Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yudho Sasongko
Abstrak :
Kasus pendudukan Cina di Mischief Reef pada akhir tahun 1994 menandai babak baru dalam sengketa Laut Cina Selatan, yakni ketika Cina untuk pertama kalinya bersikap asertif terhadap salah satu negara ASEAN. Tindakan Cina ini setidaknya mengandung dua risiko, yakni terganggunya hubungan strategis Cina dengan negara-negara ASEAN serta semakin menguatnya dugaan tentang adanya "ancaman Cina" ("China threat ") di Asia Tenggara. Tindakan Cina tersebut menarik untuk dikaji, khususnya untuk mencari faktor-faktor yang mungkin berkaitan dengan tindakan tersebut. Dalam kaitan ini, penulis memfokuskan pembahasan pada politik domestik Cina, khususnya persaingan antar unit-unit birokrasi di dalamnya. Dengan menggunakan teori tentang proses pengambilan kebijakan (policy-making process), terutama teori Graham Allison tentang politik birokratik, penulis berusaha menjelaskan persaingan birokrasi yang terjadi dan kaitannya dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan. Dalam hal ini, insiden pendudukan Cina di Mischief Reef digunakan sebagai studi kasus. Secara lebih spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan persaingan antarunit birokrasi di Cina yang saling memperebutkan pengaruh dalam upaya mempertahankan dan mengedepankan kepentingan birokratiknya; menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan kelompok 1 unit birokrasi tertentu lebih mampu mendominasi dan memenangkan persaingan; dan menjelaskan kaitan antara dominasi kelompok 1 unit birokrasi tertentu dalam persaingan birokratik dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan, khususnya ketika Cina menduduki salah satu pulau karang di gugusan Kepulauan Spratly, yakni Mischief Reef. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sejumlah aktor utama yang saling bersaing dalam upaya mempertahankan kepentingan birokratiknya dan dalam upaya mempengaruhi kebijakan Cina, khususnya kebijakan dalam konflik Laut Cina Selatan. Aktor-aktor tersebut terdiri dari Kementrian Luar Negeri (MFA), Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), dan unsur-unsur dalam PLA, yakni Departemen Staf Umum (GSD), Angkatan Laut (PLA-N), dan Angkatan Udara (PLA-AF). Diantara aktor-aktor utama tersebut, PLA dan PLA-N sangat mendominasi persaingan, dan hal ini disebabkan setidaknya olch 5 (lima) faktor, yakni (1) tingginya posisi politis PLA dalam politik domestik Cina yang disebabkan oleh tragedi Tiananmen dan situasi power struggle yang menguntungkan posisi tawar-menawar PLA; (2) lemahnya MFA sebagai rival utama PLA dalam persaingan birokratik; (3) tingginya posisi elit PLA-N (yakni Admiral Liu Huaqing) dalam lingkaran elit pengambil keputusan tertinggi di Cina; (4) lemahnya GSD dan PLA-AF sebagai rival PLA-N dalam persaingan intra-PLA; (5) kemampuan PLA-N dalam mencari dan menjalankan strategi yang mengaitkan kepentingan birokratik dengan kepentingan nasional. Keterkaitan antara dominasi PLA dan PLA-N dalam politik domestik Cina pada periode sebelum pendudukan Cina di Mischief Reef dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan terutama terlihat dalam proses pembuatan kebijakan Cina tentang Laut Cina Selatan, dimana pengaruh militer Cina khususnya dalam institusi CMC sangat besar. Figur Liu Huaqing sebagai perwira senior PLA dalam CMC yang sekaligus memiliki kedudukan dalam lingkaran elit tertinggi Cina, yakni Komite Tetap Politbiro kemungkinan besar sangat berpengaruh terhadap munculnya kebijakan Cina yang asertif di Laut Cina Selatan pada umumnya, dan pendudukan di Mischief Reef pada khususnya. Meskipun tidak dapat dipastikan bagaimana CMC dan Liu Huaqing mempengaruhi proses pengambilan keputusan tentang kebijakan Cina Laut Cina Selatan, namun dengan melihat besarnya wewenang CMC dan tingginya kedudukan Liu dalam sistem politik Cina serta prestise yang menyertainya sebagai seorang veteran masa revolusi, bisa diperkirakan bahwa pengaruh Liu sangat besar dalarn mempengaruhi proses pengambilan keputusan tersebut. Kemampuan PLA dan PLA-N untuk mendominasi persaingan birokratik terhadap rivalrivalnya tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor seperti power, prosedur dan aturan main yang cenderung menguntungkan kedua institusi tersebut, melainkan juga dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih luas, yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkup politik domestik Cina, yang antara lain ditandai oleh meningkatnya peran militer dalam proses politik. Peningkatan peran tersebut merupakan disebabkan oleh proses suksesi yang terjadi beberapa tahun sebelumnya serta proses adaptasi yang dilakukan oleh institusi-institusi politik Cina dari waktu ke waktu.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12075
