Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Rasyid Saleh
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi dan didorong oleh keinginan untuk melihat hubungan antara dinamika kepemerintahan desa dengan struktur sosial, khususnya dalam bentuk ketiga dimensi stratifikasi sosial masyarakat Bulukumba, yakni: kekuasaan, privilese dan prestise. Peneliti sendiri berasal dari Sulawesi Selatan dan berkecimpung selama puluhan tahun dalam birokrasi, khususnya di Iingkungan Departemen Dalam Negeri RI. Peneliti menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial budaya, dan malah untuk kasus masyarakat Bugis-Makassar dengan tradisi kerajaan dan kebangsawanannya di masa lampau, nampaknya cukup sulit untuk dipisahkan. Ada tiga tujuan yang dicapai melalui penelitian ini, yakni: (i) Menggambarkan pengaruh hubungan antara ketiga dimensi stratifikasi sosial: kekuasaan, privilese dan prestise dalam pelaksanaan pemerintahan desa di Bulukumba; (ii) Menggambarkan fase-fase pemerintahan desa menurut dimensi stratifikasi sosial yang dominan; (iii) Memberikan rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan desa di Kabupaten Bulukumba. Sejalan dengan tujuan di atas, penelitian ini dapat berkontribusi pada: (i) Pengembangan teori stratifikasi sosial pada tingkat Iokal, seperti yang pernah dilakukan oleh R.M.Z. Lawang unluk konteks masyarakat Manggarai di Flores Barat (1989/2004); (ii) Identifikasi yang lebih trgas lagi terhadap kontribusi sosiologi pada efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa di Bulukumba, dimana kekuatan tradisi kebangsawanan masih cukup kuat. Baik tradisi kerajaan dan kebangsawanan Bugis-Makassar maupun sistem pemerintahan desa di Indonesia memiliki sejarahnya sendiri. Dimensi yang menonjol dari sistem stratifikasi sosial juga berbeda-beda dalam setiap kurun waktu (fase) pada rentang sejarah, seperti yang sudah dibuktikan Lawang (ibid.). Pertanyaan penelitian yang memandu pengumpulan informasi dan analisis penelitian, ialah: apakah interaksi antara penyelenggaraan pemerintahan desa dengan struktur sosial terjadi dengan cara yang sama untuk setiap pariode? Dengan kata lain: apakah ketiga dimensi Stratifikasi Sosial itu mempunyai pengaruh yang sama dari dulu sampai sekarang di Bulukumba ? Dinamika sosiologik ini pernah dibahas secara teoritik klasik oleh Max Weber dalam tiga konsep stratifikasi sosial, yakni: kekuasaan, privilese dan prestise, dimana ketiga dimensi itu pada dasarnya berdiri sendiri, namun faktor ekonomi (priviles) mempengaruhi kedua lainnya (M. Weber, 1963). Karl Marx menjawab pertanyaan penelitian itu dengan mengatakan bahwa dimensi ekonomi merupakan dimensi utama yang paling menentukan dalam sejarah perkembangan kapitalisme. Sebaliknya Gerhard E. Lenski justru menempatkan dimensi kekuasaan yang mempengaruhi kedua dimensi lainnya. Dalam studi R.M.Z. Lawang tentang Manggarai, pengaruh ketiga dimensi itu berbeda-beda dalam sejarah. Teori terakhir inilah yang menjadi inspirasi bagi peneliti untuk melihat, apakah sejarah Bulukumba memperlihatkan kecenderungan yang sama. Dari pelaksanaan penelitian, ternyata hasilnya berbeda. Untuk menjabarkan lebih jauh pokok pikiran Lenski dan Lawang, sejarah pemerintahan Bulukumba dibagi ke dalam empat periods, yakni : (i) Periode pra kemerdekaan sampai tahun 1945; (ii) Periode |946-1979; (iii) Periode 1980-2000; (iv) Pcriodc 2001-sekarang. Periodesasi ini mempunyai argumentasi yang dipertanggungjawabkan dalam metodologi. Metode dan teknik penelitian dilakukan melalui: wawancara mendalam, pengamatan dan Focus Group Discussion, merupakan tiga metode utama, disamping analisis dokumen untuk mengumpulkan infomiasi di lapangan. Setelah informasi itu dianalisis, beberapa temuan menarik perlu dikemukakan sebagai berikut: Pertama, selama periode pra kemerdekaan sampai tahun 1945, dimensi kekuasaan Bugis-Makassar rnasih membayangi prestise bangsawan. Tanpa kekuasaan, prestise bangsawan ini tidak ada kekuatannya. Prestise yang melekat pada bangsawan (Arung, Karaeng, Datu dan Andi) merupakan dimensi yang mempengaruhi dimensi kekuasaan Iokal desa, serta privilese yang mereka peroleh. Distribusi ketiga dimensi stratifikasi sosial ini disajikan dalam Bab Ill. Kedua, periode 1946-i979 tidak berbeda jauh dari yang sebelumnya tetapi selama periode ini berlangsung, sudah terjadi pergeseran. Kalau pada periode sebelumnya dimensi prestise yang dominan, pada periode ini dimensi privilese sudah mulai mendapat tempatnya dan mempengaruhi kedua dimensi lainnya. Distribusi ketiga dimensi ini digambarkan dalam Bab IV. Ketiga, periode 1980-2000 mcmpunyai corak yang lain. Selama periode ini, teori Lenski nampak benar sekali dalam kenyataannya. Orde Baru menginstitusionalisasikan kekuasaan birokrasi yang bertumpu pada UU Nomor 5/I974 dan UU Nomor 5/1979. Efektivitas birokrasi desa terjadi, karena dukungan kekuasaan dan uang (privilese). Mesin politik yang paling dominan ketika itu adalah GOLKAR yang sangat mempengaruhi birokrat. Bab V mcnggambarkan distribusi ini secara panjang lebar. Keempat, periode 2001-sekarang, dengan semangat otonomi desa dan daerah, ada keinginan untuk kembali ke struktur lama yang belum jelas. Di satu pihak prestise yang berakar pada kebangsawanan mulai dihidupkan kembali dengan konsekuensi munculnya feodalisme baru yang mengganggu efektifitas pemerintahan, tetapi dilain pihak identitas lokal mulai menunjukkan wajahnya dalam wacana dan harapan masyarakat. Pembahasannya dapat dilihat dalam Bab VI. Kelima, dalam setiap periode sejarah perkembangan pemerintahan desa di Bulukumba, sangatlah sulit untuk membedakan dimensi kekuasaan dari prestise. Keduanya melebur menjadi satu, seperti halnya hubungan antara kerajaan Bugis-Makassar (kekuasaan) dan kebangsawanan (prestise) di masa silam. Revitalisasi yang dilakukan saat ini belum memperlihatkan arahnya yang jelas.
