Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suhardi Alimudarto
Abstrak :
Beberapa pembangunan permukiman yang mengalami gangguan, tidak mencapai sasarannya dan hasilnya tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat memang terjadi, Menarik untuk diketahui, apakah pengelola pembangunan telah menggunakan Indikator yang cocok, yang digunakan dalam menyiapkan pembangunan tersebut. Kondisi integrasi sosial masyarakat dimana berbagai kepentingan dan kelompok terdapat didalamnya, juga kondisi sistem nilai budaya permukiman masyarakat dalam menyikapi dan memperluas peluang pembangunan perlu lebih dahulu diketahui dan diamati. Dalam mengamati tersebut, tentunya harus mempunyai ukuran-ukuran atau indikator yang dapat menilai kondisi integrasi sosial dan sistem nilai budaya permukiman tersebut. Penelitian ini dibagi dalam 2 (dua) kajian. Bagian pertama merupakan Studi Kepustakaan (Library Research) dalam upaya untuk pemahaman yang lebih mendalam mengenai hakekat indikator, serta fungsi dan prasyarat indikator. Gambaran sejauh mana dimensi sosial budaya sebagaimana yang dimaksud dalam penelitian ini terkandung, baik dalam pembangunan permukiman maupun dalam indikator yang pemah disusun. Kemudian dilakukan review atas hasil hasil penelitian dan penyusunan indikator. Hasil bagian pertama dari penelitian ini menunjukkan bahwa : - Pembangunan Permukiman menurut Undang-undangnya (UU No.4 tahun 1992) memang sarat dengan masalah-masalah sosial budaya terutama kondisi integrasi sosial dan sistem nilai budaya permukiman masyarakatnya. Kondisi ini diperlukan untuk pembangunan permukiman, oleh karena itu indikator sosial budaya untuk keperluan tersebut perlu dibuat. Sementara itu indikator yang telah disusun oleh instansi yang paling berwenang pads tahun 2002 sekalipun, yaitu mengenai Indikator Pembangunan Manusia untuk sektor perumahan, masih cenderung kepada aspek teknis teknologis, dibanding sosial budaya. Bagian kedua dari penelitian ini merupakan kajian lapangan, suatu tmuan empirik basil suatu proses metodologis yang induktif. Diperoleh data primer dari hasil wawancara mendalam dan FGD sebanyak 5 (lima) kali yaitu FGD 1 sampai dengan FGD V. Wawancara dengan para stake holders pembangunan permukiman sesuai tatanan pemilihannya sebagai basic informanis dan key informanis yang kesemuanya berjumlah 13 (tiga belas) Stake holders/informan. Pemilihan stake holders berdasarkan kriteria latar, pelaku, peristiwa dan proses yang melekat dalam diri dan lingkungannya. Dengan dipandu oleh kerangka konseptual integrasi sosial dan sistem nilai budaya pennukiman sebagai variabel dependen, penelitian ini mencoba mengembangkan pengaplikasian teori-teori guna bersama-sama para stake holders tersebut diatas menggali konsep konsep untuk dibangun menjadi indikator sosial budaya. Hasil bagian kedua penelitian ini menunjukkan bahwa : Munculnya masalah-rnasalah sosial budaya yang mengiringi upaya-upaya pembangunan permukiman. Teridentifikasinya variable-variable yang mempengaruhi kondisi integrasi sosial dan sistem budaya dan terbangunnya konsep indikator sosial budaya pembangunan permukiman Upaya-upaya yang dapat digunakan untuk mendorong tindakan operasionalisasi dengan mcnyiapkan komponen penilaian atau sub indikator dan metode penilaian. Saran dan rekomendasi agar dapat dimanfaatkannya indikator ini untuk kalangan yang lebih luas. Temuan lain dijumpai dalam penelitian ini. Disamping integrasi sosial dan sistem budaya, ternyata kondisi yang diinginkan untuk pembangunan pennukiman juga dipengaruhi oleh sikap aparat dan perilaku birokrasi yang menangani pembangunan permukiman. Arus perumahan atau arus level komunitas yang antara lain nampak dari penyampaian aspirasi yang semakin berani, perlu disikapi dengan kehati-hatian di tengah era reformasi ini, termasuk dalam penanganan kondisi sosial budaya masyarakat dalam pembangunan. Kekhawatiran akan terjadinya hal-hal yang destruktif dan kontra produktif bukan tidak beralasan, terutama agar pembangunan tidak menjadi sia sia. Kegagalan dalam menciptakan integrasi sosial dan sistem nilai budaya pemukiman yang kondusif dapat menjadi benih-benih disintegrasi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T337
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryadi Lambali
Abstrak :
Penelitian mengenai implementasi kebijakan. di Indonesia masih jarang dilakukan. Studi implementasi sendiri mulai nampak pada awal tahun 1970-an. Sampai akhir Repelita V penelitian mengenai Implementasi kebijakan, khususnya permukiman kumuh masih terbilang langka. Permukiman kumuh di kota-kota besar disebabkan oleh besarnya laju urbanisasi yang tinggi. Laju urbanisasi Kotamadya Ujung Pandang 1,8 %, angka tersebut melebihi angka pertumbuhan penduduk Kotamadya Ujung Pandang yakni 1,7 %.