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heni Hamidah
Abstrak :
Konflik Laut China Selatan merupakan salah satu bentuk baru ancaman keamanan pasca perang dingin di wilayah Asia Tenggara. Konflik ini melibatkan enam negara sebagai pengklaim secara langsung. Hal ini disebabkan lokasi strategis Laut China Selatan dan potensi yang terkandung didalamnya. Mengingat langkah untuk menyelesaikan konflik ini perlu waktu panjang karena rumitnya permasalahan, maka diperlukan upaya yang bisa tetap menjaga kawasan tetap aman hingga terselesaikannya permasalahan klaim wilayah ini. Salah satu upaya untuk mengelola konflik tersebut adalah dengan peningkatan saling percaya (CBMs). Konsep CBMs yang dikembangkan di Asia Pasifik, adalah konsep CBMs yang unik dimana keamanan dimengerti secara konprehensif meliputi aspek militer dan non-militer. CBMs umumnya dimengerti secara longgar yang meliputi segala upaya formal dan informal pada tingkat unilateral, bilateral atau pun multilateral yang ditujukan untuk mencegah eskalasi konflik atau menyelesaikan ketidak pastian. CBMs yang dikembangkan di LCS tidak hanya terbatas pada CBMs standard yaltu melalui komunikasi, transparansi, constraint measures dan declaratory measures yang umumnya menyangkut bidang politik dan militer, tetapi mencakupkan kerjasama dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, lingkungan hidup dan lain-lainnya. Perundingan untuk pengelolaan dan upaya pencarian penyelesaian damai konflik Laut China Selatan, sejauh ini baru pada tahap disepakatinya suatu non-legally binding code of conduct antara ASEAN dengan China dengan ditandatanganinya Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea pada KTT ASEAN China, 4 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja. ASEAN sejak awal menginginkan dikeluarkannya suatu legally-binding code of conduct for the South China Sea, namun karena adanya berbagai kepentingan yang saling tarik menarik, untuk sementara baru dihasilkan suatu 'perjanjian sementara' berupa deklarasi yang akan dijadikan sebagai 'aturan main' dalam senketa di LCS. Berdasarkan uraian diatas penulis melakukan suatu penelitian untuk mengetahui faktor apakah yang meyebabkan ketidakberhasilan ASEAN untuk menghasilkan suatu legally-binding code of conduct in south china sea, dan akan dikaji lebih jauh bagaimana mekanisme CBMs yang telah dibentuk melalui Declaration on the conduct to parties in the South China Sea ini dapat mengelola konflik Laut China Selatan dengan cara mengubah potensi konflik menjadi potensi kerjasama yang efektif. Untuk membahas pokok permasalahan dalam penulisan ini digunakan pendekatan CBMs yang akan dijabarkan sebagai definisi konseptual dan definisi operasional menjadi asumsi-asumsi dalam kerangka analisis. Metode penelitian yang digunakan bersifat Deskriptif Analitis yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa hal-hal yang ada sehingga hasil penlitian dari data-data yang telah diperoleh dapat memberikan dukungan yang kuat terhadap teori atau konsep yang digunakan dalam penulisan ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak berhasilnya ASEAN merumuskan suatu legally-binding code of conduct disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1. Keberadaan ASEAN yang lebih banyak 'dikendalikan' oleh kekerasan pendirian China yang selalu menegaskan bahwa kedaulatannya di LCS adalah sesuatu yang tidak dapat diganggu-gugat. 2. Penegasan China yang hanya akan menyepakati suatu non legally-binding code of conduct dan membatasi pada isu Spratly serta memfokuskan pada dialog untuk memelihara stabilitas dikawasan dengan pengembangan kerjasama dan tidak membahas masalah yurisdiksi kedaulatan. 3. China menunjukkan kemampuannya untuk mengkontrol negosiasi seputar konflik territorial tersebut dengan menjalin jaiur bilateral yang telah menghasilkan bilateral code of conduct. 