Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
Citrawanti Oktavia
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara persepsi iklim sekolah dengan tanggung jawab belajar siswa SMA. Pengukuran persepsi iklim sekolah menggunakan modifikasi Instrument student perception of school climate yang dibuat oleh NASSP (National Association of Secondary School Principals) dan pengukuran tanggung jawab menggunakan alat ukur yang dikonstruksi dari teori Sukiat (1993). Partisipan berjumlah 161 siswa yang berasal dari beberapa sma di Jakarta dan sekitarnya yang terdiri dari tiga tingkatan kelas. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan hubungan antara iklim sekolah dengan tanggung jawab siswa (R2 = 0.304; p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.05). Artinya, sebanyak 30,4 % varians persepsi iklim sekolah dapat dijelaskan melalui tanggung jawab siswa, sedangkan 69.6 % sisanya dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui. Hasil lain menunjukkan bahwa dimensi persepsi iklim sekolah yang memberikan sumbangan indeks korelasi parsial kuadrat yang signifikan dengan tanggung jawab adalah nilai tingkah laku siswa, penyelenggaraan bimbingan, hubungan orang tua dan komunitas dengan sekolah serta pengelolaan pengajaran. Berdasarkan hasil tersebut, iklim suatu sekolah perlu ditingkatkan untuk mendukung tanggung jawab siswa terutama pada dimensi yang memberikan sumbangan indeks korelasi parsial kuadrat yang signifikan tersebut.
This research was conducted to find correlation between students perception of school climate and responsibility student of learning among. Perception of school climate was measured using an modification instrument from NASSP (National Association od School Secondary Program) and responsibility was measured using a instrument constructed from Sukiat (1993). The participants of this research are 161 students from several high schools in Jakarta and near from Jakarta consist of three grade classes from this school. The main results of this research show that perception of school climate correlated significantly with responsibility (R2 = 0.304; significant at L.o.S 0.05). That is, as much as 30,4% variance perception of school climate can be explained by responsibility students of learning, while 69.6% were influenced by other variables that are not known. Other results showed that dimension of school climate that contribute correlation partial indeks significantly with responsibility students of learning are student behavioral values, guidance, parent & community school relationship and instructional managements. Based on these results, school climate needs to improve for increased responsibility among students, especially in the dimension that contribute significantly with responsibility students mainly."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45493
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sullivan, Keith
London: Paul Chapman, 2005
371.58 SUL b
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Adelia Dwi Syafina
"Tujuan penelitian ini ingin melihat hubungan antara school belonging dan subjective well-being in school pada remaja awal di pesantren. Banyaknya peraturan dan tuntutan di pesantren bukanlah hal mudah untuk dijalani oleh para remaja awal. Mereka sangat rentan melakukan berbagai pelanggaran di sekolah yang merupakan indikator rendahnya subjective well-being in school. Padahal subjective well-being in school yang tinggi akan meningkatkan keberhasilan akademik dan membuat mereka memiliki kesehatan mental serta fisik yang baik. Salah satu faktor penting yang memengaruhi subjective well-being in school adalah school belonging. Di pesantren, para siswa diharuskan tinggal bersama dan lebih banyak berinteraksi dengan teman-teman dan para guru dibandingkan sekolah lainnya, sehingga seharusnya school belonging yang mereka miliki tinggi. School belonging juga merupakan kebutuhan penting bagi para remaja awal. Dengan demikian, remaja awal di pesantren seharusnya memiliki school belonging yang tinggi yang akan berhubungan dengan subjective well-being in school mereka. Responden penelitian ini terdiri dari 167 siswa remaja awal dari 4 pesantren di wilayah Depok dan Bogor. School belonging diukur menggunakan Psychological Sense of School Membership Among Adolescents dan subjective well-being in school diukur menggunakan Brief Adolescents rsquo; Subjective Well-Being in School Scale. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara school belonging dan subjective well-being in school pada remaja awal di pesantren.
