Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khairan
Abstrak :
Kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) terhadap Aceh mulai tahun 1989 s.d. 1998 sebagai sebuah strategi Pemerintah Republik Indonesia untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM), telah menimbulkan mala petaka yang berakibat luka dan kedukaan bagi rakyat Aceh. Akibatnya tidak kurang dari 8.344 orang meninggal dunia, 575 orang hilang, 1.465 orang istri menjadi janda, 4.670 orang anak yatim, 298 orang cacat seumur hidup dan 34 orang perempuan diperkosa. Kekerasan seksual merupakan goncangan yang luar blasa yang teijadi di Aceh sepanjang sejarah perjuangan rakyat Aceh (ketika masih sebagai sebuah bangsa yang berdaulat), belum pemah terjadi dan kenyataan ini terlalu menyakitkan bagi rakyat Aceh. Karena faktor budaya, korban merasa malu dan rendah diri dalam masyarakat. Ada kecenderungan korban merahasiakan kekerasan seksual yang dialaminya. Disisi lain, pada umumnya mereka perempuan yang berpendidikan rendah, cenderung tidak mempunyai ketrampilan khusus dan juga berpenghasilan rendah serta hidup dalam kemiskinan. Ada perempuan korban yang merasa malu melaporkan diri kepada pihak yang berkompeten. Selain rasa malu, para korban juga sulit menjangkau ibu kota kecamatan untuk melapor kejadian yang mereka alami, karena situasi konflik terus berlangsung dan juga jarak yang harus ditempuh ke kecamatan relatif jauh. Yang menjadi fokus masalah di sini adalah bagaimana Persepsi korban tentang dirinya sendiri, interaksi mereka dengan orang lain, dan cara mereka melihat masa depannya sendiri. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif melalui Pendekatan kualitatif yang perempuan bertujuan untuk memahami pengalaman korban perempuan dengan meneliti persepsi dirinya interaksi dengan orang lain dan cara korban melihat masa depannya Sendiri, agar dapat dijadikan landasan dalam membuat program untuk membantu perempuan korban kekerasan seksual. Informan penelitian diperoleh pada dua kecamatan yaitu kecamatan Peureulak dan Julok yang dilakukan pada bulan Februari s.d. Maret 2001 dan dilanjutkan pada bulan Juni 2001. Informan penelitian yang dijadikan kelompok kasus sebanyak 7 orang. Penelusurannya dilakukan dengan tehnik Snow Ball, dengan karakteristik informan; perempuan gadis (belum menikah), perempuan berkeIuarga (menikah) dan perempuan janda. Kemudian dilengkapi derigan 4 Informan annya yang dinggap dapat memperjelas informasi yang diperoleh. Metode pengambilan informasi dilakukan dengan pengamatan terlibat terhadap kelompok kasus dilengkapi dengan wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang dilabelkan sebagai orang yang menyimpang dari norma yang berlaku tergantung proses terjadinya tindak kekerasan seksual itu sendiri. Reaksi masyarakat terhadap korban dapat berupa positif atau negatif. Secara umum peran keluarga, orang dekat korban dan tokoh agama ikut berpengaruh terhadap korban dalam mengembalikan cara pandang korban terhadap dirinya sendiri, interaksi dengan orang lain dan cara melihat masa depannya sendiri setelah korban mengalami tindak kekerasan seksual. Pada umumnya korban masih melihat dirinya sendiri sebagai orang yang berguna setelah Iingkungan memberikan reaksi simpati terhadap korban. Lalu dari interaksi antara korban dengan Iingkungannya, muncul kembali semangat meraih masa depan dengan kemampuan yang dimiliki korban. Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial masyarakat Aceh signifikan ikut mempengaruhi persepsi diri korban. Di sisi lain, secara umum perempuan korban kekerasan seksual di Aceh mempunyai mental yang tangguh, hal ini ditandai oleh data lapangan dengan tidak ditemukan satu orangpun korban yang bunuh diri akibat diperkosa. Ada kecenderungan signifikan hal tersebut berhubungan dengan budaya Aceh yang melarang seseorang bunuh diri karena itu adalah salah satu dosa besar dalam Agama (Islam). Pembinaan korban relatif sulit dilaksanakan, jika situasi keamanan masih rawan. Oleh karena itu untuk melakukan pembinaan yang sustainable melalui pernberdayaan, korban memerlukan situasi keamanan yang kondusif. Memberikan bantuan kepada korban adalah baik. Namun hal tersebut harus dibarengi dengan program konkrit yang dilaksanakan yaitu: membuat pusat-pusat rehabilitasi mental pada tiap Puskesmas - Puskesmas Pembantu oleh psikolog (ahil Jiwa) dan menghidupkan kembali pengajian tradisional secara reguler dan konsultasi personal dalam dimensi keagamaan terhadap korban dengan memanfaatkan pesantren. Membuat pusat rehabilitasi Personal/community dalam rangka kesinambungan (sustainabelity) melalui pelatihan sesuai bakat, minat dan prospek bahan baku yang ada di desa korban (people centered development). Kemudian membantu melakukan pangsa pasar untuk pemasanan produk secara berkelanjutan. Bagi korban yang tidak mempunyai keterampilan khusus, dibimbing dengan memberikan modal usaha tradisional (misalnya beternak).
