Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Danar Widiyanta
Abstrak :
Organisasi Angkatan Oemat Islam di Kebumen pada masa awal kemerdekaan 1945-1950 telah melakukan suatu gerakan sosial yang bercirikan keagamaan. Untuk dapat membahas suatu gerakan sosial kita harus melihat tiga komponen yang essensial yaitu kepemimpinan, ideologi dan organisasi. Kepemimpinan dalam Angkatan Oemat Islam bertumpu pada wibawa pribadi Kiai Haji Makhfudz Abdurrahman. Kharisma Kiai Haji Makfudz Abdurrahman muncul antara lain karena sifat-sifat keunggulan dalam pengetahuan, ketrampilan, kreatifitas, inisiatif serta keberanian moral. Secara ideologis, Angkatan Oemat Islam sebagai badan perjuangan dapat diidentifikasikan sebagai golongan Agama dalam hal ini Islam. Unsur nasionalisme terutama dalam aspek anti-kolonialisme juga mewarnai organisasi Angkatan Oemat Islam sebagaimana tercantum dalam was, tujuan serta anggaran dasar mereka. Di pihak lain ideologi perang jihad juga merupakan dasar yang kuat bagi Angkatan Oemat Islam. Ciri lainnya yang terdapat dalam organisasi Angkatan Oemat Islam ini adalah kepercayaan akan kekebalan, yang di kalangan masyarakat tradisional mempunyai daya tarik tersendiri di samping dapat berfungsi sebagai satu alat untuk membangkitkan semangat agresif Hal ini telah dimanfaatkan secara positif oleh Angkatan Oemat Islam baik pada masa revolusi maupun pada saat terjadinya pemberontakan. Sebagai badan kelaskaran Angkatan Oemat Islam berdasarkan kepada agama Islam. Anggota Angkatan Oemat Islam sebagian besar adalah para santri dengan pekerjaan utamanya petani. Mereka memilih tingkat pendidikan yang rendah namun memilih loyalitas yang tinggi terhadap pemimpinnya yaitu Kiai Haji Makhfudz Abdurrahman. Angkatan Oemat Islam merupakan kekuatan yang dominan di Kebumen pada masa revolusi kemerdekaan. Angkatan Oemat Islam mampu memobilisasi potensi rakyat dengan menggunakan Islam sebagai pemersatu. Prinsip Islam tentang keadilan sangat sesuai bagi masyarakat pedesaan yang sedang menderita. Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) yang kemudian dilanjutkan dengan pengakuan kedaulatan, masalah rasionalisasi dalam tubuh militer membuat persoalan bagi Angkatan Oemat Islam Rasionalisasi telah menyebabkan tergganggunya keberadaan badan perjuangan Angkatan Oemat Islam, timbulnya ketidaksesuaian sosial, munculnya perasaan tidak aman dan frustasi dikalangan luas. Deprivasi muncul karena mereka terancam kehilangan kedudukan sosial ekonominya, kehilangan hak-hak politik atau kehilangan warisan kulturalnya. Deprivasi relatif inilah yang menyebabkan munculnya pemberontakan Angkatan Oemat Islam di Kebumen. Oleh pemerintah, Angkatan Oemat Islam diminta untuk bergabung dengan APRIS, tawaran tersebut mendapat tanggapan yang berbeda-beda di kalangan pimpinan Angkatan Oemat Islam. Kiai Haji Makhfudz Abdurrahman menolak untuk bergabung dengan APRIS, namun sebaliknya adiknya yaitu Kiai Haji Noersodik menerima tawaran pemerintah tersebut. Perpecahan dalam tubuh Angkatan Oemat Islam secara psikologis mengganggu ketentraman di kalangan anggotanya. Pemberontakan Angkatan Oemat Islam yang dipimpin oleh Kiai Haji Makhfudz Abdurrahman ternyata didukung oleh semua unsur. Angkatan Oemat Islam termasuk Kiai Haji Naersodik yang telah bersatu kembali dengan kakaknya. Pihak Angkatan Oemat Islam menilai di dalam APRIS terdapat pasukan-pasukan kafir dan atheis. Usaha diplomatik gagal menyelesaikan perbedaan pendapat antara Angkatan Oemat Islam dan pemerintah sehingga pertumpahan darah tidak bisa dihindarkan. Simbol-simbol Islam begitu melekat dalam pasukan Angkatan Oemat Islam ini, seperti melawan pasukan kafir, perang jihad, dan perang suci. Tidaklah mengherankan bahwa gerakan sisial di Kebumen dengan mudah mengambil bentuk keagamaan, karena pandangan masyarakat Kebumen selalu didasarkan pada agama yaitu agama Islam Peristiwa gerakan sosial yang dilakukan oleh Angkatan Oemat Islam di Kebumen gagal mencapai tujuannya Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor : pertama, faktor sumber daya manusia, yang terdiri alas kepemimpinan, organisasi dan keterlibatan masyarakat. Kepemimpinan yang didasarkan atas kharisma seseorang ternyata tidak selalu membawa keberhasilan. Meninggalnya Kiai Haji Makhfudz Abdrmahman sebagai pemimpin utama Angkatan Oemat Islam telah menyebabkan para pengikutnya kehilangan semangat untuk meneruskan perjuangannya. Sifat keanggotaan yang bebas dalam organisasi serta hanya bertumpu pada para pemimpinnya saja pada gilirannya ternyata membuat koordinasi antar cabang dan ranting susah dilakukan. Keterlibatan masyarakat yang didasarkan pada dorongan moral saja bukan atas dasar tujuan yang jelas juga menjadi salah satu faktor gagalnya gerakan sosial di Kebumen ini. Kedua, faktor sarana dan prasarana yang menyangkut masalah dana, serta masalah logistik dan persenjataan. Masalah dana, persediaan logistik bahan makanan dan persenjataan yang dimiliki oleh Angkatan Oemat Islam tidak memadai untuk perlawanan jangka panjang. Dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh pasukan pemerintah, persenjataan yang dimiliki oleh Angkatan Oemat Islam sangat minim dan ketinggalan jaman. Ketiga, faktor psikologis, ketika terjadi pemberontakan. Angkatan Oemat Islam harus berperang melawan teman-teman mereka sendiri selama perang kemerdekaan, secara psikologis hal ini tidak menguntungkan meskipun mereka punya keyakinan bahwa yang mereka perangi adalah kekafiran. Perpecahan di dalam tubuh Angkatan Oemat Islam menyikapi terbentuknya APRIS, secara psikologis juga mengganggu pikiran dan perasaan para anggotanya. Adanya beban psikologis ini pun juga menjadi salah satu sebab kegagalan gerakan sosial yang mereka lakukan.