Penanggulangan masyarakat yang bermukim pada wilayah-wilayah kumuh belum mempuayai suatu model implementasi yang baku. Sistem yang mengatur mengenai proyek dan program yang diimplementasikan belum memadai, terutama menyangkut komunikasi (Communication), sumber daya (resources), disposisi atau sikap (disposition or attitudes) dan struktur birokrasi (bureaucratic structure). Dari pemikiran di atas penelitian ini berjudul Implementasi Kebijakan permukiman Kumuh di Kotamadya Dati II Ujung Pandang.

Dalam penelitian im dikaji mengenai (1) sejauh mana implementasi kebijakan pemukiman kumuh di Kotamadya Dati II Ujung Pandang. (2) Bagaimana pengaruh implementasi kebijakan terhadap permukiman kumuh di Kotamadya Dati II Ujung Pandang. (3) Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan permukiman kumuh di Kotamadya Dati II Ujung Pandang.

Implementasi kebijakan pemukiman kumuh di Kotamadya Dati II Ujung Pandang dilakukan oleh beberapa departemen, instansi, dan organisasi kemasyarakatan. Departemen yang terkait antara lain: Depattemen Sosial dan Departemen Pekerjaan Umum, masing-masing pada tingkat I (Propinsi) dan tingkat II (Kotamadya), Dinas Kesehatan bekerja sama BKKBN. Semua Departemen dan Dinas tersebut bekerja sama dengan Pemerintah daerah Kotamadya antara lain: Bappeda Tingkat II, Bangdes, Kecamatan dan kelurahan serta lembaga-lembaga dan organisasi yang terkait.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan permukiman kumuh di Kotamadya Dati II Ujung Pandang belum terlaksana secara maksimal. Hal ini sangat dipengaruhi oleh peranan lembaga-lembaga pemerintah yang terlibat langsung dalam pelaksanaan permukiman kumuh tersebut. Pengaruh implementasi kebijakan publik terutama menyangkut sistem komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap, dan struktur birokrasi sangat mempengaruhi implementasi kebijakan permukiman kumuh di Kotamadya Dati II Ujung Pandang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan permukiman kumuh antara lain faktor pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Faktor ini terakumulasi menjadi satu ke dalam sistem kehidupan masyarakat kumuh di Kotamadya Dati II Ujungpandang.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprimeno Sabdey
Abstrak :
Penelitian ini mengkaji perubahan kebudayaan yang dalam hal ini adalah konsep-konsep yang berkaitan dengan sistem kepercayaan yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan corak dan pola pemanfaatan dan pengelolaan ruang pemukiman desa Lubu' Hiju', Kalimantan Tengah. Penelitian ini mencoba menjelaskan kaitan antara masuknya ajaran kristen (dalam hal ini kristen protestan) ke dalam sistem kepercayaan orang Lubu' Hiju' dengan fenomena perubahan pola ruang pemukiman desa Lubu' Hiju'. Selanjutnya penelitian ini juga melihat bagaimana peran hal-hal lain seperti para pendatang, HPH dan informasi-informasi luar, pada peniscayaan perubahan-perubahan yang terjadi (tidak hanya pada persoalan pola pemukiman) pasca masuknya ajaran kristen dalam sistem pengetahuan orang Lubu' Hiju'. Penelitian ini menggunakan pendekatan participant observation seperti yang dianjurkan oleh Spradley. Dan dalam pengurnpulan data dilakukan pengamatan terlibat, wawancara dan diskusi-diskusi kelompok. Dalam penelitian ini, peneliti melibatkan diri dengan cara menjadi bagian dari masyarakat tersebut sebagai guru sekolah dasar selama masa penelitian. Dengan pendekatan seperti ini, keberadaan peneliti di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terlalu asing dan dapat diterima dengan