan akselerasi getaran pada leher.
Scope and methodology Bajaj is three wheels public transport vehicle that its users are exposed to vibration generated by its. Since daily work time of the Bajaj drivers are longer than reguler daily work time and the vibration exposure would be also high, the bajaj drivers probably have more risk to have HAVS. However there were no data about I-IAVS as the adverse health effect of vibration among them. Therefore it is important to study the prevalence and its risk factors. This study was population based and retrospective. The respondences were selected randomly from 336 participants and only 240 participants were included to case control analysed further to study about the risk factors. Every respondence was done history taking, physical examination, and examining the acceleration level of vibration on the hand, arm, and wheel steering using vibration accelerometer. All activities was done in Family Medicine Clinic Kayu Putih, Jakarta and held from November 23th until December 16`h 2005. Logistic regression was used to examine the association among all risk factors and HAYS. Result and Conclusion We found that 80 workers (23,6 %) have HAVS from any Stockholm's Classification within stage l to 3. The acceleration level of vibration on bajaj was 1,47 + 0,63 mis2 and there is no statistically significant association to HAVS. After conducting multivariate analysis, the acceleration level of vibration on the neck more than 0,125 mIs2, was 5,5 times more likely to have HAVS than the acceleration level of vibration on the neck less than 0,125 mis2 (95 % CI 1,539 - 17,203 and p = 0,008) . The accumulative exposure more than 2I.681 hours mis2, was 2 times more likely to have HAVS than the accumulative exposure less than 21.681 hours mis2 (95 % CI 1,112- 3,376 and p=0,020). It is concluded that the acceleration of vibration on the neck has significant contribution to the incidence of HAVS and its contribution is more dominant than local vibration effect. It is probably true that the whole body vibration contribute significantly to the acceleration of vibration on the neck and should be taken into account in designing the preventive program. Therefore we need to find the way how to reduce the whole body vibration in bajaj.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17703
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Poerwoto
Abstrak :
Latar belakang. Berat badan lebih dan obesitas sebagai masalah kesehatan juga ditemukan di Indonesia. Obesitas berkaitan dengan sindrom metabolik, yang juga dapat ditemukan pada populasi dengan berat badan normal. Tujuan. Untuk melihat perbedaan proporsi sindrom metabolik (menurut kriteria NCEP-ATP III, dan modifikasi Asia Pasifik) pada populasi wanita obes (IMT > 25 kglm2 ) dan non-obes (IMT 18,5 - 24,9 kglm2), serta profil komponen sindrom metabolik. Metode. Penelitian bersifat deskriptif analitik, dilakukan pada bulan Desember 2003 - Juni 2005, di Pali Lipid dan Obesitas, Divisi Metabolik Endokrinologi RSCM. Subyek ialah perawat wanita di RSCM, berusia 20 hingga 50 tahun. Jumlah responden ialah 45 subyek obes, dan 45 non-obes. Hasil. Dari 90 responden total, 12 (26,7 %) subyek obes memenuhi kriteria sindrom metabolik menurut NCEP-ATP III. Menggunakan kriteria modifikasi Asia Pasifik, didapatkan 14 (31,1 %) subyek obes mengalami sindrom metabolik. Tidak ada subyek non-obes yang memenuhi kriteria sindrom metabolik [p < 0,0011 Tiga puluh (66,7 %) subyek obes mempunyai lingkar pinggang > 88 cm, dibandingkan 0 (0,0 %) subyek non-obes. Empat (8,9 %) subyek obes mempunyai tekanan darah 130185 mmHg, pada kelompok non-obes hanya 1 (2,2 %) subyek. Tiga (6,7 %) subyek obes memiliki kadar glukosa darah puasa a. 110 mg/dL atau merupakan pasien DM tipe 2 yang mendapat obat hipoglikemik oral, sedangkan pada kelompok non-obes tidak ada_ Tigabelas (28,9 %) subyek obes mempunyai kadar trigliserida 150 mgIdL, dan tidak ada pada kelompok non-obes. Kadar kolesterol HDL < 50 mg/dL didapatkan pada 26 (57,8 %) subyek obes, dan 9 (20,0 %) pada subyek non-obes. Simpulan. Sindrom metabolik hanya ditemukan pada populasi perawat wanita obes.
Backgrounds. Overweight and obesity as health problems are also found in Indonesia. Obesity is related to metabolic syndrome, which can also occurs in normal weight population. Objectives. To look at the difference in metabolic syndrome (according to NCEPATP III criteria, and modified Asia Pacific criteria) proportion within obese female population (BMI > 25 kg/m2 ) and non-obese female population (BMI 18,5 -- 24,9 kg/m2), and the profile of metabolic syndrome components. Methods. This cross sectional study was conducted from December 2003 to June 2005, at Lipid and Obesity Clinic, Metabolic and Endocrinology Division, Department of Internal Medicine, University of Indonesia - Cipto Mangunkusumo General Hospital. Subjects were Cipto Mangunkusumo General Hospital female nurses, ages 20 to 50 years old. The first group consisted of 45 obese subjects, and the second group of 45 non-obese persons. Results. Twelve (26.7 %) of obese subjects fulfilled the NCEP-ATP III criteria for metabolic syndrome. Using the modified Asia Pacific criteria, there were 14 (31.1 %). None of the non-obese subjects fulfilled any of those two criteria [p < 0.001]. Thirty (66.7 %) of obese subjects had waist circumference > 88 cm, as compared to none of non-obese subjects. Four (8.9 %) of the obese subjects had blood pressure 130185 mmHg, as compared to only 1 (2.2 %) in non-obese subjects. Only 3 (6.7 %) of the obese subjects had fasting glucose levels > 110 mg/dL or had been diagnosed as DM type 2 patient and receiving oral hypoglycemic drug, whereas none of the non-obese subjects. Thirteen (28.9 %) of the obese subjects had triglyceride level > 150 mg/dL, and none of non-obese subjects. HDL-cholesterol level < 50 mg/dL was found in 26 (57.8 %) of obese subjects, and 9 (20.0 %) of non-obese subjects. Conclusions. Metabolic syndrome was found only in obese female nurses.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T58500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Janni Koesnomo Matsalim
Abstrak :
Latar Belakang. Salah satu isu penyakit yang berhubungan dengan aktivitas kerja yang rendah adalah gangguan metabolisme yang berujung pada sindrom metabolik. Penelitian ini ingin mengetahui jumlah pekerja yang menjalankan pekerjaan tertentu yang terdeteksi menderita sindrom metabolik. Karena tidak adanya data spesifik mengenai jumlah kasus ini, kami akan mencari tahu angka kejadian dan faktor-faktor risiko yang terkait dengan kejadian sindrom metabolik pada kelompok-kelompok pekerja ini. Metode. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan kesehatan berkala pekerja dari tahun 2009 - 2012. Mencakup 114 data responden, terbagi atas 67 data responden dari kelompok pekerja kantor dan 47 data responden dari kelompok guru. Hasil. Angka kejadian sindrom metabolik kelompok pekerja kantor sebesar 10,4% dan pada kelompok profesi guru adalah sebesar 4,3%, dengan nilai p = 0,303 dan RR = 0,41 (0,09 - 1,88). Kesimpulan. Hipotesis pada penelitian ini dapat dibuktikan (meskipun tidak bermakna secara statistik), yaitu kelompok pekerja kantor yang lebih banyak duduk memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami sindrom metabolik bila dibandingkan dengan kelompok profesi guru yang lebih banyak berjalan. ...... Background. One of the diseases that related to low activity of working is a metabolic disorder that leads to metabolic syndrome. The objectives of the study are to know the number of workers who run certain jobs detected suffering from metabolic syndrome. Since there is no specific data on the number of these cases, we will find out the incidence and risk factors associated with the incidence of the metabolic syndrome on groups of workers. Methods. The study uses a retrospective cohort design using secondary data periodic health examination of worker from the year 2009 - 2012. Covering 114 respondent data, divided into 67 respondent data of office worker group and 47 respondent data of teacher group. Results. The metabolic syndrome incidence in group of office workers is 10.4% and in group of teacher is 4.3%, with the value of p = 0.303 and RR = 0.41 (0.09 to 1.88). Conclusions. The hypothesis in this study can be proved (although not statistically significant), a group of office workers who sit much more have a greater risk for metabolic syndrome when compared with the teacher who walk much more.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivena Susanti
