Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Viona Yosefa Diaz Viera
"Latar belakang: Terapi regeneratif periodontal dengan scaffold harus dapat mendukung terjadinya osteogenesis, osteoinduksi, dan osteokonduksi, sehingga dibutuhkan karakteristik material yang sesuai. Nano-hidroksiapatit menjadi salah satu pilihan biomaterial scaffold. Nano-hidroksiapatit dibuat dalam berbagai bentuk seperti injectabel pasta yang membutuhkan suatu matriks, seperti gelatin. Tujuan: Menganalisis potensi serbuk dan pasta nano-hidrositapatit sebagai injectabel scaffold dalam terapi regeneratif periodontal yang dilihat dari karakteristik biomaterial dengan waktu perendaman 1, 2, 7, dan 14 hari dalam larutan simulasi tubuh. Metode: Fabrikasi serbuk nano-hidroksiapatit dan pasta nano-hidroksiapatit di BRIN. Serbuk nHA, pasta nHAG 65:35, dan pasta nHAG 60:40 direndam dalam larutan simulasi tubuh selama 1, 2, 7, dan 14 hari. Pada setiap periode waktu dilakukan pengukuran pH, biodegrabilitas, dan karakteristik kimia dengan uji FTIR. Hasil: Uji pH menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada perendaman 1, 7, dan 14 hari (p<0,05). Uji biodegrabilitas menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada perendamanan 1, 2, 7, dan 14 hari (p<0,05). Uji FTIR pada serbuk nHA mengidentifikasi gugus fungsi PO, CO, O-H, C=H, COO. Uji FTIR pada pasta nhAG 65:35 dan pasta nHAG 60:40 mengidentifikasi adanya tambahan gugus fungsi golongan amide. Kenaikan pita serapan setelah perendaman pada gugus fungsi O-H dan PO. Kesimpulan: Pasta nHAG berpotensi sebagai injectabel scaffold dalam terapi regeneratif periodontal. Latar belakang: Terapi regeneratif periodontal dengan scaffold harus dapat mendukung terjadinya osteogenesis, osteoinduksi, dan osteokonduksi, sehingga dibutuhkan karakteristik material yang sesuai. Nano-hidroksiapatit menjadi salah satu pilihan biomaterial scaffold. Nano-hidroksiapatit dibuat dalam berbagai bentuk seperti injectabel pasta yang membutuhkan suatu matriks, seperti gelatin. Tujuan: Menganalisis potensi serbuk dan pasta nano-hidrositapatit sebagai injectabel scaffold dalam terapi regeneratif periodontal yang dilihat dari karakteristik biomaterial dengan waktu perendaman 1, 2, 7, dan 14 hari dalam larutan simulasi tubuh. Metode: Fabrikasi serbuk nano-hidroksiapatit dan pasta nano-hidroksiapatit di BRIN. Serbuk nHA, pasta nHAG 65:35, dan pasta nHAG 60:40 direndam dalam larutan simulasi tubuh selama 1, 2, 7, dan 14 hari. Pada setiap periode waktu dilakukan pengukuran pH, biodegrabilitas, dan karakteristik kimia dengan uji FTIR. Hasil: Uji pH menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada perendaman 1, 7, dan 14 hari (p<0,05). Uji biodegrabilitas menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada perendamanan 1, 2, 7, dan 14 hari (p<0,05). Uji FTIR pada serbuk nHA mengidentifikasi gugus fungsi PO, CO, O-H, C=H, COO. Uji FTIR pada pasta nhAG 65:35 dan pasta nHAG 60:40 mengidentifikasi adanya tambahan gugus fungsi golongan amide. Kenaikan pita serapan setelah perendaman pada gugus fungsi O-H dan PO. Kesimpulan: Pasta nHAG berpotensi sebagai injectabel scaffold dalam terapi regeneratif periodontal.

