Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marsella Nola Tilaar
Abstrak :
Penelitian ini membahas kalimat majemuk yang terdapat dalam dongeng Hӓnsel und Gretel karya Gebrüder Grimm. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan kuantitatif dengan pendekatan tinjauan pustaka. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan jenis-jenis kalimat majemuk yang terdapat dalam dongeng Hӓnsel und Gretel yang dikaitkan dengan teori jenis-jenis kalimat majemuk milik Duden (2006) serta membuktikan penggunaan kalimat majemuk dalam dongeng Hӓnsel und Gretel dengan teori Hulit dan Howard (1997) mengenai perkembangan bahasa pada anak usia sekolah dalam rentang usia dari 6 sampai 12 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kalimat majemuk yang ditemukan dalam Hӓnsel und Gretel adalah kalimat majemuk setara dan bertingkat. Kalimat majemuk setara lebih mendominasi dibandingkan dengan kalimat bertingkat. Terdapat 126 kalimat majemuk setara, sedangkan kalimat majemuk bertingkat ditemukan sebanyak 102 kalimat. Berdasarkan teori Hulit dan Howart (1997), anak usia 6 sampai 12 tahun sudah mampu memahami penggunaan kalimat majemuk, yang di dalamnya menggunakan konjungsi yang kompleks. ......This study discusses the compound sentences found in the fairy tales, which is called Hӓnsel and Gretel written by Gebrüder Grimm. This study uses both qualitative and quantitative methods with a literature review approach. This purposes of this study is to explain the types of compound sentences found in the Hӓnsel and Gretel fairy tale associated with Duden's (2006) theory of compound sentence types and to prove the use of compound sentences in the Hӓnsel and Gretel fairy tale with Hulit and Howard's (1997) theory of language development in school-age children spanning from 6 to 12 years. The results of this study showed that the types of compound sentences found in Hӓnsel and Gretel are compound-equivalent sentences and compound-complex sentences. Compound-equivalent sentences dominate more than compound-complex sentences. There are 126 compound-equivalent sentences, while 102 compound-complex sentences are found. Based on the theory of Hulit and Howart (1997), children aged 6 to 12 years are able to understand the use of compound sentences, which use complex conjunctions.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Desilya Rakhmani Putri
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam jurnal ini, penulis menganalisis mengenai Kopulaverben dan perbedaannya dengan Voll- dan Hilfsverben. Selain menganalisis perbedaan, penulis juga menganalisis kalimat mana saja yang mengandung Kopulaverben dan bentuk kata kerja seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai Kopulaverben. Penelitian ini bertujuan agar penulis dapat memaparkan bentuk kata kerja seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai Kopulaverben dan agar dapat menjelaskan perbedaan bentuk kalimat Kopulaverben dengan Vollverben maupun Hilfsverben. Semua data yang berupa kalimat penulis ambil dari buku cerita anak ldquo;Die blauen und grauen Tagen rdquo; karya Monika Feth. Hipotesis yang diperkirakan oleh penulis dari penelitian ini adalah bahwa suatu kalimat dapat dikatakan mengandung Kopulaverben atau tidak, tergantung dari pr dikativ atau elemen pelengkap yang muncul setelah kata kerja.
ABSTRACT
In this study, the writer analyze Kopulaverben and its differences between Voll and Hilfsverben. In addition to analyzing the differences, the writer also analyzes which sentences contain Kopulaverben and what verb forms can be categorized as Kopulaverben. This study aims to allow the writer to elaborate which form of a verb that can be categorized as Kopulaverben and to be able to explain the different forms of sentences of Kopulaverben with Vollverben as well as Hilfsverben. All the data source in the form of sentences the writer takes from the children 39 s story book Die Blauen und Grauen Tagen by Monika Feth. The hypothesis predicted by the writer of this study is that a sentence can be said to contain Kopulaverben or not, depending on the pr dikativ or complementary elements that appear after the verb.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muladi, 1943-
Bandung: Alumni, 1992
345 MUL l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muladi, 1943-
Bandung: Alumni, 1985/1992
345 MUL l (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sumarwani
Abstrak :
ABSTRAK
Masalah pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu masalah penting yang perlu ditinjau segala aspeknya sehubungan dengan usaha pembaharuan hukum pidana di negara kita. Dikatakan penting bahkan yang terpenting sebab hukum pidana acapkali dikiaskan para ahli sebagai pedang bermata dua. Pada satu pihak merupakan hukum untuk melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan, namun pada pihak lain ada kalanya merenggut kemerdekaan seseorang untuk sementara, atau untuk selama-lamanya. Salah satu bagian terpenting dari hukum pidana yang perlu untuk diperbaharui tersebut, yang masih kurang mendapat perhatian ialah bagian mengenai Pemidanaan (Sentencing). Padahal segala pengaturan mengenai hukum pidana ini pada akhirnya akan berpuncak pada pemidanaan yang dapat merenggut kemerdekaan, harta benda, dan bahkan jiwa seseorang. Dalam sistem peradilan pidana adanya disparitas pidana yakni penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau tindak-tindak pidana yang berbeda-beda, tetapi beratnya pemidanaan bisa disebandingkan. Berat ringannya pidana yang dijatuhkan akan tergantung pada subyektivitas hakim. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam masalah pemidanaan khususnya perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana dewasa ini yaitu tujuan sistem peradilan pidana adalah selalu bersifat sejahtera baik tujuan jangka pendek berupa pengendalian kejahatan maupun tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial.