Depok: 2005
D795
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasrifin Tahara
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini mengkaji bagaimana stereotipe direproduksi oleh kelompok kaomuwalaka terhadap orang Katobengke sebagai kelompok papara dalam berbagai kesempatan. Pada masa Kesultanan Wolio, kelompok kaomu dan walaka sebagai kelas dominan melakukan distinction terhadap orang Katobengke sebagai kelompok lapis bawah atau didominasi. Distinction ini mengacu pada ciri-ciri yang membedakan kelompok kaomu-walaka dengan orang Katobengke sebagai proses produksi stereotipe sebagai strategi kekuasaan. Sebagai kelompok yang pernah berkuasa pada masa Kesultanan Wolio (eksekutif dan legislatif), ingin mempertahankan kekuasaan, privilese dan prestise dengan stereotipe orang Katobengke kotor dan bau, bodoh, kuat makan, lebar kaki, dan budak (batua) sebagai stereotipe yang bersifat internal. Bahkan pada saat ini, kelompok kaomuwalaka menguasai berusaha kedudukan penting dalam sistem pemerintah (walikota, camat, dan legislatif) serta pranata agama (sara kidina) Mesjid Agung Keraton yang pengangkatan pejabatnya tetap mengacu garis keturunan (kamia). Sebagai kelompok yang didominasi atau disematkan stereotipe, orang Katobengke berusaha melawan definisi yang diberikan kelompok kaomu-walaka. Bentukbentuk perlawanan terhadap kelompok kaomu-walaka berupa perlawanan terhadap sistem pengetahuan orang Wolio, resistensi lewat jalur pendidikan, resistensi dengan menggunakan simbol negara/militer, dan resistensi lewat jalur politik sebagai ruang negosiasi status orang Katobengke dalam struktur masyarakat Buton. Penelitian yang dilakukan sejak Maret 2008 hingga Oktober 2009 ini merupakan penelitian etnografi yang menekankan kasus-kasus keseharian orang Katobengke dalam struktur masyarakat Buton. Penelitian ini melingkupi penelitian arsip/pustaka dan penelitian lapangan. Metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pengamatan terlibat, dan analisis dokumen. Penelitian dilakukan di Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara dan meluas ke beberapa wilayah seperti Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kota Kendari, Kota Makassar, Kota Bogor, dan Jakarta. Para informan adalah tokoh adat dan tokoh agama masyarakat Buton dan Katobengke dan orang-orang yang memiliki pengalaman memberikan stereotipe bagi orang Katobengke dan orang Katobengke baik pemuda dan beberapa orang perempuan yang berhasil secara ekonomi. Temuan yang diperoleh adalah bahwa, 1) stratifikasi sosial masyarakat Buton masa kesultanan adalah sistem rank yang mengacu pada peluang untuk memperoleh kekuasaan, privilese, dan prestise sehingga menyebabkan perbedaan antar lapis sosial (kaomu, walaka, papara atau orang Katobengke) Stereotipe direproduksi dalam berbagai kesempatan sebagai strategi mempertahankan posisinya sebagai kelompok sosial lapis atas; 2) Orang Katobengke sebagai kelompok lapis bawah berusaha melawan definisi kelompok kaomu-walaka terhadap meereka sebagai upaya mobilitas status; dan 3) Secara umum, saat ini perubahan struktur sosial masyarakat Buton masih mencari pola baru; kelompok kaomu-walaka berusaha mempertahankan kekuasaan, privilese, dan prestise dengan memahami dunia sosial dengan status tradisional (kamia) masa kesultanan, sedangkan orang Katobengke memahami dunia sosial dengan status baru berdasarkan pendidikan, agama, dan politik.
ABSTRACT
This dissertation studies how the stereotypes which were reproduced by the kaomu-walaka group foward the Katobengke people as the papara group in different opportunities. In the age of Wolio Sultanate, the groups of kaomu and walaka as the dominant classes made distinction to regard the Katobengke as the low social stratification or the dominated group. This distinction refered to the characteristics which differentiated the kaomu-walaka group from the Katobengke group as stereotyped production process used as the strategic power. As a group which had ever governed in the era of Wolio Sultanate (executive and legislative), would like to defend their power, their priviledge, and their prestige against, the stereotyped Katobengke people whose characteristics internally such as: dirty, smell, eating much, wide feet, and slaves (batua). Even, today the kaomu-walaka group still occeupy the