Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sihite, Ruth Ivanna
Abstrak :
Sengketa wilayah di Laut China Selatan kembali mengalami peningkatan ketegangan sejak akhir 2011. Konflik antar negara-negara yang mengajukan klaim atas wilayah Laut China Selatan kembali mencuat sejak 2008 dan berlanjut hingga pertengahan 2012. Beberapa peristiwa yang terjadi menjadi sinyal akan potensi terjadinya konflik bersenjata. China melakukan beberapa aksi militer terutama terhadap Vietnam dan Filipina yang melakukan aktifitas dalam batas zona ekonomi ekslusif (ZEE) kedua negara berdasarkan konvensi UNCLOS. Dari lima negara yang bersengketa dengan China di Laut China Selatan: Brunei, Filipina, Malaysia, Taiwan dan Vietnam, tiga diantaranya adalah merupakan negara anggota ASEAN, organisasi kawasan yang menjadi mitra China dalam beberapa kerjasama. Dualisme China yang di satu sisi bersikap multilateralis dengan ASEAN namun unilateralis dengan beberapa anggotanya dalam kasus Laut China Selatan menjadi latar belakang penelitian ini. Konflik Laut China Selatan merupakan konflik yang yang sudah terjadi sejak puluhan tahun. Klaim kedaulatan di wilayah tersebut ditengarai semakin meningkat karena negara-negara pengklaim ingin mendapatkan kedaulatan atas sumber energi yang ada di wilayah tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti akan fokus menganalisa faktor pemicu China yang bersikap asertif bahkan unilateralis sebagai faktor utama terjadinya ketegangan di wilayah tersebut. ......Tension continue to rise following military actions deployed by claimants of the territorial dispute. In the third quarter of 2011 incidents which potentially lead to armed conflict worsen the situation in South China Sea. In the mid of 2012 China's military actions threat Vietnam's and Philipina's sovereignity while doing actions within their exclusive economic zone (EEZ). There are five countries involved with China in South China Sea dispute: Brunei, the Philippines, Malaysia, Taiwan and Vietnam. Three of them are ASEAN members which in some cooperations related and connected with China. This situation describe China's dualism. On one side China is multilateralist but on the other side to be unilateralist. China's dualism to it's neighbour country is the idea of research question of this thesis. Since China at the same time being cooperative but also unilateralist, there must be factors that driven China to act this way. South China Sea conflict had occurred since decades. Claims to sovereignty in the region identified as a motivation to unlimited right for energy resources surround the region. In this thesis, researcher will try to analyse the most influenced factor that dirive China to be asertive even unilateralist in South China Sea. This factor is getting more crucial as China's action said to be trigger to rising tension in the region.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T30576
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Widian
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang topik kebijakan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Sejak tahun 1990an, Indonesia telah dan terus berperan sebagai fasilitator dialog dalam isu sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Indonesia selalu berusaha mengubah nuansa sengketa menjadi lebih kooperatif. Hal ini didukung oleh posisi dasar Indonesia yang bukan sebagai negara klaim di perairan tersebut. Namun, sejak tahun 2009, saat Tiongkok menegaskan klaimnya di Laut Tiongkok Selatan, Indonesia terlihat menegaskan kebijakannya untuk menyatakan kedaulatannya di wilayahnya yang berpotongan dengan Laut Tiongkok Selatan, walaupun Indonesia tidak mengubah posisi dasarnya dalam isu sengketa tersebut. Hal ini mengindikasikan suatu persepsi ancaman yang dirasakan Indonesia akibat perilaku Tiongkok sehingga Indonesia merasa harus menegaskan kedaulatannya. Melihat hal tersebut, muncul pertanyaan apa saja faktor yang mungkin dapat mengancam Indonesia di Laut Tiongkok Selatan dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi kebijakan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Dalam menjawab pertanyaan ini, artikel ini akan merujuk pada teori Perimbangan Ancaman Balance of Threat oleh Steven Walt dan konsep Perimbangan Intensitas Ringan. Untuk mengaplikasikan teori dalam analisis, data-data dalam penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deduktif. Dalam analisis, penelitian ini menemukan bahwa perilaku Tiongkok di wilayah Indonesia yang berpotongan dengan Laut Tiongkok Selatan sejak tahun 2009 memberikan persepsi ancaman bagi Indonesia terkait keamanan wilayahnya dan mendorong Indonesia melakukan perimbangan terhadap ancaman tersebut, walau Indonesia tetap memposisikan diri bukan sebagai negara klaim. Dengan demikian, penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia telah melakukan perimbangan terhadap ancaman yang dihasilkan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.