Berbicara tentang pemidanaan dengan studi pada kasus korupsi mengandung maksud mengapa khususnya dalam pidana korupsi berkenaan dengan pidana perampasan kemerdekaan yang dijatuhkan pada pelaku, tidak jauh berbeda dengan pidana pada saat sebelum UU No. 3 tahun 1971 diundangkan, sehingga pemidanaan pada tindak pidana korupsi seperti tidak sesuai dengan maksud pembentukan undang-undang dengan memperberat sanksi pidana. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi gagal. Sebab dalam praktek kenyataannya pidana yang dijatuhkan, disamping pidana badan juga dikenakan pidana denda dan pidana tambahan lain berupa pembayaran uang pengganti. Bahwa maksud dan tujuan UU No. 3 tahun 1971 adalah menyelamatkan keuangan dan perekonomian negara yang pada hakekatnya adalah mengembalikan kekayaan negara yang dirugikan oleh perbuatan korupsi tersebut. Untuk mencapai maksud itu, pembentuk undang-undang telah memberikan ketentuan- khusus yang memungkinkan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dengan cara yang cepat dengan prosedur khusus. Sejak berlakunya UU No. 3 tahun 1971 ternyata tujuan perundang-undangan ini di dalam praktek belum tercapai sepenuhnya.

Pemidanaan badan masih terdapat disparitas yang cukup tinggi dari putusan hakim yang satu dengan yang lain, demikian pula dalam hal penerapan pidana uang pengganti, pidana denda serta pidana tambahan yang lain. Di samping masih banyak persoalan yang menyangkut perbedaan pandangan dalam praktek peradilan, juga ternyata tidak semua perkara tindak pidana korupsi dijatuhi dengan pidana tambahan tersebut. Jadi pokok-pokok permasalahan menyangkut:

1. Di dalam praktek pidana yang dijatuhkan pada tindak pidana korupsi di samping pidana perampasan kemerdekaan juga dikenakan pidana denda, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, dan juga hukuman tambahan yang lain. Bagaimanakah untuk mencapai tujuan perundang-undangan ditetapkan pedoman yang jelas yang merupakan tindak lanjut usaha-usaha sinkronisasi pemidanaan korupsi, sudahkah pertimbangan-pertimbangan tersebut memenuhi syarat pedoman penjatuhan pidana yang bersifat obyektif teoritis.

2. Dalam penentuan pidana khususnya besarnya pidana denda dan pidana uang pengganti belum terdapat pedoman yang jelas mengingat tindak pidana korupsi ini merupakan tindak pidana yang bersifat khusus, apakah pidana denda dan atau pidana uang pengganti tersebut diperhitungkan dengan nilai besarnya kerugian negara akibat korupsi tersebut?.

