Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laode Ida
"Penelitian ini mendeskripsikan Gerakan Sosial Kelompok Nahdlatul Ulama (NU Progresif) yang dilakukan oleh para aktivis NU. Hasil analisis ditemukan bahwa kelompok NU yang progresif melakukan perubahan dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok transformis, kelompok radikal dan kelompok moderat. Kelompok transformis mencoba menekankan pada perubahan secara intemal dalam organisasi NU dengan memberikan pencerahan dan pemberdayaan di tingkat komunitas. Kelompok radikal memberikan prioritas pada perubahan sistem kenegaraan dengan membangun pemikiran kritis dan mengembangkan ideologi egaliter. Dan yang terakhir kelompok moclerat memfokuslcan gerakannya dengan mengembangkan perubahan sosial yang tidak didasari dengan basis ideologi.

This study describes social movements conducted by some individuals in NU known as the ?progressive group". Further analysis shows the existence of three types of progressive groups: the transformists, the radicals, and the moderates. The transformists try to emphasize internal change through enlightenment and empowerment of the community. The radicalists prioritize to change the state system by developing critical and egalitarian ideology. Finally, the moderates consists of social changes conducted by social groups with no ideological basis."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
D817
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhifa Rahadianingtyas
"Clicktivism telah membantu para aktivis mengatasi masalah sosial dalam beberapa tahun terakhir, termasuk gerakan #MeToo. Pada tahun 2018, gerakan tersebut menjangkau masyarakat patriarki yang mengakar kuat di Korea Selatan, dan mengakibatkan sejumlah partisipan berbagi pengalaman pelecehan seksual mereka di platform media sosial. Beberapa penelitian sebelumnya berfokus pada efek gerakan #MeToo di Korea Selatan. Namun, penggunaan clicktivism belum pernah dibahas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana gerakan #MeToo di Korea Selatan menggunakan clicktivism dalam menyebarkan pesan gerakan dan dampaknya terhadap masyarakat. Enam data media sosial yang berupa unggahan Facebook dan cuitan Twitter dengan tagar #MeToo dipergunakan sebagai bahan analisis dalam makalah ini. Data kemudian dikaji menggunakan metode analisis konten kualitatif media sosial. Berbeda dengan pernyataan beberapa peneliti sebelumnya, studi ini menemukan bahwa clicktivism dalam kasus gerakan #MeToo mampu menarik perhatian orang, mendapatkan partisipasi publik, dan membangun aktivitas offline yang sukses. Gerakan #MeToo di Korea Selatan juga berhasil menciptakan dampak gerakan sosial yang paling kritis dan berkesinambungan, yakni; perubahan kebijakan.

Clicktivism has helped activists address social issues in recent years, including the #MeToo movement. In 2018, the movement reached South Korea’s deeply-entrenched patriarchal society, which resulted in a number of participants sharing their experiences of sexual abuse on social media platforms. Several studies have reported the effect of the #MeToo movement on South Korea; however, the deployment of clicktivism has yet to be addressed. This study aims to analyse how the #MeToo movement in South Korea used clicktivism in spreading the movement’s message and its impact on society. A total of six social media data acquired in this paper are from Facebook posts and tweets that used the hashtag #MeToo, which is analysed using the qualitative content analysis of social media method. In contrast to some researchers' statements, the findings indicate that the clicktivism in the case of the #MeToo movement was able to attract people’s attention, gain public participation, and establish successful offline activities. The #MeToo movement in South Korea also achieved the most critical and long-lasting social movement effect: policy changes. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aprillina Johana Trixie Masadi
"Hanfu Movement (汉服运动 hànfú yùndòng) mendapat antusias besar dari berbagai kalangan masyarakat Tiongkok, terutama generasi muda. Gerakan sosial ini berupaya menghidupkan kembali pakaian suku Han (汉服 hànfú). Pakaian ini mengacu pada pakaian yang digunakan ketika suku Han memimpin Tiongkok. Hanfu terakhir kali digunakan secara pasti pada saat Dinasti Ming memimpin (1368 – 1644). Namun pada zaman Dinasti Qing (1644-1911), Hanfu hanya digunakan oleh wanita, Han. Masuknya pakaian Barat dan modernisasi menyebabkan Hanfu kembali ditinggalkan untuk waktu yang lama. Hal ini yang mendasari munculnya orang-orang yang ingin mengetahui sejarah dan budaya pakaian tradisional Han. Untuk meneliti permasalahan tersebut, metode yang digunakan berupa penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian ini mengumpulkan sumber-sumber yang relevan untuk mendukung penelitian ini. Hasil penelitian ini adalah Hanfu Movement tidak hanya berfokus pada keinginan menghidupkan kembali penggunaan Hanfu, tetapi juga menghubungkan kembali orang Han dengan identitas budayanya. Meskipun demikian, gerakan ini menuai respons negatif karena kekhawatiran etnosentrisme Han.

