Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasmiyah A. Rauf
Abstrak :
Masalah yang diteliti di dalam tesis ini adalah perubahan bentuk dari Sufisme Islam menjadi Sufisme Amerika. Tesis ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa adanya perubahan dari Sufisme Islam menjadi Sufisme Amerika disebabkan oleh akulturasi antara Sufisme Islam dengan nilai-nilai Amerika. Kelompok Sufi yang diambil sebagai model analisis di dalam tesis ini adalah kelompok Sufi Ruhaniat International. Tesis ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode kajian kepustakaan, yang menggunakan teknik deskriptif-interpretatif Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah, konsep nilai, konsep akulturasi, konsep Multikulturalisme, konsep Pragmatisme, dan konsep Liberalisme. Hasil penelitian dari tesis ini menunjukkan bahwa nilai Liberalism, nilai Multikulturalisme, dan nilai Pragmatisme, terdapat di dalam unsur-unsur yang membentuk kelompok Sufi Ruhaniat International, sehingga kelompok Sufi tersebut secara khas dapat dikatakan mewakili bentuk Sufisme Amerika.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Luthfi Ubaidillah
Abstrak :
Dari seluruh ciptaan yang telah diciptakan Tuhan, manusia merupakan makhluk yang memiliki nilai spesial. Karena ia adalah makhluk yang secara khusus mengemban tugas sebagai wakil Tuhan (khalifah). Tugas ini merupakan beban yang sangat berat, karena mengemban amanat Tuhan adalah kewajiban melaksanakan kebaikan dan meninggalkan keburukan yang tujuannya untuk mencapai rido-Nya. Untuk itu tentu ada hubungan yang harus dilakukan antara manusia dengan Tuhan agar manusia selalu dibimbing dalam setiap pelaksanaan amanat yang telah diberikan-Nya. Maka pertanyaanya adalah kenapa manusia yang diberikan sifat kebaikan untuk dijadikan pengemban tugas wakil Tuhan (khalifah). Dalam hal ini sufisme yang diwakili Ibn Al-'Arabi dan kebatinan yang diwakili Ranggawarsita berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Menurut. pemikiran kedua tokoh dan aliran ini, manusia dijadikan sebagai pengemban tugas wakil Tuhan (khalifah), karena dalam kejadiannya manusia memiliki nilai kesempurnaan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Ia merupakan pengejawantahan nama-nama Tuhan secara keseluruhan, sehingga ia adalah cermin bagi Tulis yang bersih dan bening. Tuhan dapat melihat citra Diri-Nya dengan sempurna melaluinya. Maka manusialah yang dapat dijadikan wakil Tuhan di bumi untuk melaksanakan kewajiban syari'at dan mengelola alam. Akan tetapi tidak semua manusia berhasil menjadikan dirinya sebagai wakil Tuhan (khalifah), karena tidak semua orang dapat mengejawantahkan nama-nama Tuhan. Dalam anti bahwa, bagi manusia yang tidak dapat melaksanakan kebaikan dan tidak bisa menjauhkan segala hal yang buruk, ia adalah manusia yang tidak dapat menggunakan nama-nama Tuhan secara proprosional, yang menurut bahasa Ibn Al-`Arabi tidak berakhlak dengan akhlak Allah. Manusia seperti ini adalah manusia hewan atau hamba nalar, Sedangkan manusia yang dapat melaksanakan kebaikan dan manjauhkan keburukan dengan baik, ia akan mendapatkan pengetahuan hakikat segala realitas dan mejadikan diri-Nya dekat dengan Tuhan. Manusia seperti ini menurut Ibn Al-`Arabi dinamakan insan kamil, sedangkan menurut Ranggawarsita dinamakan manusia pilihan atau manusia golongan klas. Bagi manusia yang ingin mencapai derajat insan kamil atau golongan khusus terlebih dahulu ia harus menjalani mujahadah, yaitu serangkaian pendekatan diri kepada Tuhan secara intensif dengan melalui berbagai ujian dan cobaan. Untuk itu tidaklah mudah dalam mencapai apa yang diharapkan. Dengan hati yang suci dan konsekuenlah manusia yang dapat mencapai kesempurnaan tujuan. Dua pemikiran yang masing-masing mewakili golongannya tersebut secara garis besar memiliki persamaan mendasar. Walaupun terdapat perbedaan dalam sebagian keterangan, tetapi perbedaan itu bukanlah sesuatu yang prinsipil. Perbedaan hanya didasari dari pola pemikiran. lbn Al-'Arabi menclasarkan pemikirannya atas pengetahuan intuitif atau pengalaman batin, yang dalam dunia sufisme pemikiran ini melalui ciri khan khusus. Sedangkan Ranggawarsita memiliki pola