Organisasi Angkatan Umat Islam (Islamic Community movement organization) in Kebumen at the commence of independence 1945-1950 has performed a social movement having the character of religion. In order to be able to discuss a social movement we have to see three essential component i.e Leadership, Ideology and Organization. Leadership of the Angkatan Umat Islam centred mainly on the personal authority of Kyai Haji Makhfudz Abdurrachman. Charisma of Kyai Haji Makhfudz Abdurrahman appeared among others through excellence in knowledge, skill, creativity, initiative and moral courage. Ideologically Angkatan Umat Islam as a struggle agency could be identified as religious group in this case Islam. The nationalism element especially in the aspect of anti colonialism also colored the organization of ,Angkatan Umat Islam as indicated in its principle, purpose and their constitution. On the other side the ideology of jihad war (the Holly war) constituted a strong basis for Angkatan Umat Islam. Another character found in the organization of Angkatan Umat Islam was the believe in "immunity", which among the traditional community had a special attractiveness aside from the function that it can create an aggressive spirit. This has been positively utilized by Angkatan Umat Islam both during the revolution as well as the period of insurrection. As a semi military body Angkatan Umat Islam was founded on the Islamic Religion. Members of Angkatan Umat Islam were largely santri (members of the religious school) with as main occupation farmer. They had a low educational level but high loyalty towards their leader i.e Kyai Haji Makhfudz Abdurracman. Angkatan Umat Islam constituted a dominant strength in Kebumen during the independence revolution. Angkatan Umat Islam was able to mobilize the potential of community by the use of Umat Islam as unitary. Islamic principle on justice is very fit for the village community which was suffering. The Round Table Conference which eventually was followed by the acknowledgement of the sovereignty, the rationalization question within the military body caused problems for Angkatan Umat Islam. Rationalization had caused interference with the existence of. the struggle organization Angkatan Umat Islam, the appearance of non fitting social conditions, the occurrence of non safe feelings and frustration among the general public. Deviation appeared since they were threatened to loose their social economic position, to loose their political rights or to loose their cultural heritage. It is this comparative deprivation which caused the appearance of rebellion of Angkatan Umat Islam in Kebumen. By the government, Angkatan Umat Islam was asked to join the APRIS, said over met varying reactions among the leadership of Angkatan Umat Islam. Kyai Haji Makhfudz Abdurrachman rejected to join the APRIS, nevertheless on the contrary his younger brother i.e Kyai Haji Noerrsodik accepted the offer of the government. Disagreement in the body of Angkatan Umat Islam sociologically interfered with the peace among its members. The rebellion of Angkatan Umat Islam led by Kyai Haji Makhfudz Abdurracman appeared to be supported by all elements of Angkatan Umat Islam including Khyai Haji Noersodik who has rejoin with his elder brother. The said Angkatan Umat Islam was of the opinion that in APRIS are found kafir and atheistic units. Diplomatic effort failed to settle the disagreement between Angkatan Umat Islam and the government so that blood shedding could not be prevented. Islamic Symbols are so essential in the unit of Angkatan Umat Islam, as fitting against Kafir unit, Jihad war and Holly war. It was therefore not suprising that social movement in Kebumen very easy took the form of religious movement, since the view of the Kebumen community is invariably based on religion, i.e the Islamic religion. The event of the social movement started by Angkatan Umat Islam in Kebumen failed to reach its objective. This was caused by the existence of various factors, firstly, the factor of Human Resources, which consisted of leader-ship, organization and the involvement of the community. Leadership which was based on someone(s) charisma appeared not to always result in success_ The death of Kyai Haji Makhfudz Abdulrrachman as the main leader of Angkatan Umat Islam has caused his members to loose their courage to continue the fight. The three characters of membership in the organization and only depending on its leaders in turn caused coordination between branches and sub branches difficult to contrail. The involvement of the community which is based on moral will did not only such on the bases of an already clear objectives became also one of the factors causing the failure of the social movement in Kebumen was this. Secondly, the factor of facilities and pre-requirement relating to the question of funds, and the question of logistics and weapons. The question of funds, supply of logistics/foods material and weapon owned by Angkatan Umat Islam was not adequate for long term opposition. Compared with the weapons owned by governmental units, the weapon owned by Angkatan Umat Islam was very minim and out of date. Thirdly, the psychological factor, at the time of the rebellion, Angkatan Umat Islam must fight against their own friends during independence war, psychologically this was not advantageous although they had the belief that those they fought against was kafirs. Disagreement in the body of Angkatan Umat Islam in their attitude towards the establishment of APRIS, psychologically also hindered the thought and feeling and each members. Also the existence of the psychological load became one of the causes of the failure of the social movement they performed.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T10189
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Rahmat