The Hanfu Movement (汉服运动 hànfú yùndòng) received great enthusiasm from various circles of Chinese society, especially the younger generation. This social movement seeks to revive Han ethnic clothing (汉服 hànfú). This clothing refers to the clothing worn when the Han tribe led China. Hanfu was last used for certain during the Ming Dynasty (1368 – 1644). But during the Qing Dynasty (1644-1911), Hanfu was only used by women, Han. The influx of Western clothing and modernization caused Hanfu to be abandoned again for a long time. This is what underlies the emergence of people who want to know the history and culture of traditional Han clothing. To examine these problems, the method used is descriptive qualitative research. This research collects relevant sources to support this research. The result of this study is that the Hanfu Movement does not only focus on the desire to revive the use of Hanfu, but also to reconnect the Han people with their cultural identity. Nonetheless, the movement received a negative response due to fears of Han ethnocentrism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu A. Kamaruddin
"Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, latar belakang, kondisi, dan faktor-faktor penyebab terjadinya pemberontakan petani Unra pada masa pemerintahan pendudukan Jepang di Sulawesi Selatan pada 1943. Dalam menganalisis pemberontakan petani Unra sebagai gerakan sosial ditelusuri faktor, kondisi, dan struktur sosial masyarakat yang menjadi basis lahirnya pemberontakan. Faktor ideologi dan peran kepemimpinan juga dikaji untuk mengetahui dan memahami seberapa besar kontribusinya dalam memotivasi terjadinya pemberontakan. Demikian juga, fokus kajian diarahkan pada penelusuran latar belakang kultural keagamaan dalam konteks historis dari pemberontakan petani Unra, dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Unra pada masa pemerintahan pendudukan Jepang. Untuk merekonstruksi peristiwa sejarah pemberontakan petani Unra, sebagai sebuah gerakan sosial, penelitian dilakukan dengan metode penelitian kualitatif dalam perspektif historis. Metode historis digunakan untuk menganalisis proses, dan tahap-tahap perkembangan menurut urutan waktunya secara kronologis. Analisis historis dilakukan dengan menggunakan pendekatan terhadap disiplin ilmu-ilmu sosial lain, seperti sosiologi, antropologi, dan politik untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang peristiwa pemberontakan. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa, ketika pemerintahan pendudukan Jepang berkuasa di Indonesia, khususnya di Unra pada 1943, telah terjadi sebuah perubahan sosial yang cepat,dan dipaksakan dalam bentuk kebijakan ekonomi perang yang membawa penderitaan bagi rakyat. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong lahirnya pemberontakan petani sebagai gerakan sosial.

The research aims to describe the beckground, condition, and factors leading to the uprising of peasants in Unra during the era of Japanese occupation in South Sulawesi in the year 1943. In the analysis of the revolt of Unra peasants as a social movement, I examine the factors, conditions, and community structures that served as the bases of the uprising. Factors such as ideologies and leadershipare also considered in order to know the extent to which they motivated and contributed to the event. In the same way, the study also focuses on the cultural and religious backgrounds within the historical context of the revolt, along with the social, economic, and political climates in Unra during the Japanese occupation. In order to reconstruct this historic movement, a qualitative research method is employed from a historical perspective. A historical method is used to analyze the process and developmental stages in a chronological fashion. Historical analysis was done using approaches from other disciplines such as sociology, anthropology, and political science in order to obtain a broader understanding of the revolt. The goal of this approach is to discover the processes of social change and other social indications that may have been involved such as social conflict, disorganization, and lack of integration among rural communities. Research results showthat during the time of Japanese rule in Indonesia, particularly in the year 1943 in Unra, a rapid social change occurred and a wartime economic policy was forced upon the people. This then became the motivating factor behind the uprising of peasants as a social movement."
Universitas Veteran Republik Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 2012
Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ngadisah
"Benih-benih konflik pembangunan sesungguhnya sudah mulai tumbuh sejak awal tahun 1990-an, di mana masyarakat mulai berani melakukan protes atau unjuk rasa terhadap rencana pembangunan proyek. Beberapa proyek yang diprotes pada saat itu antara lain: Pembangunan Pelabuhan Peti Kemas (Jakarta), Waduk Kedung Ombo (Jateng), Waduk Nipah (Jatim), PLTA Danau Lindu (Sulteng). Di samping itu, protes terhadap masalah tanah akibat pembangunan juga .terus meningkat. Hal ini merupakan indikasi bahwa ada ketidakpuasan masyarakat terhadap proses perencanaan pembangunan di berbagai daerah.
Proyek lain yang mendapatkan perlawanan adalah proyek pertambangan Freeport di Kabupaten Mimika - Irian Jaya (Papua). Proyek ini ditentang sejak awal berdirinya sampai sekarang. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk diteliti, mengapa proyek itu diprotes, mengapa protes berkepanjangan dan bagaimana protes bisa berkembang menjadi gerakan sosial, serta, apakah gerakan-gerakan masyarakat disana bisa dikatagorikan sebagai gerakan sosial.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa salah satu gerakan rakyat yang tergabung dalam Lembaga Adat Suku Amungme (Lemasa) memenuhi syarat untuk disebut sebagai gerakan sosial. Sumber atau akar masalah yang melatarbelakangi lahimya gerakan sosial adalah konflik. Mula-mula ada konflik antar suku, kemudian dengan Freeport, pendatang pada umumnya dan perkembangan terakhir adalah konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Ini berarti, terjadi eskalasi konflik, dari konflik horisontal ke konflik pembangunan dan akhirnya menjadi konflik vertikal.
Kehadiran Freeport di Mimika, di samping sebagai sumber konflik baru, juga menjadi pemicu terjadinya protes. Protes adalah manifestasi dari adanya konflik, terutama dalam hubungannya dengan institusi kekuasaan. Melalui protes, masyarakat berharap dapat menciptakan perubahan-perubahan dari keadaan yang kurang menguntungkan ke arah yang lebih baik. Protes dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari perlawanan fisik sampai melakukan pemberontakan (perlawanan politik).
Protes atas proyek pertambangan Freeport berlangsung lama karena:
1. Tuntutan masyarakat berkembang terus (dari tuntutan pengakuan hak atas tanah
sampai merdeka).
2. Pemenuhan hanya dari sudut pendekatan ekonomi yaitu pemberian dana. Padahal tuntutannya yang paling dalam adalah pengakuan eksistensi dan kesederajatan.
3. Banyak fihak yang terlibat dalam perilaku kolektif protes, dengan motivasi yang berbeda-beda.
4. Konflik tidak pernah diselesaikan secara tuntas.
Oleh karena tuntutan-tuntutan tidak dipenuhi secara memuaskan, maka protes itu berkembang menjadi gerakan sosial. Kemudian, karena pengaruh faktor-faktor politik, teknis, kepemimpinan dari lingkungan strategis global, berkembanglah gerakan sosial itu menjadi gerakan politik. Jadi, gerakan politik itu sesungguhnya adalah kelanjutan dari konflik-konflik yang tidak tertangani.