Abstrak :
Latar belakang. Obesitas pada anak HAK dapat terjadi akibat penyakit dan terapi glukokortikoid. Belum diketahui prevalens gizi lebih dan obesitas pada anak HAK di Indonesia serta faktor-faktor yang berhubungan. Tujuan. Mengetahui prevalens gizi lebih dan obesitas anak HAK dan faktor yang berhubungan (faktor penyakit, faktor terapi, dan faktor umum). Metode. Uji potong lintang pada anak HAK yang berobat di RSCM dan RS lain di Jabodetabek selama Maret-Juni 2013. Pencatatan data klinis, analisis diet, dan pemeriksaan kadar 17-hidroksiprogesteron (17-OHP) dilakukan pada setiap subjek. Hasil penelitian. Sebanyak 49 subjek (38 perempuan dan 11 lelaki, rentang usia 0,4-18,3 tahun) memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 79,6% subjek adalah tipe salt wasting (SW) dengan median usia awal terapi 2,5 tahun lebih muda dibandingkan kelompok non-SW. Rerata dosis hidrokortison adalah 17,2 (SB 6,4) mg/m2/hari dan median durasi terapi 5,7 (rentang: 0,1-18,3) tahun. Sebagian besar subjek memiliki kontrol metabolik undertreatment (36/49), sesuai dengan median kadar 17-OHP 19 (rentang: 0,2-876) nmol/L. Terdapat 19 subjek sudah pubertas, 6 diantaranya mengalami pubertas prekoks. Prevalens gizi lebih dan obesitas sebanyak 5,3% ditemukan pada kelompok usia balita dan 66,7% pada kelompok usia lebih dari 5 tahun. Sebanyak 62,5% subjek memiliki asupan gizi lebih. Subjek dengan usia lebih dari 5 tahun, sudah pubertas, atau mengalami pubertas prekoks lebih berisiko mengalami gizi lebih dan obesitas. Durasi terapi glukokortikoid berkorelasi sedang (r=0,668; P=0,000) dengan indeks massa tubuh (IMT), sedangkan dosis terapi tidak menunjukkan korelasi dengan IMT. Simpulan. Prevalens gizi lebih dan obesitas pada anak HAK dalam penelitian ini adalah 42,9%. Subjek dengan usia lebih dari 5 tahun, sudah pubertas, atau mengalami pubertas prekoks lebih berisiko mengalami gizi lebih dan obesitas. Terdapat korelasi antara durasi terapi glukokortikoid dengan IMT.
Background. Children with congenital adrenal hyperplasia (CAH) have a higher risk of being overweight and obese. The prevalence of obesity and its related factors in children with CAH in Indonesia is unknown. Objective. To study the prevalence of overweight and obesity in children with CAH and its related factors. Methods. A cross-sectional study in children with CAH at Cipto Mangunkusumo Hospital and other private hospitals around Jakarta during March to June 2013. History, physical examination, dietary analysis, and 17-OHP blood level were evaluated. Results. Forty-nine children with CAH were recruited in this study, consisted of 38 girls and 11 boys, with median age 6.1 (0.4-18.3) years old, and 79.6% were salt wasting (SW) type. Children with SW type had 2.5 years earlier treatment onset compared to non-SW type. The mean of hydrocortisone dose was 17.2 (SD 6.4) mg/m2/day, with median treatment duration was 5.7 (ranged: 0.1-18.3) years. Most subjects had undertreatment metabolic control (36/49) with median level of 17-OHP 19 (range: 0.2-876) nmol/L. Nineteen subjects were within pubertal stage with 6 of them had precocious puberty. Most subjects (62.5%) were overfeeding. The prevalence of overweight and obesity were higher among children more than 5 years old (66.7%) than children less than 5 years old (5.3%). Subjects with age more than 5 years old, within puberty stage, or with precocious puberty had a higher risk of obesity. Body mass index (BMI) had a moderate correlation (r=0,668; P=0,000) with treatment duration, but not with glucocorticoid dose. Conclusions. Prevalence of overweight and obesity in CAH children in this study was 42.9%. Aged more than 5 years old, being in the puberty stage, or having precocious puberty had a higher risk of obesity. There was a moderate correlation between BMI and treatment duration.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Yanti Rahayuningsih
