Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hagi Gavrilo Valentino Oentarto
Abstrak :
ABSTRACT
Penelitian ini membahas mengenai perjanjian Kontrak Eksklusif antara social media influencer dengan pihak perusahaan pengiklan di dalam dunia periklanan di Indonesia. Perjanjian yang dibuat diantara kedua pihak bertujuan untuk mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Namun seringkali, perjanjian Kontrak Eksklusif tersebut tidak seimbang dan tidak memenjuhi asas proporsionalitas di dalam perjanjian. Ketidakseimbangan pengaturan mengenai hak dan kewajiban tersebut dapat merugikan salah satu pihak pada saat pelaksanaannya apabila terjadi ketidakseimbangan. Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dan juga merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan permasalahan Kontrak Eksklusif. Melalui penelitian ini, penulis menganalisa bagaimana isi daripada pasal-pasal di dalam perjanjian Kontrak Eksklusif, apakah telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata. Selain itu, penulis juga menganalisa mengenai keseimbangan hak dan kewajiban di dalam perjanjian Kontrak Eksklusif, apakah telah sesuai dengan asas proporsionalitas atau tidak.
ABSTRACT
Study discusses the Exclusive Contract agreement between social media influencers and advertising companies in the advertising world in Indonesia. The agreement made between the two parties aims to regulate the rights and obligations of each party. But often, the Exclusive Contract agreement is not balanced and does not comply with the principle of proportionality in the agreement. Regulatory imbalances regarding these rights and obligations can be detrimental to one party during implementation if there is an imbalance. The form of research used in this study is a normative juridical research method and also a descriptive study that aims to describe the problem of Exclusive Contract agreement, whether they have fulfilled the legal requirements of an agreement according to article 1320 of the Civil Code. In addition, the author also analyzes the balance of rights and obligations in the Exclusive Contract agreement, whether it is in accordance with the principle of proportionality or not.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Muhammad Lolo Hanafiah Makkasau
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kewajiban hukum penyelenggara sistem electronic untuk menjaga sistemnya dari fake account. Secara Internasional, Baru Uni Eropa dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang menaruh perhatiannya kepada manajemen identitas digital, dan membuat hukum yang mengaturnya. Padahal, pengaturan ini sangatlah penting dalam berbagai sektor terutama dalam sektor e-commerce, dan tidak terkecuali juga dalam sektor jejaring sosial. Di Indonesia sendiri, belum dibuat peraturan yang membahas mengenai manajemen identitas digital, apalagi peraturan terspesifik perihal fake account. Dalam skripsi ini akan dibahas beberapa asas yang berlaku dalam pertanggungjawaban hukum suatu penyelenggara sistem elektronik dan penyelenggara identitas, dan hukum apa yang dapat ditarik untuk menjadi tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik terhadap fake account. Untuk menjadikan diskusi dalam skripsi ini lebih konkrit, akan dianalisa pula bagaimana Facebook dan Google telah memenuhi kewajibannya sebagai penyelenggara sistem elektronik dan identitas digital.
ABSTRACT
This final assignment discusses about the legal obligation of electronic system provider from fake account. From the intenational perspective, only European Union and several states in America that puts their attention on digital identity management, so far to make regulations of it. Even though, these kinds of regulation is very significant, in particular on e-commerce sector, but not excluding social networking sector. While in Indonesia, there has yet to be any specific regulation to rule about identity management, leave alone about fake account. In this final assignment, it will be discussed upon several principles that may be applied on electronic service provider and identity providers legal responsibility, and what laws might be streched to rule over system profiders responsibility towards fake account. To make the discussion in the essay more concrete, will also be analyzed upon how Facebook and Google had fulfilled their obligation as electronic system and digital identity provider.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yonathan L.M.
Abstrak :
Skripsi ini meninjau secara sosio-legal fenomena akun alter pada situs jejaring sosial Twitter di Indonesia. Dengan adanya situs jejaring sosial seperti Twitter, suatu hukum diperlukan untuk mengakomodasi dan mengatur guna menghindari timbulnya persoalan-persoalan dalam proses berkembangnya sosialisasi dalam situs tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan dengan pengamatan partisipatoris dan wawancara 9 narasumber menunjukkan bahwa adanya praktek pornografi dan prostitusi pada situs Twitter yang dilakukan oleh akun-akun alter. Akun alter dibuat oleh alter-people (person). Pemilik akun alter ini merupakan subjek hukum yang wajib patuh pada Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang Pornografi, meskipun pembuktiannya sukar. Sehingga Tweet yang mereka unggah di Twitter merupakan informasi yang harus mereka pertanggung jawabkan secara hukum. ......This thesis observes the socio-legal of the phenomena about alter account made by Indonesian people in a social media called Twitter. A law is needed in order to control and avoid misuse Twitter as a place to interact between people in cyberspace. In order to observe the actual interaction inside the alter land, a participatory observation and interviews of 9 sources were held. The finding of this observation shows that people behind alter accounts in Twitter are indeed legal subjects who need to oblige the Law (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang Pornografi). Therefore, the tweet uploaded by alter accounts in Twitter is accountable and can be justified legally.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46320
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mercia Namira
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pengalihan akun media sosial yang bernilai komersial yang mana dalam praktiknya pengalihan akun kerap dilakukan dengan cara jual-beli. Melihat akun sebagai objek jual-beli maka perlu dibuktikan bagaimana akun media sosial memenuhi hukum kebendaan atau dapat dianggap sebagai suatu benda sehingga sifatnya dapat dijadikan objek kepemilikan dan dapat dialihkan. Di lain sisi dalam term of service media sosial terdapat larangan untuk mengalihkan akun oleh pengguna. Maka dari itu penulis juga menganalisis apakah pengguna akun memiliki hak untuk mengalihkan akun tersebut. Merujuk kepada teori yang dibawakan oleh John Locke yaitu The Labor Theory of Property, atas adanya pertambahan nilai pada akun yang diusahakan oleh pengguna maka pengguna adalah pemilik akun media sosial dan ia bisa mengalihkannya. Oleh karena itu seharusnya penyelenggara sistem elektronik media sosial seharusnya tidak melarang penggunanya untuk mengalihkan akun tersebut.