ABSTRACT
AbstractThis research talk about Indonesian Policy in The South China Sea. Since 1990s, Indonesia has been played a role of dialogue falisitator in the South China Sea Disputes. Indonesia always tried to change the disputes environtment to become more cooperative. This role is supported by Indonesia rsquo a posisition as non claimant states in the issue. However, since 2009, when China rsquo s claim assertiveness rised, Indonesia seems to affirm its policy to assert its sovereignity in its territory that which intersects with The South China Sea, eventhough Indonesia still maintain its non claimant status. This indicated that Indonesia already feels some threat perseptions because of China rsquo s assertiveness and policy so that Indonesia urge to reaffirm its sovereignty in its territory. Seeing this, the question arises as to what factors might threaten Indonesia in the South China Sea and how these factors influence Indonesia 39 s policies in the South China Sea. In answering this question, this research will refer to the theory of the Balance of Threat by Steven Walt and the concept of Low Intensity Balancing. To apply the theory in analysis, the data in this research will use qualitative research method with deductive approach. In the process, the study found that China rsquo s behavior in Indonesian territory intersecting with the South China Sea since 2009 provided a threat perception for Indonesia and encouraged Indonesia to balance the threat, although Indonesia remained positioned as a non claimant country. Thus, this study concluded that Indonesia has use balancing policy to balance the threat produced by China in the South China Sea.
2018
T51184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardina Yunita Kartikasari
Abstrak :
Kajian ini membahas mengenai citra Indonesia di mata Tiongkok dalam isu sengketa Laut China Selatan (LCS). Dalam sengketa di LCS, Indonesia bukan negara penggugat atau non-claimant state. Namun klaim Tiongkok atas sembilan garis putus atau Nine-dashed Line di LCS beririsan dengan sebagian Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di kepulauan Natuna. Dalam periode 2010-2016, sejumlah insiden sempat terjadi dan menimbulkan ketegangan. Meski bersikeras bahwa kedua negara memiliki tumpang tindih kepentingan di perairan Natuna, Tiongkok tetap memiliki citra positif tentang Indonesia dan Tiongkok cenderung berhati-hati dalam merespon Indonesia dalam isu tersebut. Terkait hal ini, meski sudah banyak penelitian mengenai kebijakan Tiongkok terhadap Indonesia, namun hanya sedikit kajian yang menulis secara spesifik mengenai persepsi Tiongkok mengenai Indonesia dalam sengketa LCS. Melalui kerangka analisis teori citra atau image theory dan metode penelitian causal process tracing, kajian ini menunjukkan bahwa citra Indonesia di mata Tiongkok adalah ally image. Dalam ally image, Indonesia dipandang sebagai aktor yang memiliki tujuan, kapabilitas dan dimensi kultural yang relatif sepadan. Hal ini mempengaruhi pilihan strategi yang diambil Tiongkok terhadap Indonesia terkait insiden-insiden yang terjadi di perairan Natuna, di mana Tiongkok lebih mengedepankan hubungan baik dan kemitraan kedua negara. Dalam kaitannya dengan isu sengketa LCS secara umum, Tiongkok memandang Indonesia sebagai teman yang mampu bersikap adil terhadap pihak-pihak yang bersengketa. ......This study analyses Indonesia's image from China's perspective on the South China Sea (SCS) dispute. Indonesia is a non-claimant state in SCS dispute. China's claim on Nine-dashed Line, however, overlaps with Indonesia's EEZ in Natuna islands. Tensions following some incidents occured in Natuna waters within 2010-2016. China insisted two countries have overlaping interest claim in those area, while Indonesia persisted on its position as non-claimant state. Nevertheles, China still perceives Indonesia in positive image and tend to be cautious when dealing with Indonesia on this issue. Although there are many studies on the SCS dispute and China's policy towards Indonesia, few if any of them discuss specificaly on China's perception towards Indonesia in this regard. Adopting image theory as an analytical framework and causal-process tracing on research method, this study figures that China captures Indonesia's image as an ally. In ally image, Indonesia is perceived as an actor who has positive goal compatibility with similar capability and cultural dimension as well. This perception affects the strategic options taken by China against Indonesia regarding the Natuna incidents in which China prioritize good relation and partnership between both countries. While on the SCS issue, China perceives Indonesia as a good friend capable of being fair to the parties in the dispute.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library