pikir kebatinan berdasakan prinsip " sangkan paraning dumadi." Adapun Persamaan pemikiran kedua tokoh ini diakibatkan pemikiran yang satu telah mepengaruhi pemikiran yang lain. Dalam hal ini pemikiran Ibn Al-`Arabi, semenjak abad ke 16 telah masuk dalam dunia pemikiran Islam Nusantara, sehingga pemikiran Ranggawarsita pun terpengaruh dalam menelurkan konsepnya tentang manusia. Maka tidaklah heran jika kedua pemikiran ini memiliki persamaan pemikiran yang cukup mendasar. Human Being on the Perspective of Sufism and Mysticism: a Comparative Study on the Thoughts of lbn Al-Arabi and Ranggawarsita Compared to the other Gods' creatures man has more special values. He is especially relied on to be the representative of God (khalifah) in the earth. A very heavy duty he must carry out is to do goodness; instead of to prohibit badness, its goal is only to obtain the favor of God. Therefore there must be a relationship established between roan and God. So that, man is always guided in doing the mandate God has given. Now, the question is why human is given the goodness in order to be a caretaker of tasks of khalifah. In this case, Sufism which is represented by Ibn Al-`Arabi and the Mysticism represented by Ranggawarsita, all at once, attempts to answer that question. According to both of those authors and credos, man is chosen as the caretaker of the mandate of khalifah because he is created with the special perfection that the other creatures do not have. He is a manifestation of the names of God on the whole. So, man is a kind of a clear mirror for God to see well about the image of Him-self. That is why; man is elected to be God's representative in the earth to do the obligation of Islamic law (syariah) and to manage the nature. Yet, some people cannot treat themselves as the God's representative successfully. Because, some people can only manifest the names of God. It means that the man who is not able to do the kindness and to prevent the badness cannot employ the names of God suitably that is so-called by Ibn Al-Arabi as the man who does not behave based on the moral of God. This kind of man is the Animal Man or the slave of reasoning. Whereas, the man being able to conduct the goodness and to forbid the badness will achieve the nature of knowledge reality and will make him-self get closer to God. According to Ibn Al-Arabi, this kind of man is called as the Perfect Man (insan kamil), though the man is regarded as the Elected Man (golongan khas) by Ranggawarsita. Those who are interested in becoming the Perfect Man or the Elected Man must follow mujahadah first. Mujahadah is a set of personal approach to God intensively through various efforts and ordeals. Then, it is not easy to gain what is hoped. People can only reach the perfection of goal with the pure hearth and consistency. The two of thoughts represented by each of authors have the fundamental similarity in general. Although there is distinction in some of their thought explanations, it is not a principle difference. The difference is only based on the pattern of thought. Ibn Al-Arabi refers his thought to the intuitive knowledge or soul experience that has a special character in the circle of Sufism thought. Whereas, Ranggawarsita has his own Mysticism thought according to the principle of where is man from and where will he be back, "sangkan paraning dumadi." Because one thought influences another one, both of the authors come to their similarity each other. The thought of Ibn Al-Arabi have entered the Islamic thought in Indonesian archipelago since the 16 centuries. So that, Ranggawarsita is also affected by `Arabi particularly in producing his concept of human. Then, it is not a strange matter that both of the above thoughts have the fundamental similarity.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nyimas Umi Kalsum
Abstrak :
