Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Utami Hidayati
Abstrak :
Di Indonesia pada saat ini banyak berkembang suatu kursus bimbingan belajar. Di dalam aturan mengenai kursus, bimbingan belaiar temasuk dalam pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan masyarakat, yang merupakan tempat untuk belajar dan berlatih untuk memperoleh pendidikan yang ?tidak dapat dlperoleh? di jalur pendidikan formal, dan termasuk dalam kursus khusus karena jenis kursus ini tidak dapat dimasukkan ke dalam jenis kursus yang Iain (Lembaga Pendidikan/Kursus PLSM, 1995). Bimbingan belajar yang ada di Indonesia ini berbeda dengan definisi bimbingan beiajar yang ada, karena bimbingan belajar yang ada di indonesia bukan bantuan yang diberikan oleh orang lain (biasanya konselor) supaya proses belajar yang dilakukan individu menjadi sesuai dengan potensinya dan individu menjadi mampu membuat keputusan untuk memecahkan masaiahnya sendiri, tetapi Iebih merupakan proses pengajaran materi tertentu yang pengadaannya di luar pengajaran sekolah dengan tujuan agar siswa lebih memahami peiajaran tersebut. Masalahnya di sekolah siswa juga memperoleh pengajaran materi (Winkel, 1991). Sehingga dengan adanya pendidikan sekolah dan definisi kursus sebagai tempat untuk memperoleh pendidikan yang ?tidak dapat diperoleh'' di jalur pendidikan formal, maka bimbingan belajar tidak seharusnya ada. Tetapi yang terjadi bimbingan belajar justru bertambah banyak. Oleh karena itu timbul pertanyaan untuk apa siswa mengikuti bimbingan belajar. Dari penelitian Baron & Byme (1994) diketahui bahwa kursus dapat meningkatkan self efficacy. Sitorus (dalam Silaban dkk, 1993) juga mengatakan bahwa siswa-siswi yang mengambil pendidikan tambahan di luar sekolah bisa ditafsirkan sebagai cermin ketidakyakinan terhadap materi pelajaran yang selama ini mereka peroleh di sekolah. Sedangkan Woolfolk (1993) mengatakan bahwa coaching dapat meningkatkan rasa percaya diri. Bimbingan belajar itu sendiri digolongkan dalam kursus dan keberadaannya melebihi coaching karena selain memperoleh keterampilan menghadapi ujian diluar materi dan drill soal, juga diajarkan materi itu sendiri. Oleh karena bimbingan belajar mengajarkan materi IPA maka asumsinya kepercayaan diri yang timbul juga akan berkaitan dengan bidang IPA. Keyakinan individu atas kemampuannya uniuk dapat mengatasi atau melakukan perilaku tertentu ini disebut self efficacy. Dari hal di atas, maka dibuatlah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan self efficacy (bidang IPA) antara siswa yang mengikuil bimbingan belajar dengan siswa yang tidak mengikuti bimbingan belajar. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan skala self efficacy bidang IPA kepada siswa kelas dua SMU Negeri 28 baik yang mengikuti maupun yang tidak mengikuii bimbingan belajar. Teknik analisa data yang digunakan adalah t-test for independent samples dengan menggunakan bantuan SPSS for Windows Release 7.0. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam self efficacy antara siswa yang mengikuti dengan siswa yang tidak mengikuti bimbingan belajar. Dan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, ada beberepa saran yang perlu diperhatikan, yaitu memperbesar jumlah sampel agar hasil peneilitian dapat digenerelisasikan dan mencari informasi yang akurat dan lebih banyak mengenai bimbingan belajar berkenaan dengan belum banyaknya Iiteratur yang membahas secara khusus mengenai jenis bimbingan belajar yang ada di Indonesia.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2508
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Madenda Ruhan Ismullah Irawan