important positions in the governmental system (mayor, camat or head of sub regency administration, and legislative members), and religious institution (sara kidina) of the palace graund mosque (Mesjid Agung Keraton) whose functionaries appointed based on the hereditary position (kamia). As the dominated group or called stereotyped people, the Katobengke try to fight against the definition whic has been given by the kaomu-walaka group. The forms of resistence against the kaomu-walaka group have been done by the Katobengke people such as: resistence against the knowledge system of Wolio people, resistence against the field of education, resistence by using the state/military simbols, resistence through political field as the place of negotiation concerning the statuses/positions of Katobengke people in the Buton social structure. The research was implemented from march 2008 until october 2009. It was the ethnographical investigation emphasizing the daily cases of Katobengke people in the Buton social structure. This research covered the library and archieves studies and field work. The methods were used in data collecting, namely, interview, participant observation, and document analysis. The places of research were in South East Sulawesi Province, such as Bau-Bau city, Buton regency, North Buton regency, Kendari city, and other cities for example, Makassar, Bogor and Jakarta. The informants interviewed were the adat figures, the religions figures in both Buton and Katobengke society who could give information about the stereotypes of Katobengke people. Besides, the youth, the successful businesmen and women of the Katobengke also were interviewed to gain the information needed in the research. The data which have been obtained are as follows: 1) the social statification in the age of Buton sultanate was the rank system whis was refered to the possibility to get the power, the priviledge, and prestige, which could result in the different social stratification (kaomu, walaka, and papara or Katobengke). The stereotypes of Katobengke were reproduced in different oppotunities as the strategy to defend the position of high social strata group; 2) the Katobengke group as the low social stratification tries to resist the definition made by the kaomu-walaka group as an effort for the mobilty of status; and 3) Generally speaking, nowadays the change of social structure in Buton society is still looking for a new pattern (model), the kaomu-walaka group has tried to defend its own power, its own priviledge, and its own prestige by rethinking its social world with its traditional status (kamia) in the former sultanate period, while the Katobengke group understands its social world with a new status based on an achiaved status through an element of competition in education, religion, and politics, to occupy a given position in Buton society.
Depok: 2010
D1194
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yeon, Lee
Abstrak :
Dalam khazanah sastra Indonesia Nh. Dini dikenal sebagai pengarang sastra feminis dan dianggap sebagai seorang pelopor dalam mendobrak suatu wilayah yang sejauh ini belum pernah disentuh oleh para wanita pengarang lainnya. Hal ilu disebabkan karena tema-tema yang disajikan secara gamblang dalam karya-karyanya sangat bertentangan dengan konvensi atau norma yang berlaku dalam masyarakat, terutama mengenai hal-hal yang menyangkut persoalan wanita. Akan tetapi, dalam karya-karyanya khususnya dalam rangkaian cerita kenangannya, ditemukan bahwa dia juga mengungkapkan penghargaan terhadap budaya Jawa tradisional yang melekat pada kepriyayian Jawa. Dari latar belangkang permasalahan tersebut, disertasi ini membahas kaitan kepriyayian dan perspektif wanita Serta memulainya dengan sebuah pertanyaan, yaitu bagaimana Nh. Dini memaparkan sejumlah persoalan wanita yang pada saat bersamaan juga mengungkapkan nilai budaya tradisional, yaitu budaya kepriyayian Jawa dalam kelima cerita kenangannya. Dipilihnya kelima cerita kenangan sebagai bahan penelitian ini adalah karena kelima cerita kenangan tersebut berkaitan erat dengan sosialisi nilai tradisional serta nilai gender wanita priyayi Jawa di masa kanak-kanak, yang semua ini merupakan konsep utama dalam penelitian ini. Dari hasil pembahasan mengenai ungkapan-ungkapan Nh. Dini terhadap