Konflik itu sendiri, sumbemya adalah kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan dan peran masyarakat lokal. Mereka sesungguhnya berkeinginan untuk menjadi subyek pembangunan, merencanakan apa yang terbaik bagi dirinya bersama-sama pemerintah dan dihargai adat istiadatnya, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Namun perlakuan yang diberikan oleh Freeport maupun pemerintah sangat berbeda. Oleh karena itu, gerakan sosial yang terbentuk pada hakekatnya adalah sebuah bentuk perlawanan/protes terhadap kebijakan pemerintah, terutama dalam melaksanakan pembangunan.
Pembangunan proyek besar seperti PTFI mempunyai dampak lingkungan fisik dan sosial yang sangat besar. Namun masyarakat sekitarnya tidak disiapkan lebih dulu untuk menghadapi perubahan-perubahan itu. Perencanaan proyek, hanyalah mencakup aspek-aspek teknis dan finansial, tanpa memperhitungkan biaya sosial yang akan ditanggung. Termasuk dalam biaya sosial adalah hancurnya adat kebiasaan, penghidupan, nilai-nilai spiritual dan hak-hak masyarakat. Pengabaian atas itu semua, menyebabkan masyarakat tidak siap menghadapi kontak dengan budaya baru, sehingga mereka merasa terpinggirkan. Di dalam ketidakberdayaan itu, muncul keberanian untuk berontak. Oleh karena itu, untuk mempersiapkan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan, perlu dikembangkan perencanaan sosial yang dilakukan lebih dulu sebelum perencanaan fisik, atau dipadukan perencanaannya, dengan catatan, pelaksanaannya lebih awal, agar masyarakat siap dan mampu berpartisipasi dalam pembangunan di daerahnya."
2002
D247
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danar Widiyanta
"Organisasi Angkatan Oemat Islam di Kebumen pada masa awal kemerdekaan 1945-1950 telah melakukan suatu gerakan sosial yang bercirikan keagamaan. Untuk dapat membahas suatu gerakan sosial kita harus melihat tiga komponen yang essensial yaitu kepemimpinan, ideologi dan organisasi. Kepemimpinan dalam Angkatan Oemat Islam bertumpu pada wibawa pribadi Kiai Haji Makhfudz Abdurrahman. Kharisma Kiai Haji Makfudz Abdurrahman muncul antara lain karena sifat-sifat keunggulan dalam pengetahuan, ketrampilan, kreatifitas, inisiatif serta keberanian moral.
Secara ideologis, Angkatan Oemat Islam sebagai badan perjuangan dapat diidentifikasikan sebagai golongan Agama dalam hal ini Islam. Unsur nasionalisme terutama dalam aspek anti-kolonialisme juga mewarnai organisasi Angkatan Oemat Islam sebagaimana tercantum dalam was, tujuan serta anggaran dasar mereka. Di pihak lain ideologi perang jihad juga merupakan dasar yang kuat bagi Angkatan Oemat Islam. Ciri lainnya yang terdapat dalam organisasi Angkatan Oemat Islam ini adalah kepercayaan akan kekebalan, yang di kalangan masyarakat tradisional mempunyai daya tarik tersendiri di samping dapat berfungsi sebagai satu alat untuk membangkitkan semangat agresif Hal ini telah dimanfaatkan secara positif oleh Angkatan Oemat Islam baik pada masa revolusi maupun pada saat terjadinya pemberontakan.
Sebagai badan kelaskaran Angkatan Oemat Islam berdasarkan kepada agama Islam. Anggota Angkatan Oemat Islam sebagian besar adalah para santri dengan pekerjaan utamanya petani. Mereka memilih tingkat pendidikan yang rendah namun memilih loyalitas yang tinggi terhadap pemimpinnya yaitu Kiai Haji Makhfudz Abdurrahman. Angkatan Oemat Islam merupakan kekuatan yang dominan di Kebumen pada masa revolusi kemerdekaan. Angkatan Oemat Islam mampu memobilisasi potensi rakyat dengan menggunakan Islam sebagai pemersatu. Prinsip Islam tentang keadilan sangat sesuai bagi masyarakat pedesaan yang sedang menderita.
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) yang kemudian dilanjutkan dengan pengakuan kedaulatan, masalah rasionalisasi dalam tubuh militer membuat persoalan bagi Angkatan Oemat Islam Rasionalisasi telah menyebabkan tergganggunya keberadaan badan perjuangan Angkatan Oemat Islam, timbulnya ketidaksesuaian sosial, munculnya perasaan tidak aman dan frustasi dikalangan luas. Deprivasi muncul karena mereka terancam kehilangan kedudukan sosial ekonominya, kehilangan hak-hak politik atau kehilangan warisan kulturalnya. Deprivasi relatif inilah yang menyebabkan munculnya pemberontakan Angkatan Oemat Islam di Kebumen.