Background: Periodontal regenerative therapy involves the use of scaffolds to promote bone growth. Nano-hydroxyapatite is a potential scaffold biomaterial that can be made into various forms, such as an injectable paste that requires a matrix like gelatin, to support bone growth. Objective: Aim: To investigate whether nano-hydroxyapatite powder and paste can be used as injectable scaffolds for periodontal regenerative therapy by studying their biomaterial properties after immersion in a simulated body solution for different time periods. Method: The nano-hydroxyapatite powder and paste were created in BRIN and vperiods. The pH, biodegradability, and chemical properties were measured using FTIR tests in each period. Results: The pH test showed significant differences in each soaking times (p <0.05). Biodegradability tests showed significant differences in immersion times of 1, 2, 7, and 14 days (p <0.05). FTIR tests on nHA powder identified functional groups PO, CO, O-H, C=H, COO. FTIR tests on nHAG paste 65:35 and nHAG paste 60:40 identified additional amide group functional groups. An increase in absorption band occurred after immersion in the O-H and PO. Conclusion: The nHAG paste has potential as an injectable scaffold in periodontal regenerative therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cornelia Pradita Notoprajitno
"ABSTRAK
Selulosa sebagai bahan dasar untuk perban sedang banyak dipelajari karena kelarutannya dalam air, keberlanjutan, dan ketersediaannya di alam semesta. Nanoselulosa dapat diaplikasikan sebagai rangka pembalut luka hemostatik oleh karena keanekaragaman bentuk struktural, keringanan, dan portabilitas yang dimilikinya. Penelitian ini adalah bagian dari proyek multidisiplin yang bertujuan untuk merancang desain sebuah pembalut luka hemostasik untuk menangani kasus pendarahan yang eksesif. Dalam kasus ini, penelitian yang dilakukan berfokus pada perancangan struktur dan gugus fungsi. Rumput spinifex diolah secara mekanis (menggunakan high-pressure homogenise) dan secara kimiawi (menggunakan larutan campuran asam nitrat dan natrium nitrit) untuk mengisolasi nanoselulosa dengan morfologi dan gugus fungsi yang berbeda. Larutan nanoselulosa yang telah diolah kemudian dikeringkan menggunakan mesin freeze dryer. Proses pengeringan menghasilkan rangka pembalut luka dalam bentuk bulat dengan ketebalan, massa jenis, dan porositas yang bervariasi. Spinifex yang diolah secara mekanis menghasilkan nanofiber dengan fleksibilitas dan aspect ratio yang tinggi. Pemrosesan kimiawi menghasilkan nanofiber dengan struktur crystalline yang lebih kaku dengan gugus fungsi karboksilat. Gugus fungsi ini memiliki sifat hemostatik dan bakterisidal yang diperlukan dalam aplikasi pembalut luka. Dihipotesiskan bahwa perbedaan morfologi sebagai hasil dari kedua metode pemrosesan akan menghasilkan performa penggumpalan darah yang berbeda dalam aplikasi sebagai pembalut luka.