Kesalahpahaman terhadap penafsiran doktrin wujudiyyah menimbulkan kontroversi terhadap doktrin tersebut. Hal ini telah terjadi sejak munculnya tasawuf dalam Islam. Beberapa pendapat ada yang pro dan kontra tergantung dari sisi mana mereka melihat. Untuk itu dalam penelitian ini, penulis mengangkat inti pokok doktrin wujudiyyah yang terdapat di dalam teks TRBHIM kemudian menyatakan penafsiran al- Palimbani mengenai doktrin tersebut. Sehingga ditemukan adanya unsur menghujat alau mendukung doktrin tersebut dengan berdasarkan Quran, Hadis dan teks-teks yang terkait unsur tasawuf seperti Risdlah karya Sihabzeddin dan Alukhtasar karya Kemas Fakhruddin. Sedangkan untuk suntingan teksnya penulis mengambil salah satu dari 3 naskah yang ada. Pemilihan teks ini berdasarkan atas kelayakannya untuk dijadikan edisi teks. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa naskah TRBHIM merupakan karya al- Palimbani dan mengenai penafsirannya terhadap doktrin tersebut ia berada sebagai juru damai; menyetujui doktrin ini, jika aspek tasybih dilihat dengan kacamata tanzih; dan menolaknya jika dilihat aspek tasybihnya saja. Selain itu teks ini juga membuktikan telah dimulainya penekanan terhadap ajaran neo-sufisme di Palembang shad ke-18. Sedangkan naskah MS A, yaitu naskah koleksi perpustakaan Nasional dengan kode v.d.w 37 yang dianggap layak untuk dijadikan suntingan teks.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11921
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anizar Abdurahman Yulino
Abstrak :
Latar belakang penulisan tesis: Masyarakat di pesisir pantai pantai utara Pulau Jawa, sejak berabad lalu sudah melakukan interaksi dalam kontak sosial dan budaya dengan dunia luar. Para pedagang sebagai pendatang, mereka khususnya membawa juga pemahaman-pemahaman ajaran agama Islam. Proses pembentukan ajaran tersebut sangat terpengaruh oleh tradisi-tradisi setempat. Tujuan penelitian: ingin mengetahui bagaimana pemahaman para pengamal Tharekat Sholawat Wahidiyah,di desa tersebut. Serta bagaimana pola-pola dari gagasan-gagasan, nilai-nilai dan tindakan-tindakan yang diwujudkan mereka dalam sehari-harinya. Metode Penelitian: dilakukan berdasarkan metode dan pendekatan kualitatif, pendekatan ini kemudian dianalisis dengan gejala-gejala sosial dan budaya, dengan menggunakan kebudayaan masyarakat setempat. Kemudian dengan melakukan pengamatan, mengenai gejala-gejala yang ada dalam masyarakat tersebut. Gejala-gejala tersebut berdiri sendiri akan tetapi saling berkaitan, sehingga merupakan satu kesatuan yang bulat dan menyeluruh. Pendekatan ini dinamakan pendekatan Holistik. Teknik pengambilan data dengan melakukan wawancara, secara formal, informal dan kasual. Hasil penelitian: Aturan-aturan Tharekat Sholawat Wahidiyah adalah bersumber dari ajaran-ajaran Agama Islam sebagai gejala sosial yang merupakan ikatan bersama yang mampu menyatukan anggota, pengikut menjadi suatu kelompok, di bawah seorang pimpinan. Sehingga kelompok ini adalah kelompok yang eksklusiv. Saran: upacara-upacara yang dilakukan oleh kelompok ini, mampu membina rasa solidaritas sosial, khususnya untuk kehidupan mereka sehari-hari, sebagai kelompok masyarakat yang penuh dengan nilai-nilai sosial dan budaya.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Badrun
Abstrak :
ABSTRAK
Tasawuf, sufisme yang dikenal dalam Islam, merupakan gerakan keagamaan yang timbul di Kufah dan Basrah (Irak) pada abad kedelapan Masehi. Gerakan tasawuf bersifat esoteris. Sifat esotoris itulah yang membedakan tasawuf dari ajaran ortodoks. Ajaran-ajaran tasawuf pada intinya merupakan cara pendekatan diri (manusia) kepada Tuhan. Menurut Schimmel {1886: 26-28), tasawuf bersumber pada Islam, dan acuan utamanya adalah perilaku Rasul Muhammad dan sahabat-sahabatnya.

Timbulnya tasawuf, menurut Abdul Hakim Hasan seperti yang dijelaskan oleh Simuh (1992:2-3), disebabkan dua hal: pertama, sebagai reaksi atas perkembangan kehidupan masyarakat Islam yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mementingkan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat. Kondisi demikian menimbulkan keprihatinan paras pemuka agama, yang kemudian mendorong mereka untuk membangkitkan kembali kehidupan keagamaan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, sebagai reaksi atas perubahan kehidupan keagamaan yang bersifat rasionalis formalis yang mendominasi kehidupan umat Islam pada akhir masa pemerintahan Bani Umayyah dan pada masa pemerintahan Bani Abbasiyyah.