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara evaluasi diri dan keputusan moral (keputusan altruistis vs. keputusan egoistis).Evaluasi diri adalah penilaian individu terhadap diri serta kemampuan yang dirinya miliki serta bagaimana individu melihat dirinya secara keseluruhan (Packer, 1985). Keputusan moral adalah pengambilan keputusan ketika terdapat situasi konflik moral yang menuntut individu untuk memilih salah satu dari alternatif pilihan penyelesaian konflik (Thornberg, 2007). Penelitian dilakukan pada 155 partisipan (90 perempuan, 65 laki-laki; M=23,76 tahun, SD=3,79 tahun). Evaluasi diri diukur menggunakan Core Self Evaluation Scale (Judge dkk., 2003). Sementara keputusan moral diukur menggunakan Everyday Moral Conflict Situation Scale (Singer, 2019). Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara evaluasi diri dengan keputusan moral (r=-0,149, p<0,05). ......This study aims to examine the relationship between self evaluation and moral decision (altruistic vs. egoistic) in Indonesia. Self Evaluation is how an individual evaluate themself and his own abilities and how they see themself as a whole (Packer, 1985). Moral decision is a form of decision made by someone when they faced a moral conflict situation and forced to choose one out of other alternatives in order to solve the conflict (Thornberg, 2007). This study was conducted on 155 adult participants (90 females, 65 males; M=23,76 years old SD=3,79 years old). Self evaluation is measured with Core Self Evaluation Scale (Judge dkk., 2003) while moral decision is measured with Everyday Moral Conflict Situation Scale (Singer, 2019). The result of this research shown that there is a significant negative correlation between self evaluation and moral decision (r=-0,149, p<0,05.).
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlina Kurniasih
Abstrak :
Berdasarkan data yang dikemukakan, persentase putus kuliah mahasiswa Papua dan Papua Barat sebesar 7%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka presentase putus kuliah nasional, yaitu sebesar 3%. Untuk dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik, mahasiswa Papua memerlukan adaptabilitas karier yang tinggi. Mahasiswa Papua dengan adaptabilitas karier yang tinggi memiliki sumberdaya untuk dapat bertanggung jawab serta beradaptasi di lingkungan perguruan tinggi. Adaptabilitas karier dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti core self-evaluations dan perceived peer support. Tujuan dari penelitian ini yaitu ingin mengetahui ada atau tidaknya peran perceived peer support sebagai moderator dalam hubungan antara core self-evaluations dan adaptabilitas karier. Partisipan terdiri dari mahasiswa Papua (N=176) yang aktif menjalankan perkuliahannya sejak tahun 2011-2020. Hasil analisis moderasi menggunakan Hayes Process menunjukkan bahwa perceived peer support secara signifikan memoderasi hubungan antara core self-evaluations dan adaptabilitas karier (t=2.06, p<0.05). Pada penelitian ini, adanya peran perceived peer support sebagai moderator dipengaruhi oleh karakter budaya kolektivis yang dimiliki oleh mahasiswa Papua. Pada budaya ini, individu cenderung menghubungkan tingkat dukungan sosial yang dimiliki dengan penilaian dirinya. Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai intervensi yang dapat dilakukan agar mahasiswa dapat mengembangkan adaptabilitas kariernya. ......Based on data, dropout rate among Papuan university students is 7%. This rate is much higher than national dropout rates. National dropout rate in Indonesia is 3%. To be able to complete their education, Papuan students need career adaptability. Career adaptability is an important resource because Papuan university students who have career adaptability tend to be more responsible and able to adapt in the university environment. There are many factors which influence career adaptability, such as core self-evaluations and perceived peer support. The purpose of this study is to investigate the moderating role of perceived peer support in the relationship between core self- evaluations and career adaptability. Participants were native Papuan active students (N=176) from 2011-2020 of various universities. The result of moderation analysis with Hayes Process shows that perceived peer support significantly moderates the relationship between core self-evaluations and perceived peer support (t=2.06, p<0.05). The role of perceived peer support as moderator of the relationship between core self-evaluations and career adaptability can be attributed to the collectivist culture which Papuan Students have. In collectivist culture, social support is linked with individuals’ evaluations of themselves. These findings provide information about intervention material for university students, so they can develop career adaptability.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Amanda Legyana