baik. Pendekatan participant observation dilakukan untuk menggali semua informasi yang dimiliki masyarakat berkenaan dengan sejarah yang mereka alami sendiri maupun yang mereka serap dari penuturan generasi sebelumnya. Pendekatan ini efektif karena hubungan yang dibangun antara subjek dan peneliti adalah hubungan antara anak dan orang tua yang sedang mempelajari cerita-cerita masa lalu dari kebudayaannya sendiri. Pemukiman orang Lubu 'Hiju' selalu berkembang ke arah hilir desa. Bagian hilir ini adalah bagian yang boleh dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan lahan pemukiman mereka. Sedangkan bagian hulu adalah bagian yang dianggap sakral dan tidak boleh dibangun. Bagian ini ditandai oleh adanya seonggok batu yang dianggap mempunyai kuasa yang mampu menolong seluruh anggota kampung, selain itu juga dianggap bisa menghukum kalau hal-hal tertentu yang ditakuti dalam sistem kepercayaan mereka dilanggar. Batu ini di sebut sebagai batu panahan yang proses pelestariannya dibungkus dengan konsep pamali. Menjadi menarik ketika penelitian ini dilakukan, batu yang dibungkus dengan konsep pamali tersebut sudah tidak berada pada tempatnya dalam pola pemukiman desa Lubu' Hiju' ini. Pengembangan desa tidak lagi berjalan ke arah hilir saja, tetapi sudah berkembang juga ke arah hulu. Penelitian ini lebih khusus berkaitan dengan perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan secara teoritis disebabkan oleh 2 (dua) hal yang berasal dari dalam dan dan luar masyarakat itu sendiri. Perubahan yang terjadi pada masyarakat Lubu' Hiju' dimulai oleh adanya persentuhan mereka dengan kebudayaan lain. Masyarakat Lubu' Hiju' mengalami perubahan secara cepat terjadi setelah masuknya ajaran kristen yang secara prontal mengintervensi konsep-konsep khususnya yang berkaitan dengan sistem kepercayaan mereka. Perubahan yang diawali dari kristenisasi ini pada tahun-tahun berikutnya lebih dimantapkan lagi oleh regenerasi kepemimpinan adat dan laman yang tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka, ditambah lagi oleh kedatangan guru-guru sekolah yang semuanya beragama kristen, ledakan penduduk yang tidak alami, pertemuan mereka dengan kebudayaan luar (dalam hal ini jawa) lewat pedagang-pedagang kain, dan kedatangan perusahan kayu (HPH) yang beroperasi di sekitar Lubu' Hiju'. xvi + 159 halaman + glossary + gambar + peta + foto + daftar pustaka + riwayat penulis
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13806
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Nasir Basyah
Abstrak :
Salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional adalah jumlah penduduk yang besar. Apabila mereka itu dibina dengan baik, dapat dikerahkan sabagai sumber daya manusia yang produktif bagi pembangunan. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar itu dapat pula menjadi faktor penghambat dan merupakan titik rawan dalam mata rantai pembangunan nasional. Dalam kenyataan besarnya jumlah penduduk dan penyebarannya yang tidak merata seringkali nenimbulkan kondisi yang kurang sehat dalan bidang sosial, ekonomi, dan pertahanan keamanan, mengingat rendahnya pendidikan dan kondisi kesehatan. Menurut data statistik, pertumbuhan penduduk dan angkatan keria pada kurun waktu 1981-2010 dapat diganbarkan sebagai berikut. Dalam dasawarsa 1961-1971. Laju pertumbuhan penduduk kira-kira sebesar 2,1 2 pertahun, sedangkan.pada kurun waktu 1971-1980 dan 1980-1985 laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,3 2 dan 2,1 2 pertahun. Kurun waktu 1990-2000 pertumbuhan penduduk.