Pada masa awal perkembangannya--sampai dengan abad kesepuluh--tasawuf belum dapat diterima oleh kalangan luas, keberadaannya dicurigai oleh pemerintah dan para ahli teologi Islam. Puncak dari pertentangan antara kaum sufi dengan pemerintah dan ahli teologi adalah dihukum pancungnya Al-Hallaj pada tahun 922 Masehi. Tasawuf dapat diterima oleh masyarakat luas pada akhir abad kesebelas dan pada awal abad kedua belas. Hal itu berkat jasa Al Ghazali yang mendamaikan kaum Sufi dengan kaum Ortodoks. Setelah usaha A1-Ghazali itu berhasil, tasawuf dapat hidup dan mengalami perkembangan.

Perkembangan tasawuf semakin luas setelah terjadi penyerbuan Baghdad oleh bangsa Mongol pada tahun 1258 Masehi. Menurut Johns (1987:87-88), setelah penyerbuan Baghdad oleh bangsa Mongol, tugas pembinaan masyarakat Islam beralih kepada kaum sufi. Hal itu terjadi karena tiga hal: hubungan antara Seikh (guru sufi) dengan pengikutnya, semangat penyebaran agama dari kaum sufi, dan basis kerakyatan gerakan sufi. Dalam kondisi demikianlah maka tarekat tasawuf menjadi mantap dan berkembang. Perkembangan tarekat tasawuf semakin luas karena adanya penyebaran dan perjalanan para guru sufi dari satu daerah ke daerah yang lain.

Penyebaran ajaran tasawuf ke Indonesia tidak dapat dilepaskan dari penyebaran agama Islam. Hal itu dikatakan oleh Johns (1987:90-91), yaitu bahwa sebagian pembawa Islam ke Indonesia adalah kaum sufi, mistikus. Menurut Tudjimah (1976: 705-707), Islam masuk ke Indonesia pads akhir abad ke-13 melalui jalan perdagangan India-Cina dan melewati pantai jazirah Malaka; Islam yang masuk ke Indonesia juga sudah melewati Iran. Pembawa Islam adalah pedagang asing muslim India dan India keturunan Arab yang tinggal di daerah pelabuhan Malaka dan Sumatera Utara. Setelah Islam berkembang di Indonesia, hubungan muslim Indonesia dan bangsa Arab mulai terjalin; hubungan itu makin meningkat pada abad ke-16 dan ke-17, yaitu melalui ibadah haji (sambil belajar agama). Akibat dari hubungan tersebut maka masuk pula berbagai aliran tarekat, misalnya Syattariah (dari Madinah), Aadiriah (dari Makkah) dan ajaran tasawuf dari Imam Ghazali. Jadi, tasawuf masuk ke Indonesia berkaitan dengan penyebaran agama Islam.
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Limbong, Priscila Fitriasih
Abstrak :
Fath al-Rahman (W9 code as in the National Library) is a translation from Arabic to Malay language. It is the work of Zakariyya al-Ansari, who became the inspiration for the writing of Malay Sufi from the 17th century to the 19th century. This research aims to analyze the von de Wall text kept at the National Library in Jakarta. The text was completed in 1280 H or in 1863 M in Tanjung Pinang, Riau. This text discusses Sufism, which believes in maqamat, eternity, syariat, tarikat, and hakikat. This thesis argues that contain sufi, teachings to direct one's life towards eternity based on Koran and hadits. The thesis compares Sufism in Fath al-Rahman to Kitab Patahulrahman. The result of the research shows some similarities and differences. The similarities lie on the discussion of the eternity issue referring to syar'i teaching. The difference is on the focus of the narrative. Fath al Rahman basically describes the way of shaping good morale and spiritual guidance based on syar'i teaching, while the text of Kitab Paturahman elaborates the universe creation based on the teaching of Ibn Arabi who followed falsafi teaching.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15368
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Abduhzen
Abstrak :