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3648
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Silmi Kamilah
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengungkapan kasus kekerasan seksual melalui Twitter sebagai bentuk resistensi penyintas kekerasan seksual di Indonesia. Studi-studi terdahulu mengenai pengungkapan kasus kekerasan seksual membahas dua jenis pengungkapan, yaitu secara langsung dan secara daring melalui perantara media sosial. Akan tetapi, belum banyak studi yang melihat fenomena ini sebagai bentuk resistensi penyintas, khususnya melalui pewacanaan diskursus tandingan dengan menggunakan metode analisis wacana kritis. Penelitian ini berargumen bahwa pengungkapan kasus kekerasan seksual di Twitter merupakan bentuk resistensi penyintas dan terwujud melalui diskursus tandingan yang memicu dialog publik mengenai kekerasan seksual. Diskursus tandingan penyintas beroperasi dalam online counterpublics, yaitu arena diskursif berbasis teknologi internet di mana kelompok marjinal mampu mengontestasikan eksklusi mereka dari ruang publik. Temuan penelitian menunjukkan diskursus tandingan penyintas terlihat dalam teks yang merebut kembali narasi kekerasan seksual dari perspektif penyintas, menggambarkan bentuk kekerasan yang beragam, serta memberikan sanksi sosial kepada pelaku. Proses produksi teks utas juga merepresentasikan resistensi penyintas sebagai aktor yang aktif dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun begitu, terdapat kontestasi antara diskursus tandingan penyintas dengan diskursus dominan yang mereproduksi nilai-nilai rape culture di arena diskursif yang sama. Resistensi penyintas juga diinterpretasi secara berbeda-beda oleh publik sehingga arena diskursif yang ada tidak menjadi ruang aman bagi penyintas untuk bersuara. Oleh karena itu, pengungkapan kasus kekerasan seksual melalui Twitter tidak menjadi jalur alternatif yang ideal bagi penyintas untuk mendapatkan keadilan di tengah konteks sosiokultural Indonesia yang masih melanggengkan kekerasan seksual. ......This study aims to explain how sexual assault disclosure on Twitter is a form of sexual violence survivors’ resistance in Indonesia. Previous studies on sexual assault disclosure mainly discussed two kinds of disclosure, which are direct or offline disclosure and disclosure through social media or online disclosure. However, there is little to no studies which analyzed the phenomenon as sexual violence survivors’ resistance through the construction of counter discourse, specifically using critical discourse analysis (CDA). This study argues that sexual assault disclosure on Twitter is a form survivors’ resistance which further manifested through counter discourse that encourages public discussion on sexual violence. Survivors’ counter discourse operates through online counterpublics, which is a discursive arena facilitated by the internet in which marginalized group contested their exclusion from the public sphere. The findings of this study show that survivors’ counter discourse can be seen through texts which reclaim sexual assault narrative, depict various sexual violence forms, and give social punishment to the perpetrators. The text production process also represents survivors’ resistance as an active actor in the decision-making process. However, there is a contestation between survivors’ counter discourse and the dominant discourse which reproduces rape culture values in the same discursive arena. Survivors’ resistance is also interpreted in different ways by the public, emphasizing how the discursive arena is not a safe space for survivors to speak up. Therefore, the sexual assault disclosure through Twitter is not an ideal alternative route for survivors to seek justice in the midst of Indonesia's sociocultural context which still perpetuates sexual violence
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Dhea Novia Anzani