4. Posisi tawar ASEAN yang lemah karena adanya perbedaan pandangan dikalangan ASEAN sendiri. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penandatanganan dokumen tersebut merupakan kemajuan dari upaya CBMs antara ASEAN dan China yang tengah dibangun selama ini, mengingat selama ini China hanya menginginkan pembahasan sengketa secara bilateral dan menolak segala bentuk internasionalisasi sengketa. Sebagai langkah awal deklarasi tersebut telah membawa negara-negara yang terlibat khususnya untuk memberikan komitmen dan pernyataan sikap bersama untuk menyelesaikan masalah sengketa di LCS secara damai. Deklarasi ini juga dapat dijadikan pendukung bagi pelaksanaan kerjasama yang telah dirintis melalui Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea dan starting point untuk pembentukan suatu legally-binding code of conduct. Daftar Pustaka : 24 Dokumen + 16 Buku + 23 Artikel + 3 Paper Diskusi/Seminar + 2 Disertasi + Internet
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feki Anrizal
Abstrak :
Tugas karya akhir ini membahas mengenai strategi Vietnam dalam menjaga keamanan Laut Tiongkok Selatan pada tahun 2011. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk membahas dan menganalisa strategi Vietnam dalam menjaga keamanan Laut Tiongkok Selatan pada tahun 2011. Strategi yang dilakukan Vietnam salah satunya dengan kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat melalui penegasan MoU pada tahun 2011. Kerja sama tersebut bertujuan untuk meningkatkan kekuatan militer Vietnam guna menjaga keamanan di Laut Tiongkok Selatan dari negara-negara yang bersengketa terutama Tiongkok, selaku pemilik kekuatan militer terbesar di kawasan tersebut. Hal ini menuntut Vietnam melakukan kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat sebagai strategi extended deterrence dalam menjaga keamanan Vietnam di Laut Tiongkok Selatan. ......This thesis discusses Vietnam's efforts in maintaining the security in the South China Sea in 2011. This study uses explanative and qualitative methods. It to discuss and analyze strategies how Vietnam maintain the security in the South China Sea in 2011. One of the strategies is defense cooperation with United States through the signing of the MoU in 2011. The defense cooperation was expected to help to improve Vietnam’s military strength in order to maintain the security of the South China Sea against the threats produced by other claimants policy, especially China as the largest military forces in the region. Vietnam’s policy to embrace United States extended deterrence, in part was a reaction to China’s military posture.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Khadijah
Abstrak :
ABSTRAK
Pesatnya aktivitas pelayaran menyebabkan sengketa teritorial dan maritim yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan menimbulkan kekhawatiran akan terhambatnya hak untuk berlayar, khususnya bagi kapal perang. Penguasaan secara de facto oleh Tiongkok atas fitur-fitur laut di Spartly, Paracel dan Scarborough Shoal dapat berimplikasi pada keberlakuan hukum domestik Tiongkok yang membatasi hak lintas damai kapal perang asing di laut teritorial dan aktivitas militer asing di ZEEnya. Klaim Tiongkok ini ditentang oleh Amerika dengan cara mengirimkan kapal perangnya untuk berlayar di perairan yang masih bersengketa tersebut di bawah misi FONOP. Dalam meneliti permasalahan ini, Penulis menggunakan metode penelitian berupa yuridis normatif. Adapun kesimpulan yang diperoleh dari permasalahan tersebut adalah klaim Tiongkok tidak dapat dibenarkan oleh hukum internasional, dengan demikian hak lintas damai tidak berlaku di perairan sekitar fitur-fitur yang diklaim negara tersebut dan kapal asing tetap dapat berlayar di bawah rezim kebebasan navigasi yang tertuang dalam Pasal 58 1 UNCLOS. Oleh sebab itu, seharusnya Amerika mengirimkan kapal perangnya untuk melakukan kebebasan navigasi. Selain itu, Tiongkok tidak berhak mengklaim ZEE dari fitur-fitur yang diklaimnya tersebut sehingga kebijakan atas aktivitas militer tidak dapat diterapkan. Tiongkok adalah negara yang telah meratifikasi UNCLOS, maka seyogyanya negara tersebut mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi tersebut.