Tesis beijudul "Epistemologi Sufisme, Suatu Kajian Teori Pengetahuan Al-Ghazali", ditulis oleh Mohammad Abduhzen dengan pembimbing Prof. Dr. Toetl Heraty Noerhadi dan Dr. Ahmad Poerwadaksi dalam rangka penyelesaian pendidikan tingkat magister pada program studi ilmu filsafat, program pascasarjana Universitas Indonesia. Ada tiga hal yang menjadi latar belakang diambilnya tema tersebut. Pertama secara epistemologis antara lain adanya kenyataan bahwa kita saat ini hidup dalam suatu era ilmu pengetahuan dan teknologi. Peranan ilmu pengetahuan menjadi semakin menentukan kualitas kehidupan kita baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Namun di sisi lain menimbulkan berbagai persoalan-persoalan yang mengancam kualitas dan eksistensi hidup manusia dan alam seluruhnya. Kedua adanya isu islamisasi ilmu pengetahuan yang gencar pada sekitar tahun delapan puluhan yang tampaknya mencuat dalam rangka mencari alternatif sosok ilmu pengetahuan yang lebih "berjiwa", menghantar saya pada pertanyaan tentang spesifikasi epistemologis. Tetapi saya terpancing oleh kenyataan bahwa dalam masyarakat kita, ada pandangan tersendiri terhadap ilmu pengetahuan yang bercorak sufistik. Meskipun pan-dangan spesifik ini masih diselimuti oleh kabut mhos dan dongeng yang penuh keajaiban halusinasi. Saya tertarik untuk menyingkap dan mencoba menemukan alur logikanya. Dan smi sampailah saya kepada sufisme yang saya pandang sebagai sumberaya. Ketiga, diketahui bahwa ummat Islam di Indonesia bermazhab sunni. Ini mengindikasikan orientasi filosofisnya kepada Al-Ghazali. Al-Ghazali adalah seorang ulama yang filosof dan sekaUgus adalah sufi. Anggapan ini mendorong saya kemudian memilihnya sebagai tokoh yang akan diteliti.Berdasarkan atas hal-hal tersebut saya mencoba merumuskan dua pokok permasalahan, yaitu: pertama, Bagaimanakah pemikiran epistemologi Al-Ghazali pada umumnya?. Kedua, Bagaimanakah spesifikasi epistemologi sufisme Al-Ghazali?. Dari penelitian ini saya berharap, akan berguna dalam rangka dialog antara ilmu dan agama, seMngga keduanya memungkinkan untuk saling melengkapi. Ini penting dalam rangka mencari titik temu (bukan titik lebur, karena agama dengan caranya sendiri tetap agama dan ilmu dengan sistemnya sendiri tetap ilmu) antara ilmu dan agama. Dengan dialog ini semoga akan makin memperkokoh status masing-masing serta menampakkan hal-hal apa dari agama itu yang accessable bagi ilmu dan begitu juga sebaliknya. Oleh sebab itu pene-litian ini akan mencari tahu makna dan arti, peran dan fungsi ilmu secara mendasar. Sementara di sisi lain juga hendak menyibak kabut mitos dan dongeng yang senantiasa menyelimuti setiap ujaran tentang sufisme. Dengan demikian pengkajian aspek pengetahuan dalam mistisisme Islam ini akan berarti juga menjelaskan teori-teori pengetahuan sufisme dengan bahasa yang sejauh mungkin dapat dimengerti oleh akal sehat, meski bukan dalam rangka mengujinya dengan epistemologi pada umumnya (Barat). Penelitian ini adalah sebuah sintesis-refieksif yang akan mengungkapkan konsep-konsep epistemologi Al-Ghazali, dengan metode analisis-sintesis, hermeneutik, heuristika dan diskripsi. Langkah-langkahnya: mengkaji kepustakaan, mengklasifikasi, menganalisis dan mensintesiskannya. Di dalam bab II. dibicarakan tentang Sufisme, dan Al-Ghazali sebagai seorang sufi. Sufisme yang menjadi fokus dalam tulisan ini, secara etimologi berasal dari kata shuf yang berarti bulu domba atau wol, menunjuk kepada kebiasaan kaum sufi memakai kain wol kasar sebagai simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Pengertian sufisme adalah suatu ajaran tentang sikap, cara hidup untuk berhubungan dan mendekat kepada Tuhan hingga sedekat-dekatnya, berdasarkan pemahaman tertentu terhadap ajaran Islam- Sebagai mistisisme Islam, sufisme memiliki unsur-unsur universal seperti yang terdapat pada semua jenis mistisisme dan unsur-unsur yang spesifik Islam. Timbulnya sufisme disebabkan oleh kondisi sosial-politik di akhir abad ke-1H/7M dan awal abad ke-2 H/8 M. Awalnya muncul dan menyebar pola hidup zuhud sebagai protes tajam kepada pemerintah agar menerapkan semangat Islam yang orisinil, yang sederhana dan bersahaja. Pada pertengahan abad ke-3 H/9 M perilaku zuhud itu disebut sebagai "kaum sufi" dan pada abad ke-4 H/10 M memperoleh konotasi teosofis, karena mulai adanya pengaruh pemikiran spekulatif dari sistem teologi dan filosofl Yunani. Dari sini mulai timbul gagasan-gagasan tentang cahaya, pengetahuan dan cinta. Maka dari itu seorang sufi yang sejati haruslah juga seorang pemikir. Seperti pada Al-Ghazali. Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di suatu kampung yang bernama Ghazalah, di daerah Thus, Khurasan. Perjalanan intelektuanya penuh keraguan dan berakhir dalam kepastian sufisme. la mengalami dua kali keraguan, pertama keraguan epistemologis karena ia meragukan segala pengetahuan dan keraguan yang kedua bersifat spiritual ketika ia akan memasuki hidup sufi. Kedua keraguan ini katanya, berakhir karena adanya nur (cahaya) yang dipancarkan Allah ke dalam batinnya, bukan berdasarkan kepada argumen-tasi rasionai. Dari pengalaman-pengalaman menjalani cara hidup sufi yang berlangsung intenstf selama sepuluh tahun, Al-Ghazali menunjukkan ciri-ciri yang berbeda dengan sufisme pada umumnya yang ada sebelumnya. Ini dapat dilihat dari sikapnya terhadap kehidupan duniawi, penolakannya terhadap kesatuan wujud, tidak bersifat ekstatik dan tidak menafikan pemikiran. Sebagai seorang sufi Ghazali tetap memelihara pikiran filosofisnya yang mandiri dan kritis, sehingga ia tidak terjatuh ke dalam tradisi yang melampaui kebenaran yang seharusnya, atau terperangkap oleh keraguan skeptisisme yang tidak berakhir. Tasawuf baginya membantunya dalam membebaskan pikiran yang mutlak diperlukan dalam mencapai kebenaran yang murni dan raenyeluruh. Itulah Al-Ghazali seorang filosof dan seorang sufi. Dalam bab III, di bahas tentang epistemologi sufisme Al-Ghazali. Epistemologi Al-Ghazali dilandasi oleh pandangan ontologinya. la membagi seluruh Ada {realitas) menjadi dua alam, yaitu alam syahadah yang kasat mata dan alam malakut yang tidak dapat dijangkau oleh indera manusia, bersifat ruhani dan nuraniah. Hubungan kedua alam ini adalah alam malakut sebagai model (mitsal) bagi alam syahadah, sedangkan alam syahadah adalah "bekas" atau efek (akibat) dari alam malakut. Menurut Ghazali kunci-kunci pengetahuan tentang alam syahadah tidak lain adalah pengetahuan tentang alam malakut. Kunci pengetahuan tentang "akibat" adalah pengetahuan tentang sebab yang menimbulkannya. Pandangan ini pula melandasi pemikirannya tentang kausalitas. Kausalitas bukanlah hubungan yang absolut dan berdiri sendiri. Sebutan itu baginya adalah kebiasaan saja. Tuhan sajalah penyebab aktif dari segala gejala dan peristiwa baik langsung maupun tidak. Manusia, jika hendak memperoleh pengetahuan hakiki harus memasuki alam malakut dan menjadi bagian daripadanya. Caranya adalah dengan berjalan naik (mi'raj) ke hadirat Ilahi melalui jalan-jalan sufi (suluk). Makhluk manusia memiliki unsur ruhaniah, sebagai substansi dan tempat bagi pengetahuannya. la menyebut substansi ruhani manusia itu dengan al-nafs. Al-nafs sering juga disebut dengan istilah-istilah lain yaitu rwA, atau aql (Akal) atau jiwa. Dalam nafs itu terkandung daya-daya mengetahui, yaitu: daya inderawi (ruh inderawi), daya imajinatif (ruh khqyali), daya intelek (ruh aqt), daya kreativitas (ruh pemikiran) dan daya dzauq atau daya "intuitif '(ruh suci kenabian). Mengetahui, adalah proses menangkap gambar, contoh (mitsal) realitas objektif. Yang ditangkap hanyalah gambamya saja bukan realitas objektifnya, sebab realitas tersebut tidak mungkin dapat berpindah ke dalam daya tangkap manusia. Hakikat mengetahui adalah ketersingkapan segala sesuatu dengan jelas, sehingga tidak ada lagi ruangan untuk ragu, salah atau keliru. Selain melalui proses abstraksi ada pengetahuan yang dapat diperoleh dengan cara langsung, yaitu melalui ilham yang berupa nur ( cahaya) yang dipancarkan Allah swt. ke dalam batin. Mulanya manusia adalah makhluk yang sederhana dan kosong