ABSTRACT
Cellulose-based scaffolds are investigated due to their water-solubility, sustainability, safety and abundance as a raw material. Scaffolds constructed of nanocellulose may potentially be applied in wound dressings due to their versatility in structural form, light weight, and portable properties which are essential for this application. This work is a part of a multidisciplinary project, which aims to design a haemostatic wound dressing in cases of severe bleeding. This study focuses mainly on engineering the scaffold and optimising its structure and surface functionality. Spinifex pulp was treated both mechanically (using a high-pressure homogeniser) and chemically (using a mixture of nitric acid and sodium nitrite) to isolate nanocellulose of different morphologies and surface functionalities. Different concentrations of nanocellulose solution were then freeze-dried to form round-shaped scaffolds with different thickness, density and porosity. Mechanically-treated grass resulted in flexible and high aspect ratio nanofibres. Nanofibres obtained from the chemical method are rigid crystalline cellulose nanofibres. Chemically treating the fibres also changed the surface chemistry from hydroxyl to carboxyl groups. These functional groups exhibit haemostatic and bactericidal properties, which is crucial in a wound dressing design. It is hypothesised that the morphologies attained from the two methods may potentially lead to different blood clotting attributes when applied as a haemostatic wound dressing."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Savvyana Saputra
"Latar belakang: Terapi regenerasi jaringan periodontal dengan rekayasa jaringan dapat menjadi alternatif dalam rekonstruksi jaringan periodontal. Bioaktivitas yang baik menjadi salah satu syarat penting untuk scaffold dalam mendukung regenerasi jaringan. Nano-hidroksiapatit telah banyak digunakan karena memiliki struktur kimiawi yang sama dengan tulang alami, namun memiliki porusitas yang rendah dan biodegradibilitas yang lambat sehingga kombinasi dengan Gelatin dapat meningkatkan regenerasi jaringan periodontal. Tujuan: Mengevaluasi morfologi permukaan, komposisi kalsium-fosfor dan daya serap serbuk nanohidroksiapatit dan pasta nanohidroksiapatit/gelatin variasi 60:40 dan 65:35 dengan perendaman dalam larutan simulated body fluid selama 24 jam, 48 jam, 7 hari dan 14 hari. Metode: Pembuatan serbuk nHA dan pasta nHAG di BRIN. Serbuk nHA dan pasta nHAG variasi 60:40 dan 65:35 direndam dalam larutan SBF selama 24 jam, 48 jam, 7 hari dan 14 hari. Pengujian SEM EDS dan uji swelling dilakukan pada setiap periode waktu perendaman. Hasil: Uji SEM menunjukkan perbedaan morfologi permukaan yang bermakna pada perendaman 24 jam, 48 jam, 7 hari dan 14 hari (p < 0,05). Uji EDS menunjukkan perbedaan komposisi kalsium dan fosfor serta peningkatan rasio Ca/P pada periode waktu perendaman paling tinggi pada pasta nHAG 65:35. Uji swelling menunjukkan serbuk nHA dan pasta nHAG variasi 60:40 dan 65:35 memiliki daya serap yang berbeda tiap periode waktu perendaman. Kesimpulan: Pasta nHAG 65:35 memiliki sifat optimal sebagai scaffold dengan karakteristik morfologi permukaan yang kondusif bagi pertumbuhan sel di dalamnya, dan memiliki rasio kalsium dan fosfor yang tinggi serta daya serap yang optimal.