ABSTRACT
This thesis discusses about the transfer of commercially valuable social media account which often done by trading. By seeing a social media account as an object of trading, therefore the author used several theories and doctrines regarding property law to prove social media account can be regarded as a property so it can be the object of ownership and can be transferred. On the other hand, there is a clause in the social media rsquo s Term of Service that forbids the users to transfer their account. Based on The Labor Theory of Property by John Locke, by adding value to their account value added by users , users shall be acknowledged as the owner of their account. Therefore the electronic system provider should not forbid users to transfer their account.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farrel Eden Surbakti
Abstrak :

Dengan perkembagan teknologi yang semakin pesat membuat masyarakat menjadi dipermudah dalam berkomunikasi dan mencari informasi contohnya seperti media sosial. Media sosial sendiri memiliki jenis dan macam yang berbeda-beda serta memiliki kelebihan dan kekurangannya. Penggunaan media sosial tidak melihat dari status seseorang seperti umur, gender, agama, maupun profesi. Pada saat ini banyak hakim yang menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dan mencari informasi serta berinteraksi dengan masyarakat. Hakim dalam menjalankan kewajibannya sebagai pengemban profesi hukum dibingkai oleh sebuah pranata lembaga yang dirumuskan ke dalam sebua kode etik profesi hakim. Hakim yang berada di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya diikat oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang tertuang dalam bentuk Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial tahun 2009. Hakim Indonesia tidak dilarang menggunakan media sosial tetapi penggunaan media sosial dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap hakim di dalam pengadilan. Dalam KEPPH tidak terdapat aturanmengenai penggunaan media sosial oleh hakim. Pada saat ini banyak hakim yang menggunakan media sosial untuk berkomnukasi hingga mencari informasi-informasi Di berbagai negara seperti Canada, Rhode Island serta organisasi PBB sudah adaaturan dan cara hakim menggunakan media sosial dengan baik dan benar sehingga tidak mengurangi rasa percaya masyarakat kepada hakim. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk membantu Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial agar dapat membuat peraturan atau pedoman terhadap hakim dalam menggunakan media sosial, serta hakim agar dapat menggunakan media sosial yang tidak melanggar kode etik hakim.


With the rapid development of technology, it makes it easier for people to communicate and find information, for example, such as social media. Social media itself has different types and types and has its advantages and disadvantages. The use of social media does not see a person's status such as age, gender, religion or profession. Currently, many judges use social media to communicate and seek information and interact with the public. Judges in carrying out their obligations as bearers of the legal profession are framed by an institution formulated into a judge professional code of ethics. Judges who are in the Supreme Court and the judicial bodies under it are bound by the Code of Ethics and Judicial Code of Conduct (KEPPH) which is contained in the Joint Decree of the Chief Justice and the Chair of the Judicial Commission in 2009. Indonesian judges are not prohibited from using social media but the use of social media can affect public trust in judges in court. In the KEPPH there are no regulations regarding the use of social media by judges. At this time, many judges use social media to communicate and seek information. In various countries such as Canada, Rhode Island and the United Nations organizations, there are rules and ways for judges to use social media properly and correctly so that it does not reduce people's trust in judges. Therefore, this research was conducted with the aim of assisting the Supreme Court and the Judicial Commission in making rules or guidelines for judges using social media, as well as judges in order to use social media that do not violate the judge's code of ethics.