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pius Sugeng Prasetyo
Abstrak :
ABSTRAK


Kebijakan dalam menangani masalah pemukiman kumuh menunjukkan adanya kecenderungan yang mengarah pada usaha untuk menyingkirkan pemukiman beserta penghuninya dari kawasan yang menjadi tempat bernmukimnya. Kebijakan pemerintah yang demikian ini dilatarbelakangi oleh kepentingan bahwa kawasan perkotaan sedapat mungkin harus bersih dari keberadaan pemukiman yang kumuh (slum area). Di lain pihak, masyarakat dengan keterbatasan yang dimilikinya mempunyai kepentingan untuk memperoleh lahan yang dapat digunakan untuk bermukim. Perbedaan kepentingan ini sering menimbulkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat . Suatu hal yang jarang dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan, bahwa penataan atau pengelolaan suatu kawasan pemukiman. yang kumuh dapat dilakukan tanpa harus menggusur para pemukim yang menempati kawasan tersebut. Hal ini ingin menegaskan bahwa masyarakat yang bermukim di pemukiman kumuh perlu diberi suatu kesempatan untuk menunjukkan kemampuan yang dimilikinya dalam mengelola permkimannya. Dengan demikian kebijakan yang dibuat sebaikaya mengarah pada suatu pemberdayaan (empowerment) masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya.

Penelitian ini menunjukkan bahwa adanya prakarsa serta partisipasi yang muncul dari masyarakat pemukim, temyata mampu mengelola kawasan pemukimau yang semula merupakan pemukiman yang kumuh menjadi suatu pemukiman yang layak untuk dihuni. Pengelolaan yang dilakukan tersebut didasarkan pada suatu konsep yang muncul dari masyarakat itu sendiri yang dikenal dengan nama Konsep Tri Bina yang mencakup Bina Manusia, Bina Usaha, dan Bina Lingkungan.

Berbagai upaya yang dilakukan oleh masyarakat pemukim yang didasarkan pada konsep tersebut, ternyata dapat mengintegrasikan antara kepentingan pemerintah di satu pihak dengan kepentingan masyarakat pemukim itu sendiri di lain pihak. Tentu saja upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat tersebut tidak dapat lepas dari peran serta tokoh-tokoh masyarakat serta kelompok kelompok yang ada diluar pemukiman tersebut. Oleh karena itu pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memberikan kesempatan bagi individu atau kelompok seperti misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat ikut serta dalam menangani masalah munculaya pemukiman kumuh tersebut.

Berdasarkan kasus yang diambil dari kawasan pemukiman di Daerah Aliran Sungai Code Kotamadya Yogyakarta maka hal ini dapatlah dijadikan suatu usulan model percontohan, mengingat pemerintah juga masih mempunyai keterbatasan dalam menyediakan fasilitas pemukiman yang mudah dijangkau oleh masyarakat yang berada pada lapisan bawah.
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wanda Lalita Basuki
Abstrak :
Penataan ruang merupakan upaya aktif manusia dalam membina hubungan dengan lingkungan hidup, yaitu dengan mengubah lingkungan alam menjedi lingkungan budaya dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya yang kompleks. Sehubungan dengan kenyataan itu, Rapoport (1977) mengajukan tiga pertanyaan umum, yaitu 1) bagaimana manusia membentuk lingkungan binaan yang spesifik, 2) bagaimana lingkungan binaan tersebut memberi pengaruh pada manusia, dan 3) bagaimana bentuk-bentuk interaksi timbal baiik antara manusia dan lingkungan. Tata ruang permukiman tradisional Bali merupakan wujud adaptasi aktif terhadap lingkungan hidup dengan pola pemanfaatan ruang-ruang permukiman yang diiandasi filosoti agama Hindu Baii dan falsafah budaya setempat yang menghargai tinggi keseimbangan (equilibrium). Tata ruang tradisional sebagai wadah kehidupan tidak bebas dari pengaruh modernisasi, termasuk perkembangan teknoiogi dan masuknya nilai-nilai budaya baru. Kecenderungan masyarakat Bail untuk mempertahankan niiai-nilai keseimbangan budaya dalam menata ruang permukiman tradisional yang justru. merupakan daya tarik pariwisata, menjadi hal yang melatarbelakangi peneiitian ini.