3. Bahwa maksud diadakannya UU No. 3 tahun 1971 adalah dalam rangka penyelamatan keuangan dan perekonomian negara. Sesuai dengan maksud ini permasalahannya adalah apakah pidana uang pengganti dan atau perampasan barang yang sebagian atau seluruhnya sebagai hasil dari korupsi tersebut dapat diganti dengan kurungan pengganti.

Dengan adanya berbagai permasalahan di atas walaupun dalam pelaksanaannya juga telah dikeluarkan petunjuk misalnya dengan Fatwa MA, Surat Edaran MA, Seminar oleh Kejaksaan Agung, dan sebagainya. Namun dalam penulisan tesis ini penulis ingin meneliti dengan cara mempelajari putusan-putusan kasus korupsi dan mengidentifikasi pendapat para hakim yang pernah memutus kasus korupsi sebagai penelitian lapangan, meskipun dalam penulisan tesis ini yang diutamakan adalah data kepustakaan yang berkaitan dengan hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Dengan metode penelitian yang dipergunakan yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dapat diharapkan kegunaan penelitian ini bisa terwujud, yaitu:

1. Kegunaan teoritis bagi pengembangan ilmu khususnya mengenai stelsel pidana dan pemidanaan dengan segala aspeknya dalam tindak pidana korupsi yang menyangkut stelsel maupun pelaksanaan dan penerapan pidana itu sendiri sehingga diperoleh informasi yang faktual.

2. Kegunaan praktis untuk dapat menyajikan bahan-bahan keterangan untuk menunjang pembaharuan hukum pidana nasional.

Selanjutnya dari hasil penelitian kepustakaan dan lapangan kami tarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :

1. Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana untuk tiap kasus hakim harus memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif tindak pidana yang dilakukan, hakim harus memperhatikan sifat perbuatan dan keadaan diri pelaku, efek yang ditimbulkan, serta faktor pencegahan pengulangan perbuatan oleh pelaku dan menjerakan kepada orang lain, untuk tidak melakukan perbuatan serupa.

2. Penjatuhan sanksi terhadap tindak pidana korupsi tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan di atas. Walaupun demikian ternyata bahwa tinggi rendahnya pidana yang dijatuhkan masih dirasakan adanya disparitas pidana yang sangat tinggi. Oleh karena itu diperlukan pedoman pemidanaan korupsi sehingga tindakan pemidanaan dalam korupsi dapat diterima oleh masyarakat sebagai pidana yang adil.

3. Tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus, dalam penjatuhan pidana terhadapnya di samping dapat dijatuhkan pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda, juga dapat dijatuhkan pidana tambahan yang bersifat khusus (yaitu pidana pembayaran uang pengganti). dengan tujuan mengembalikan kerugian uang negara sebagai akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh terdakwa. Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti baru banyak diterapkan dalam praktek putusan pengadilan pada tahun-tahun terakhir ini dengan gencarnya tekad pemerintah dalam rangka pemberantasan korupsi dan membentuk aparatur negara yang bersih dan berwibawa dalam rangka menyejahterakan rakyat.

Diperbedakan antara pidana denda dengan pidana uang pengganti. Pidana denda merupakan pidana pokok dan besarnya pidana telah ditentukan oleh undang-undang sendiri yaitu maksimum Rp 30 juta. Sedangkan pidana uang pengganti merupakan pidana tambahan yang bersifat khusus dan besar kecilnya ditentukan sesuai dengan besar kecilnya kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan tersebut. Sedangkan persamaannya pidana denda maupun pidana uang pengganti selalu dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok yang lainnya yaitu pidana penjara.

5. Di dalam praktek pengadilan tentang penjatuhan pidana denda dan pidana uang pengganti dalam putusan kasus korupsi untuk tindak pidana denda selalu disubsiderkan dengan pidana kurungan pengganti apabila denda tidak bisa dibayar. Sedang untuk pidana pembayaran uang pengganti belum ada kesepakatan dapat tidaknya diganti dengan pidana kurungan pengganti walaupun telah ada petunjuk Mahkamah Agung berupa Fatwa dan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang eksekusi pelaksanaan pembayaran uang pengganti yang isinya bahwa pidana uang pengganti tidak boleh disubsiderkan dengan kurungan pengganti.