Oleh pemerintah, Angkatan Oemat Islam diminta untuk bergabung dengan APRIS, tawaran tersebut mendapat tanggapan yang berbeda-beda di kalangan pimpinan Angkatan Oemat Islam. Kiai Haji Makhfudz Abdurrahman menolak untuk bergabung dengan APRIS, namun sebaliknya adiknya yaitu Kiai Haji Noersodik menerima tawaran pemerintah tersebut. Perpecahan dalam tubuh Angkatan Oemat Islam secara psikologis mengganggu ketentraman di kalangan anggotanya. Pemberontakan Angkatan Oemat Islam yang dipimpin oleh Kiai Haji Makhfudz Abdurrahman ternyata didukung oleh semua unsur. Angkatan Oemat Islam termasuk Kiai Haji Naersodik yang telah bersatu kembali dengan kakaknya. Pihak Angkatan Oemat Islam menilai di dalam APRIS terdapat pasukan-pasukan kafir dan atheis. Usaha diplomatik gagal menyelesaikan perbedaan pendapat antara Angkatan Oemat Islam dan pemerintah sehingga pertumpahan darah tidak bisa dihindarkan. Simbol-simbol Islam begitu melekat dalam pasukan Angkatan Oemat Islam ini, seperti melawan pasukan kafir, perang jihad, dan perang suci. Tidaklah mengherankan bahwa gerakan sisial di Kebumen dengan mudah mengambil bentuk keagamaan, karena pandangan masyarakat Kebumen selalu didasarkan pada agama yaitu agama Islam
Peristiwa gerakan sosial yang dilakukan oleh Angkatan Oemat Islam di Kebumen gagal mencapai tujuannya Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor :
pertama, faktor sumber daya manusia, yang terdiri alas kepemimpinan, organisasi dan keterlibatan masyarakat. Kepemimpinan yang didasarkan atas kharisma seseorang ternyata tidak selalu membawa keberhasilan. Meninggalnya Kiai Haji Makhfudz Abdrmahman sebagai pemimpin utama Angkatan Oemat Islam telah menyebabkan para pengikutnya kehilangan semangat untuk meneruskan perjuangannya. Sifat keanggotaan yang bebas dalam organisasi serta hanya bertumpu pada para pemimpinnya saja pada gilirannya ternyata membuat koordinasi antar cabang dan ranting susah dilakukan. Keterlibatan masyarakat yang didasarkan pada dorongan moral saja bukan atas dasar tujuan yang jelas juga menjadi salah satu faktor gagalnya gerakan sosial di Kebumen ini.
Kedua, faktor sarana dan prasarana yang menyangkut masalah dana, serta masalah logistik dan persenjataan. Masalah dana, persediaan logistik bahan makanan dan persenjataan yang dimiliki oleh Angkatan Oemat Islam tidak memadai untuk perlawanan jangka panjang. Dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh pasukan pemerintah, persenjataan yang dimiliki oleh Angkatan Oemat Islam sangat minim dan ketinggalan jaman.
Ketiga, faktor psikologis, ketika terjadi pemberontakan. Angkatan Oemat Islam harus berperang melawan teman-teman mereka sendiri selama perang kemerdekaan, secara psikologis hal ini tidak menguntungkan meskipun mereka punya keyakinan bahwa yang mereka perangi adalah kekafiran. Perpecahan di dalam tubuh Angkatan Oemat Islam menyikapi terbentuknya APRIS, secara psikologis juga mengganggu pikiran dan perasaan para anggotanya. Adanya beban psikologis ini pun juga menjadi salah satu sebab kegagalan gerakan sosial yang mereka lakukan.

Organisasi Angkatan Umat Islam (Islamic Community movement organization) in Kebumen at the commence of independence 1945-1950 has performed a social movement having the character of religion. In order to be able to discuss a social movement we have to see three essential component i.e Leadership, Ideology and Organization. Leadership of the Angkatan Umat Islam centred mainly on the personal authority of Kyai Haji Makhfudz Abdurrachman. Charisma of Kyai Haji Makhfudz Abdurrahman appeared among others through excellence in knowledge, skill, creativity, initiative and moral courage.
Ideologically Angkatan Umat Islam as a struggle agency could be identified as religious group in this case Islam. The nationalism element especially in the aspect of anti colonialism also colored the organization of ,Angkatan Umat Islam as indicated in its principle, purpose and their constitution. On the other side the ideology of jihad war (the Holly war) constituted a strong basis for Angkatan Umat Islam. Another character found in the organization of Angkatan Umat Islam was the believe in "immunity", which among the traditional community had a special attractiveness aside from the function that it can create an aggressive spirit. This has been positively utilized by Angkatan Umat Islam both during the revolution as well as the period of insurrection.
As a semi military body Angkatan Umat Islam was founded on the Islamic Religion. Members of Angkatan Umat Islam were largely santri (members of the religious school) with as main occupation farmer. They had a low educational level but high loyalty towards their leader i.e Kyai Haji Makhfudz Abdurracman. Angkatan Umat Islam constituted a dominant strength in Kebumen during the independence revolution. Angkatan Umat Islam was able to mobilize the potential of community by the use of Umat Islam as unitary. Islamic principle on justice is very fit for the village community which was suffering.
The Round Table Conference which eventually was followed by the acknowledgement of the sovereignty, the rationalization question within the military body caused problems for Angkatan Umat Islam. Rationalization had caused interference with the existence of. the struggle organization Angkatan Umat Islam, the appearance of non fitting social conditions, the occurrence of non safe feelings and frustration among the general public. Deviation appeared since they were threatened to loose their social economic position, to loose their political rights or to loose their cultural heritage. It is this comparative deprivation which caused the appearance of rebellion of Angkatan Umat Islam in Kebumen.
By the government, Angkatan Umat Islam was asked to join the APRIS, said over met varying reactions among the leadership of Angkatan Umat Islam. Kyai Haji Makhfudz Abdurrachman rejected to join the APRIS, nevertheless on the contrary his younger brother i.e Kyai Haji Noerrsodik accepted the offer of the government. Disagreement in the body of Angkatan Umat Islam sociologically interfered with the peace among its members. The rebellion of Angkatan Umat Islam led by Kyai Haji Makhfudz Abdurracman appeared to be supported by all elements of Angkatan Umat Islam including Khyai Haji Noersodik who has rejoin with his elder brother. The said Angkatan Umat Islam was of the opinion that in APRIS are found kafir and atheistic units. Diplomatic effort failed to settle the disagreement between Angkatan Umat Islam and the government so that blood shedding could not be prevented. Islamic Symbols are so essential in the unit of Angkatan Umat Islam, as fitting against Kafir unit, Jihad war and Holly war. It was therefore not suprising that social movement in Kebumen very easy took the form of religious movement, since the view of the Kebumen community is invariably based on religion, i.e the Islamic religion.