Spatial arrangement is a human effort in building their relations with the environment actively, changing it to be a cultural environment, to fulltill their complicated needs. According to that fact, Rapoport (1977) proposed three general questions, 1) how do people shape their environment?, 2) how and to what extent does the physical environment affect people??, 3) how do people and environment act in this two-way interaction? Spatial arrangement in the traditional Balinese settlement was an active adaptation toward the environment based on the spatial settlement pattem. their heritage, the Hindu Bali religious, and the vemaoular culture philosophy which highly appreciated the equilibrium. Traditional spatial arrangement as an ordered for the living environment was not free from the modernization influences, included technology and the new culture values. Tendency to conserve the equilibrium culture values in spatial arrangement of the traditional Balinese settlement which exactly will be attractived for tourism, was the main reason for this study.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T10849
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Aris Saleh
Abstrak :
ABSTRAK
Kawasan permukiman menurut RTRW Propinsi Jawa Barat adalah kawasan yang secara teknis dapat digunakan untuk permukiman yang aman dari bahaya bencana alam dan buatan manusia, sehat dan mempunyai akses untuk kesempatan berusaha. Secara ruang apabila digunakan untuk kegiatan permukiman akan memberi manfaat meningkatkan ketersediaan permukiman dan mendayagunakan prasarana dan sarana permukiman, meningkatkan perkembangan lintas sektoral dan subsektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya, tidak mengganggu fungsi lindung, tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam, meningkatkan pendapatan nasional dan daerah, menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Permukiman menurut Pasal 1 (3) Undang-Undang No.4/1992, adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Depok selama 12 tahun (sampai tahun 2002) meningkat hampir 5 kali lipat dengan laju pertambahan penduduk 13,6 % pertahun. Pertambahan penduduk ini memberi tekanan terhadap Kota Depok dan mengakibatkan semakin meluasnya daerah permukiman. Indikasi terjadinya ketidaksesuaian penggunaan tanah di Kota Depok dapat dilihat dari basil overlay antara permukiman eksisting dengan lokasi permukiman RTRW Kota Depok 2010 yang terdistribusi di 6 kecamatan dengan luas yang berbeda¬beda. Target objek penelitian adalah permukiman yang terbangun di kawasan non-budidaya terutama di kawasan sempadan sungai karena telah melanggar "Fungsi Lindung". Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis mengenai kesesuaian tanah untuk permukiman berdasarkan aspek fisik tanah dan aspek legalitas. Untuk pembanding dan membantu hasil analisis spasial tersebut dilakukan pengambilan angket di lokasi penelitian. Klasifikasi kesesuaian tanah didasarkan kepada kelas interval terhadap total nilai yang diperoleh setiap poligon hasil overlay melalui pembobotan dan skoring, yang kemudian dikelompokkan menjadi 4 kelas yaitu, Sangat Sesuai (SI), Cukup Sesuai (S2), Sesuai Marginal (S3) dan Tidak Sesuai (N). Dari hasil analisis spasial kesesuaian tanah untuk permukiman berdasarkan aspek fisik tanah didapatkan bahwa klassifikasi kesesuaian tanah daerah yang diteliti untuk Kelas Sangat Sesuai (Si) memiliki luas 1%, Kelas Cukup Sesuai (S2) adalah 4%, Kelas Sesuai Marginal (S3) dengan luas tanah 85% dan Tidak Sesuai (N) dengan luas 10% dari luas seluruh daerah penelitian. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa sebagian besar lokasi permukiman yang diteliti kurang layak dijadikan lokasi permukiman. Dari hasil analisis spasial kesesuaian tanah untuk permukiman berdasarkan aspek Legalitas berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor: 8 Tahun 2005 Tentang Sempadan Sumber Air dan Peraturan Daerah Kota Depok No. 18 tahun 2003 tentang Garis Sempadan sungai didapatkan telah terjadi penyimpangan penggunaan tanah di kawasan sempadan Ci Liwung khususnya dalam lokasi penelitian terdapat permukiman seluas 108.417,62 m2. Dari hasil penilaian terhadap variabel analisis didapatkan salah satu faktor pendorong terjadinya penyimpangan penggunaan tanah tersebut adalah variabel akses, Hasil analisis SIG menunjukkan bahwa kawasan sempadan Ci Liwung mempunyai akses yang baik tehadap jalan raya (Margonda Raya). Dari hasil angket didapat jawaban tentang keamanan tempat tinggal Sangat aman 18%, Aman 44%, Cukup aman 28%, Tidak aman 10% dan Sangat tidak aman 0%. Dengan demikian mereka menganggap bahwa lokasi tempat tinggal mereka adalah aman walaupun berada di kawasan yang terlarang untuk permukiman.