pengertiannya tentang alam ini, kemudian secara berangsur-angsur ia dikaruniai idrak (alat pengenal) inderawi. Setelah perkembangan inderawi lengkap, pada anak mulai tumbuh kekuatan pertimbangan (tamyiz), sehingga anak mengenal objek baru di luar pancaindera. Kemudian Allah menganugrahinya akal untuk menangkap makna hukum-hukum logis seperti sesuatu yang adanya merupakan keharusan(wajib), hukum yang bersifat kemungkinan (/aiz), serta hukum ketidakmungkinan (nwstahit). Yang paling tinggi dari semua ini adalah idrak dzauq untuk mengenal alam supra-rasional, spiritual atau alam gaib yang tidak dapat dijangkau oleh indera, tamyiz dan akal. Berdasarkan pada daya-daya tadi Al-Ghazali membagi pengetahuan menurut sumbernya, menjadi pengetahuan inderawi. pengetahuan akal (rasional) yang meliputi ilmu nadhari (yang diperoleh lewat penalaran), ilmu dharuri (pengetahuan aksiomatik), pengetahuan emptri (yang diperoleh dari pengalaman) dan pengetahuan intuitif (yang diperoleh dari kehendak dan motivasi), dan pengetahuan kenabian yang diperoleh melalui jalan sufi. Sedangkan ditinjau dari sifatnya pengetahuan terdiri dari ilmu mukasvafah (pengetahuan teoritis) dan ilmu muamalah (pengetahuan praktis). Ilmu mukasyafah kata Ghazali adalah ilmu yang diminta untuk mengetahuinya saja, tidak dapat ditulis dengan kata-kata tetapi menjadi tujuan dari pencarian setiap ilmu. Adapun ilmu muamalah yaitu ilmu yang setelah diketahui hendaklah diamalkan. Dan ilmu ini adalah jalan untuk menuju kepada ilmu mukasyafah. Pembagian lainnya yaitu ilmu syariah (ilmu keagamaan) yang diperoleh melalui wahyu dan nabi-nabi, hukum mencarinya bersifat fardhu 'ain (wajib bagi tiap orang), dan yang bukan syariah (ilmu intelektual) yang bersifat fardu kifayah (wajib ada bagi tiap komunitas). Batas pengetahuan manusia menurut Ghazali adalah sesuai dengan batas kemampuan setiap idrak. Pengetahuan inderawi berbatas pada kemampuan idrak pancaindera, yaitu alara nyata dan kasat mata. Pengetahuan akal tebatas pada objek-objek penalaran, hukum logis dan matematis, pengalaman dan intuisi. Sedangkan pengetahuan kenabian tidak dapat diketahui batasnya. Pengembangan pengetahuan bagi Al-Ghazali tergantung dari hasrat ingin tahu. Hasrat tersebut melahirkan keraguan, keraguan menimbulkan pencarian, pencarian akan mendapatkan kepastian atau keyakinan. Dengan demikian akan perkembanglah pengetahuan. Menurut Al-Ghazali seluruh pengetahuan pada dasarnya bersifat sufistik karena setiap pengetahuan manusia merupakan jalan menuju kepada Allah. Tetapi secara metodologis yang benar-benar dalam artian sufisme adalah pengetahuan kenabian. Fenomena kenabian dapat dicapal oleh manusia biasa, meskipun tidak sempurna dan juga tidak berarti menjadi nabi. Hal-hal lahir dilihat dengan mata lahir dan realitas-realitas batin dengan mata batin. Pengetahuan yang diperoleh melalui mata hati ini bersifat serta-merta dan iangsung seperti pengetahuan inderawi, namun isinya berkenaan dengan dunia spiritual. Ghazali menyatakan bahwa hati setiap manusia diciptakan untuk mengetahui "dunia Ilahiah yang kasat-mata", tetapi ketika manusia itu berhubungan dengan dunia, umumnya nafsu duniawi menybelubungi hati itu sehingga ia tidak mampu melihat objeknya. Apa yang dilakukan oleh kaum sufi adalah menyingkirkan selubung itu. Pembersihan din dengan mengwgat(dzikir) kepada Allah hingga mencapai pele-buran (/ana) dalam Tuhan menjadi ciri metodologi sufisme. Meskipun pengetahuan ini diperoleh lepas (tidak tergantung pada) akal dan indera, namun sama sekali bukan tidak rasional. Peran akal adalah megenalkan dirinya kepada kita akan kebutaannya sendiri dalam memahami apa yang dapat dihayati oleh "mata" kenabian. Ilmu kedokteran dan ilmu perbintangan pada mulanya juga diperoleh dengan cara seperti ini.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Juri
Abstrak :