The event of the social movement started by Angkatan Umat Islam in Kebumen failed to reach its objective. This was caused by the existence of various factors, firstly, the factor of Human Resources, which consisted of leader-ship, organization and the involvement of the community. Leadership which was based on someone(s) charisma appeared not to always result in success_ The death of Kyai Haji Makhfudz Abdulrrachman as the main leader of Angkatan Umat Islam has caused his members to loose their courage to continue the fight. The three characters of membership in the organization and only depending on its leaders in turn caused coordination between branches and sub branches difficult to contrail. The involvement of the community which is based on moral will did not only such on the bases of an already clear objectives became also one of the factors causing the failure of the social movement in Kebumen was this. Secondly, the factor of facilities and pre-requirement relating to the question of funds, and the question of logistics and weapons. The question of funds, supply of logistics/foods material and weapon owned by Angkatan Umat Islam was not adequate for long term opposition. Compared with the weapons owned by governmental units, the weapon owned by Angkatan Umat Islam was very minim and out of date. Thirdly, the psychological factor, at the time of the rebellion, Angkatan Umat Islam must fight against their own friends during independence war, psychologically this was not advantageous although they had the belief that those they fought against was kafirs. Disagreement in the body of Angkatan Umat Islam in their attitude towards the establishment of APRIS, psychologically also hindered the thought and feeling and each members. Also the existence of the psychological load became one of the causes of the failure of the social movement they performed.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T10189
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Rahmat
"Tesis ini membahas gerakan sosial baru yang terjadi di Papua. Bagaimana sikap penolakan masyarakat Papua terhadap integerasi dengan Indonesia sejak tahun 1969 lewat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dengan bergerilya bersenjata kemudian berubah menjadi cara-cara damai dengan berpolitik dan membangun basis kekuatan massa bukan saja di hutan tetapi sampai didalam kota (konsep masyarakat modern).
Dengan menghadirkan organisasi perjuangan yang bernama Presidium Dewan Papua (PDP) sikap menolak integrasi. Sehingga yang menjadi rumusan masalah yaitu bagaimana bentuk organisasi PDP dan perannya dalam melahirkan gerakan sosial baru di Papua ?. Eksplorasi metode pada penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, karena peristiwa ini relatif masih baru maka sumber paling baik adalah pengumpulan dokumen dari hasil Musyawarah Besar (MUBES), Kongres Rakyat Papua Ke II dan dokumen penting PDP dan yang terpenting mewawancarai tokoh-tokoh gerakan sosial baru ini. Untuk memperkuat penelitian ini maka penulis menggunakan teori-teori gerakan sosial baru yang paling relevan dan tepat . Dengan melihat kunci kekuatan teori tersebut dimana lahirnya organisasi perlawanan rakyat, tokoh / pimpinan, adanya kesempatan politik, partisipasi masyarakat akar rumput dan tanggapan pihak yang berkuasa (pemerintah), sehingga lahir mobilisasi massa dan mobilisasi politik, karena adanya suatu kepercayaan (belief) sebagai sumber penyatu.
Temuan penelitian ini benar-benar menunjukkan realitas di Papua sebagai fenomena gerakan sosial baru yaitu, organisasi PDP yang laior berhasil merubah pola gerakan yang sebelumnya dengan cara gerilya bersenjata menjadi cara damai dan pola itu menjadi tema pokok perjuangan rakyat, selain ini representatif rakyat dengan melibatkan komponen perjuangan masa lalu seperti TPN / OPM, Tapoll Napol , perempuan, intelektual, dan lain-lain menunjukkan proses demokrasi yang jalan pada tingkat bawah. Cara-cara ini mendapat perhatian yang luar biasa bukan saja dari pemerintah Indonesia bahkan dunia luar.
Sekali lagi fenomena ini menjadi sangat menarik dan dapat di tarik bebarapa kesimpulan penting seperti ; ada satu perubahan dimana rakyat dapat memposisikan dirinya dalam konstalasi politik dan bernegara menjadi objek yang sangat berperan, kemudian rakyat tidak lagi semata-mata dijadikan objek keputusan pemerintah. Terjadi interplay of power antara institusi resmi dan kekuatan non formal massa. Akhirnya peran-peran oposisi sangat efektif dalam menciptakan perubahan yang cukup signifikan dalam bentuk kebijakan untuk menampung aspirasi rakyat yang timbul.

New Social Movement The Papuan Presidium Council And The New Social Movement In Papua After The Fall Of The New Order Regime In 1998This thesis discusses a developing New Social Movement In Papua. The nature of rejection of the Papuan community against integration with Indonesia, initially resulted from the so called Act Of Free Choice in 1969 was shown at the very beginning in guerrilla warfare. Recently, in spite of ongoing counter-tenor and intimidating human right violations the struggle has totally changed its course by the adoption of more peaceful and humane means for the restoration of Papuan sovereignty through the establishment of mass political power at the grass-root level, which exists not only in jungles but has widely spread into urban areas (a civic/modem society concept).
The presence of The Papuan Presidium Council (locally known as Presidium Dewan Papua or the PDP), play an important role in voicing people's rejection on integration with Indonesia. The new struggle concept has put a challenging strain on PDP, namely, how to organizationally activate this new form of Social Movement in Papua to keep up the struggle ? The exploration of this research fully adopt qualitative research method. As the case is a new, most of the resources are tapped from direct outcome of Deliberation Meetings (Mubes), the Second Papuan People Congress, PDP's initial documentation, and most importantly direct interview with those who - are responsible and involved in maintaining the New Social Movement. In order to strengthen the results of this research the writer has adopted the most recent, most relevant and most popular new social movement theories. Through these theories we can simply see in this case that the unity and oneness established among emerging people resistance organizations, community figures and leader, grass-root communities participation, situational political moments, and mass political mobilization against the government's authoritarian response, are tied as one based on one single belief
Achievements of the research indicated the emergence of current socio-political phenomenon in Papua as a New Social Movement. PDP has succeeded in converting a violence-based struggle into a `peaceful struggle'. Mass consolidation which involve a great deal of community representatives as well as past resistance organizations such as TPNIOPM (Papua Liberation Army), Tapol/Napol (Ex-political prisoners), as well as other civic components including women, intellectuals et cetera, is a good sign of a smooth running democratization at the grass-root level. Such situation has drawn serious foreign as well as domestic government attentions.