ABSTRACT<>br> Territorial and maritime disputes occurring in the South China Sea have raised awareness among international communities regarding the impediment of navigational rights. China rsquo s de facto control on the sea features such as Spartly, Paracel and Scarborough Shoal possibly implies the enforcement of Chinese domestic laws that limit the innocent passage of foreign warships in territorial sea and foreign military activities in EEZ. However, America opposes Chinese claims by sending its warships to sail near disputed waters under FONOP mission. The research method used in this thesis is yuridis normatif. The conclusions derived from the problem are, Chinese claims cannot be justified by international law, therefore the right of innocent passage is not applicable in the waters surrounding the claimed features and foreign warships are able to sail under the regime of freedom of navigation provisioned in Article 58 1 UNCLOS. Therefore, America should have sent its warships under the freedom of navigation regime. On the other hand, China is not capable of claiming EEZ derived from the features, therefore the country cannot restrict military activities in the region. Moreover, as member of UNCLOS, China has obligation to follow the rules set up in the convention.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gede Cadhu Wibawa
Abstrak :
Permasalahan Laut Cina Selatan merupakan permasalahan yang belum mencapai titik terang sampai dengan saat ini. Ketegangan kembali menguat setelah munculnya China Threat Teory serta gencarnya kebijakan Belt and Road Initiative oleh pemerintah China yang mencangkup Silk Road Economic dan Maritime Silk Road. Klaim Cina terhadap Kawasan Laut Cina Selatan dengan Nine Dash Line menimbulkan keresahan di negara kawasan ASEAN yang sebagian besar memiliki klaim yang tumpang tindih. Indonesia tidak termasuk sebagai negera penuntut dalam kasus sengketa di Laut Cina Selatan, namun demikian Indonesia turut terkena imbasnya dengan klaim perairan Natuna utara yang diakui Cina sebagai Traditional Fishing Ground. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran tingkat ancaman Cina terhadap Indonesia dengna menggunakan metode penilaian ancaman Prunckun untuk menilai persepsi tingkat ancaman dari pihak Indonesia. Peneliti menggunakan metodekualitatif, dengan menganalisis hasil wawancara dengan narasumber secara mendalam tentang respon yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap pergerakan yang dilakukan Cina di Laut Cina Selatan. Dalam penelitian ini peneliti berfokus dengan mengkaji respon pemerintah khususnya dari dua sisi komponen strategis yakni aspek kekuatan bersenjata dan aspek ekonomi. Dari dua aspek tersebut dilakukan perbandingan respon untuk melihat konsistensi pemerintah dalam menghadapi ancaman Cina. Dalam penelitian ini didapat bahwa langkah pemerintah dari dua aspek tersebut menunjukkan tidak sejalan. Kemudian Peneliti menggunakan K3N sebagai alat untuk memberikan produk Intelijen sebagai bentuk fungsi intelijen yakni Warning, Forecasting dan Problem Solving. ......The South China Sea problem is a problem that has not yet reached the bright spot until now. Tensions have strengthened again after the emergence of China Threat Theory and the incessant Belt and Road Initiative policy by the Chinese government which includes the Silk Road Economic and Maritime Silk Road. China's claim to the South China Sea Area with the Nine Dash Line has caused unrest in ASEAN countries, most of which have overlapping claims. Indonesia is not included as a claimant country in cases of disputes in the South China Sea, however, Indonesia is also affected by the claim that the North Natuna waters are recognized by China as the Traditional Fishing Ground. In this study, the measurement of China's threat level to Indonesia was carried out using the Prunckun threat assessment method to assess the perceived threat level from the Indonesian side. The researcher used a qualitative method, by analyzing the results of interviews with sources in depth about the response made by the Indonesian government to the movements carried out by China in the South China Sea. In this study, researchers focused on examining the government's response, especially from the two sides of the strategic component, namely the aspect of armed power and the economic aspect. From these two aspects, a response was compared to see the consistency of the government in facing the Chinese threat. In this study, it was found that the government's steps from these two aspects showed that they were not in line. Then the researcher used K3N as a tool to provide intelligence products as a form of intelligence function, namely Warning, Forecasting and Problem Solving.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihite, Ruth Ivanna
Abstrak :