Abstrak :
Tesis ini membahas gerakan sosial baru yang terjadi di Papua. Bagaimana sikap penolakan masyarakat Papua terhadap integerasi dengan Indonesia sejak tahun 1969 lewat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dengan bergerilya bersenjata kemudian berubah menjadi cara-cara damai dengan berpolitik dan membangun basis kekuatan massa bukan saja di hutan tetapi sampai didalam kota (konsep masyarakat modern). Dengan menghadirkan organisasi perjuangan yang bernama Presidium Dewan Papua (PDP) sikap menolak integrasi. Sehingga yang menjadi rumusan masalah yaitu bagaimana bentuk organisasi PDP dan perannya dalam melahirkan gerakan sosial baru di Papua ?. Eksplorasi metode pada penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, karena peristiwa ini relatif masih baru maka sumber paling baik adalah pengumpulan dokumen dari hasil Musyawarah Besar (MUBES), Kongres Rakyat Papua Ke II dan dokumen penting PDP dan yang terpenting mewawancarai tokoh-tokoh gerakan sosial baru ini. Untuk memperkuat penelitian ini maka penulis menggunakan teori-teori gerakan sosial baru yang paling relevan dan tepat . Dengan melihat kunci kekuatan teori tersebut dimana lahirnya organisasi perlawanan rakyat, tokoh / pimpinan, adanya kesempatan politik, partisipasi masyarakat akar rumput dan tanggapan pihak yang berkuasa (pemerintah), sehingga lahir mobilisasi massa dan mobilisasi politik, karena adanya suatu kepercayaan (belief) sebagai sumber penyatu. Temuan penelitian ini benar-benar menunjukkan realitas di Papua sebagai fenomena gerakan sosial baru yaitu, organisasi PDP yang laior berhasil merubah pola gerakan yang sebelumnya dengan cara gerilya bersenjata menjadi cara damai dan pola itu menjadi tema pokok perjuangan rakyat, selain ini representatif rakyat dengan melibatkan komponen perjuangan masa lalu seperti TPN / OPM, Tapoll Napol , perempuan, intelektual, dan lain-lain menunjukkan proses demokrasi yang jalan pada tingkat bawah. Cara-cara ini mendapat perhatian yang luar biasa bukan saja dari pemerintah Indonesia bahkan dunia luar. Sekali lagi fenomena ini menjadi sangat menarik dan dapat di tarik bebarapa kesimpulan penting seperti ; ada satu perubahan dimana rakyat dapat memposisikan dirinya dalam konstalasi politik dan bernegara menjadi objek yang sangat berperan, kemudian rakyat tidak lagi semata-mata dijadikan objek keputusan pemerintah. Terjadi interplay of power antara institusi resmi dan kekuatan non formal massa. Akhirnya peran-peran oposisi sangat efektif dalam menciptakan perubahan yang cukup signifikan dalam bentuk kebijakan untuk menampung aspirasi rakyat yang timbul.
New Social Movement The Papuan Presidium Council And The New Social Movement In Papua After The Fall Of The New Order Regime In 1998This thesis discusses a developing New Social Movement In Papua. The nature of rejection of the Papuan community against integration with Indonesia, initially resulted from the so called Act Of Free Choice in 1969 was shown at the very beginning in guerrilla warfare. Recently, in spite of ongoing counter-tenor and intimidating human right violations the struggle has totally changed its course by the adoption of more peaceful and humane means for the restoration of Papuan sovereignty through the establishment of mass political power at the grass-root level, which exists not only in jungles but has widely spread into urban areas (a civic/modem society concept). The presence of The Papuan Presidium Council (locally known as Presidium Dewan Papua or the PDP), play an important role in voicing people's rejection on integration with Indonesia. The new struggle concept has put a challenging strain on PDP, namely, how to organizationally activate this new form of Social Movement in Papua to keep up the struggle ? The exploration of this research fully adopt qualitative research method. As the case is a new, most of the resources are tapped from direct outcome of Deliberation Meetings (Mubes), the Second Papuan People Congress, PDP's initial documentation, and most importantly direct interview with those who - are responsible and involved in maintaining the New Social Movement. In order to strengthen the results of this research the writer has adopted the most recent, most relevant and most popular new social movement theories. Through these theories we can simply see in this case that the unity and oneness established among emerging people resistance organizations, community figures and leader, grass-root communities participation, situational political moments, and mass political mobilization against the government's authoritarian response, are tied as one based on one single belief Achievements of the research indicated the emergence of current socio-political phenomenon in Papua as a New Social Movement. PDP has succeeded in converting a violence-based struggle into a `peaceful struggle'. Mass consolidation which involve a great deal of community representatives as well as past resistance organizations such as TPNIOPM (Papua Liberation Army), Tapol/Napol (Ex-political prisoners), as well as other civic components including women, intellectuals et cetera, is a good sign of a smooth running democratization at the grass-root level. Such situation has drawn serious foreign as well as domestic government attentions. The phenomenon has served us some very interesting conclusions : the people has succeeded in the repositioning process to proactively participate in the overall state political constellation, and that the people are not longer object to government decisions. There is an interplay of power between existing formal institution and the non-formal people (mass) power. Finally, the current opposition has played an effective role in creating significant changes through the adoption of new policies in order to enhance accommodation of all emerging people aspirations.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naning Mardiniah