The phenomenon has served us some very interesting conclusions : the people has succeeded in the repositioning process to proactively participate in the overall state political constellation, and that the people are not longer object to government decisions. There is an interplay of power between existing formal institution and the non-formal people (mass) power. Finally, the current opposition has played an effective role in creating significant changes through the adoption of new policies in order to enhance accommodation of all emerging people aspirations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaen, Victor M.
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas tentang Gerakan Sosial Baru di Porsea, Toba Samosir, dengan studi kasus Gerakan Perlawanan Rakyat terhadap Indorayon (1983-2000). Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) menjelaskan faktor-faktor penyebab munculnya gerakan-gerakan perlawanan rakyat Porsea, Toba Samosir, dan sekitarnya, terhadap Indorayon; 2) mengkaji dimensi politik di balik proses terbentuk dan berkembangnya gerakan sosial baru tersebut, serta kaitannya dengan isu-isu tentang keadilan, kesetaraan, hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan demokratisasi; 3) mengidentifikasi corak perlawanan dan pola hubungan yang terjalin di antara gerakan-gerakan perlawanan tersebut. Adapun pokok masalah dalam penelitian ini adalah: 1) faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan penolakan rakyat di Porsea, Toba Samosir, terhadap Indorayon dan pola hubungan di antara gerakan-gerakan itu; 2) faktor-faktor yang menyebabkan gigihnya perlawanan mereka terhadap Indorayon; 3) kekuatan yang mereka andalkan dalam rangka perjuangan melawan Indorayon dan corak perlawanan yang mereka lakukan.
Penelitian ini dilandasi dengan konsep ethnic politics dan teori gerakan sosial baru. Metode penelitiannya menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus, sedangkan pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur dan wawancara mendalam terhadap beberapa narasumber yang terkait dengan gerakan perlawanan rakyat terhadap Indorayon. Hasil penelitian cenderung menunjukkan bahwa gerakan perlawanan rakyat terhadap Indorayon ini bisa digolongkan sebagai gerakan sosial baru, karena beberapa alasan: 1) gerakan ini tidak dilandasi dengan isu tunggal dan tidak semata bertujuan pencapaian keadilan ekonomi; 2) gerakan ini tidak mengandalkan jumlah massa sebagai kekuatannya, melainkan pada kelompok-kelompok warga maupun organisasi nonpemerintah yang berjejaring kian lama kian meluas; 3) gerakan ini bersifat terorganisir dan berorientasi perubahan tatanan sosial yang menyeluruh demi terwujudnya pola baru; 4) gerakan ini berdimensi politik, yang merupakan ekspresi atlas protes terhadap keadaan-keadaan sosial yang tidak adil dan bertujuan meniadakan dominasi; 5) gerakan ini juga dapat dilihat sebagai unsur utama dalam proses memperkuat civil society di masa mendatang, khususnya di Toba Samosir. Namun, kesimpulan studi ini ternyata memodifikasi teori-teori gerakan sosial baru sebagaimana yang diajukan para ahli. Sebab, jika para ahli mengatakan bahwa keanggotaan gerakan sosial baru bersifat terbuka tanpa hiraukan latar belakang kelas sosial, etnisitas, politik, maupun agama, temuan-temuan studi ini justru menunjukkan bahwa ikatan kekerabatan dan ikatan kampung halaman di antara mayoritas anggota gerakan ini (yakni Orang Batak) telah berfungsi sebagai "energi" untuk menghimpun dan mempersatukan mereka. Jadi, dalam konteks ini, gerakan sosial baru justru "memanfaatkan" etnisitas Orang Batak demi menumbuhkan spirit perjuangan mereka.

ABSTRACT
This study is an attempt to analyze the New Social Movement in Porsea, Toba Samosir, with People Resistance Movement to Indorayon (period 1983-2000) as a case study. The goals of this study are: 1) to explain the factors caused the emerging of people resistance movement in Porsea, Toba Samosir, to Indorayon; 2) to analyze the political dimension behind the process of building and developing of the new social movement, and its relation with the issues about fairness, equality, human rights, ecosystem, and democratization; 3) to identify the shape of resistance and the model of relationship connected between those resistance movement. The problems of this study are: 1) factors caused the emerging of the people resistance movement in Porsea, Toba Samosir, to Indorayon and the model of relationship between the people movement; 2) factors caused the militancy of their resistance to Indorayon; 3) the power used by people in context of their struggle against Indorayon and the shape of their resistance.
This study based on the concept of ethnic politics and theory of new social movement. This study uses qualitative approach and case study as a research method. Various resources collected data for this study. First, relied on some literatures or documentary information, which are relevant to this study. Second, the field research relied on in-depth interviews with people who involved in people resistance movement to Indorayon. The result of this study tends to show that people resistance movement to Indorayon could be classified as new social movement, because of these reasons: 1) the movement not based on single issue and not only to gain economically fairness; 2) the movement not based on mass power, but they based on people groups and non-government organizations who connected to the others (either people groups and non governments organizations) timely wider; 3) the movement was organized and oriented to the changing of social order as a whole; 4) the movement has a political dimension, as the expression of their protest to the unfair social situations and has a goal to against domination; 5) the movement also could be seen as a main element in the process of strengthening civil society in the future, specially in Toba Samosir. But, the conclusion of this study modified the theories of new social movement accorded by scholars. If the scholars said that the members of new social movement are inclusive (they didn't account on the background of social classes, ethnics, politics, and religions), but in the context of this study, such of background is just accounted, specially the solidarity of extended families and genealogy between the majority of the movement (Orang Batak), who functioned as "energy" to unite them. So, in this study, new social movement "used" the ethnicity of Orang Batak to grow the spirit of their struggle.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D586
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naning Mardiniah
"Setidaknya ada tiga alasan pentingnya studi Gerakan Etnik Tionghoa Pasca Orde Baru: Prespektif Gerakan Sosial Baru Main Touraine dilakukan. Pertama, etnik Tionghoa merupakan kelompok minoritas non pribumi yang menguasai perekonomian Indonesia tetapi mendapat perlakuan diskriminatif secara politik. Kedua, masih sedikit studi-Etnik Tionghoa pada masa Pasta Orde Baru, terutama yang memfokuskan pada prespektif Gerakan Sosial Baru Alain Touraine. Ketiga, penghapusan diskriminasi rasial telah menjadi isu global, namun di Indonesia, diskriminasi terhadap etnik Tionghoa masih kental.