Sengketa wilayah di Laut China Selatan kembali mengalami peningkatan ketegangan sejak akhir 2011. Konflik antar negara-negara yang mengajukan klaim atas wilayah Laut China Selatan kembali mencuat sejak 2008 dan berlanjut hingga pertengahan 2012. Beberapa peristiwa yang terjadi menjadi sinyal akan potensi terjadinya konflik bersenjata. China melakukan beberapa aksi militer terutama terhadap Vietnam dan Filipina yang melakukan aktifitas dalam batas zona ekonomi ekslusif (ZEE) kedua negara berdasarkan konvensi UNCLOS. Dari lima negara yang bersengketa dengan China di Laut China Selatan: Brunei, Filipina, Malaysia, Taiwan dan Vietnam, tiga diantaranya adalah merupakan negara anggota ASEAN, organisasi kawasan yang menjadi mitra China dalam beberapa kerjasama. Dualisme China yang di satu sisi bersikap multilateralis dengan ASEAN namun unilateralis dengan beberapa anggotanya dalam kasus Laut China Selatan menjadi latar belakang penelitian ini. Konflik Laut China Selatan merupakan konflik yang yang sudah terjadi sejak puluhan tahun. Klaim kedaulatan di wilayah tersebut ditengarai semakin meningkat karena negara-negara pengklaim ingin mendapatkan kedaulatan atas sumber energi yang ada di wilayah tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti akan fokus menganalisa faktor pemicu China yang bersikap asertif bahkan unilateralis sebagai faktor utama terjadinya ketegangan di wilayah tersebut. ......Tension continue to rise following military actions deployed by claimants of the territorial dispute. In the third quarter of 2011 incidents which potentially lead to armed conflict worsen the situation in South China Sea. In the mid of 2012 China's military actions threat Vietnam's and Philipina's sovereignity while doing actions within their exclusive economic zone (EEZ). There are five countries involved with China in South China Sea dispute: Brunei, the Philippines, Malaysia, Taiwan and Vietnam. Three of them are ASEAN members which in some cooperations related and connected with China. This situation describe China's dualism. On one side China is multilateralist but on the other side to be unilateralist. China's dualism to it's neighbour country is the idea of research question of this thesis. Since China at the same time being cooperative but also unilateralist, there must be factors that driven China to act this way. South China Sea conflict had occurred since decades. Claims to sovereignty in the region identified as a motivation to unlimited right for energy resources surround the region. In this thesis, researcher will try to analyse the most influenced factor that dirive China to be asertive even unilateralist in South China Sea. This factor is getting more crucial as China's action said to be trigger to rising tension in the region.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T30576
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri, Republik Indonesia, 2016
341.448 IND l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Isroni Muhammad Miraj Mirza
Abstrak :
ABSTRAK Konflik Laut Cina Selatan merupakan masalah yang bersifat multidimensional. Pembahasan hal itu membutuhkan pendekatan berbagai aspek, yakni hukum, politik, ekonomi, hingga keamanan (security). Aspek-aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Dalam perkembangan terakhir, konflik tersebut semakin memanas di antara claimant states. Intensitas konflik tersebut semakin terlihat dengan adanya berbagai macam klaim dari para claimant states, khususnya Cina melalui konsep nine dashed line yang dimilikinya. Konsep tersebut memang dinilai banyak pihak, bahkan oleh non claimant states, sebagai konsep dan tindakan illegal dari Cina karena hal tersebut mengakibatkan Cina menguasai hampir sebagian besar dari perairan Laut Cina Selatan. Tindakan ini juga melanggar ketentuan UNCLOS 1982. Asal muasal Nine Dashe Line ini sendiri tidak jelas dan penuh akan nuansa politik yang diciptakan pemerintah Cina. Nine dashed line tersebut tentunya semakin meningkatkan kompleksitas konflik Laut Cina Selatan. Konsekuensi yang terjadi saat ini, khususnya akibat nine dashed line tersebut, ialah secara geografis timbul apa yang disebut ?overlapping EEZ? di perairan tersebut. Filipina sebagai claimant states mengajukan sengketa ini ke Permanent Court of Arbitration (PCA) sebagai upaya untuk melawan tindakan agresif Cina di Laut Cina Selatan. Meskipun forum ini dilangsungkan tanpa persetujuan dan kehadiran Cina. Karena negara ini menolak berpatisipasi dari awal hingga akhir. Hal tersebut mengakibatkan proses peradilan di PCA hingga putusan akhir yang akan dikeluarkan tidak akan berpengaruh sedikitpun pada Cina untuk menghentikan tindakan agresifnya di Laut Cina Selatan. Artinya apa yang berjalan di PCA tidak akan menyelesaikan konflik tersebut seutuhnya. Meskipun bagi claimant states lainnya maupun non claimant states, seperti Indonesia, hal itu masih memberikan dampak cukup positif. Ketidakjelasan solusi konflik itu maupun kompleksitasnya, mengundang perhatian dari pihak lainnya seperti ASEAN dan EU. Kedua entitas ini memiliki kepentingan signifikan di Laut Cina Selatan, terutama ASEAN. Akibat faktor hukum, politik, dan eknomi, EU dan ASEAN tidak bisa secara institusi dan unilateral mengintervensi langsung sebagai pihak ketiga dalam membantu claimant states mencapai solusi damai terkait konflik Laut Cina Selatan. Sehingga peran kedua entitas ini terbatas. Agar ASEAN dan EU berperan lebih signifikan, perlu ada upaya community dan confidence building secara tidak langsung melalui kerjasama ASEAN-EU demi tercipta stabilitas regional di Laut Cina Selatan.