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renienda Vitria Lestari
Abstrak :
In the increasingly sophisticated digital era today, it is necessary to have a legal protection for a work of creation namely copyright. But as the development of the world, it actually raises a new issue in the modern society because the term of a copyrighted creation is too long, so it leaves the impression that those rules are to curb the creativity of the community to create a new creation. With the issue, a legal expert from Harvard University, Lawrence Lessig initiated a movement called ldquo Free Culture rdquo , in which users can use some or all of the rights of the creators, not to rule out all the provisions of the Copyright Law. This thesis aims to find out whether the existence of the movement eliminates any legal protection provided by the Copyright Law and whether Indonesia has adopted the principles of Free Culture Movement. ...... Di era digital yang makin canggih saat ini, tentu diperlukan adanya suatu perlindungan hukum dalam suatu karya ciptaan yaitu hak cipta. Namun seiring berkembangnya dunia, hal itu justru menimbulkan isu baru dimasyarakat modern karena masa berlaku suatu ciptaan yang dilindungi di rasa terlalu lama sehingga terkesan mengekang kreativitas masyarakat untuk menciptakan suatu karya baru. Dengan adanya isu tersebut, seorang ahli hukum Universitas Harvard yaitu Lawrence Lessig menggerakan suatu gerakan bernama ldquo;Free Culture rdquo;, dimana pengguna dapat menggunakan sebagian atau seluruh hak dari pencipta, dengan tidak mengesampingkan seluruh peraturan dalam UU Hak Cipta. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah dengan adanya gerakan tersebut menghapuskan segala perlindungan hukum yang diberikan oleh UU Hak Cipta serta apakah Indonesia telah mengadopsi prinsip dari Free Culture Movement.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69812
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Savana Orcaputri
Abstrak :
Media sosial merupakan wadah komunikasi baru bagi masyarakat, untuk bisa saling berinteraksi dan bertukar informasi dengan menggunakan sistem elektromagnetik. Namun, dengan meningkatnya jumlah pengguna media sosial, hal tersebut juga diikuti dengan berkembangnya tindak kejahatan pornografi dengan menyalahgunakan media sosial yang ada. Maka dari itu, media sosial sebagai salah satu penyelenggara sistem elektronik (PSE) di Indonesia, dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum atas tindak pidana pornografi yang difasilitasi dalam sistem elektroniknya. Fokus penelitian ini, akan membahas lebih mendalam mengenai aplikasi TikTok, dan menguraikan secara akademis tentang (i) bagaimana kewajiban media sosial TikTok sebagai PSE dalam mematuhi norma kesusilaan berdasarkan hukum positif di Indonesia; (ii) bagaimana media sosial TikTok mengatur pembatasan muatan seksual yang dilarang untuk disiarkan; (iii) bagaimana pertanggungjawaban media sosial Tiktok terhadap konten pornografi yang ditayangkan pada sistem elektroniknya dalam fitur live streaming. Metode penelitian yang digunakan penulis ialah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan sumber penelitian pustaka, serta dengan sifat penelitian yang analitis dan berbagai jenis data sekunder yang mendukung. Dasar hukum utama yang mengatur mengenai media sosial sesuai dengan hasil analisis penulis ialah, UU ITE, UU Pers, serta UU Penyiaran. Namun penulis akan memfokuskan pembahasan kepada TikTok sebagai PSE resmi di Indonesia, yang diatur oleh peraturan turunan UU ITE, yakni Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019, dan Peraturan Menteri No. 5 Tahun 2020. Penelitian penulis juga ditinjau dari dasar hukum utama mengenai pornografi, yakni pada UU Pornografi dan KUHP. Pada dasarnya, ketentuan diatas telah memuat hak dan kewajiban TikTok sebagai PSE, yang dimana salah satunya untuk tidak menyebarkan informasi/dokumentasi elektronik yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Dalam praktiknya, TikTok masih menyebarkan konten pornografi, sehingga badan usaha asing tersebut wajib mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum dalam hal belum terpenuhi secara lengkap kewajibannya, sebagai PSE berdasarkan peraturan perundangundangan. ......Social media is a new communication platform for the public, to be able to interact and exchange information using electromagnetic systems. However, with the increasing number of social media users, this is also followed by the development of pornography crimes by abusing existing social media. Therefore, social media as one of the organizers of the electronic system (PSE) in Indonesia, can be held legally responsible for pornography crimes facilitated in its electronic system. The focus of this research, will go deeper into the TikTok app, and elaborate academically on (i) how TikTok’s as a social media comply with obligations as a PSE in based on moral norms positive law in Indonesia; (ii) how TikTok's as a social media regulates restrictions on sexual content that is prohibited from being broadcast; (iii) how Tiktok's as a social media is responsible for pornographic content that is aired on its electronic system in the live streaming feature. The research method used by the author is normative juridical research, using literature research sources, as well as with the analytical nature of research and various types of supporting secondary data. The main legal basis governing social media in accordance with the results of the author's analysis is the ITE Law, the Press Law, and the Broadcasting Law. However, the author will focus the discussion on TikTok as an official PSE in Indonesia, which is regulated by derivative regulations of the ITE Law, namely Government Regulation No. 71 of 2019, and Ministerial Regulation No. 5 of 2020. The author's research is also reviewed from the main legal basis regarding pornography, namely the Pornography Law and the KUHP. Basically, the provisions have contained the rights and obligations of TikTok as a PSE, one of which is not to disseminate electronic information/documentation that is prohibited by laws and regulations. In practice, TikTok still spreads pornographic content, so the foreign business entity is obliged to legally responsible its actions based on the law, in terms of they have not fully fulfilled their obligations as a PSE based on laws and regulations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library