The purpose of this study is to know the relationship between school belonging and subjective well being in school among early adolescents in pesantren. The number of rules and demands in pesantren is not easy for early adolescents. They are very vulnerable to violations in school that are indicators of low level subjective well being in school. In fact, high level of subjective well being in school can improve their academic success and have good mental and physical health. One important factor that affecting subjective well being in school is school belonging. In pesantren, students are required to live together and interact more with friends and teachers than any other school. That situation should make their school belonging higher. School belonging is an important needs for early adolescents. Thus, early adolescents in pesantren should have high level school belonging that will relate to their subjective well being in school. The respondents consisted of 167 early adolescents from 4 pesantren in Depok and Bogor. School belonging was measured using Psychological Sense of School Membership Among Adolescents and subjective well being in school were measured using the Brief Adolescents 39 Subjective Well Being in School Scale. The results showed a significant positive correlation between school belonging and subjective well being in school among early adolescents in pesantren."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Patricia Roulina
"Kesejahteraan psikologis (PWB) dapat membantu remaja mengatasi stres dan kesulitan. Penelitian ini melihat apakah komponen iklim sekolah (SC) serta jenis kelamin dapat memprediksi PWB remaja di pedesaan Indonesia. Studi epidemiologi dilakukan terhadap 1.023 siswa SMP di Banyuwangi dengan pendekatan berbasis sekolah. Analisis multiple linear regression menunjukkan bahwa siswa laki-laki yang menilai hubungan antar siswa di sekolah baik, harapan sekolah terhadap siswa jelas, peraturan di sekolah adil, dan tingkat perundungan di sekolah rendah memiliki tingkat PWB yang lebih tinggi (F(5,1017) = 48,069, p < ,001, R2 = 0,191). Penelitian ini menunjukkan pentingnya fokus pada komponen SC tertentu serta memberi dukungan yang berfokus pada perbedaan gender untuk meningkatkan PWB siswa SMP di Banyuwangi.
Psychological Well-Being (PWB) is beneficial for adolescents during times of stress and difficulties. This study examines whether components of School Climate (SC) and gender can predict the PWB of rural Indonesian adolescents. An epidemiological study was conducted on 1.023 junior high school students in Banyuwangi. Multiple linear regression analysis showed that male students who perceive positive relationships among students at school, clear school expectations toward students, fair school regulations, and low levels of bullying at school have higher levels of PWB (F(5,1017) = 48,069, p < ,001, R2 = 0,191). This study shows the importance of focusing on specific components of SC as well as providing support that focuses on gender differences to improve the PWB of middle school students in Banyuwangi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Iqbal Mas Abdullah
"Saat ini dalam lingkungan masyarakat, manusia didominasi dengan pola pikir yang memandang manusia lain sebagai sebuah fungsi. Hal ini tidak terkecuali di dunia pendidikan terutama lingkungan sekolah. Seperti yang terjadi dalam film Flying Colors, lingkungan sekolah menjadi tempat mengakarnya pola pikir tersebut. Tokoh Sayaka diobjektivikasi oleh guru Sayaka di sekolah. Sayaka dinilai berdasarkan fungsi-fungsi yang melekat pada dirinya yaitu sebagai siswa yang bermasalah. Objektivikasi terhadap Sayaka sebagai siswa yang bermasalah membuat kondisi Sayaka dipasrahkan dan tidak dipedulikan. Selain itu, ia juga diperlakukan dengan buruk seperti melontarkan perkataan-perkataan negatif. Situasi tersebut membuat Sayaka jatuh pada sifat fatalistik dan putus asa. Melalui metode studi pustaka pemikiran eksistensialisme Gabriel Marcel, Artikel ini ingin menunjukkan beberapa kejadian (scene) dalam film tentang pentingnya kita berelasi dalam ikatan cinta.
Currently in society, humans are dominated by a mindset that views other humans as a function. This is no exception in the world of education, especially the school environment. As happened in the film Flying Colors, the school environment is where this mindset takes root. Sayaka's character is objectified by Sayaka's teacher at school. Sayaka is assessed based on her inherent functions, namely as a problematic student. The objectification of Sayaka as a problematic student means that Sayaka's condition is ignored and ignored. Apart from that, he was also treated badly, such as saying negative words. This situation makes Sayaka fall into fatalism and despair. Using the literature study method of Gabriel Marcel's existentialist thought, this article wants to show several scenes in the film about the importance of our relationships in bonds of love."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Brubaker, C. William
New York: McGraw-Hill, 1998
371.620 973 BRU p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
New York: Visual Reference Publications, 2002
371.62 EDU (2)
Buku Teks Universitas Indonesia Library