ABSTRACT The Conflict in South China Sea is a multidimensional problem. The explanation of this issue requires a multidimensional approach, which consists of legal, political, economic, and security aspects. In recent years, the intensity of this conflict has considerably increased among claimant states. The intensity of the conflict is particularly visible through numerous of claims stated by the claimant states, especially China through its concept known as nine dashed line. Such concept is often regared even by the non claimants states as an illegal act by China since such act entitles Cina to dominate almost all territory of South China Sea. Such act also violates UNCLOS 1982. The origin of Nine Dash Line remains unclear and politically fabricated made by the chinese government. The Nine Dashe Line increases the complexity of the conflict in South China Sea. Geographically, the consequence, particularly due to the nine dash line, which is commonly visible today is what we know as the term ?overlapping? in South China Sea. Particularly, this also refers to ?EEZ overlapping. Phillipines as a claimant state, submitted this case before the Permanent Court of Arbitration in an attempt to counter China?s aggresiveness in South China Sea. Despite the fact that China rejects to participate in it from the beginning until the end of the legal proceeding. Consequently, both the legal proceeding and the final verdict of PCA would have no effect at all in deterring China from refraining its aggresiveness in South China Sea. In other words, it will not entirely resolve the conflict. Although, for the other claimant states and non claimant states, including Indonesia, the legal proceeding and the final verdict exercised by PCA would at least bring about a positive impact. The complexity and the inability by claimants states to reach a solution with regard to South China Sea issue, has attracted the attention of ASEAN and EU. These two international bodies have both significant interest in South China Sea, especially ASEAN. Due to numerous legal, political, and economic consideration, EU and ASEAN are not institutionally and unilaterally able to carry out direct intervention as a third party in assisting the claimant states to reach peaceful settlement concerning the conflict in South China Sea. Therefore the roles of these two entities are limited. In order for ASEAN-EU to play significant role, there has to be a community and confidence building exercised indirectly through ASEAN-EU Joint Cooperation in an attempt to bolster regional stability in South East Asia.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45060
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peggy Puspa Haffsari
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas peran kepemimpinan Indonesia dalam upaya pengelolan sengketa Laut Cina Selatan (LCS). Tujuan penelitian ini adalah memahami peran negara dalam kawasan dan pengaruhnya pada dinamika keamanan di tingkat regional secara komprehensif. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan model deduktif. Kerangka analisis menggunakan konsep kepemimpinan dalam pendekatan kekuatan regional dan kerangka keamanan (Regional Powers and Security Freamwork-RPSF). Terdapat lima komponen yang menjelaskan perilaku pemimpin regional antara lain keterlibatan dalam proses inisiasi (prosess-initiation), keterlibatan dalam pembingkaian isu (issue framing), pertimbangan kepentingan (interest consideration), membangun institusi (institutional development) dan penyebaran kekuatan (deployment of power). Hasil penelitian secara umum mendapatkan bahwa peran Indonesia dalam upaya pengelolaan sengketa LCS cukup aktif namun berdampak terbatas. Peran Indonesia dikatakan aktif terlihat dari telah banyak kerja sama dan diplomasi yang dilakukan Indonesia selama dua puluh enam tahun. Peran Indonesia berdampak terbatas karena ditemukan kendala pada tiap praktek peran kepemimpinan Indonesia dalam mendorong dan mendukung terciptanya solusi internal penyelesaian sengketa LCS dari pihakpihak yang bersengketa.