Background: Tissue engineering in periodontal tissue regeneration can be an alternative in periodontal tissue reconstruction. Bioactivity such as appropriate sizes, surface morphology and porosity required in scaffold in periodontal regenerative therapy. Nanohydroxyapatite is commonly used in tissue engineering to its similar chemical structure to human bone, but tend to has low porosity and slow biodegradability. Therefore, combination with gelatine can improve periodontal regeneration. Objective: Evaluate the surface morphology, calcium-phosphorus composition and water absorption of nanohydroxyapatite powder and nanohydroxyapatite/gelatine 60:40 and 65:35 paste by immersion in simulated body fluid solution for 24 hours, 48 hours, 7 days, and 14 days. Methods: Manufacture of nHA powder and nHAG paste in BRIN. Powder of nHA and nHAG 60:40 and 65:35 paste were soaked in SBF solution for 24 hours, 48 hours, 7 days, and 14 days. Morphology surface and calcium-phosphorus composition were carried out with SEM EDS test and water absorption was carried out with swelling test. Results: SEM test showed differences in surface morphology at 24 hours, 48 hours, 7 days and 14 days (p < 0,05). EDS test showed nHAG 65:35 has the highest calcium and phosphorus composition and Ca/P Ratio in soaking periods. Swelling test showed nHA powders and nHAG pastes had different absorbencies in all soaking period. Conclusion: nHAG 65:35 paste has optimal properties as a scaffold with optimal surface morphology, high Ca/P ratio and optimal absorption."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi HA/TCP/Kitosan sebagai scaffold rekayasa jaringan tulang. Potensi scaffold dianalisis melalui identifikasi gen osteogenik ALP yang terdapat pada sampel cDNA hasil biopsi tulang 3 subjek Macaque nemestrina. Sampel cDNA dari masing-masing Macaque terdiri dari kelompok kontrol dan perlakuan kombinasi scaffold, yaitu HA/TCP70:30 (Macaque pertama), HA/TCP50:50 (Macaque kedua), dan HA/TCP/Kitosan (Macaque ketiga). Sampel cDNA dilakukan uji secara kuantitatif menggunakan Real-Time PCR dan semi-kuantitatif dengan analisis gel doc hasil uji elektroforesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada ekspresi gen ALP antar kelompok perlakuan setelah 2 minggu, namun pada kelompok perlakuan HA/TCP/Kitosan paling tinggi setelah 4 minggu, This study examines potential of HA/TCP/Chitosan as bone tissue engineering scaffold. The potential of scaffold was analyzed by identifying ALP osteogenic gene in cDNA samples from 3 Macaque nemestrina bone biopsy. cDNA samples from each Macaque consist of control group and scaffold treated group, which was treated with HA/TCP70:30 (first Macaque), HA/TCP50:50 (second Macaque), and HA/TCP/Chitosan (third Macaque). cDNA samples was measured quantitively with Real-Time PCR and semi-quantitively by gel doc analysis of electrophoresis. The result shows that there were no significant differences in ALP gene expression between treatment groups after 2 weeks, but in HA/TCP/Chitosan treatment group is the highest after 4 weeks.]"
[, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radifan Abrar Tahrizi
"Fused depositiom modeling (FDM) menawarkan keuntungan unik menuju manufaktur fleksibel, yang dapat digunakan untuk membuat scaffold dengan geometris kompleks dan struktur internal yang berpori. Untuk meningkatkan kinerja biologis printedscaffold, sangat penting untuk menentukan biomaterial yang sesuai dan sifat mekanisnya yang terikat. Sifat mekanik memiliki peran penting dalam menentukan kinerja scaffold medis, sehingga mempengaruhi kinerja produk medis rekayasa jaringan. Akibatnya, pengaruh parameter printing pada berbagai jenis biopolimer yang berbeda untuk pembuatan scaffold masih bervariasi dan memerlukan pendalaman lebih lanjut. Penelitian yang diusulkan bertujuan untuk mempelajari pengaruh dan kelayakan parameter printing 3D dalam meningkatkan sifat mekanik, sekaligus memahami faktor biologis perancah TEMP (Tissue Engineered Medical Product) berdasarkan bahan biopolimer yang berbeda. Tujuannya adalah langkah awal menuju pemanfaatan pendekatan baru dalam pembuatan TEMP dengan cara yang lebih canggih melalui penggunaan teknik 3D pemodelan deposisi fusi. Penelitian dilakukan dengan membandingkan berbagai kinerja mekanik dan aspek biologis yang sesuai antara ABS (acrylonitrile butadiene styrene) dengan PLA (poly-lactic acid).

Fused deposition modeling (FDM) offers unique advantages for flexible manufacturing, which can be employed to fabricate scaffolds with complex shapes and internal porous structures. To improve the biological performance of printed scaffolds, it is crucial to determine suitable biomaterials and their mechanical attached properties. Mechanical properties have a significant role in establishing the functionality of a medical scaffold, thus affecting the performance of the tissue-engineered medical product. Consequently, the influence of printing parameters in different biopolymer for scaffold manufacturing still varies and require further investigation. The proposed research aims to study the influence and feasibility of 3D printing parameters in improving mechanical properties, while also understanding biological factors of TEMP (Tissue Engineered Medical Product) scaffold based on different biopolymer materials. The aim is an initial step toward utilizing a novel approach in manufacturing TEMP in a more sophisticated manner through employing the fused deposition modeling 3D technique. Research is conducted by comparing various mechanical performances and the corresponding"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Pragiwaksana
"[Sel punca mesenkim (MSC) dan sel punca pluripoten terinduksi (iPSC) telah dilaporkan mampu berdiferensiasi menjadi hepatosit secara in vitro dengan berbagai tingkat maturasi hepatosit. Sebuah metode sederhana untuk proses deselulerisasi perancah hati telah dikembangkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi diferensiasi hepatosit dari iPSC dibandingkan dengan MSC dalam perancah hati yang dideselularisasi. Langkah pada penelitian ini adalah mengkultur iPSC dan MSC, mendeselularisasi hati kelinci, menyemai kultur sel ke dalam perancah, dan mendiferensiasikan menjadi hepatosit selama 21 hari dengan protokol Blackford yang dimodifikasi. Pemeriksaan dilakukan dengan pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE), Masson Trichrome (MT), imunohistokimia (IHK) albumin dan cytochrome 3A4 (CYP3A4). Ekspresi gen albumin, cytochrome P450 (CYP450), dan cytokeratin-19 (CK-19) dianalisis menggunakan qRT-PCR. Pemeriksaan scanning electron microscope (SEM) dan immunofluorescence (IF) marker hepatocyte nuclear factor 4 alpha (HNF4-α) dan CCAAT/enhancer-binding protein alpha (CEBPA) dilakukan. Diferensiasi hepatosit dari iPSC dalam perancah hati yang dideselulerisasi dibandingkan dengan diferensiasi hepatosit dari MSC dalam perancah hati yang dideselulerisasi menunjukkan pembentukan sel tunggal dan kapasitas adhesi pada perancah yang lebih sedikit, dan penurunan tren ekspresi albumin dan CYP450 yang lebih rendah. Jumlah penyemaian sel awal yang lebih rendah menyebabkan hanya beberapa iPSC menempel pada bagian-bagian tertentu dari perancah hati yang dideselularisasi. Injeksi jarum suntik manual untuk reselulerisasi yang tidak merata menciptakan pola pembentukan sel tunggal oleh hepatosit dari diferensiasi iPSC di perancah hati yang dideselulerisasi. Hepatosit dari diferensiasi MSC memiliki kapasitas adhesi lebih tinggi ke perancah hati yang dideselulerisasi yang mengarah pada peningkatan tren ekspresi albumin dan CYP450. Penurunan ekspresi gen CK-19 lebih banyak terjadi pada diferensiasi hepatosit dari iPSC. Hasil tersebut dikonfirmasi oleh adanya sinyal positif protein HNF4-α dan CEBPA dengan pemeriksaan IF yang menunjukkan hepatosit yang dewasa. Kesimpulan dari penelitian ini adalah diferensiasi hepatosit dari iPSC pada perancah hati yang dideselularisasi lebih dewasa dengan adhesi sel-matriks ekstraseluler lebih rendah, distribusi sel spasial saling berjauhan, dan ekspresi albumin dan CYP450 lebih rendah dibandingkan dengan diferensiasi hepatosit dari MSC pada perancah hati yang dideselularisasi.

Mesenchymal stem cells (MSC) and induced pluripotent stem cells (iPSC) have been reported able to differentiate to hepatocyte in vitro with varying degree of hepatocyte maturation. A simple method to decellularized liver scaffold has been established by Faculty of medicine Universitas Indonesia. This study aims to evaluate hepatocyte differentiation from iPSCs compared to MSCs in decellularized liver scaffold. iPSCs and MSCs were cultured, rabbit liver were decellularized, cell cultures were seeded into the scaffold, and differentiated into hepatocytes for 21 days with modified Blackford protocol. Haematoxylin-Eosin (HE), Masson Trichrome (MT), immunohistochemistry (IHC) albumin and CYP3A4 was performed. Expression of albumin, cytochrome P450 (CYP450) and cytokeratin-19 (CK-19) genes were analyzed using qRT-PCR. Scanning electron microscope (SEM) and immunofluorescence (IF) examination of hepatocyte nuclear factor 4 alpha (HNF4-α) and CCAAT/enhancer-binding protein alpha (CEBPA) marker was performed. Hepatocyte differentiated iPSCs compared with hepatocyte differentiated MSCs in decellularized liver scaffold single–cell–formation and lower adhesion capacity in scaffold, and decrease trends of albumin and CYP450 expression. Lower initial seeding cell number causes only a few iPSCs to attach to certain parts of decellularized liver scaffold. Manual syringe injection for recellularization abruptly and unevenly create pattern of single–cell–formation by hepatocyte differentiated iPSCs in the decellularized liver scaffold. Hepatocyte differentiated MSCs have higher adhesion capacity to decellularized liver scaffold that lead to increase trends of albumin and CYP450 expression. CK-19 expression gene diminished more prominent in hepatocyte differentiated iPSCs. These results were confirmed by the presence of HNF4-α and CEBPA positive signal protein with IF examination, showing mature hepatocyte.The conclusion of this study is hepatocyte differentiated iPSCs in decellularized liver scaffold differentiation is more mature with lower cell-extracelullar matrix adhesion, spatial cell distribution far from each other, and lower albumin and CYP450 expression than hepatocyte differentiatedMSCs in decellularized liver scaffold.;