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai kekerasan seksual dalam hubungan pacaran pada perempuan pada saat usia remaja yang dilihat dari aspek resiliensi serta konsep diri dari disiplin Ilmu Kesejahteraan Sosial. Kekerasan seksual pada perempuan merupakan fenomena yang marak terjadi di Indonesia. Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya khususnya pada ranah privat atau personal. Pada ranah privat, pelaku kekerasan seksual didominasi oleh pacar dan mantan pacar. Kasus kekerasan dalam hubungan pacaran dapat digambarkan seperti fenomena gunung es yang mana tidak banyak terlihat di permukaan. Para penyintas tidak banyak melaporkan kasus kekerasan yang terjadi pada dirinya sendiri. Kasus kekerasan seksual dalam hubungan pacaran juga sering mengalami kebuntutan pada proses hukum. Hal tersebut menyebabkan para penyintas hanya dapat bergantung pada dirinya sendiri dalam menangani permasalahannya. Perempuan penyintas kekerasan seksual dalam hubungan pacaran pada umumnya memiliki kemampuan untuk menghadapi permasalahan yang ia alami atau disebut dengan resiliensi. Proses resiliensi tersebut akan mempengaruhi cara pandang individu terhadap dirinya sendiri atau konsep diri yang terbentuk pada diri para penyintas. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus yang mengambil data dari berbagai informan penyintas kekerasan seksual dalam hubungan pacaran pada usia remaja di Jabodetabek dan dilakukan pada tahun 2021. Dalam penelitian ini akan dibahas bentuk-bentuk tindak kekerasan yang terjadi, resiliensi, serta konsep diri pada informan utama. Pada penelitian ini ditemukannya hasil bahwa para informan utama telah menjadi individu yang resilien dengan proses yang ditentukan oleh faktor, sumber, karakteristik yang berbeda. Konsep diri yang terdiri dari ideal self, self image, dan self esteem yang terbentuk pada diri informan merupakan hasil dari kekerasan seksual yang dialaminya dan mempengaruhi pandangan positif atau negatif yang mereka bentuk. Konsep diri tersebut seiring berjalannya waktu berubah karena lingkungan yang mempengaruhi para informan. Penelitian ini berimplikasi pada Ilmu Kesejahteraan Sosial khususnya mata kuliah pengantar psikologi dan kesehatan jiwa dalam pembahasan resiliensi dan teori sosiologi dalam pembahasan konsep diri. Penelitian ini juga bermanfaat untuk pekerja sosial dalam lembaga penanganan kasus dalam merancang metode intervensi yang dibutuhkan. ......This research discusses sexual violence in dating relationships among women at the age of adolescence which is seen from the aspect of resilience and self-concept from the discipline of Social Welfare Sciences. Sexual violence against women is a big phenomenon in Indonesia. Sexual violence against women’s cases always increase in every year. The most cases of sexual violence that occur are in the private or personal space. In the private space, the perpetrators of sexual violence are dominated by boyfriends and ex-boyfriends. Sexual violence in dating relationships can be described as an iceberg phenomenon which is not widely seen on the surface. The vitcims did not report many cases of violence against themselves. Sexual violence in dating relationships or dating violence also often ends in the ambiguity of the legal process. This causes the victims only depend on themselves in dealing with their problems. Women who have survived sexual violence in dating relationships generally have the ability to deal with the problems they experienced or what is known as resilience. The resilience process will affect the individual's perspective on himself or the self-concept that is formed in the survivors. This research is a qualitative research using a case study method that takes data from various informants of sexual violence survivors in dating relationships at the age of teenagers in Jabodetabek in 2021. This research will discuss the forms of violence that occur, resilience, and self-concept in the main informants. In this research, it was found that the main informants had become resilient individuals with a process determined by different factors, sources, and characteristics. The self-concept consisting of the ideal self, self-image, and self-esteem that is formed on the informant is the result of the sexual violence they have experienced and influences the positive or negative views they form. This self-concept changes over time because of the environment that affects the informants. This research has implications for Social Welfare Science, especially on psychology introduction study and mental health study for resilience discussion and sociological theory study for self-concept discussion. This research is also useful for social workers at organization who handle sexual violence cases in designing intervention method they needs.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library