Abstrak :
Setidaknya ada tiga alasan pentingnya studi Gerakan Etnik Tionghoa Pasca Orde Baru: Prespektif Gerakan Sosial Baru Main Touraine dilakukan. Pertama, etnik Tionghoa merupakan kelompok minoritas non pribumi yang menguasai perekonomian Indonesia tetapi mendapat perlakuan diskriminatif secara politik. Kedua, masih sedikit studi-Etnik Tionghoa pada masa Pasta Orde Baru, terutama yang memfokuskan pada prespektif Gerakan Sosial Baru Alain Touraine. Ketiga, penghapusan diskriminasi rasial telah menjadi isu global, namun di Indonesia, diskriminasi terhadap etnik Tionghoa masih kental. Studi Gerakan Sosial Etnik Tionghoa Pasca Orde Baru dengan mengambil lokasi di Jakarta ini bertujuan untuk; Pertama, mengkaji gerakan sosial Etnik Tionghoa dari sisi tujuan dan strategi, nilai dan isu yang diperjuangkan, serta peranan dan relasi antar aktor. Kedua, mengkaji pengaruh kebijakan politik pemerintah terhadap gerakan politik etnik Tionghoa dan sebaliknya. Dalam konteks ini, beberapa pertanyaan yang diajukan sebagai masalah (problems) penelitian adalah Pertamna, bagaimana varian gerakan sosial etnik Tionghoa yang muncul pada pasta Orde Baru; apa latar belakang kemunculan (dari sisi kesadaran para aktor maupun struktur politik), pilihan corak gerakan, fokus perjuangan, dan strategi gerakan yang dikembangkan . Kedua, apa saja isu-isu yang diberjuangkan oleh gerakan itu. Keiiga, bagaimana relasi aktor gerakan sosial etnik Tionghoa dalam medan konflik bail( dalam konteks relasi antar gerakan sosial lain, relasi dengan negara. maupun komunitas etnik Tionghoa sendiri. Studi dengan pendekatan etnografi reflektif ini menggunakan, kerangka teori Gerakan Sosial Baru (GSB) dalam prespektif Alain Touraine, yang mendifinisikan gerakan sosial sebagai aksi kolektif yang berupaya memodifikasi cara-cara sosial dalam memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya penting dan orientasi kultural yang dapat diterima oleh masyarakat. Touraine berpandangan bahwa masyarakat merupakan produk para aktor sosial atau gerakan-gerakan sosial. Namun demikian, Touraine juga menekankan bahwa studi gerakan sosial harus dilihat dalam konteks lapangan tindakan (field of action), yang mengacu pada keterkaitan antara gerakan sosial dan tekanan atau pengaruh (konteks sosial) dimana gerakan itu dibangun. Touraine melihat fenomena gerakan sosial baru dari prespektif yang luas tentang konflik, masyarakat, kebudayaan, sejarah manusia, dan meletakkannya dalam proses aksi kolektif dimana individu dan masyarakat mereproduksi dan mentransformasi diri. Gerakan sosial merefleksikan -krisis kultural dan representasi demokratik masyarakat serta merupakan aksi kolektif yang melibatkan diri dalam konflik politik. Konflik haruslah dimaknai melalui pertaruhan yang bernilai dan dihasratkan serta memiliki sejumlah chi; sekumpulan aktor yang bterorganisir, taruhan nilai yang dihasratkan, dan pergumulan antar pihak yang berkonfllik. Dari pendifinisian konflik, Touraine menyusun hipotesa bersatunya konflik yang melihat adanya keterkaitan antara identitas, aktor, dan totalitas kebudayaan yang mendifinisikan medan konflik. Studi Gerakan Sosial Etnik Tionghoa pasta Orde Baru menemukan bahwa Gerakan Sosiai Etnik Tionghoa pasca Orde Baru muncul bukan saja karena perubahan politik dan peristiwa yang menyentak kemanusiaan (Mai 1998) tetapi juga kesadaran para tokoh dan aktivis Tionghoa untuk melakukan suatu perubahan setelah lebih dari tiga dasawarsa dimarginalkan. Gerakan ini muncul dan menjelma dalam berbagai bentuk yang berbeda. Ada yang memilih membangun Ormas (Organisasi Kemasyarakatan), seperti PSMTI dan INTI, ada yang menjelma dalam bentuk Ornop (Organisasi Non Pemerintah), ada pula yang memilih jalur politik praktis dengan mendirikan berbagai partai politik berkarakteristik Tionghoa. Selain itu, muncul pula gerakan melalui media kesenian dan pers. Kemunculan berbagai organisasi ini sekaligus memupus stigma yang lekat selama ini bahwa etnik Tionghoa anti politik, hanya mengejar ekonomi semata, dan tidak nasionalis. Selain bentuknya yang berbeda, strategi gerakan yang ditempuh pun berbeda. Yang menyamakan adalah strategi gerakan yang tidak menggunakan cara-cara pengerahan massa dan aksi kekerasan. Seluruh komponen gerakan memilih strategi penyadaran politik dan advokasi lunak, seperti dialog dengan pemerintah dan anggota legislatif, aksi moral, dan sebagainya. Gerakan etnik Tionghoa sesungguhnya telah muncul sejak berabad-abad yang lalu (masa kolonial) dalam bentuk resistensi yang terorganisisr dan tetap berlangsung hingga saat ini dengan tema perjuangan anti diskriminasi rasial. Problem yang dihadapi etnik Tionghoa nyaris sama sejak kolonial hingga saat ini, sehingga isu yang diperjuangkan dalam gerakan Tionghoa sesungguhnya isu lama, yakni isu non diskriminasi, stigmatisasi, prasangka. dan marginalisasi, yang menjelma dalam berbagai masalah, dari kewarganegaraan, etnisitas (dipandang bukan sebagai orang Indonesia asli), serta partisipasi dalam ranah politik dan birokrasi. Pada pasca Orde Baru, sekatipun berbagai kebijakan yang diskriminatif telah dicabut dan muncul liberalisasi politik, namun problem yang dihadapi Tionghoa masih cukup besar. Gerakan etnik Tionghoa pasta Orde Baru tidak terbelah secara tegas berdasarkan orientasi politik sebagaimana terjadi pada masa kolonial dan masa Orde Lanza. Gerakan pada masa Orde Baru hanya berbeda dalam penetapan strategi. Hal ini karena represi Orde Baru yang melarang sekat-sekat ideolog. Visi atau orientase mereka sama yakni menghilangkan aspek diskriminasi di berbagai area serta pluralisme. Yang membedakan adalah strategi gerakan, ada yang memfokuskan solidaritas internal, perjuangan identitas kultural, penyadaran publik, reformasi hukuin, serta pengikisan prasangka rasial. Etnik