Tesis ini membahas urgensi ajaran maqâmât dalam tasawuf terhadap Pembentukan moral politik di indonesia. Latar belakang pengambilan judul ini didasarkan pada fakta adanya dekadensi moral politik yang semakin meningkat di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Fenomena tersebut menjadi keresahan penulis, sebab tasawuf sebagai cabang ilmu keislaman mengajarkan moral melalui penyucian hati dan pengisian raga dengan nilai-nilai yang baik. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif-analitik. Penelitian kualitatif merupakan penelitian khusus tentang objek yang tidak dapat diteliti secara statistik atau kuantifikasi. Deskriptif berarti menguraikan fakta secara sistematis. Penulis menguraikan data-data itu setelah dilakukan klasifikasi sesuai dengan objek penelitian, yaitu ajaran maqâmât dalam tasawuf dan moral politik di Indonesia. Selanjutnya, penulis melakukan analisis terhadap data-data tersebut berdasarkan teori etika dan teori qalb Al-Ghazali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara ajaran maqâmât dalam tasawuf dengan moral politik di Indonesia yang terkandung dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa terletak pada sifat dasar moralnya, sama-sama memiliki maksud untuk menciptakan elit politik dan pejabat negara yang baik dan bersih serta aspek legalitasnya secara konstitusi. Sedang ajaran maqâmât dapat dijadikan moral dalam mendekatkan diri kepada Tuhan dan juga moral dalam berinteraksi sesama manusia utamanya dalam bidang politik. Sebagai moral kepada Tuhan, ajaran maqâmât dapat menghadirkan kondisi psikologis yang bersifat spiritual (ahwâl) seperti ketentraman dan ketenangan hati (al-thuma’nînah) serta dapat melahirkan sikap sosial-politik yang baik. Sedang ajaran maqâmât sebagai konsep moral politik dapat diaktualisasikan oleh para elit politik dan pejabat penyelenggara pemerintahan dengan menggunakan reinterpretasi konsep ajaran maqâmât.
This thesis discusses the urgency stages (maqâmât) teachings of Sufism to the Formation of moral politics in Indonesia. The background of this research is based on the fact of political decadence that is increasing in Indonesia, which is predominantly Muslim. This phenomenon is a concern to the authors, because Sufism as a branch of Islamic knowledge taught morals through the purification of the heart and soul filling with good values​​. This research is qualitative descriptive-analytic design. Qualitative research is a specialized study of history that can not be studied statistics or quantification. Descriptive means systematically outlines the facts. The author outlines the data after classification in accordance with the object of research, ie the teachings of Sufism and moral maqamat in Indonesian politics. Furthermore, the authors conducted an analysis of these data based on the theory of ethics and the theory of qalb al-Ghazali. The results showed that the relationship between the teachings of Sufism with moral maqamat in Indonesian politics is contained in Decree No. VI/MPR/2001 on Ethics life of the nation lies in the nature of the moral, both have the intention to create the political elite and state officials good and clean as well as the aspects of legality in the constitution. Medium can be used as a moral teachings in stages draw closer to God and also moral human beings interact primarily in the field of politics. As a moral form of God, the teachings stages can bring spiritual psychological condition (states) such tranquility and peace of mind (al-thuma'nînah) and can generate socio-political attitudes are good. Stages teachings as being a political moral concepts can be actualized by the political elite and government administration officials using the reinterpretation of the concept of stages teachings.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sachiko, Murata
Yogyakarta: Pustaka Sufi 2003,
297.4 SAC ct
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>