Abstrak :
Penelitian ini membahas interaksi kelas berdasarkan pertanyaan pengajar dalam kelas tata bahasa Jepang dasar menggunakan ancangan Self Evaluation of Teacher Talk (SETT). Pertanyaan yang diajukan oleh pengajar adalah bagian dari tuturan pengajar di dalam kelas yang memicu interaksi. Pada penelitian ini pertanyaan mengacu pada hasil penelitian Long dan Sato (1983) mengenai tipe pertanyaan berdasarkan tujuan (display question dan referential question) dan tipe pertanyaan berdasarkan fungsi (negosiasi makna). Sementara itu, untuk mengetahui interaksi yang terbangun dari pertanyaan yang diajukan oleh pengajar digunakan ancangan SETT yang dapat mengetahui lebih dalam akan modus kelas (Walsh, 2006). Data diperoleh dengan melakukan observasi kelas melalui perekaman dan pencatatan. Kemudian dilakukan transkripsi untuk mengetahui lebih dalam kualitas pertanyaan dan fitur-fitur interaksi lain yang terbangun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengajar bertanya dengan pertanyaan display questions, referential questions, dan melakukan negosiasi makna kepada pemelajar. Pengajar sering kali melakukan pengecekan pemahaman yang merupakan bagian dari negosiasi makna, namun tidak tertera dalam ancangan SETT. Adapun hasil penelitian tentang modus kelas adalah pengajar berada pada empat modus kelas, yaitu modus kelas manajerial, modus kelas material, modus kelas keterampilan dan sistem, dan modus konteks kelas. ...... This research discusses class inter modus konteks kelasaction based on teacher's questions in basiclevel Japanese class using Self Evaluation of Teacher Talk (SETT) framework. The questions are parts of teacher's talk in the class triggering the interaction. In this research, the questions refer to Long and Sato's research findings (1983) about kinds of the questions based on purposes (display question and referential question) and based on functions (negotiation of meaning). Meanwhile, to analyze the interaction built up by the teacher's questions is used SETT framework (Walsh, 2006). The data were gained by classroom observation through recording and taking notes. Then, transcription was done in order to know more deeply about the quality of the questions and other interaction features. The result of this research shows that the teacher uses display questions, referential questions, and does negotiation of meaning. In addition, the teacher often does comprehension checks which are parts of negotiation of meaning, but those are not stated on the SETT framework. However, the teacher is in four classroom modes: managerial mode, materials mode, skills and systems mode, and classroom context mode.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aviva Lutfiana
Abstrak :
Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) menjadi salah satu program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) yang paling diminati mahasiswa karena dapat membekali keterampilan nyata dunia kerja dengan konversi maksimal 20 SKS. Selain memberikan manfaat bagi mahasiswa, program tersebut juga memberikan tantangan baru bagi mereka. Mahasiswa dinilai membutuhkan kemampuan adaptabilitas karier agar dapat mengoptimalkan performanya dalam program tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran core self-evaluation dan kepribadian proaktif dalam memediasi hubungan dukungan sosial dengan adaptabilitas karier pada mahasiswa yang sedang menjalani program MSIB. Partisipan penelitian ini terdiri atas 175 orang mahasiswa Indonesia yang sedang menjalani program MSIB. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Career Adapt-Abilities Sca le International Form (CAAS-IF), Child and Adolescent Social Support Scale (CASSS), Core Self-Evaluation Scale (CSES), dan Proactive Personality Scale (PPS), yang sudah diadaptasi dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia serta dimodifikasi sesuai dengan konteks penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa core self-evaluation dan kepribadian proaktif memediasi secara parsial hubungan antara dukungan sosial dan adaptabilitas karier mahasiswa yang sedang menjalani program MSIB. Semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh mahasiswa, maka akan semakin meningkatkan core self-evaluation dan kepribadian proaktifnya, yang pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan adaptabilitas kariernya. Di sisi lain, dukungan sosial sendiri dapat memengaruhi adaptabilitas karier secara langsung, yaitu semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh mahasiswa, maka akan semakin meningkatkan kemampuan adaptabilitas kariernya. ......Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) program is one of the Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) programs that most in demand by undergraduate students, because it can equip students with real skills needed by the world of work with maximum 20 credits conversion. Despite of the benefits, this program provides new challenges for them. Students are considered need career adaptability to optimize their performance in the program. In order to develop these abilities, social support, core self-evaluation, and proactive personality are factors that play an important role for students. This study aims to determine the role of core self-evaluation and proactive personality in establishing the relationship between social support and career adaptability in students who are undergoing the MSIB program. The participants of this study consisted of 175 Indonesian students who were undergoing the MSIB program. The instrument used in this study are the Career Adapt-Abilities Scale International Form (CAAS-IF), Child and Adolescent Social Support Scale (CASSS), Core Self-Evaluation Scale (CSES), and Proactive Personality Scale (PPS), which have been adapted and translated into Indonesian and modified according to the research context. The results showed that core self-evaluation and proactive personality partially mediated the relationship between social support and career adaptability of students undergoing the MSIB program. The higher the social support obtained by students, the more they will increase their core self-evaluation and proactive personality, which in turn will increase their career adaptability.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Affan Maulana Ghiffari
Abstrak :
Dalam lingkungan pekerjaan yang sangat dinamis dan penuh ketidakpastian, organisasi atau perusahaan membutuhkan sumber daya yang dapat diandalkan untuk dapat bertahan, bersaing dan berkembang. Salah satu bentuk sumber daya yang dapat digunakan adalah kreativitas karyawan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan tidak langsung antara core self-evaluation (CSE) dengan kreativitas karyawan melalui peran mediasi motivasi intrinsik, serta melihat peran budaya organisasi pembelajaran dalam memoderasi hubungan antara motivasi intrinsik dengan kreativitas karyawan. Penelitian ini juga melihat hubungan tidak langsung antara CSE dengan kreativitas melalui motivasi intrinsik, yang dimoderasi oleh budaya organisasi pembelajaran pada hubungan antara motivasi intrinsik dengan kreativitas karyawan. Penelitian dilakukan terhadap 144 karyawan BUMD. Uji hipotesis menggunakan Hayes’ PROCESS Macro model 14 menunjukkan bahwa motivasi intrinsik memediasi hubungan antara CSE dengan kreativitas karyawan. Namun demikian, budaya organisasi pembelajaran tidak memoderasi hubungan antara motivasi intrinsik dengan kreativitas karyawan. Hasil juga menunjukkan bahwa hubungan tidak langsung antara CSE dengan kreativitas karyawan yang dimediasi oleh motivasi intrinsik, tidak dimoderasi oleh budaya organisasi pembelajaran pada hubungan antara motivasi intrinsik dan kreativitas karyawan. ......In highly dynamic and uncertain work environment, organizations or companies need reliable resources to survive, compete and develop. One form of resource that can be used is employee creativity. This study aimed at investigating the relationship between core self-evaluation (CSE) and employee creativity mediated by intrinsic motivation, and to see the role of organizational learning culture in moderating the relationship between intrinsic motivation and employee creativity. This study also looked at the indirect relationship between CSE and employee creativity through intrinsic motivation, which is moderated by organizational learning culture on the relationship between intrinsic motivation and employee creativity. The study was conducted on 144 BUMD employees. Hypothesis testing using the moderated-mediation Hayes' PROCESS Macro model 14 shows that intrinsic motivation mediates the relationship between CSE and employee creativity. However, organizational learning culture does not moderate the relationship between intrinsic motivation and employee creativity. The results also show that the indirect relationship between CSE and employee creativity mediated by intrinsic motivation, not moderated by organizational learning culture on the relationship between intrinsic motivation and employee creativity.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Arief Setyawan
Abstrak :
Seorang manajer dituntut untuk seialu menunjukkan citranya sebagai eksekutif. Upaya ini untuk mengolah dengan cara memanipulasi kesan fisik dikenal sebagai upaya impression management. Konsep ini diperkcnalkan oieh Erving Goffman (1959), seorang sosiolog Amerika yang menjelaskan kecenderungan seseorang untuk menyesuaikan antara harapan masyarakat dengan peran yang disandang oleh seorang. Sebagai salah satu cara untuk menirigkatkan citranya, yakni dengan memakai benda-benda yang melekat dan berkaitan dengan identitasnya. Kemampuan untuk mengolah kesan yang positif sesuai dengan peran yang disandang akan membantu manajer untuk menjalankan tugas dan fungsi kemanajerialan. Peran sebagai eksekutif seiring berhubungan dengan orang lain, membuat manajer dituntut untuk seialu raenjaga wibawanya. Fungsi-fungsi manajeriai seperti conlrolling. stajfing, organizing. leading, dan planning, dapat beijalan lancar jika kewibawaan manajer seialu dijaga. Konsep yang dapat menjelaskan bagaimana seorang manajer dapat menampilkan kesan atau citra yang positif sesuai dengan perannya, yakni self motiitoring. Menurut Snyder (1974), konsep self monitoring ini merujuk pada lima komponen yakni, pertama. menyangkut keputusan sosial dari presentasi diri seseorang di hadapan publlik ; kedua, perhatian terhadap informasi tentang berbagai perbandingan sosial sebagai isyarat-isyarat dari penampilan diri yang bagaimana yang pantas jika berada dalam situasi terlentu , ketiua. kemampuan seseorang untuk mengontrol dan memodifikasi ekspresi tingkalh laku , keemoat, pemanfaatan dan penggunaan kemampuan tersebut dalam situasi-sitiasu khusus, dan terakhir kelima, sampai seberapa jauh ekspresi tingkah laku dan presentasi diri seseorang bentuk untuk menyesuaikan dengan situasi-situsi khusus. Dalam pengukurannya Seli Monitoring, dibagi menjadi tiga aspek yakni Ekstraversion-Intraversion, Self Directedness, Acting Out. Aspek pertama, Ekstraversion-Introversion mengukur kemampuan self explanatory, yakni kesediaan individu dalam mengorienlasikan diri berhubungan dengan orang lain. Aspek kedua, Otherdirectedness, mengukur kemauan atau kesediaan untuk mengubah tingkah laku di hadapan orang lain. Sedangkan aspek ketiga yakni Acting Out, mengukur kemampuan seseorang untuk mengontrol dan memodifikasi presentasi diri dan tingkah laku ekspresif yang sponlas dalam situasi publik. Singkat kata pengukuran self monitoring ini secara keseluruhan unutk melihat dua kemampuan yakni kemampuan mengatur dan kemampuan menjaga kesan positif penilain orang lain terhadap penampilan diri. Salah satu cara mengkomunikasikan citra dan wibawa, yakni dengan cara memakai barang-barang bermerek yang mahal. Gaya hidup manajer selama ini dianggap high profile, mengingat pola konsumsinya terhadap barang-barang yang mahal. Salah satu barang yang melekat dan berkaitan erat dengan identitas manajer, yakni busana eksekutif. Busana eksekutif dibatasi sebagai busana keija yang dipakai manajer dalam lingkungan formalnya (setting keija). Busana ini terdiri; kemeja dan celana panjang untuk pria, blues dan blazer untuk wanita. Merek-merek terkenal yang telah mendunia (international) menjadi pilihan utama setelah bentuk morfologisnya. Merek-merek tersebut berharga mahal dan tidak semua orang dapat mengkonsumsinya. Alasan mereka yang mengkonsumsi busana mahal tersebut beraneka ragam. Namun jika dicermati terdapat dua alasan yakni sebagai ekspresi hedonis dan utilitaraian Loudoun & Delabitta (199j). Sebagai ekspresi hedonis merujuk pada pengakuan terhadap social power, seperti kekayaan, kemakmuran, dan kekuasaan. Sedangkan utilitarian motif mementingkan asas kegunaan, dan biasanya menjadi perilaku instrumental untuk mencapai tujuan utama. Motif-motif pembelian ini berkaitan dengan keyakinan atau belief seseorang. Untuk mengetahui secara pasti, maka diperlukan penelitian yang dapat melihat belief-belief tersebut. Konsep yang dapat melihat secara luas, namun tepat melihat keinginan manajer untuk membeli busana eksekutif terkenal, yakni intensi. Konsep intensi ini diperkenalkan oleh Fishbein & Ajzen (1975) yang mendefinisikannya sebagai kecenderungan seseorang menempatkan diri dalam dimensi probabUitas yang melibatkan dirinya dan tingkah laku. Dalam upaya melengkapi konsep ini Ajzeo (1988) mengoreksi dengan menambahkan satu komponen penting dari intensi, sehingga menjadi tiga komponen, yakm sikap, norma subyektif, dan yang baru perceived behavior control (PBC). Sikap dipengaruhi oleh dua variabel yakni belief behavior, yakni keyakinan seseorang tentang tingkah laku tersebut, dan out comes evaluation, yakni evaluasi terhadap konsekuensi yang diterima jika memunculkan tingkah laku tersebut. Norma subyektif terdiri dari dua bagian yakni normatif belief, yakni keyakinan bahwa terdapat orang-orang yang penting {signiftkan others) menginginkan seseorang untuk menampilkan tingkah laku. Aspek kedua dari norma subyektif yakni motivation to comply yakni kesediaan untuk memenuhi harapan signifikan others. Sedangkan PBC terdiri dari aspek control belief yakni keyakinan bahwa terdapat sumberdaya dan kesempatan yang dibutuhkan untuk menampilkan tingkah laku, aspek kedua perceived pmver yak " terdapat kontrol langsung yang dimiliki subyek untuk menampilakn tingkah laku tertentu. Pengukuran terhadap konstruk intensl ini semakin relevan jika dikaitkan dengan adanya krisis ekonomi, dimana terdapat asumsi bahwa upaya penghematan seseorang sebagai respon dari adanya inflasi yang tinggi akan mempengaruhi keinginan sseorang manajer untuk membeli busana-busana yang mahal. Penelitian ini mempunyai empat tujuan yakni, pertama, ingin melihat bagaimana gambaran self monitoring manajer, kedua bagaimana intensi manajer untuk membelibusana eksekutif bermerek terkenal. ketiga, ingin melihat seberapa besar pengaruh sunmbangan komponen sikap, nomna subyektif, dan perceived behavior control, dan keempat ingin melihat apakah ada hubungan antara self monitoring dengan intensi untuk membeli busana eksekutif bermerek terkenal pada manajer. Penelitian ini menggunakan sampel manajer lini pertama, manajer madya, dan manajer puncak mengingat bahwa indikasi kuat bahwa ketiga kelompok ini mempunyai daya beli yang cukup tinggi untuk membeli busana-busana mahal. Penentuan sampel menggunakan tekmk accidental sampling, dimana sampel yang tersedia dapat diambil asal memenuhi syarat karakteristik sampel. Teknik sampling ini termasuk non probability sampling, dimana setiap subyek penelitian tidak mempunyai peluang yang sama menjadi sampel penelitian. Jumlah sampel yang dapat diambil sebanyak 127 orang. Dari basil penelitian menemukan bahwa self monitoing para manajer ratarata tinggi. Terdapat perbedaan yang signifikan antara manajer puncak, madya, dan lini pertama dalam self monitoringnya, dimana semakin tinggi jabatan seseorang SMnya semakin tinggi. Penelitian ini juga menemukan bahwa intensi manajer untuk membeli busana eksekutif bermerek terkenal cendemng tinggi. Terdapat perbedaan intensi yang signifikan antara manajer puncak, madya dan Kni pertama. Perbedaan ini rupanya masih berhubungan erat dengan daya beli mereka. Manajer puncak dan manajer madya masih menganggap dirinya masih mampu membeli busana-busana tersebut meskipun makin mahal. Dari penelitian tentang belief-belief mereka nampaknya para manajer terdorong untuk membeli busana busana tersebut lebih dikarenakan pertimbangan utilitarian yang melihat sebagai tingkah laku memakai busana eksekutif bermerek terkenal sebagai salah cara untuk meraih kewibawaan dan mendapatkan legitimasi yang wajar. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komponen PBCD merupakan prediktor terbaik dari dua komponen sikap dan norma subyektif. Hasil ini sesuai dengan teori Ajzen (1988) bahwa persepsi terhadap sumberdaya mempengaruhi kontrol seseorang dalam memunculkan tingkah laku. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa selama daya beli masih tinggi, tingkah laku akan dimunculkan seseorang. Namun dari hasil ini daya beli tersebut masih dimiliki kelompok manajer puncak dan madya yang memang mempunyai penghasilan yang cukup, meski berada dalam situasi ekonomi yang sulit. Hasil utama lain dari penelitian ini, yakni bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara self monitoring dengan intensi manajer untuk membeli busana eksekutif bermerek terkenal yang mahal. Hal ini berarti semakin tinggi SM manajer semakin tinggi pula intensinya untuk membeli busana-busana mahal tersebut.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2456
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Don Richard Riso
Boston : Houghton Mifflin, 2000
155.26 DON u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Putera Dhaneswara
Abstrak :
ABSTRAK
Tidak banyak penelitian yang mengangkat topik mengenai perbedaan gender dalam kemalasan sosial pada individu yang mempunyai keunikan diri yang rendah. Penelitian ini ingin mengetahui apakah laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan dalam fenomena kemalasan sosial dan keunikan diri digunakan dalam studi ini untuk menyesuaikan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menggunakan variabel keunikan diri untuk mengukur tingkat kemalasan sosial. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti tingkah laku laki ndash; laki dan perempuan dengan keunikan diri yang rendah dan kondisi kolektif dari pendapat partisipan tentang kegunaan pisau sebanyak ndash; banyaknya dalam waktu satu menit. Penelitian ini menggunakan model 2x2 dengan jumlah partisipan sebanyak 40 orang. Partisipan diberikan tes dan dinilai sebagai rdquo;rata ndash; rata rdquo; sebelum mereka dikelompokkan sebagai kelompok koaktif dan kolektif. Jumlah dari kegunaan pisau dikalkulasikan sebagai variabel dependen. Uji independen t-test dalam kondisi koaktif menemukan lebih banyak kegunaan pisau dibandingkan dengan partisipan dalam kondisi kolektif. Hasil ini mendukung hipotesis pertama bahwa kondisi koaktif menunjukan performa lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi kolektif. Namun, hasil studi ini tidak dapat menunjukan perbedaan diantara laki-laki dan perempuan dalam fenomena kemalasan sosial. Penelitian mendatang seharusnya bisa lebih fokus dalam meningkatkan metode, prosedur, dan menambah lebih banyak sampel partisipan dalam merepresentasikan populasi yang ditargetkan.
ABSTRACT
There were a limited amount of studies that focused on gender differences in social loafing on individuals who possess low self-uniqueness. The study focused on gender differences to discover the differences between male and female gender in the respect of social loafing and self-uniqueness was included as the follow up from previous studies which observe the individuals with self-uniqueness as one of the measures related with social loafing. This study aimed to investigate performance in both male and female gender with low self-uniqueness in a collective condition from generating functions of a knife as many as possible in one minute. Using 2x2 independent-groups design, 40 students were conveniently sampled to become participants. Participants were given a test and graded as ldquo;average rdquo; before they were put into whether coactive or collective group. The number of knife functions was calculated as the dependent variable. Independent-groups t-tests participants in coactive conditions generated more functions compared to participants in a collective condition. This confirms the first hypothesis which shows that coactive group will perform better compared with the collective group. Nonetheless, the study did not show any distinguishable differences between male and female. Future research should focus on improving method, procedures and add more participants sampled in representing the targeted population.
2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>