Studi Gerakan Sosial Etnik Tionghoa Pasca Orde Baru dengan mengambil lokasi di Jakarta ini bertujuan untuk; Pertama, mengkaji gerakan sosial Etnik Tionghoa dari sisi tujuan dan strategi, nilai dan isu yang diperjuangkan, serta peranan dan relasi antar aktor. Kedua, mengkaji pengaruh kebijakan politik pemerintah terhadap gerakan politik etnik Tionghoa dan sebaliknya. Dalam konteks ini, beberapa pertanyaan yang diajukan sebagai masalah (problems) penelitian adalah Pertamna, bagaimana varian gerakan sosial etnik Tionghoa yang muncul pada pasta Orde Baru; apa latar belakang kemunculan (dari sisi kesadaran para aktor maupun struktur politik), pilihan corak gerakan, fokus perjuangan, dan strategi gerakan yang dikembangkan . Kedua, apa saja isu-isu yang diberjuangkan oleh gerakan itu. Keiiga, bagaimana relasi aktor gerakan sosial etnik Tionghoa dalam medan konflik bail( dalam konteks relasi antar gerakan sosial lain, relasi dengan negara. maupun komunitas etnik Tionghoa sendiri.
Studi dengan pendekatan etnografi reflektif ini menggunakan, kerangka teori Gerakan Sosial Baru (GSB) dalam prespektif Alain Touraine, yang mendifinisikan gerakan sosial sebagai aksi kolektif yang berupaya memodifikasi cara-cara sosial dalam memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya penting dan orientasi kultural yang dapat diterima oleh masyarakat. Touraine berpandangan bahwa masyarakat merupakan produk para aktor sosial atau gerakan-gerakan sosial. Namun demikian, Touraine juga menekankan bahwa studi gerakan sosial harus dilihat dalam konteks lapangan tindakan (field of action), yang mengacu pada keterkaitan antara gerakan sosial dan tekanan atau pengaruh (konteks sosial) dimana gerakan itu dibangun. Touraine melihat fenomena gerakan sosial baru dari prespektif yang luas tentang konflik, masyarakat, kebudayaan, sejarah manusia, dan meletakkannya dalam proses aksi kolektif dimana individu dan masyarakat mereproduksi dan mentransformasi diri. Gerakan sosial merefleksikan -krisis kultural dan representasi demokratik masyarakat serta merupakan aksi kolektif yang melibatkan diri dalam konflik politik. Konflik haruslah dimaknai melalui pertaruhan yang bernilai dan dihasratkan serta memiliki sejumlah chi; sekumpulan aktor yang bterorganisir, taruhan nilai yang dihasratkan, dan pergumulan antar pihak yang berkonfllik. Dari pendifinisian konflik, Touraine menyusun hipotesa bersatunya konflik yang melihat adanya keterkaitan antara identitas, aktor, dan totalitas kebudayaan yang mendifinisikan medan konflik.
Studi Gerakan Sosial Etnik Tionghoa pasta Orde Baru menemukan bahwa Gerakan Sosiai Etnik Tionghoa pasca Orde Baru muncul bukan saja karena perubahan politik dan peristiwa yang menyentak kemanusiaan (Mai 1998) tetapi juga kesadaran para tokoh dan aktivis Tionghoa untuk melakukan suatu perubahan setelah lebih dari tiga dasawarsa dimarginalkan. Gerakan ini muncul dan menjelma dalam berbagai bentuk yang berbeda. Ada yang memilih membangun Ormas (Organisasi Kemasyarakatan), seperti PSMTI dan INTI, ada yang menjelma dalam bentuk Ornop (Organisasi Non Pemerintah), ada pula yang memilih jalur politik praktis dengan mendirikan berbagai partai politik berkarakteristik Tionghoa. Selain itu, muncul pula gerakan melalui media kesenian dan pers. Kemunculan berbagai organisasi ini sekaligus memupus stigma yang lekat selama ini bahwa etnik Tionghoa anti politik, hanya mengejar ekonomi semata, dan tidak nasionalis. Selain bentuknya yang berbeda, strategi gerakan yang ditempuh pun berbeda. Yang menyamakan adalah strategi gerakan yang tidak menggunakan cara-cara pengerahan massa dan aksi kekerasan. Seluruh komponen gerakan memilih strategi penyadaran politik dan advokasi lunak, seperti dialog dengan pemerintah dan anggota legislatif, aksi moral, dan sebagainya.
Gerakan etnik Tionghoa sesungguhnya telah muncul sejak berabad-abad yang lalu (masa kolonial) dalam bentuk resistensi yang terorganisisr dan tetap berlangsung hingga saat ini dengan tema perjuangan anti diskriminasi rasial. Problem yang dihadapi etnik Tionghoa nyaris sama sejak kolonial hingga saat ini, sehingga isu yang diperjuangkan dalam gerakan Tionghoa sesungguhnya isu lama, yakni isu non diskriminasi, stigmatisasi, prasangka. dan marginalisasi, yang menjelma dalam berbagai masalah, dari kewarganegaraan, etnisitas (dipandang bukan sebagai orang Indonesia asli), serta partisipasi dalam ranah politik dan birokrasi. Pada pasca Orde Baru, sekatipun berbagai kebijakan yang diskriminatif telah dicabut dan muncul liberalisasi politik, namun problem yang dihadapi Tionghoa masih cukup besar.