kepriyayian dan persepktif wanita dalam kelima cerita kenangan, diperoleh sebuah gambaran yang boleh dianggap sebagai kunci jawaban terhadap permasalahan di atas. Hasil pembahasan tersebut, terlebih dahulu menjelaskan bahwa cara dan sikap Nh. Dini dalam mengungkapkan kepriyaian dan perspektif wanita terlihat pada tataran yang berbeda tanpa terjadi ketegangan antar kedua aspek tersebut. Dari hasil analisis diketahui bahwa ungkapan Nh. Dini mengenai nilai kepriyayian terlihat sangat mencolok pada penokohan dan idenya terhadap kepriyayian telah larut secara menyeluruh dalam karya-karyanya. Sementara itu cara dan sikapnya dalam mengungkapkan perspektif wanita diwujudkan atau embodied dengan maksud ingin mempengaruhi para pembaca. Selain itu, hasil pembahasan juga memberikan gambaran bahwa ide Nh. Dini mengenai kepriyayian telah terinternalisasi pada dirinya sendiri hingga pada akhirnya mewarnai perspektif wanita yang dimilikinya. Berdasarkan hal-hal tersebut, disertasi ini menyimpulkan bahwa Nh. Dini bersikap menghargai dan menganut nilai-nilai kepriyayian khususnya yang berkenaan dengan ke'alus 'an, pengendalian emosi dan tata susila. Kelima cerita kenangan menunjukkan bahwa pada dasarnya Nh. Dini tidak menentang bahkan menerima nilai-nilai kepriyayian sebagai sesuatu yang positif bukan sebagai sebagai sesuatu yang patriarkis. Adapun pada kelima cerita kenangan terlihat perspektif wanita yang dalam hal ini adalah tanggapan Nh. Dini terhadap nilai kepriyayian yang berkenaan dengan wanita. Pada tanggapan tersebut diungkapkan bahwa yang dipermasalahkan Nh. Dini adalah diskriminasi antara wanita dan pria dalam menerapkan nilai-nilai kepriyayian dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu menjelaskan bahwa Nh. Dini bersikap menerima tatanan nilai kepriyayian, tetapi yang dituntutnya adalah bahwa tatanan tersebut semestinya juga ditujukan pada pria bukan hanya pada wanita saja. Dengan hal tersebut disertasi ini menyajikan sosok baru Nh. Dini, yaitu sebagai priyayi feminis atau sebagai feminis yang menganut nilai-nilai kepriyayian. Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa Nh. Dini merepresentasikan dan mengangkat soal priyayi Jawa bukan sebagai suatu status sosial atau suatu gelar yang terpandang dalam masyarakat, melainkan kepriyayian sebagai suatu acuan nilai yang harus terus-menerus dibangun dalam perilaku dan sikap seseorang. Mengingat bahwa kepriyayian masih melekat dalam kehidupan bermasyarakat sebagai semacam gelar kehormatan dan masih tetap diinginkan oleh sebagian anggota masyarakat untuk diterapkan pada zaman sekarang, cerita kenangan Nh. Dini memperlihatkan sebuah gambaran yang bermakna sebagai bahan pertimbangan dalam menginterpretasi kepriyayian Jawa. Nh. Dini, a well-known literary author in the Indonesian literature, has been regarded as the pioneer in feminism, as the themes of her works convey her opinions about women?s issue in a society, a subject which had never been brought up by any other author before. Although she is likely to take side in her novels and often stands against social conventions and nouns, she has shown appreciation toward the Javanese traditional cultural values, cultural values of the priyayi in her memoirs. This dissertation is an attempt to show the way Nh. Dini draws a line between two contrary aspects, the cultural values of the priyayi and the women?s perspectives, by analyzing the five selected memoirs of Nh. Dini. The reason for choosing the memoirs as the subject of this dissertation was because they are closely related to the childhood socialization of gender values as well as the traditional values which has become one of the important concerns in this dissertation. The dissertation begins by interpreting Nh. Dini?s expression about both the priyayfs and women?s perspectives. It indicates that Nh. Dini?s thoughts and attitude toward these two different values are expressed in different ways which do not conflict between one and the other. The analysis has also resulted in a conclusion that Nh. Dini?s thoughts and attitude toward the priyayi have distinctively exposed through the characters in her memoirs, the priyayi replaces with and dissolves deeply in her memoirs. Compared with her more internalized priyayi values, Nh. Dini?s thoughts and attitude about women?s issues