ABSTRACT
This thesis discusses the role of Indonesian leadership in the effort of managing the South China Sea (LCS) disputes. The purpose of this study is to understand the role of the state in the region and its influence on the dynamics of regional security. This study is a qualitative reseacrh with the deductive model. the analytical framework uses the concept of leadership in regional and security approaches (Regional Powers and Security Framework-RPSF). There are five components that explain the role of initiation, initiation proceedings, discussions in framing issues, considerations of interests, institutional development, and power dissemination. This research finds out that Indonesian role in LCS dispute is quite active but limited impact. The active role of the Indonesian leadership wants to create and maintain an environtement that is fulfilled the absence of open conflict in the LCS. The role of Indonesia has limited impact because it finds obstacles in every practice of Indonesia's leadership role in encouraging and supporting the creation of internal dispute solution of LCS from the parties.
2018
T49046
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naomi Putri Anggita
Abstrak :
ABSTRAK
Kepulauan Spratly adalah sebuah wilayah di Laut Cina Selatan dimana terdapat terumbu karang dan pulau-pulau kecil. Wilayah Kepulauan Spratly bersama-sama dengan Laut China Selatan telah menjadi wilayah sengketa negara-negara tersebut yang mengelilingi Laut Cina Selatan. China adalah salah satu negara yang disengketakan, dengan mengklaim Laut Cina Selatan dan pulau-pulaunya, termasuk Nusantara Spratlys, sebagai bagian dari kedaulatannya. Pada akhir 2013, Cina melakukannya konstruksi pada 7 fitur karang di wilayah Kepulauan Spratly, yaitu Cuarteron Terumbu Karang, Terumbu Fiery Cross, Terumbu Gaven, Terumbu Hughes, Terumbu Johnson, Terumbu Mischief, dan Subi Reef, dan membuat pulau buatan baru. Status ketujuh fitur ini juga dipertanyakan dan apakah pembangunan pulau buatan ini bisa membuat China memperoleh kedaulatan atas Laut Cina Selatan. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis status pulau buatan yang dibangun di atas tujuh fitur di wilayah tersebut Kepulauan Spratly dan apakah di pulau-pulau ini Cina bisa mendapatkan zona maritim untuk memperluas wilayah kedaulatannya di atas Laut Cina Selatan. Di Tulisan ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan menganalisis peraturan perundang-undangan laut internasional tentang pulau dan pulau buatan, latar belakang klaim China terhadap Laut Cina Selatan tiba di pembangunan tujuh fitur, serta putusan Permanen Pengadilan Arbitrase pada perselisihan antara Cina dan Filipina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status tujuh fitur ditentukan dengan melihat kondisi aslinya sebelum dibangun oleh China, dan dengan status itu, China tidak dapat memperoleh zona ekonomi eksklusif di atas Kepulauan Spratly secara langsung secara keseluruhan, sehingga pembangunan tidak memberi Cina perluasan kedaulatannya.
ABSTRACT
The Spratly Islands are an area in the South China Sea where there are coral reefs and small islands. The area of ​​the Spratly Islands together with the South China Sea has become a disputed territory of these countries which surrounds the South China Sea. China is one of the disputed countries, claiming the South China Sea and its islands, including the Spratlys Archipelago, as part of its sovereignty. In late 2013, China carried out construction on 7 coral features in the Spratly Islands region, namely Cuarteron Coral Reef, Fiery Cross Reef, Gaven Reef, Hughes Reef, Johnson Reef, Mischief Reef, and Subi Reef, and created a new artificial island. The status of these seven features is also questioned and whether the construction of these artificial islands can allow China to gain sovereignty over the South China Sea. This article aims to analyze the status of artificial islands built on seven features in the Spratly Islands region and whether in these islands China can get a maritime zone to expand its sovereign territory over the South China Sea. In This paper uses normative juridical research by analyzing international maritime laws and regulations regarding artificial islands and islands, the background of China's claims to The South China Sea arrived at the construction of the seven features, as well as the verdict Permanent Court of Arbitration on disputes between China and the Philippines. The results show that the status of the seven features is determined by looking at their original condition before being built by China, and with that status, China cannot obtain an exclusive economic zone over the Spratly Islands directly in its entirety, so development does not give China an expansion. his sovereignty.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>