“Speak up” merupakan suatu fenomena sosial di mana penyintas menceritakan viktimisasi kekerasan seksual yang dialami melalui media sosial. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan dualitas reaksi sosial informal dalam fenomena speak up, yakni reaksi yang mendukung sebagai bentuk keadilan alternatif dan reaksi yang tidak mendukung sebagai bentuk reviktimisasi terhadap penyintas, serta hubungannya dengan kepercayaan terhadap budaya perkosaan. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan analisis isi kualitatif pada utas tweet @RistyRianda. Hasil analisis menunjukkan bahwa reaksi yang mendukung penyintas berupa afirmasi dan validasi, rekognisi, membongkar mitos perkosaan, serta adanya penyintas lain yang terdorong untuk speak up atas dasar solidaritas. Selain memberi keadilan bagi individu penyintas, speak up di Twitter juga menumbuhkan kepulihan kolektif bagi para penyintas kekerasan seksual. Sedangkan reaksi yang tidak mendukung adalah tindakan menyalahkan penyintas (victim blaming), menyepelekan dan mempertanyakan pengalaman kekerasan seksual penyintas, membenarkan dan mendukung pelaku kekerasan seksual. Reaksi mendukung hampir semua diberikan oleh perempuan, sebaliknya, reaksi tidak mendukug hampir semua diberikan oleh laki-laki. Reaksi tidak mendukung adalah bentuk reviktimisasi yang diakibatkan oleh mengakarnya kepercayaan terhadap mitos perkosaan dan budaya perkosaan dalam masyarakat patriarkal.

 


“Speak up” is a social phenomenon where survivors share their victimization of sexual violence through social media. This writing aims to explain the duality of informal social reactions in the speak up phenomenon, namely supportive reactions as a form of alternative justice and unsupportive reactions as a form of revictimization of survivors, and its relationship with belief in rape culture. This paper performs a qualitative content analysis of the Twitter thread on @RistyRianda’s account, based on a radical feminism theory. The analysis results show that the supportive reactions are in the form of affirmation and validation, recognition, rape myth debunking, and the confession of other survivors who are encouraged to speak up on the basis of solidarity. In addition to providing justice for individuals, speak up can also foster collective healing for the survivors of sexual violence. Meanwhile, unsupportive reactions generally take the form of victim blaming, victim questioning, justifying and supporting the perpetrators of sexual violence. The supportive reactions are mostly given by women, on the contrary, the unsupportive reactions are mostly given by men. The unsupportive reaction is a form of revictimization, caused by the rooted belief in rape myth and rape culture in a patriarchal society.

 

;

“Speak up” merupakan suatu fenomena sosial di mana penyintas menceritakan viktimisasi kekerasan seksual yang dialami melalui media sosial. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan dualitas reaksi sosial informal dalam fenomena speak up, yakni reaksi yang mendukung sebagai bentuk keadilan alternatif dan reaksi yang tidak mendukung sebagai bentuk reviktimisasi terhadap penyintas, serta hubungannya dengan kepercayaan terhadap budaya perkosaan. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan analisis isi kualitatif pada utas tweet @RistyRianda. Hasil analisis menunjukkan bahwa reaksi yang mendukung penyintas berupa afirmasi dan validasi, rekognisi, membongkar mitos perkosaan, serta adanya penyintas lain yang terdorong untuk speak up atas dasar solidaritas. Selain memberi keadilan bagi individu penyintas, speak up di Twitter juga menumbuhkan kepulihan kolektif bagi para penyintas kekerasan seksual. Sedangkan reaksi yang tidak mendukung adalah tindakan menyalahkan penyintas (victim blaming), menyepelekan dan mempertanyakan pengalaman kekerasan seksual penyintas, membenarkan dan mendukung pelaku kekerasan seksual. Reaksi mendukung hampir semua diberikan oleh perempuan, sebaliknya, reaksi tidak mendukug hampir semua diberikan oleh laki-laki. Reaksi tidak mendukung adalah bentuk reviktimisasi yang diakibatkan oleh mengakarnya kepercayaan terhadap mitos perkosaan dan budaya perkosaan dalam masyarakat patriarkal.

 


“Speak up” is a social phenomenon where survivors share their victimization of sexual violence through social media. This writing aims to explain the duality of informal social reactions in the speak up phenomenon, namely supportive reactions as a form of alternative justice and unsupportive reactions as a form of revictimization of survivors, and its relationship with belief in rape culture. This paper performs a qualitative content analysis of the Twitter thread on @RistyRianda’s account, based on a radical feminism theory. The analysis results show that the supportive reactions are in the form of affirmation and validation, recognition, rape myth debunking, and the confession of other survivors who are encouraged to speak up on the basis of solidarity. In addition to providing justice for individuals, speak up can also foster collective healing for the survivors of sexual violence. Meanwhile, unsupportive reactions generally take the form of victim blaming, victim questioning, justifying and supporting the perpetrators of sexual violence. The supportive reactions are mostly given by women, on the contrary, the unsupportive reactions are mostly given by men. The unsupportive reaction is a form of revictimization, caused by the rooted belief in rape myth and rape culture in a patriarchal society.

 

,

“Speak up” merupakan suatu fenomena sosial di mana penyintas menceritakan viktimisasi kekerasan seksual yang dialami melalui media sosial. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan dualitas reaksi sosial informal dalam fenomena speak up, yakni reaksi yang mendukung sebagai bentuk keadilan alternatif dan reaksi yang tidak mendukung sebagai bentuk reviktimisasi terhadap penyintas, serta hubungannya dengan kepercayaan terhadap budaya perkosaan. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan analisis isi kualitatif pada utas tweet @RistyRianda. Hasil analisis menunjukkan bahwa reaksi yang mendukung penyintas berupa afirmasi dan validasi, rekognisi, membongkar mitos perkosaan, serta adanya penyintas lain yang terdorong untuk speak up atas dasar solidaritas. Selain memberi keadilan bagi individu penyintas, speak up di Twitter juga menumbuhkan kepulihan kolektif bagi para penyintas kekerasan seksual. Sedangkan reaksi yang tidak mendukung adalah tindakan menyalahkan penyintas (victim blaming), menyepelekan dan mempertanyakan pengalaman kekerasan seksual penyintas, membenarkan dan mendukung pelaku kekerasan seksual. Reaksi mendukung hampir semua diberikan oleh perempuan, sebaliknya, reaksi tidak mendukug hampir semua diberikan oleh laki-laki. Reaksi tidak mendukung adalah bentuk reviktimisasi yang diakibatkan oleh mengakarnya kepercayaan terhadap mitos perkosaan dan budaya perkosaan dalam masyarakat patriarkal.

 


“Speak up” is a social phenomenon where survivors share their victimization of sexual violence through social media. This writing aims to explain the duality of informal social reactions in the speak up phenomenon, namely supportive reactions as a form of alternative justice and unsupportive reactions as a form of revictimization of survivors, and its relationship with belief in rape culture. This paper performs a qualitative content analysis of the Twitter thread on @RistyRianda’s account, based on a radical feminism theory. The analysis results show that the supportive reactions are in the form of affirmation and validation, recognition, rape myth debunking, and the confession of other survivors who are encouraged to speak up on the basis of solidarity. In addition to providing justice for individuals, speak up can also foster collective healing for the survivors of sexual violence. Meanwhile, unsupportive reactions generally take the form of victim blaming, victim questioning, justifying and supporting the perpetrators of sexual violence. The supportive reactions are mostly given by women, on the contrary, the unsupportive reactions are mostly given by men. The unsupportive reaction is a form of revictimization, caused by the rooted belief in rape myth and rape culture in a patriarchal society.

 

]
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, [2021;;, ]
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library