Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khatibul Umam Wiranu
Abstrak :
ABSTRAK
Klaim konsensus yang menjadi dasar kebijakan politik Orde Baru memunculkan berbagai persoalan, jika dikaitkan dengan nilai-nilai konsensus dalam perspektif Jürgen Habermas. Habermas mengandaikan konsensus dalam ruang tanpa paksaan dan dominasi yang membuat legitimasi konsensus Orde Baru patut dipertanyakan. Tiga peristiwa yang dianggap sebagai konsensus, yakni Sumpah Pemuda (1928), Pancasila (1945) dan Orde Baru (!966) mengandung asumsi atas kuatnya kepentingan kekuasaan dan pihak-pihak tertentu begitu besar mewarnai proses pengesahan konsensus tersebut. Redaksi Sumpah Pemuda (1928) yang menjadi referensi persatuan dan kesatuan bangsa, lahir dari sebuah pemikiran akan pentingnya menyatukan bangsa dibawah asumsi persatuan bangsa, bahasa, dan tanah air. Dilihat dari tujuannnya, hal tersebut memiliki efek besar pada terciptanya nasionalisme kebangsaan, khususnya untuk mengusir penjajah dan menjadi bangsa yang merdeka. Meski demikian, proses pengesahan redaksi Sumpah Pemuda sendiri terkesan sangat sederhana. Meskipun proses menuju kesepakatan redaksi Sumpah Pemuda bukanlah hal yang simpel dan sederhana, setelah didahului peredebatan panjang dengan mendengarkan berbagai pendapat elemen bangsa yang beraneka ragam. Dipandang dari paradigma komunikatif, konsensus Sumpah Pemuda merupakan bagian dari komunikasi politik. Momen tersebut juga bagian dari ruang publik politik dimaksud, dimana semua partisipan dalam ruang publik politik memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan diluar diri mereka. Bahkan dengan tegas, efek dari momen Sumpah Pemuda memunculkan semangat nasionalisme yang menjadi bekal dalam mengisi kemerdekaan. Kepentingan nasionalisme itu sendiri mewadahi ruang publik politik yang "inklusif", "egaliter", dan "bebas tekanan". Konsensus kedua, yakni konsensus Pancasila, bersumber pada kehendak untuk menyatukan visi kebangsaan dibawah naungan satu ideologi, yakni Pancasila. Meski kalangan religius pada awalnya menentang dihapuskannya tujuh kata pada sila pertama Pancasila, namun dengan memahami keberatan dari kalangan non muslim, serta mempertimbangkan cita-cita kemerdekaan dan persatuan Indonesia, maka mereka sepakat Pancasila dengan lima sila yang dikenal sampai hari ini, sebagai dasar negara. Syarat-syarat konsensus yang digagas Habermas terpenuhi dalam proses menuju kesepakatan dasar negara ini. Sedangkan konsensus Orde Baru sangat jelas mengakomodasi kepentingan kekuasaan Orde Baru. Munculnya konsensus tersebut yang berdasar dari hasil Seminar Angkatan Darat II tahun 1966, menegaskan bahwa pihak-pihak yang merumuskan kebijakan kenegaraan tersebut adalah mereka yang termasuk berada dalam lingkaran kekuasaan. Peserta seminar baik dari kalangan akademisi, aktivis, dan militer, terbukti dalam sejarah bahwa mereka adalah pendukung setia Orde Baru. Justifikasi etis dan politis yang menjadi prasyarat konsensus tidak dimiliki secara penuh, sehingga konsensus tersebut lebih bermakna ideologis ketimbang kepentingan untuk mewadahi aspirasi dan partisipasi rakyat secara utuh.
2007
T19486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yamin, compiler
Abstrak :
Buku ini berisi malam suci persumpahan, 28 Oktober 1928 ; Lahirnya tiga piranti persatuan ; Menuju Republik Indonesia ; Tiga harapan karena belum tercapai ; Tiga kali bersumpah ; Konstituante Bandung
Bukittinggi - Djakarta - Medan: N.V. Nusantara,
K 320.540 959 8 MUH s
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Panitia Peringatan hari Sumpah Pemuda, 1994
959.8 BUK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover