Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 46 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sitompul, Sofyan
Depok: Universitas Indonesia, 1985
S25582
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1984
S25586
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azizah Mutia Karim
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai konsep tanggung jawab dalam rezim hukum angkasa. Secara spesifik membahas konsep fault liability yang diatur dalam Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972, dan penunjukan tanggung jawab negara dalam hal sebuah benda angkasa diluncurkan oleh badan hukum privatnya sesuai dengan Outer Space Treaty 1967. Analisis dilakukan dengan menggunakan studi kasus tabrakan antara Cosmos 2251 dengan Iridium 33, sebagai kasus tabrakan besar pertama yang terjadi di ruang angkasa. Meskipun klaim atas kasus ini tidak pernah diajukan, namun para ahli hukum ruang angkasa banyak yang mengemukakan pendapat dan berdiskusi mengenai penerapan Liability Convention 1972 dan Outer Space Treaty 1967 terhadap kasus ini. Karenanya, analisis akan didasarkan pada konvensi dan pendapat para ahli atas kasus ini. Metode pendekatan kualitatif digunakan untuk mengumpulkan bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. Pada akhirnya, skripsi ini berusaha menjabarkan unsur kesalahan dari kedua belah pihak dan kontribusinya terhadap terjadinya tabrakan, seolah-olah setiap pihak merupakan negara penggugat dalam kasus ini.
This thesis studies the concept of liability under the regime of space law, specifically the concept of fault liability under Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972, and the attribulity of a State in the event where a space object is launched by its private entity under Outer Space Treaty 1967. The analysis will be conducted with regard to the case of Cosmos 2251 - Iridium 33, as it was the first major collision occurred in the outer space. Despite the fact that there is no claim arises in this case, many scholars have discussed about the applicability of Liability Convention 1972 and Outer Space Treaty 1967 in this case. Hence, the analysis is based on the Conventions and scholars? opinion regarding the mentioned case. Qualitative approach is used to gather recourses in writing this thesis. In conclusion, this thesis attempts to elaborate the faults of both States and their contribution to the collision, as if each State would be the Claimant State in this case.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46581
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lyall, Francis
New York: Routledge, 2018
341.47 LYA s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Christol, Carl Quimby
Boston: Kluwer Law and Taxation , 1991
341.46 CHR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Erni Sri Sinta
Abstrak :
Pada tahun 1996 Indonesia telah mengesahkan Liability Convention yaitu Konvensi PBB yang mengatur mengenai tanggung jawab yang diemban oleh negara atas kerugian yang disebabkan oleh kegiatan dan aktivitas keantariksaannya. Arti dari pengesahan ini adalah bahwa negara Indonesia secara sukarela mengikatkan diri pada hukum perjanjian internasional tersebut sehingga menimbulkan hak dan kewajiban yang melekat pada Indonesia. Kewajiban yang dimaksud adalah bahwa negara berkewajiban untuk bertanggung jawab secara internasional terhadap seluruh kegiatan keantariksaan yang dilakukan oleh badanbadan pemerintah maupun non pemerintah dalam wilayah yurisdiksinya, sampai dengan apabila kegiatan tersebut menimbulkan kerugian terhadap negara lain, baik individu maupun badan hukum. Dan Indonesia berhak menuntut ganti rugi terhadap negara yang menyebabkan kerugian bagi wilayah Indonesia yang disebabkan oleh kegiatan keantariksaan yang dilakukan oleh negara tersebut. Saat ini Indonesia telah aktif berperan serta dalam kegiatan keantariksaan dan hampir seluruh kegiatan tersebut diselenggarakan oleh badan usaha milik negara maupun swasta. Dengan demikian, melalui penelitian ini dijelaskan bahwa negara tidak cukup hanya meratifikasi akan tetapi harus melakukan transformasi Liability Convention tersebut ke dalam hukum nasional Indonesia dengan tujuan menciptakan suatu peraturan perundang-undangan yang berisi norma hukum yang mengikat para pelaku kegiatan keantariksaan, baik subyek hukum Indonesia maupun pihak yang menyelenggarakan kegiatan keantariksaan dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Dengan menggunakan metodologi penelitian normatif, penulis mencoba mendapatkan suatu informasi dari para sarjana hukum Indonesia maupun asing serta dari peraturan perundang-undangan antariksa negara lain, dalam hal ini Federasi Rusia dan Brasil. Hasil penelitian ini adalah bahwa, walaupun dianggap lambat, namun belum terlambat bagi pembuat kebijakan keantariksaan di Indonesia untuk menciptakan aturan yang mampu memberi kepastian hukum untuk waktu ke depan mengenai kegiatan keantariksaan di Indonesia, baik bagi subyek hukum maupun para penegak hukum di Indonesia.