Abstrak :
Latar Belakang: Pasien sindrom Down (Down?s syndrome/DS) berbeda dari anak normal karena memiliki banyak kelainan selain defek jantung yang dapat memengaruhi luaran pasca-operasi jantung. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai luaran pasca-operasi penyakit jantung bawaan (PJB) pada DS di pusat-pusat pelayanan jantung di Indonesia. Tujuan: Untuk mengetahui luaran jangka pendek dan mortalitas pada pasien DS yang dilakukan operasi jantung di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Metode: Studi kohort retrospektif dan prospektif pada subjek anak dengan DS yang menjalani operasi koreksi PJB. Kontrol adalah anak tanpa DS yang masuk kriteria inklusi dan eksklusi, dengan matching rentang usia dan jenis penyakit jantung yang sama dengan pasien DS. Hasil: Sebanyak 57 pasien DS dan 43 non-DS yang telah menjalani operasi koreksi PJB diikutkan dalam penelitian. Karakteristik dasar antar kelompok tidak berbeda bermakna. Jenis PJB terbanyak pada DS adalah defek septum atrioventrikular (AVSD) dan defek septum ventrikel (VSD) masing-masing sebesar 31,6%, tetralogi Fallot (TF) 21%, defek septum atrium (ASD) 7%, duktus arteriosus persisten (PDA) 7% dan transposisi arteri besar (TGA)-VSD 1,8%. Lama rawat ruang rawat intensif (ICU) pada DS 1,9 (0,6-34) hari dibanding non-DS 1 (0,3-43), p=0,373. Lama penggunaan ventilator pada DS 19,9 (3-540) jam, non-DS 18 (3-600), p=0,308. Krisis hipertensi pulmoner (PH) tidak terjadi pada kedua kelompok, proporsi komplikasi paru pada DS 24,6% dibanding non-DS 14%, dan sepsis pada DS 28,1% dibanding non-DS 14% tidak berbeda bermakna. Proporsi blok atrioventrikular (AV) komplit pada DS 10,5% dan non-DS tidak ada, dengan p=0,036. Kematian di rumah sakit (RS) pada DS 8,8%, non-DS tidak ada, dengan p=0,068. Simpulan: Morbiditas dan mortalitas pasca-operasi jantung pada DS tidak terbukti lebih sering terjadi dibandingkan dengan non-DS. ......Background: Down syndrome patients different from normal child because many other genetic related aspects that can affect outcome after congenital heart surgery. Until now there has been no research on the outcome after congenital heart surgery on paediatric Down syndrome patients in Indonesia. Objective: To determine the short term outcomes and mortality in DS patients who underwent heart surgery at Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta. Methods: A prospective and retrospective cohort study was conducted to subject with DS who underwent heart surgery from July 2007- April 2015. Control group was patients without DS who underwent heart surgery with matching on age and type of heart defects. Results: A total of 57 DS patients and 43 non-DS patients were recruited during study period. Basic characteristics between groups were not significantly different. Most type of CHD in patients with DS were AVSD and VSD respectively in 18 (31,6%), tetralogi of Fallot 12 (21%), ASD 4 (7%), PDA 4 (7%) and TGA-VSD 1 (1,8%) patients. Duration of ICU stay in patients with DS was 1,9 (0,6-34) days compared to non-DS patients 1 (0,3-43) days, p=0,373. Duration of mechanical ventilation in patients with DS was 19,9 (3-540) hours, compared to non-DS patients 18 (3-600) hours, p=0,308. Pulmonary hypertension crisis was not occurred in both groups. Pulmonary complication in patients with DS was 14 (24,6%) compared to non-DS 6 (14%) patients, and sepsis in patients with DS was 16 (28,1%) compared to non-DS 6 (14%) patients, there was no difference. Complete AV block in patients with DS was 6 (10,5%) compared none in patients with non-DS, p=0,036. In-hospital mortality in patients with DS was 5 (8,8%), compared none in patients with non-DS, significantly different with p=0,068. Conclusion: Morbidity and mortality after cardiac surgery in DS is not proven to be more frequent compared to non-DS.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58754
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>