Tionghoa menunutut diperlakukan sebagai suku tersendiri sehingga integrasi secara wajar dipandang sebagai jalan penyelesaian untuk menghapuskan problem Tionghoa. Seluruh komponen gerakan pasca Orde Baru mempercayai sistem yang demokratis, menghargai Hak Asasi Manusia serta multikulluralislah yang dipercayai mampu menyelesaikan persoalan Tionghoa. Karena problem yang -dihadapi Tionghoa bukan sekedar berhadapan dengan negara yang memproduksi kebijakan yang diskriminatif tetapi juga pandangan masyarakat (pribuini) yang masih stigmatis, maka relasi yang dibangun oleh gerakan Tionghoa juga melingkupi relasi dengan negara dan relasi dengan masyarakat. Hanya saja, bentuk dan jenis relasi setiap komponenn Gerakan Tionghoa berbeda, mengikuti strategi gerakan dan latarbelakang para aktor dalam gerakan itu. Sekalipun visi sama, namun konsolidasi antar komponen gerakan Tionghoa masih lemah, setiap komponen masih cenderung berjalan secara sendiri dan ketidakpercayaan antar komponen gerakan pun masih tinggi, sehingga daya pressure berhadapan dengan kekuatan negara yang diskriminatif menjadi lemah. Ada dua implikasi yang muncul melalui studi ini. Pertama, implikasi teoritis. Temuan dalam studi dan pemaknaan atas temuan dalam studi ini dapat menambah pengayaan tentang teori Gerakan Sosial, khususnya Gerakan Sosial Baru dalam prespektif Alain Touraine. Studi ini menemukan penegasan dari prespektif Alain Touraine rnengenai gerakan sosial baru, sekaligus kelemahannya. Sekalipun identitas aktor sangat berpengaruh terhadap corak dan orientasi gerakan, namun posisi aktor atau gerakan sosial ternyata bukanlah unsur daminan dalam membentuk masyarakat melainkan keduanya terkait dalam hubungan yang dialektis transformatoris. Demikian pula, ternyata gerakan sosial juga muncul dalam masyarakat yang tidak demokratis. Konsepsi GSB Alain Touraine terlampau luas, sehingga tidak cukup mendalam dalam menganalisis tentang dekonstruksi yang menjadi ciri khas GSB. Sementara, konsepsi Touraine bahwa gerakan sosial merefleksikan krisis kultural masyarakat serta merupakan aksi kolektif yang melibatkan diri dalam konflik tertegaskan dalam studi ini. Kedua, implikasi praktis. Menilik berbagai proses konsolidasi demokrasi yang masih stagnan, maka etnik Tionghoa kemungkinan akan berada dalam posisi yang sulit. Oleh karenanya, problem yang dihadapi etnik Tionghoa pun hanya dapat diselesaikan bila konsolidasi demokrasi terbangun. Untuk itu, ada beberapa agenda yang penting untuk diperhatikan bagi penyelesaian problematika Tionghoa. Pertama, Melakukan reforrnasi hukum terhadap perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif, dengan cara melakukan amandemen Pasal 26 UUD 1945 tentang kewarganegaraan, pencabutan Indische Staatsvregeling Tahun 1925, pembubaran BKMC, perumusan dan pensahan UU Kewarganegaraan yang yang tidak diskriminatif, serta UU Anti Diskriminasi Rasial. Kedua, Penguatan multikulturalisme. Nilai-nilai multikulturalisme harus dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bemegara. Pendidikan multikulturalisme dan Hak Asasi Manusia kepada seluruh komponen masyarakat merupakan agenda yang sangat urgen untuk dilaksanakan. Ketiga, penyadaran kritis komunitas 'Tionghoa. Penyadaran kritis terhadap warga Tionghoa, terutaina level grassroot sangat penting karena kelompok inilah yang paling rentan menjadi korban pelanggaran hak-hak asasi manusia, termasuk tindakan diskriminatif dan kekerasan. Keempat penguatan jaringan gerakan Tionghoa dengan komponen lain. Konsolidasi antar kekuatan gerakan sosial sangat signifikan dalam advokasi, penguatan civil society, dan pertimbangan tatanan masyarakat yang demokratis. Penguatan jaringan konsolidasi perlu dibangun di level nasional dan internasional.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14383
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Jamil
Abstrak :
Penelitian ini diharapkan mempunyai signifikansi teoritis pada ranah gerakan sosial dan ranah studi mengenai teori framing. Dari ranah studi gerakan sosial, studi mengenai gerakan sosial selama ini lebih banyak memfokuskan pada aktor dan struktur politik. Keberhasilan dan kegagalan gerakan sosial selalu dikaitkan dengan sumber daya yang dipunyai oleh aktor atau dari sisi struktur kesempatan politik Gerakan sosial sangat jarang dilihat dari perspektif bagaimana aktor-aktor mengemas, mengkonstruksi pesan-pesan politik. Di sini keberhasilan atau kegagalan gerakan sosial dilihat bagaimana aktor mengkonstruksi dan mengemas peristiwa untuk disajikan kepada anggota gerakan dan khalayak luas. Pada titik ini, disiplin ilmu komunikasi bisa memberikan sumbangan dalam memperkaya khasanah studi mengenai gerakan sosial. Pada ranah studi framing, studi selama ini lebih banyak menitikberatkan pada analisis teks. Tetapi teori dan analisis framing jarang dipakai untuk melihat bagaimana seseorang mengkonstruksi, mengemas suatu peristiwa. Penelitian ini melihat gerakan sosial dalam perspektif framing. Ada dua teori yang dipakai, yakni teori framing dan teori gerakan sosial. Teori framing yang dipakai adalah teori dari Erving Goffman. Bagi Goffman, individu tidak bisa mengerti dunia atau realitas tanpa menghubungkannya dengan pengalaman hidup agar realitas tersebut bisa masuk ke dalam skema pikiran individu. Sementara teori gerakan sosial yang dipakai adalah teori yang dikemukakan oleh William A. Gamson, David A Snow dan Robert D. Banford.Teori gerakan sosial dari William A. Gamson, David A Snow dan Robert D. Banford mempunyai perspektif yang berbeda dengan teori resource mobilization dan kesempatan politik. Jika kedua teori tersebut lebih menitikberatkan pada struktur, maka teori gerakan sosial dalam perspektif framing lebih menekankan pada budaya (kultur). Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Desain studi kasus yang dipakai adalah studi kasus instumental. Kasus dipakai untuk menjelaskan fenomena lebih besar, yakni posisi framing dalam gerakan sosial di Indonesia. Kasus yang dipilih dalam penelitian ini adalah sengketa KPK-Polri Jilid I (2009) dan Jilid II (2012). Penelitian ini dilakukan atas 10 isu atau perdebatan penting kasus sengketa KPK-Polri tahun 2009 dan 2012. Data lapangan dikumpulkan lewat empat teknik, yakni observasi lapangan, wawancara mendalam, studi dokumen dan analisis teks. Studi ini mengambil kasus sengketa KPK-Polri, baik Jilid I tahun 2009 (kasus Bibit-Chandra) ataupun Jilid II tahun 2012 (kasus simulator SIM). Pada kedua kasus ini, gerakan sosial yang berhasil "menang" adalah pro KPK. Ahliahli gerakan sosial umumnya melihat tiga elemen yang penting dan saling berkaitan, yakni (a)aktor gerakan sosial; (b)media dan (c)khalayak. Aktor gerakan sosial dilihat dalam perspektif framing sebagai pihak yang secara aktif bersaing dan bertarung dalam memperebutkan makna atas peristiwa. Sementara media dilihat sebagai entitas yang berperan dalam menyebarkan frame atas peristiwa sehingga pemaknaan dari masing-masing aktor gerakan sosial bisa tersebar luas ke masyarakat. Sedangkan elemen khalayak berkaitan dengan sumber dukungan dari gerakan sosial. Para ahli umumnya melihat elemen aktor gerakan sosial, media dan khalayak secara linear. Atau secara sederhana dibahasakan dengan: aktor gerakan sosial mempengaruhi media selanjutnya media mempengaruhi khalayak. Hasil studi ini memperlihatkan, ketiga elemen (aktor gerakan sosial, media dan khalayak) tidak harus digambarkan secara linear. Masing-masing elemen itu pada dasarnya subjek yang mempunyai pemahaman dan penafsiran tersendiri atas peristiwa. Selain tidak linear, hasil studi ini juga memperlihatkan masing-masing elemen juga bisa saling memberikan pengaruh. Frame atas suatu peristiwa itu hasil konstruksi yang dilakukan oleh aktoraktor gerakan sosial. Frame yang muncul atas suatu peristiwa karena itu tidak dipahami sebagai proses alamiah, tetapi dilihat sebagai proses strategik (strategic frame). Proses strategik ini meliputi jembatan frame (frame bridging), penguatan frame (frame amplification), perpanjangan frame (frame extention) hingga transformasi frame (frame transformation). Proses terbentuknya frame dilihat oleh para ahli gerakan sosial lahir dari dinamika tertentu. Aktor gerakan sosial melakukan pendefinisian atas peristiwa. Tetapi proses ini tidak statis karena ketika membentuk frame, aktor gerakan sosial juga menggunakan pemberitaan media dan pemikiran yang berkembang dalam masyarakat. Media mempunyai keterkaitan dengan gerakan sosial. Media membutuhkan aktor gerakan sosial sebagai sumber berita. Sebaliknya, aktor gerakan sosial membutuhkan media agar pemaknaan mereka atas peristiwa lebih mendominasi pemberitaan media sehingga masyarakat lebih mendukung gerakan mereka. Penelitian ini memperlihatkan tidak ada upaya khusus dari aktor gerakan sosial pro KPK untuk mendekati media. Pandangan jurnalis sendiri sejak awal memang lebih pro terhadap KPK dibandingkan kepolisian, sehingga media lebih banyak memberi tempat kepada versi KPK dibandingkan kepolisian. Peneliti mengusulkkan suatu model yang melihat keterkaitan antara aktor gerakan sosial, media/jurnalis, frame media dan frame khalayak. Model ini merupakan pengembangan dari model Gamson, Scheufele dan Benford and Snow. Ada dua hal yang membedakan model yang ditawarkan penulis dengan model lain. Pertama, aktor gerakan sosial, khalayak dan media harus dilihat sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas. Jurnalis dan media mengkonstruksi peristiwa, hal yang sama juga aktor gerakan sosial dan khalayak. Khalayak harus dilihat sebagai entitas yang mempunyai pemikiran, keberpihakan dan pada akhirnya secara aktif mengkonstruksi peristiwa. Kedua, aktor gerakan sosial, khalayak dan media, selain dilihat sebagai subjek, juga harus dilihat saling mempengaruhi. Misalnya, keterkaitan antara frame media dengan frame khalayak. Pandangan khalayak kemungkinan bisa dipengaruhi oleh frame yang disajikan dalam pemberitaan media, tetapi pada saat bersamaan media juga mengangkat frame khalayak yang sejak lama antipati terhadap korupsi. ...... It is hopeful that this study contributes some theoretical significance in the social movement as well as framing studies. In the previous social movement studies, the focuses were more on the actors and political structure;where the success and failure of the social movement were mostly associated with resources owned by the actors or from the perspective of political opportunity. Social movements are very rarely viewed from the perspective of how actors frame, and construct political messages. In this research, the success or failure of social movements is not seen from the resources and opportunity structures owned by the actor, but instead, is viewed from the results of the constructing and framing of the events prior to the publication to members of the movement and to other wider audience. At this point, communication discipline has itscontribution in enriching the study of social movements. The study of framing is usually emphasizing on text analysis and is rarely used to see how people construct and frame an event or phenomena. The research looked at the social movement using framing perspective. Two theories are used, namely the theory of framing and social movement theory. The framing theory of Erving Goffman is applied in this research. For Goffman, individual cannot understand the world or reality without relating it with one?s life experience, in so doing the reality can then be digested into the mind of the individual. While the social movement theory used is the one proposed by William A. Gamson, David A Snow and Robert D. Banford. In their theory, Gamson et al. proposed a different perspective to the resource mobilization and political opportunities. Both