6. Berdasar hasil penelitian di wilayah eks karesidenan Semarang:

a. Tentang pendapat hakim perihal pengembalian kerugian uang negara yang diakibatkan perbuatan korupsi dapat tidaknya seluruh harta terpidana baik yang diperoleh dari korupsi atau bukan untuk disita dan dibayarkan sebagai penggantian kerugian tersebut, hal ini masih terdapat perbedaan pendapat :

Pendapat I yang mendasarkan pada sifat hukum pidana sendiri yaitu harta / benda yang disita adalah harta I benda yang dipergunakan atau diperoleh dari perbuatan pidana.

Pendapat II oleh karena Undang-undang Tindak Pidana Korupsi mempunyai sifat dan ciri-ciri khusus yaitu melindungi kekayaan dan kepentingan negara sehingga untuk mengembalikan kerugian negara tersebut tidak dapat dibebankan seluruhnya pada harta kekayaan terpidana.

b. Perihal pendapat Jaksa Agung RI bahwa kerugian uang negara tersebut dapat ditanggungkan pada anak cucu terpidana terdapat perbedaan pendapat :

Pendapat I setuju oleh karena sifat khusus UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu sendiri yaitu melindungi kekeyaan dan keuangan negara.

Pendapat II menolak oleh karena dalam asas hukum pidana seseorang tidak dapat dituntut pidana kalau seseorang itu tidak melakukan perbuatan pidana. Sehingga perbuatan pidana yang dilakukan seseorang tidak dapat dibebankan pidananya pada orang lain. Juga dalam hukum perdata dikenal asas bahwa seseorang hanya bertanggung jawab pada perbuatan yang dibuatnya.

c. Besarnya pidana denda dan pidana pembayaran uang pengganti apakah diperhitungkan dengan besarnya kerugian yang diderita oleh negara. Terdapat beberapa pendapat :

Pendapat I, karena pidana denda merupakan pidana pokok maka pidana tersebut tidak diperhitungkan dengan penggantian kekayaan negara yang dirugikan akibat korupsi; tapi melulu sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang.

Pendapat II, baik pidana denda maupun pidana uang pengganti pada kenyataannya disetor ke Kas Negara, maka pada pokoknya kerugian uang negara tersebut telah kembali.

d. Pada hakikatnya penyitaan dalam hukum pidana dilakukan terhadap harta/benda yang dipergunakan atau hasil dari kejahatan. Penyitaan atas harta benda milik pelaku korupsi pada hakikatnya justru dalam rangka mengembalikan kekayaan negara sehingga terdapat persesuaian pendapat perihal harta yang disita diperhitungkan nilainya dengan besarnya pidana uang pengganti untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi tersebut

7. Tujuan pokok UU No.3 tahun 1971 adalah melindungi kekayaan uang negara sehingga apabila tujuan pokok tersebut telah terpenuhi dalam arti kerugian uang negara tersebut dapat dikembalikan oleh pelaku, maka perbuatan pidana sebagaimana ditentukan dalam UU No.3 1971 tersebut dapat dikesampingkan, sehingga pidana yang akan dijatuhkan kemudian hanya sebagai tindak pidana biasa pada umumnya sehingga tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana bersyarat pada kasus korupsi. Dari putusan pengadilan di wilayah eks Karesidenan Semarang hal itu tercermin pula.