ABSTRACT
Land suitability is defined as the adaptability of land for a certain purpose of use. Land suitability for settlement area is general referred to suitability related to law, security and safety of the inhabitants. For example, the utilization of a certain land use must be in line with City Spatial Planning on land utilization, easily accessible, free of flood, in stable land condition, distanced from pollution sources, and have water resources. The use of a certain land that does not in line with its purpose of use, will create generally some problems as happened in Depok in the last several years. Natural disasters such as landslide and flood at the end of the year, hit some settlement areas in Depok causing some material damages and loss of lives. The indication of unsuitability in Depok can be seen from the overlay result between the existing settlement areas and settlement locations from the City Spatial Planning of Depok 2010 distributed over 6 sub-districts with different area sizes. The targeted object of the research is the settlement areas in the non-cultured areas, especially in the buffer zone of a river, because it is against its "conservation function" as defined by the law. Spatial analysis is done with a geographic information system (GIS) on the land suitability for settlement area based on the land's physical and legal aspects. A questionnaire is also collected in the research location for the purpose of bench marking and supporting the spatial analysis. Land suitability classification is performed based on the interval class value obtained by each polygon resulted from the overlay, through weighting and scoring. Land suitability is then classified into 4 classes: Very Suitable (SI), Suitable (S2), Marginally Suitable (S3), and Not Suitable (N). The result of spatial analysis of the Iand suitability for settlement area based on the physical aspects of the land shows that only 1% of the researched area falls into the class Very Suitable (SI); 4% into the class Suitable (S2); 85% into the class Marginally Suitable (S3), and 10% falls into the class Not Suitable (N). This analysis shows that most of the areas being used for settlement, is actually moderate suitable for settlement purpose. The result of spatial analysis of the land suitability for settlement area based on the legal aspect, i.e. Local Regulation of The Province of West Java, No: 812005 on Buffer Zone of Water Resources and Local Regulation of The City of Depok No. 18/2003 on River's Buffer Line, shows an infraction of these laws because of the existing settlement areas in Ci iwung's buffer zone of 108,417,62 m2. From the result of variable analysis, it is found out that one of the factors causing this unsuitability of land use, is the accessibility. The GIS- analysis shows that Ci Liwung buffer zone is easily accessible from a big road (Margonda Raya Street). From the questionnaire, it is also found out that 18% of the people living in this buffer zone think that the place is very safe, 44% think it is safe, 28% think it is moderately safe, 10% think is unsafe, and 0% think it is very unsafe. Therefore, they consider that their area is safe although it is located in the forbidden zone for settlement.