theories are more focused on the structure, while the theory of social movement in framing perspective is more emphasizing on the construction of the message. This research uses the case study method, i.e.: instrumental case study. A case is used to explain the larger phenomenon, namely the position of framing in social movements in Indonesia. The cases analyzed in this study are the 10 important issues of KPK-POLRI dispute Part I (2009) and Part II (2012). Field data are collected through observation, in-depth interviews, documents review, and text analysis. This study analyzed two parts of KPK-POLRI disputes, i.e.: part I in 2009 in the case of Bibit-Chandra and Part II in 2012 in the case of SIM (Driving License) Simulator case. In both cases, the successful social movements that ?win? is the one pro KPK. Experts in social movements generally look at three interrelated and essential elements, as follows: (a) the social movement actors; (b) the medium; and (c) the populace or audience. The actors of the social movement are viewed as those who are actively competing and fighting over the meaning of events. Media is seen as an entity that plays a role in spreading the frame of the events so that the meaning constructed by each social movement actor can be spread to the community. The audience is associated as the supporting resource of the social movement. The scholars see those three elements (the actor, the media, and the populace) as linear sequence of influence. Simply say: the actor influences the media and further on the media influences the audience. The research findings in this dissertation show otherwise. Those three elements do not necessarily be potrayed as a linear sequence. Thus, each element is basically a subject that has its own understanding and perception on an event. Furthermore, this study suggest that each element can be influencial to each other in a non linear way. Frame of the event is the result of deliberate construction process performed by actors of social movements. Frame is not understood as a natural process, but is seen as a strategic process (strategic frame). This strategic process includes frame bridging, frame amplification, frame extention to transform frame (frame transformation). The process of forming the frame is seen by scholars of social movements as rooted on a certain dynamics. However, this study shows that social movement actors define the events, andthe process of it is not merely statical as only done by the social movement actors themselves, rather it is a dynamic process involving and using the flourishing news in the media and the perception of the public on that particular issue. The media is linked with social movements. Media need actors of social movements as a source of news. On the other hand, the social movement actors need the media so that their potrayal of the events can dominate the news in the media, and thus will attract more people to support their movement. However, this study shows that there is no special effort from ?pro KPK? social movement actors (i.e.: the public relations of KPK) to approach or influence the media, in order to put their version of news having more place in the media. From the very beginning, the perception of thejournalists on this issue tend to be ?pro KPK? rather than ?pro POLRI?, and therefore the media give more attention and placement to the ?pro KPK? news. This findings proofs that the success of social movements in the KPK-POLRI disputes, where the news in the media is dominantly show ?pro KPK? is not due to the success of social movement actors in approaching the media, but rather because of the congruence of values between journalists and social movement actors. Results of this study have implications for theories on the relationship between frames, media and social movements. Researcher proposes a model to potray the connection between the actors of social movements, media / journalists, media frames and audience frames. This model is a development of the model proposed by Gamson, Scheufele, Benford and Snow. There are two things that distinguish the models as offered by authors compared to other models. First, each party (social movement actors, audiences and media) should be seen as a subject that constructs reality. Journalists and media construct events, the same is done by the social movement actors and audiences. Audiences should be seen as an entity that has a thought, alignments and eventually actively construct events. Second, each of the entities (social movement actors, audiences and media) is seen as a subject that can influence and be influenced or be affected by each other. This interconnectedness is evident in this research findings. For example, the relationship between media frame and audience frame. The perception of the audience might be influenced by the frame presented in the news media, however, at the same time, the media also raised the issue of a long time audience frame of against corruption or an antipathy to it.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laode Ida
Abstrak :
Penelitian ini mendeskripsikan Gerakan Sosial Kelompok Nahdlatul Ulama (NU Progresif) yang dilakukan oleh para aktivis NU. Hasil analisis ditemukan bahwa kelompok NU yang progresif melakukan perubahan dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok transformis, kelompok radikal dan kelompok moderat. Kelompok transformis mencoba menekankan pada perubahan secara intemal dalam organisasi NU dengan memberikan pencerahan dan pemberdayaan di tingkat komunitas. Kelompok radikal memberikan prioritas pada perubahan sistem kenegaraan dengan membangun pemikiran kritis dan mengembangkan ideologi egaliter. Dan yang terakhir kelompok moclerat memfokuslcan gerakannya dengan mengembangkan perubahan sosial yang tidak didasari dengan basis ideologi.