8. Pedoman pelaksanaan pemidanaan di dalam praktek peradilan untuk jenis-jenis kejahatan tertentu yang sering terjadi pernah dilaksanakan dalam hal ini mengenai maksimum dan minimum pemidanaan serta alasan-alasan memberatkan/meringankan pemidanaan serta melengkapi yang telah ditentukan KUHP sendiri. Di pengadilan wilayah eks Karesidenan Semarang hal ini belum diterapkan sepenuhnya dalam perkara pidana biasa maupun kasus korupsipun seharusnya pedoman pemidanaan juga diterapkan dalam rangka mengurangi disparitas pidana dalam praktek peradilan.
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldilla Ananta
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang disparitas pidana (disparity of sentencing) dalam putusan pengadilan terhadap tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab masalah-masalah sebagai berikut: (1) Apakah telah terjadi disparitas pidana (disparity of sentencing) dalam putusan pengadilan terhadap tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (2) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya disparitas pidana (disparity of sentencing) dalam perkara narkotika di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (3) Apakah tidak didampinginya seorang terdakwa tindak pidana narkotika dengan seorang penasehat hukum dapat berdampak pada penjatuhan hukuman yang tinggi yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana (disparity of sentencing) dalam perkara narkotika oleh hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (4) Bagaimana dampak terjadinya disparitas pidana (disparity of sentencing) terhadap kasus narkotika dalam penegakan hukum dan asas kepastian hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat serta (5) Langkah-langkah apakah yang dapat ditempuh untuk mengurangi terjadinya disparitas pidana (disparity of sentencing) dalam perkara narkotika di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa disparitas pidana (disparity of sentencing) terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memang benar terjadi. Faktor-faktor yang menyebabkan disparitas pidana (disparity of sentencing) antara lain yaitu bersumber pada hukum dan bersumber pada hakim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benar didampingi atau tidak para terdakwa dengan penasehat hukum tidak mempengaruhi berat ringannya hukuman yang dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jika kita kaitkan dengan aspek penegakan hukum dan asas kepastian hukum berkaitan dengan adanya disparitas pidana (disparity of sentencing) ini, terdapat dua pendapat yaitu: (1) Dengan adanya disparitas pidana (disparity of sentencing) ini maka dapat menimbulkan terjadinya ketidakpastian hukum, (2) Bahwa dalam hal ini hakim sudah memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan para hakim dalam memutus perkara sudah sesuai dengan undang-undang. Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengurangi terjadinya disparitas pidana (disparity of sentencing) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah sebagai berikut: (1) Menciptakan suatu pedoman pemberian pidana (statutory guidelines for sentencing), (2) Pembentukan lembaga semacam yang terdapat di Amerika Serikat, yakni di Eastern District of Michigan, yang disebut “Sentencing Council”, (3) Melalui seleksi dan latihan para hakim.
ABSTRACT
This thesis is the research concerns disparity of sentencing in court verdict toward narcotics offense in central Jakarta civil court. This study intends to answer problems are: (1) Has disparity of sentencing occurred in court decision towards narcotics offense in central Jakarta civil court. (2) What are the factors that caused disparity of sentencing in narcotics case in central Jakarta civil court. (3) Does defendant of narcotics offense who does not accompanied by law advisor will impact on high sentencing that caused disparity of sentencing in narcotics case by judge in central Jakarta civil court. (4) How the impact disparity of sentencing towards narcotics case in law maintenance and principles of law assurance in central Jakarta civil court (5) What are the steps to decrease disparity of sentencing in narcotics case in central Jakarta civil court. The study indicates that disparity of sentencing towards narcotics offense certainly occurred in central Jakarta civil court. The factors that caused disparity of sentencing are: sourced in law and sourced to judge. The study represents that it is accompanied or not the defendant with law advisor does not affect the severity of the sentence imposed by the judge in central Jakarta civil court. There are two opinions regard disparity of sentencing associated with law maintenance and principles of law assurance are: (1) Disparity of sentencing can create law uncertainly. (2) from the case the judge has given law certainly to society. It is because the judges decide to the matter based on the law. The steps can reduce disparity of sentencing in central Jakarta civil court, are: (1) Creates a statutory guidelines for sentencing, (2) Establishments of such an institution located in the United States, it is the Eastern District of Michigan, and it is called “Sentencing Council”, (3) Through the selection and training of judges.
2013
T35593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lakshmi Arianti
Abstrak :
ABSTRAK
Bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berasal dari bahasa Melayu. BI diperkenalkan pada tanggal 23 Ok_tober 1928, pada hari yang kita sebut sebagai Hari Sumpah Pemuda. Pada waktu itu para pemuda berikrar menyatukan Indonesia yang terdiri atas berbagai gugusan pulau, berba_gai suku bangsa dan berbagai bahasa daerah, menjadi satu kesatuan. Mereka kemudian mengangkat bahasa Melayu Riau yang sebelumnya dipakai sebagai Lingua franca di seluruh Nusantara, menjadi bahasa persatuan.