2007
T20649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Padmadriya Anggraita Citramannoharra
Abstrak :
Amicus curiae atau friends of court merupakan praktek yang sudah ada sejak jaman Romawi Kuno dan dalam sistem common law. Atas persetujuan pengadilan, amicus memberikan informasi mengenai area-area hukum di luar keahlian pengadilan atau informasi hukum tidak memihak yang tidak diketahui oleh pengadilan, sehingga hakim dapat memberikan putusan yang berkualitas. Sekarang ini, amicus curiae juga berpartisipasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan-pengadilan internasional, seperti ICJ, ITLOS, ICC, NAFTA, ICSID dan WTO, juga pengadilan-pengadilan dalam negeri dengan sistem civil law. Masuknya amicus curiae dan diterimanya amicus brief dalam proses penyelesaian sengketa di WTO, menuai protes keras dari negara-negara berkembang anggota WTO. Amicus curiae dianggap telah mengganggu hak negara anggota, dalam hal sebagai pihak berperkara pada proses penyelesaian sengketa. Amicus curiae juga dianggap mempengaruhi kedaulatan negara anggota. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya posisi amicus curiae dalam penyelesaian sengketa di WTO dan terhadap negara-negara berkembang anggota WTO. Dari hasil penelitian diketahui bahwa amicus curiae dalam penyelesaian sengketa di WTO, semata-mata merupakan pemenuhan kebutuhan Panel untuk melaksanakan objective assessment dalam proses pemeriksaan setiap kasus yang diajukan kepadanya. Hak negara anggota sebagai pihak berperkara tidak akan terganggu karena amicus curiae bukan pihak dan tidak akan pernah dapat menjadi pihak dalam proses penyelesaian sengketa di WTO. Berkaitan dengan hal tersebut, amicus curiae juga tidak berpengaruh terhadap kedaulatan negara anggota. Diketahui juga bahwa dengan perkembangan amicus curiae yang ada sekarang, ternyata amicus curiae tidak memberikan banyak manfaat dalam proses penyelesaian sengketa di WTO. ...... Amicus curiae or friends of the court was a practice known in ancient Roman times and in the common law system. The amicus, at the court's discretion, provided information on areas of law beyond the expertise of the court or impartial legal information that was beyond the court?s notice, so for the judge may make a quality judgment. Now, amicus curiae also participated in proceeding before the international courts, such as the ICJ, ITLOS, ICC, NAFTA, ICSID and WTO, as well as the domestic courts with civil law system. The participation of amicus curiae and receipt of amicus briefs in the dispute settlement process in the WTO, has lead the protests from developing countries members of the WTO. Amicus curiae is considered to interfere with the rights of members, in the respect of a party in the dispute settlement proceeding. Amicus curiae is also considered to affect the sovereignty of member states. The purpose of this paper is to determine how the actual position of the amicus curiae in the WTO dispute settlement and toward the developing countries of WTO members. The survey revealed that the amicus curiae in the WTO dispute settlement, merely the fulfillment of the Panel to make the objective assessment of the matters before it. The member states right as the party shall not be interfered because amicus curiae is not the party and will never be as the party to the dispute settlement in the WTO. In this regard, amicus curiae also does not affect the sovereignty of member states. With the development of amicus curiae, amicus curiae turns not provide much benefit in the process of dispute settlement in the WTO. Rights of member states as parties litigant will not be interrupted because an amicus curiae is not a party and will never be a party to the dispute settlement process in the WTO. Please also note that with the development of the present amicus curiae, amicus curiae turns not provide much benefit in the process of dispute settlement in the WTO.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39656
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reffi Saptilya Wijaya
Abstrak :
[Tesis ini membahas mengenai “Analisa Hukum Perjanjian Perdamaian Dalam Penyelesaian Sengketa Jual Beli Obyek Hak Atas Tanah“. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode yuridis normatif yaitu dengan melihat bagaimana bentuk perjanjian perdamaian pada penyelesaian sengketa perdata dalam sistem peradilan di Indonesia. Perdamaian sebagai salah satu bentuk perjanjian, Pasal 1851 KUHPerdata mengatur definisi perdamaian “suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara“. Dimasukannya prosedur perdamaian ke dalam sistem peradilan didasarkan pada Pasal 130 HIR/154 Rbg dimana dijelaskan hakim wajib menganjurkan para pihak yang berperkara untuk menempuh prosedur perdamaian terlebih dahulu. Perjanjian perdamaian sah jika dibuat secara tertulis. Perjanjian perdamaian yang ditetapkan dalam suatu formalitas atau bentuk cara tertentu, dinamakan perjanjian formil. Dalam perjanjian formil kesepakatan atau perjanjian