ABSTRACT
In 1996, Indonesia ratified the Liability Convention, a United Nations Convention which governs state’s liabilities for loss or damage caused by its space activities. With this ratification Indonesia is voluntarily committing itself on this international treaty which giving rise to its rights and obligations inherent in Indonesia. Indonesia shall be internationally responsible both to all of its space activities under its jurisdiction whether carried on by governmental agencies or non-governmental entities, and to its space activities which causes any loss or damage to other countries’ individuals or legal entities. Indonesia also has the right to sue for damages against other countries which by their space activities causing any loss or damage to Indonesian territory. Currently Indonesia actively involves in space activities. However, most of those activities are conducted by state owned companies or private sectors. Therefore, this research will explain that it is not enough for Indonesia simply to ratify the Convention, but also has to transform the Liability Convention into Indonesian laws aiming to create regulations which contain legal norms that bind space activity players, national legal subjects as well as foreign players which organize any space activities in the Indonesian Jurisdiction. By using normative research methodology, the researcher aims to get information from Indonesian and foreign experts as well as other states’ space laws, in this case Russian Federation and Brazil. The research concluded that, although considered slow, but it is not yet too late for space policy makers to create laws which provide legal certainty on space activities for both legal subjects and laws enforcements in Indonesia for the time ahead.
2013
T35095
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Reiza Syeilendra Permana
Abstrak :
Pengalihan kepemilikan satelit di orbit merupakan fenomena yang kemudian lahir akibat perkembangan komersialisasi antariksa. Satelit yang ditempatkan di orbit didaftarkan atas nama negara, sehingga adanya pengalihan kepemilikan menyebabkan isu yurisdiksi atau pengendalian dan tanggung jawab negara menjadi krusial untuk dibahas, mengingat intrumen hukum internasional yang mengatur mengenai kegiatan keantariksaan lahir sebelum fenomena pengalihan kepemilikan satelit di orbit terjadi. Permasalahan hukum yang berkaitan dengan tanggung jawab negara dalam pengalihan kepemilikan satelit di orbit meliputi: bagaimana persoalan pengalihan kepemilikan satelit di orbit diatur dalam hukum internasional; bagaimana penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam pengalihan kepemilikan satelit di orbit; dan masalah-masalah hukum yang timbul berkenaan dengan pengalihan kepemilikan satelit di orbit dan bagaimana cara penyelesaiannya. Guna mencari jawaban terhadap permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan 3 (tiga) macam pendekatan, yaitu Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach), dan Pendekatan Kasus (Case Approach). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: Pertama, pengalihan kepemilikan satelit di orbit dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal II Registration Convention 1975; Kedua, penerapan tanggung jawab Negara dalam pengalihan kepemilikan satelit di orbit didasarkan pada Outer Space Treaty 1967, Liability Convention 1972, dan Registration Convention 1975; dan terakhir, masalah hukum yang timbul terutama masalah pendaftaran objek antariksa dan tanggung jawab negara dalam pengalihan kepemilikan khususnya jika terjadi kerugian yang disebabkan oleh objek antariksa yang dialihkan. Terhadap permasalahan tersebut disarankan agar Negara yang menerima pengalihan kepemilikan setidaknya mencatat satelit tersebut dalam sistem registrasi nasionalnya untuk dapat memperoleh status sebagai Negara pendaftaran. Khusus untuk pengalihan kepada bukan Negara peluncur yang asli, maka diperlukan suatu perjanjian khusus yang mengatur tentang pengalihan yurisdiksi dan hak pengendalian serta kewajiban atas objek antariksa.