Gerakan etnik Tionghoa pasta Orde Baru tidak terbelah secara tegas berdasarkan orientasi politik sebagaimana terjadi pada masa kolonial dan masa Orde Lanza. Gerakan pada masa Orde Baru hanya berbeda dalam penetapan strategi. Hal ini karena represi Orde Baru yang melarang sekat-sekat ideolog. Visi atau orientase mereka sama yakni menghilangkan aspek diskriminasi di berbagai area serta pluralisme. Yang membedakan adalah strategi gerakan, ada yang memfokuskan solidaritas internal, perjuangan identitas kultural, penyadaran publik, reformasi hukuin, serta pengikisan prasangka rasial. Etnik Tionghoa menunutut diperlakukan sebagai suku tersendiri sehingga integrasi secara wajar dipandang sebagai jalan penyelesaian untuk menghapuskan problem Tionghoa. Seluruh komponen gerakan pasca Orde Baru mempercayai sistem yang demokratis, menghargai Hak Asasi Manusia serta multikulluralislah yang dipercayai mampu menyelesaikan persoalan Tionghoa.
Karena problem yang -dihadapi Tionghoa bukan sekedar berhadapan dengan negara yang memproduksi kebijakan yang diskriminatif tetapi juga pandangan masyarakat (pribuini) yang masih stigmatis, maka relasi yang dibangun oleh gerakan Tionghoa juga melingkupi relasi dengan negara dan relasi dengan masyarakat. Hanya saja, bentuk dan jenis relasi setiap komponenn Gerakan Tionghoa berbeda, mengikuti strategi gerakan dan latarbelakang para aktor dalam gerakan itu. Sekalipun visi sama, namun konsolidasi antar komponen gerakan Tionghoa masih lemah, setiap komponen masih cenderung berjalan secara sendiri dan ketidakpercayaan antar komponen gerakan pun masih tinggi, sehingga daya pressure berhadapan dengan kekuatan negara yang diskriminatif menjadi lemah.
Ada dua implikasi yang muncul melalui studi ini. Pertama, implikasi teoritis. Temuan dalam studi dan pemaknaan atas temuan dalam studi ini dapat menambah pengayaan tentang teori Gerakan Sosial, khususnya Gerakan Sosial Baru dalam prespektif Alain Touraine. Studi ini menemukan penegasan dari prespektif Alain Touraine rnengenai gerakan sosial baru, sekaligus kelemahannya. Sekalipun identitas aktor sangat berpengaruh terhadap corak dan orientasi gerakan, namun posisi aktor atau gerakan sosial ternyata bukanlah unsur daminan dalam membentuk masyarakat melainkan keduanya terkait dalam hubungan yang dialektis transformatoris. Demikian pula, ternyata gerakan sosial juga muncul dalam masyarakat yang tidak demokratis. Konsepsi GSB Alain Touraine terlampau luas, sehingga tidak cukup mendalam dalam menganalisis tentang dekonstruksi yang menjadi ciri khas GSB. Sementara, konsepsi Touraine bahwa gerakan sosial merefleksikan krisis kultural masyarakat serta merupakan aksi kolektif yang melibatkan diri dalam konflik tertegaskan dalam studi ini.
Kedua, implikasi praktis. Menilik berbagai proses konsolidasi demokrasi yang masih stagnan, maka etnik Tionghoa kemungkinan akan berada dalam posisi yang sulit. Oleh karenanya, problem yang dihadapi etnik Tionghoa pun hanya dapat diselesaikan bila konsolidasi demokrasi terbangun. Untuk itu, ada beberapa agenda yang penting untuk diperhatikan bagi penyelesaian problematika Tionghoa. Pertama, Melakukan reforrnasi hukum terhadap perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif, dengan cara melakukan amandemen Pasal 26 UUD 1945 tentang kewarganegaraan, pencabutan Indische Staatsvregeling Tahun 1925, pembubaran BKMC, perumusan dan pensahan UU Kewarganegaraan yang yang tidak diskriminatif, serta UU Anti Diskriminasi Rasial. Kedua, Penguatan multikulturalisme. Nilai-nilai multikulturalisme harus dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bemegara. Pendidikan multikulturalisme dan Hak Asasi Manusia kepada seluruh komponen masyarakat merupakan agenda yang sangat urgen untuk dilaksanakan. Ketiga, penyadaran kritis komunitas 'Tionghoa. Penyadaran kritis terhadap warga Tionghoa, terutaina level grassroot sangat penting karena kelompok inilah yang paling rentan menjadi korban pelanggaran hak-hak asasi manusia, termasuk tindakan diskriminatif dan kekerasan. Keempat penguatan jaringan gerakan Tionghoa dengan komponen lain. Konsolidasi antar kekuatan gerakan sosial sangat signifikan dalam advokasi, penguatan civil society, dan pertimbangan tatanan masyarakat yang demokratis. Penguatan jaringan konsolidasi perlu dibangun di level nasional dan internasional."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14383
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryani Amin
"Gerakan sosial mendorong perubahan di dalam masyarakat melalui proses mengubahnya dirinya sendiri. Didalam organisasi gerakan sosial berlangsung mobilisasi yang dimaknai sebagai proses dimana sebuah kelompok melakukan kendali kolektif atas sumber daya yang dibutuhkan untuk tindakan kolektif. Mobilisasi memiliki keterkaitan dengan perubahan sosial . Tesis ini bermaksud mengungkap dinamika mobilisasi, perubahan yang ditimbulkan oleh intervensi gerakan sosial dan kaitan diantaranya. Perubahan yang dimaksud terutama dari sisi struktur agraria dan dampaknya terhadap struktur sosial. Kasus penelitian adalah Paseduluran Petani Penggarap Perkebunan Tratak (P4T) di Kabupaten Batang.

Social movement stimulates change within the community throughout the process change itself. Social movement organization carry out mobilization defined as process on how a group collectively control resources needed for collective action. Mobilization related to social change. Focus of this study is to describe dynamic processes of mobilization, its impact into changes caused by social movement intervention and relation between those. The changes particularly agrarian structure affect to social structure. Subject of the research is Paseduluran Penggarap Perkebunan Tratak (P4T) in Kabupaten Batang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24000
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>