lisan semata-mata antara para pihak yang berjanji belum melahirkan kewajiban pada pihak yang berjanji untuk menyerahkan sesuatu, melakukan atau berbuat sesuatu atau tidak melakukan dan tidak berbuat sesuatu. Apabila salah satu pihak wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat menempuh prosedur eksekusi;This thesis discusses “Legal Analysis on Peace Agreement for Dispute Resolution of Land Right Object Sale and Purchase“. This is a descriptive study that uses juridical normative method, which sees what form does the Peace Agreement for civil dispute settlement in Indonesia’s justice system take. Peace as a form of agreement, on act 1851 of Civil Code, mentioned that the definition of peace agreement is “an agreement, with which both party, by giving, pledging or holding an object, ending a dispute that haven’t been solved or even prevent a dispute“. The inclusion of peace procedure in justice system is based on act 130 of HIR/154 Rbg whereas elaborated that a judge is required to advise the disputing parties to go through peace procedure first. Peace Agreement is valid if made in writing. Peace Agreement which set in a specific formal way is called a formal agreement. In a formal treaty or oral agreement solely between the parties have yet bore any liability on the pledging party, be it to give, do, commit or not to do something. If one of the parties is negligent, the other party, which is aggrieved, said party can take execution procedures., This thesis discusses “Legal Analysis on Peace Agreement for Dispute Resolution of Land Right Object Sale and Purchase“. This is a descriptive study that uses juridical normative method, which sees what form does the Peace Agreement for civil dispute settlement in Indonesia’s justice system take. Peace as a form of agreement, on act 1851 of Civil Code, mentioned that the definition of peace agreement is “an agreement, with which both party, by giving, pledging or holding an object, ending a dispute that haven’t been solved or even prevent a dispute“. The inclusion of peace procedure in justice system is based on act 130 of HIR/154 Rbg whereas elaborated that a judge is required to advise the disputing parties to go through peace procedure first. Peace Agreement is valid if made in writing. Peace Agreement which set in a specific formal way is called a formal agreement. In a formal treaty or oral agreement solely between the parties have yet bore any liability on the pledging party, be it to give, do, commit or not to do something. If one of the parties is negligent, the other party, which is aggrieved, said party can take execution procedures.]
Universitas Indonesia, 2015
T44160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yomi Putri Yosshita Dewi
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan sebagai upaya penyelesaian kredit bermasalah di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan permasalahan yang dihadapi. Tujuan dilakukannya penulisan Tesis ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa peranan parate eksekusi Hak Tanggungan dalam menyelesaikan kredit bermasalah di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, beserta kendala-kendala yang dihadapi dan upaya penyelesaian yang dapat dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis yang melukiskan fakta-fakta berupa data sekunder yang berhubungan dengan hukum jaminan khususnya hak tanggungan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa pelaksanaan lelang parate eksekusi Hak Tanggungan telah sesuai dengan ketentuan dan berperan cukup baik dalam menyelesaikan kredit bermasalah di Bank Mandiri. Namun demikian, masih terdapat beberapa kendala yang dihadapi antara lain adanya gugatan untuk menunda / membatalkan lelang dan masalah pengosongan agunan.
ABSTRACT
This thesis discusses the implementation of the self enforcement of mortgage carried out by PT Bank Mandiri (Persero), Tbk. as a settlement of non performing loans and the problems in the implementation. The purposes of writing this thesis are to analyze the role of the self enforcement of mortgage in resolving non performing loans in PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. and the problems encountered. This study is using a normative juridical approach to the specifications of analytical descriptive study that describes the facts in the form of secondary data relating to the security law, especially for mortgage. Based on the results of research conducted, the author concludes that the implementation of the self enforcement of mortgage carried out by PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. is complied with the regulations and also take a good role in resolving non performing loans in PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. However, there are still some common problems encountered especially law suit to prevent or to cancel the auction and also the problem of emptying the collateral object.
2017
T48586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>