ABSTRACT
Transfer of ownership of the satellite in orbit is a phenomenon that is born due to the development of space commercialization. Satellites which placed in orbit, registered in the name of the State so that the transfer of ownership leading to issues of jurisdiction, or control and responsibility of the State, becomes crucial to be discussed, considering the international legal instruments governing outer space activities published before the phenomenon of transfer of ownership of the satellite in orbit occur. Legal issues relating to state responsibility in the transfer of ownership of the satellite in orbit include: how issues of ownership satellites in orbit governed by international law, how the application of the principle of state responsibility in the transfer of ownership of the satellite in orbit, and the legal issues which arise in regard to transfer of ownership of the satellite in orbit and how to solve it. In order to find answers to these problems normative research is conducted using three kinds of approaches, i.e. Statute Approach, Conceptual Approach, and Case Approach. Based on the results of this study concluded that: First, the transfer of ownership of the satellite in orbit is possible under the provisions of Article II of the Registration Convention 1975; Second, the implementation of State responsibility in the transfer of ownership of the satellite in orbit based on the Outer Space Treaty of 1967, the Liability Convention 1972 and the Registration Convention 1975; and finally, the legal issues which arise mainly space object registration problem and state responsibility in the transfer of ownership especially if there is damage caused by space objects which transferred. Of these issues it is recommended that the State receiving the transfer of ownership, at least recorded the satellite in the national registration system, in order to obtain status as a State registration. Specifically for transfer to the State instead of the original launcher, it would require a special agreement governing the transfer of jurisdiction and the rights and obligations of control over the object space.
Jakarta: 2013
T35096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, Minar
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S25562
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindita Galuh Saraswati
Abstrak :
Skripsi ini membahas Artemis Accords sebagai kerangka hukum internasional baru yang mengatur eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa. Artemis Accords bertujuan untuk menunjang kegiatan komersial sumber daya ruang angkasa berdasarkan Outer Space Treaty. Artemis Accords tidak menggunakan Moon Agreement sebagai dasar perjanjiannya karena Moon Agreement mengatur bahwa Bulan, benda-benda ruang angkasa lain, dan sumber daya di dalamnya merupakan common heritage of mankind (CHM) yang manfaatnya harus dibagi kepada seluruh umat manusia dan tidak ada negara manapun yang dapat melakukan apropriasi atas ruang angkasa, berbeda dengan Artemis Accords yang tidak mengatur hal tersebut. Sementara itu, Outer Space Treaty mengatur bahwa ruang angkasa bebas untuk diakses dan dimanfaatkan oleh semua negara selama berlandaskan kepentingan seluruh negara dan menjadi province of all mankind (POM). Berdasarkan hal tersebut, prinsip yang lebih baik untuk mengatur eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa adalah prinsip CHM. Akan tetapi, apabila implementasi prinsip CHM di ruang angkasa dibandingkan dengan wilayah berstatus CHM lainnya, terlihat bahwa hukum ruang angkasa internasional belum mengatur secara spesifik mekanisme hukum eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa serta pembagian manfaat yang adil untuk semua negara. Dalam hal ini, Artemis Accords juga belum mengatur mekanisme hukum yang jelas dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa dan tidak memandang ruang angkasa sebagai CHM, maka dari itu terdapat kemungkinan terjadinya eksploitasi berlebih oleh negara tertentu yang dapat merugikan keberlanjutan sumber daya ruang angkasa. ......This thesis discusses the Artemis Accords as a new international legal framework governing the exploration and exploitation of space resources. Artemis Accords aims to support commercial activities of space resources under the Outer Space Treaty. The Artemis Accords did not based its principles on the Moon Agreement because the Moon Agreement stipulates that the Moon, other celestial bodies, and its resources are the common heritage of mankind (CHM) which its benefits must be shared with all mankind and no other country can make appropriations over space, in contrast to the Artemis Accords which does not regulate this. Meanwhile, the Outer Space Treaty stipulates that outer space is free to be accessed and utilized by all countries as long as it is based on the interests of all countries and becomes a province of all mankind (POM). Based on this, a better principle for regulating the exploration and exploitation of space resources is the CHM principle. However, if the implementation of the CHM principle in space is compared with other CHM status areas, it appears that international space law has not specifically regulated the legal mechanism for the exploration and exploitation of space resources and equitable benefit sharing for all countries. In this case, the Artemis Accords also has not regulated a clear legal mechanism in the exploration and exploitation of space resources and does not view space as a CHM, therefore there is a possibility of overexploitation by certain countries which can harm the sustainability of space resources.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5   >>