are expressed more bluntly with the aim of influencing her readers. Through her memoirs Nh. Dini shows how her thoughts about the priyayi has naturally blended with her own life that in the end resulted in giving her new perspectives as a woman. Based on the analysis, the dissertation has proven that basically Nh. Dini respects and accepts the values of priyayi, especially those which are related to the realm of morals, manner, self control and decency, as something constructive instead of exposing it as patriarchal system. What has become an issue for Nh. Dini is that the system has discriminated the implementation of the values of priyayi against women. By showing her faith in the values of priyayi and at the same time demanding equality between men and women, Nh. Dini appears with a new image in this dissertation, as a feminist prfyayf or a feminist who has faith in the values of priyayi. In the end, her memoirs shows that the subject of her works was not to legitimatize the priyayi as a respectable social status, but to represent it as values which should be applied in anybody?s daily life through behavior and attitude. Considering that the values of priyayi still linger in society and that some groups of people are intending to preserve the existence of priyayi in the present era, the memoirs of Nh. Dini give a different perspective of how to interpret the priyayi.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D881
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Annissa Putri
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas stratifikasi sosial yang terdapat di dalam kisah cinta novel Ketemu Suwiraning Daging. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Ketemu Suwiraning Daging karya Ch. Is Sarjoko yang diterbitkan oleh Penerbit Azzagrafika Yogyakarta pada tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan pengaruh stratifikasi sosial terhadap percintaan antara Harjo dan Artanti di dalam novel Ketemu Suwiraning Daging. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di dalam kehidupan, perbedaan stratifikasi sosial tidak dapat menghalangi hubungan kasih asmara.
ABSTRACT
This undergraduate thesis explains social stratification in the love story of Ketemu Suwiraning Daging. The data used for this research is novel Ketemu Suwiraning Daging written by Ch. Is Sarjoko that published by Azzagrafika Yogyakarta in 2013. The purpose of this research is to explain the effect of social stratification to the romance between Harjo and Artanti in the novel Ketemu Suwiraning Daging. The method used ini this research is descriptive-analysis. The result shows that in life, the differences of social stratification never can block the relationship of love.
2015
S61128
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junsuke Hara
Melbourne: Trans Pacific Press, 2005
303.4 JUN i I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Berreman, Gerald D.
California: Centre for Strategic and International Studies, [1972]
305 BER r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mardi Susanto
Abstrak :
ABSTRAK
Sebagaimana dengan masyarakat luas yang memiliki stratifikasi sosial di dalamnya, masyarakat narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan tentu juga memiliki stratifikasi sosial di dalamnya. Berangkat dari asumsi tersebut, tesis ini mencoba untuk menggali keberadaan stratifikasi sosial narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang. Dalam penelitian tentang stratifikasi sosial narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, teori yang dipergunakan sebagai panduan dalam rangka menjawab permasalahan stratifikasi sosial di lembaga pemasyarakatan adalah teori stratifikasi sosial yang dikemukakan oleh Max Weber, Gerhard E. Lenski dan C. Wright Mills yang menyatakan bahwa ada tiga dimensi stratifikasi sosial di Masyarakat yaitu dimensi kekuasaan, previlese dan prestise. Dengan pendekatan kualitatif diskriptif, penelitian ini berhasil menemukan suatu fakta empiris bahwa pada masyarakat narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang terdapat 4 (empat) dimensi stratifikasi sosial yaitu 1) Kekuasaan, 2) Prestise, 3) Previlese dan 4) kekerasan. Dari studi ini juga ditemukan bahwa dimensi previlese memiliki pengaruh yang sangat dominan terhadap ketiga dimensi lainnya.