This study describes social movements conducted by some individuals in NU known as the ?progressive group". Further analysis shows the existence of three types of progressive groups: the transformists, the radicals, and the moderates. The transformists try to emphasize internal change through enlightenment and empowerment of the community. The radicalists prioritize to change the state system by developing critical and egalitarian ideology. Finally, the moderates consists of social changes conducted by social groups with no ideological basis.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
D817
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Revita Maharani
Abstrak :
ABSTRACT Kajian ini membahas bagaimana strategi Forum Komunikasi Waria Indonesia dalam membantu anggota-anggotanya menghadapi eksklusi sosial. Dikarenakan identitas gender yang tidak sesuai dengan nilai gender normatif, waria dihadapkan pada penolakan, diskriminasi dan bahkan eksklusi sosial. Eksklusi yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan negara, menyebabkan mereka harus hidup dalam perjuangan. Akibatnya, sebagian besar dari mereka putus sekolah dan bekerja di jalan sebagai pekerja seks. Skripsi ini menggunakan kerangka eksklusi sosial untuk menggambarkan berbagai bentuk penindasan yang dihadapi oleh waria. Dengan mengadaptasi kerangka eksklusi sosial dalam melihat kehidupan waria, maka dapat dipahami bagaimana waria telah dieksklusikan dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Studi ini mengarah pada kesimpulan bahwa eksklusi sosial pada waria merupakan permasalahan yang sistemik dan struktural. Melihat hal tersebut, maka peran organisasi penting adanya untuk dapat merubah hidup waria. Strategi Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI) dalam menghadapi eksklusi, akan dibahas melalui kajian gerakan sosial, seperti sistem keterbukaan politik, framing, serta mobilisasi sumber daya.
This thesis discusses how the strategy of Forum Komunikasi Waria Indonesia in helping its members to confront social exclusion. Due to the gender identity that does not conform to normative gender values​​, waria (transsexuals) faced rejection, discrimination and social exclusion. Exclusion which conducted by families, communities and state, lead them to live in struggle. As result, most of them decide to drop out of school and working on the street as a sex worker. This thesis uses social exclusion framework to describe the various forms of oppression faced by waria. By adapting the framework of social exclusion, it can be understood how waria has been excluded from the social, economic, and political life. This study leads to the conclusion that social exclusion on transsexual is systemic and structural problems, thus presence of an important organizational role can change life for waria. The strategies of Forum Komunikasi Waria Indonesia to confront exclusion will be discussed through the study of social movements, such political opprtunity structure, framing, and resources mobilization.
2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Karimah
Abstrak :
ABSTRAK
‘Aisyiyah merupakan suatu gerakan sosial yang menggunakan bentuk organisasi dalam mencapai tujuannya. Asumsi utama penelitian ini adalah ‘Aisyiyah gagal melakukan gerakannya di level grassroot. Pengelolaan sumber daya dan kegagalan ‘Aisyiyah melakukan framing isu penyantunan anak yatim dan dhuafa merupakan dua hal yang menyebabkan ‘Aisyiyah gagal melakukan gerakan di tingkat grassroot. Hal ini dibuktikan melalui penelitian ini yang melihat panti asuhan sebagai salah satu kegiatan ‘Aisyiyah di tingkat grassroot. Pengelolaan sumber daya panti asuhan yang tidak baik serta ketidakmampuan ‘Aisyiyah dalam mem-framing panti asuhan sebagai ikon penyantunan anak yatim dan dhuafa merupakan cerminan kinerja ‘Aisyiyah di level bawah, meskipun ‘Aisyiyah membawa nama besar Muhammadiyah.
ABSTRACT
Aisyiyah is a social movement that uses a form of organization in achieving its goal. The main assumption of this study is ‘Aisyiyah failed to perform at the level of grassroots. Failure in managing resources and failure in doing framing of the issue of orphans are two things that cause 'Aisyiyah to fail at grassroots level. This is proven by this study by seeing orphanage as one of ‘Aisyiyah’s activities at grassroots level. Bad resource management in the orphanage as well as the inability of Aisyiyah in framing orphanage as an icon their movement reflects Aisyiyah at grassroot level, although 'Aisyiyah carries the well-known name of Muhammadiyah.
2014
S53893
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
[Skripsi ini membahas tentang peranan organisasi mahasiswa bernama SMID dalam proses pembentukan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Menjelaskan peran pemuda dalam pergerakan Indonesia dari masa kebangkitan nasional tahun 1908 hingga memasuki Orde Baru. Kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru yang represif terhadap mahasiswa. Serta munculnya kembali gerakan mahasiswa bersama gerakan rakyat yang lain. Proses terbentuknya Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan perpecahan yang terjadi di dalamnya., This mini thesis discusses the role of a stucent organization called SMID in the process of transformation of the Partai Rakyat Demokratik (PRD). Explaining the role of youth in Indonesian movement of national revival period 1908 until well into the New Order. The policies of the New Order government repression against the student. As well as the re-emergence of the student movement together other people’s movement. The process of formation of the People’s Demokratic Party (PRD) and the divisions that occur in it.]
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S58155
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wood, James L.
California: Wadsworth, 1982
303.4 WOO s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hobsbawm, E.J.
New York: The Norton Library, 1959
303.484 HOB p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>