Ketika bangsa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agus_tus 1945, bangsa Indonesia sudah memiliki bahasa persatu_an, bahasa nasional, atau bahasa negara. BI dipakai dalam segala bidang kehidupan, baik pemerintahan, sosial poli_tik, pendidikan, maupun dalam kegiatan sehari-hari seba_gai alat komunikasi antar suku bangsa.

Dalam kemajuan dan perkembangannya bI mengalami ba_nyak perubahan dari bahasa asalnya (bahasa Melayu Riau). Kata-kata yang berasal dari bahasa tersebut sedikit demi sedikit, mengalami perubahan
1985
S11167
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miryanthi Savitri Elias
Abstrak :
Seperti telah diungkapkan dalam bab pertama, penelitian ini bertujuan untuk melihat struktur dan fungsi kalimat minor bahasa Indonesia. Penelitian kalimat minor di sini terbatas pada kalimat minor yang tidak berstruktur klausa. Kelompok ini terbagi dalam tujuh pokok bahasan, yaitu panggilan atau vokatif, salam dan ucapan, seruan, judul, moto, inskripsi, dan ungkapan khusus. Survai pembicaraan tentang kalimat minor yang dilakukan dalam bab dua, menunjukkan bahwa kriteria dari beberapa ahli bahasa untuk menentukan kalimat minor adalah struktur kalimat. Setelah dikerjakan analisis sintaktis untuk melihat struktur dari ketujuh pokok di atas, maka dapat dirumuskan sebagai (i)-(vii).[i]. Panggilan dalam bahasa Indonesia terdiri dari nomina atau frase nominal.[ii] Salam dalam bahasa Indonesia terdiri dari selamat
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1981
S11004
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edhi Juwono
Abstrak :
ABSTRAK
Tahap terakhir dari tulisan ini adalah menarik ke_simpulan. Beberapa hal yang akan diungkapkan pada bagian terakhir skripsi ini ialah sebagai berikut: a) Pola urutan dominan yang terdapat dalam kalimat deklaratif BI adalah SVO --- dilihat berdasarkan parameter urutan dasar kalimat yang diajukan Greenberg (1966). b) Pola urutan dasar kalimat SVO dalam BI tersebut memiliki urutan dasar alternatif VOS dan OSV. Hal ini disebabkan of adanya sistem pemfokus_an dalam BI. Karena BI di samping memiliki system fokus fokus juga merupakan bahasa penampilan subjek (Verhaar 1950: 52; Purwo 1981: 12 atau 1984: 265), maka urutan dominan menjadi SVO. c) Pola urutan frasa nominalnya ialah nomina_
1985
S11132
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyowati
Abstrak :
ABSTRAK
Menurut Antoine Dahdah, ma memiliki sebelas fungsi. Terkaitan dengan fungsi-fungsi tersebut maka akan ditemukan ma sebagai ism dan ma sebagai partikel.

Skripsi ini membahas salah satu fungsi ism ma yaitu ma a1-istifhamiyyah yaitu ism ma yang berfungsi sebagai alat tanya. Ism ini memiliki sinonim ma2a yang menurut Ibnu Hisyam kesinoniman ini tidak 100 % karena ma2a tidak hanya dapat bermakna 'apakah' namun dapat pula bermakna 'sesuatu' atau 'itu' atau 'yang'. Akan tetapi, penulis menganggap antara ma al-istifhamiyyah dengan maza tidak berbeda, karena makna-makna tersebut hanya ditemukan pada syair saja.

Analisis yang digunakan adalah analisis sintaksis dengan sedikit analisis semantis dan morfologis. Dari analisis sintaksis penulis menyimpulkan ma a1-istifhamiyyah dan maza dapat menduduki fungsi mubtada, khabar muqaddam, khabar kana, ma f' u! bih mugaddam danmaf' u1 mutlaq pengganti. Sedang Arab yang dapat dikembalikan adalah marfu', mansub dan majrur. Tetapi karena ma a1-istifhamiyyah termasuk dalam ism mabni, maka I'rabnya bersi-fat mahallan artinya tidak dapat dilihat perubahan bentuknya. Dari analisis semantik disimpulkan bahwa kalimat tanya tidak selalu bermakna Tanya dan dari analisis morfologis ma a1-istifhamiyyah dapat mengalami proses morfologis yaitu bila didahului oleh huruf jar dan zarf.
1995
S13387
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>