ABSTRACT
As with wide society owning social stratification in it, socialize convict [in] institute of pemasyarakatan of course also own social stratification in it. leaving dar of the assumption, this thesis try to dig existence of social stratification of convict in Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang. In research about social stratification in Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, theory which is used as by guidance in order to replying problems of social stratification in lembaga pemasyarakatan is]theory of stratification of social proposed by Max Weber, Gerhard E. Lenski and C. Wright Mills expressing that there is three dimension of social stratification in society that is paintbrush dimension, previlese and presstige. With approach qualitative diskriptif, this research succeed to find a[n empirical fact that [at] society of convict in I Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang of there are 4 ( empat) dimension of social stratification that is 1) power 2) presstige 3) Previlese And 4) hardness. From this study is also found by that dimension of previlese own very dominant influence to third the other dimension.
2007
T20491
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hariyanto
Abstrak :
Priyayi dalam masyarakat Jawa menduduki status yang tinggi dan sangat dihormati, oleh karenanya bagi wong cilik ingin menjadikan salah satu anak- anaknya atau bahkan kalau bisa semua anak-anaknya menjadi priyayi. Priyayiisme bagi wong cilik dapat diartikan sebagai proses menjadi priyayi, sedangkan bagi priyayi, priyayiisme dapal diartikan sebagai bentuk atau upaya mempertahankan status kepriyayiannya. Dalam status priyayi melekat atribut kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Untuk mempertahankan statusnya sebagai priyayi, seorang priyayi tidak bisa melepaskan diri dari perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penelitian mengenai Priyayi-Priyayiisme dan KKN di Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan studi stratifikasi sosial dari sudut sosial budaya melalui nilai-nilai kepriyayian, yang akan melihat bagaimana proses di atas berlangsung dari periode waktu sebelum tahun 1945, tahun 1946-1975 dan 1976- 2005, sehingga akan secara nyata akan terlihat bentuk-bentuk perubahan dan hasil pembahan yang terkait dengan proses-proses sosial tersebut. Penelitian ini mempergunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan Studi dokumentasi. Informan kunci yang dijadikan sumber informasi dalam penelilian ini adalah para priyayi terutama tokoh-tokoh masyarakat, guru dengan penekanan pada Iurah dan camat. Penekanan ini untuk mempermudah dalam mengkaitkan hubungan kekuasaan, kejayaan dan kehormatan dengan KKN. Sedangkan yang dijadikan rujukan sebagai sumber informasi utama adalah informasi dari Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Harsadiningrat, sebagai orang yang ditunjuk oleh Keraton Kasultanan "Ngayogyakarta Hadiningrat" untuk mewakili keraton memberikan informasi mengenai priyayi. Penunjukan beliau didasarkan atas penguasaan substansi dan pengalaman beliau sebagai mantan bupati yang mengetahui secara mendalam lurah dan camat melaksanakan pemerintahannya. Konsep-konsep utama yang dipergunakan untuk menganalisa temuan penelitian ini adalah konsep-konsep Weber dan Lenski (1978) tentang stratifikasi sosial (Kekuasaan, Previlese dan Prestise) dan kosep "Verstehen" dari Weber ; konsep "Kapital Kultural" dari Bourdieu, 1966. Dalam studi weber ketiga dimensi itu pada dasarnya berdiri sendiri namun dimensi previlese lebih mendominasi dibandingkan dengan dimensi Iainnya, sebaliknya Lenski lebih melihat kekuasaan lebih dominan dibandingkan dengan yang Iainnya. Dalam studi RMZ Lawang, tentang manggarai ketiga dimensi itu harus dilihat secara terpisah. Dalam kaitannya dengan studi priyayi tentang priyayi pada awalnya benar apa yang disampaikan oleh Weber dan Lenski namun kemudian berubah arah menjadi prestise yang Iebih dominan. Sedangkan konsep-konsep priyayi penulis rujuk dari Clifford Geertz (1980), Umar Kayam (2003), Ong Hok Ham (2002), Supariadi (2001), Serat Wulang Reh Karya Paku Buwana IV (1788-1811), Serat Tripama dan Wedhatama karya Mangkunegara IV (1853) dan sumber-sumber lain seperti terdapat dalam babad, wewaler maupun cerita fiksi modern. Penelilian lapangan ini menemukan, bahwa terdapat pergeseran atau perkembangan dari definisi priyayi, yang semula priyayi berkonotasi sebagai "kata benda" yang merukuk pada keturunan, kini berkonotasi sebagai "kata sifat" yang merujuk pada perilaku. Dalam priyayiisme juga mengalami pergeseran atau perkembangan magna. Bagi priyayi priyayiisme bergeser dari upaya meniru gaya hidup keraton kepada upaya mempertahankan "status quo" yang dilakukan dengan sesuatu upaya yang terimplementasi dalam kehidupan modern seperti investasi dalam bidang pendidikan, berwira usaha, berdagang dan lain-lain. Upaya-upaya itu juga dibarengi dengan upaya "panyuwunan sebagai abdi dalem punakawan" dalam birokarasi kraton untuk melengkapi keunggulannya sebagai priyayi terutama terkait dengan atribut kehormatan. Fenomena ini sama dengan fenomena "Umrah" dan "Haji". Sementara itu priyayiisme bagi wong cilik yang semula diartikan sebagai proses menjadi priyayi dengan penekanan menjadi pegawai negeri, tujuan itu bergeser menjadi lebih luas, ingin menjadi pegawai dengan tetap berusaha meniru priyayi. Sebagai konsekuensi perkembangan dan pergeseran definisi tersebut, sebuah temuan lapangan menunjukkan bahwa struktur sosial priyayi berkembang secara kuntitas, makin meluas dan mengakar kebawah dan nilai-nilai priyayi makin tersosialisasikan lebih banyak kepada wong cilik. Yang menyemangati perubahan ini adalah HB DC (1940-1988) dengan konsepnya "Tahta Untuk Rakyat" yang kemudian diikuti "Nama Untuk Rakyat" meskipun yang disebut terakhir tidak melalui statement secara resmi dan HB X (1989-sekarang), dengan konsepnya "Tahta Untuk Kesejahteraan Rakyat" dan anjurannya agar selalu "Berlaku Prasaja". Temuan perkembangan definisi dan meluasnya struktur sosial priyayi sebagaimana tersebut di atas, penulis juga menemukan tentang rumusan klarifikasi yang didasarkan pada kajian lieteratur maupun temuan-lapangan. Klasifikasi priyayi itu ialah "Priyayi Luhur", "Priyayi Menengah", "Priyayi Biasa" dan "Priyayi Rendah" dengan menggunakan para meter "°Pendidikan", "Keturunan dan Gelar- Gelar Bagsawan dan Tatanan Priyayi" yang meliputi aspek "Penguasaan Bahasa Jawa dan Bahasa Asing", "Kepemimpinan", "Keteladanan", "Kesetiaan dan LoyaIitas", "Keihklasan dan Kejujuran", "Kedermawanan dan Kerelaan Berkorban". Aspek-aspek ini ditujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, pemerintah dan negara. Berdasarkan temuan lapangan maupun teoritik, penulis menyarankan untuk sebuah penelitian lanjutan tentang "Tatanan Priyayi", yang hasilnya dapat memperkuat temuan-temuan di atas, dengan mengoperasionalkan setiap aspek dengan parameter yang terukur.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D787
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Makalah ini adalah laporan penelitian tentang Stratifikasi Sosial Pada Masyarakat Donggo. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, dimana data dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan wawancara dan studi pustaka. Analisa data dilakukan menggunakan trianggulasi data, Hasil analisa dituangkan dalam bentuk teks narasi. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur stratifikasi sosial yang ada masyarakat Donggo sebagai upaya menambah informasi mengenai kekayaan suku bangsa yang ada di Indonesia. Dari penelitian ini diketahui bahwa stratifikasi sosial pada masyarakat Donggo berdasarkan keturunan, hal ini terjadi untuk menciptakan atau mempertahankan keteraturan masyarakat.
JPSNT 20:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Schaefer, Richard T
Boston: McGraw-Hill, Higher Education, 2009
301 SCH s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>