Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Selly Riawanti
"Disertasi ini mengkaji urbanisme pada komuniti penduduk asli pinggiran kota dalam menghadapi proses pengkotaan yang berlangsung di sekelilingnya, dengan kasus kampung Cipaheut Kaler, di pinggiran-dalam Utara kota Bandung. Komuniti ini semula adalah komuniti petani pedesaan. Kajian bertujuan untuk memahami bagaimana latar belakang sebagai komuniti petani pedesaan berperanan dalam urbanisme orang Cipaheut Kaler ini, dan mengapa serta bagaimana terbentuk keragaman cara hidup di kalangan penduduk asli yang berasal dari leluhur yang sama. Studi ini menggunakan kerangka teori praktek, yang melihat tingkah laku sebagai produk dari kecondongan-kecondongan yang relatif langgeng dan dihasilkan oleh struktur yang membentuk suatu kondisi kehidupan materi yang khas, dan menjadi prinsip bagi tindakan dan gagasan.
Penelitian yang terfokus pada para agen penghasil praktek ini menggunakan metode kualitatif. Satuan analisisnya adalah keluarga-keluarga penduduk asli Cipaheut Kaler. Pengumpulan data melalui pengamatan dan wawancara, dibantu dengan survey bersampel purposif untuk memperoleh gambaran umum tentang penduduk kampung ini.
Temuan penelitian memperlihatkan bahwa cara hidup penduduk asli (pituin) Cipaheut Kaler merupakan hasil dari interaksi antara kekuatan-kekuatan kota dan praktek para pituin yang distrukturi oleh habitus petani pedesaan, dalam konteks tempat dan waktu yang spesifik. Lokasi kampung ini di daerah yang dimaknai khusus oleh tradisi perkotaan yang sejarahnya berpangkal pada masa kolonial Hindia Belanda, yakni sebagai daerah rekreasi, ternyata merupakan prakondisi yang menentukan corak urbanisasi, dan karenanya juga urbanisme penduduk asli di sini.
Kekuatan kota telah mengubah inti kehidupan masyarakat petani pedesaan, yaitu pranata ekonominya, dari yang homogen, yakni pertanian yang tergantung kepada tanah dan serba mencukupi kebutuhan sendiri, ke mata pencaharian perkotaan yang heterogen dan tergantung kepada pasar. Ekspansi perkotaan di sini tidak agresif dan berskala kecil, berkat letaknya yang bukan berada di jalur penghubung antarpusat perkotaan. Hal ini memungkinkan para pituin menyesuaikan diri secara relatif wajar terhadap perubahanperubahan yang berlangsung di sekitarnya, dan mencari celah-celah pengganti sumber penghidupan bukan-pertanian. Orang kota yang memasuki lingkungan dan kehidupan mereka disambut dengan baik, dijadikan sumber daya dan modal sosial untuk memasuki pasar peluang di lingkungan yang lebih luas.
Perubahan pemilikan tanah telah menciptakan kontras tajam di antara pituin yang berhasil dan yang gagal mempertahankan atau mengembangkan kemampuan materinya. Kontras di antara sesama pituin yang saling berkerabat, menimbulkan kepahitan dan pergunjingan. Kontras dengan orang kota kaya tidak menimbulkan iri hati, karena dianggap sebagai kewajaran, sebagai kelanjutan dari hubungan asimetri kota-desa yang dikenal dalam pola hubungan majikan dan pelayan.
Proses pengkotaan di sini tidak menimbulkan kesulitan hidup secara ekstrim, namun meminggirkan mereka yang kurang mampu ke daerah-daerah yang lebih jauh di pinggir kota."
2002
D283
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulyani Hidayah
"Manusia telah membuka hutan tropis untuk bercocok tanam paling tidak sejak 4.000 tahun yang lalu, bahkan mungkin sejak waktu yang lebih lama lagi. Diperkirakan perladangan berpindah adalah cara bertani yang paling tua sebagai bagian dari adaptasi manusia di hutan tropis ini (Ehret, 1982; Hutterer, 1983; Meggers 1973 Sponsel. 1986). Diperkirakan pula, bahwa sistem pertanian berladang berpindah sampai sekarang masih dipraktekkan oleh lebih dari 250 juta orang di seluruh dunia (Moran 1982:267; Dove, 1988:2).
Kawasan pertanian yang diolah dengan teknik menebang dan membakar hutan dan berpindah jika tanahnya tidak subur lagi paling tidak mencakup 30 persen dari luas lahan bumi yang bisa ditanami, terutama di lingkungan hutan tropis (Moran 1982:48,267; Conklin 1963). Di Indonesia sendiri luas wilayah perladangan diperkirakan sekitar 85 juta hektar dengan jumlah peladang sampai dengan 20 juta jiwa. Praktek perladangan tersebut masih banyak ditemukan di luar pulau Jawa. Di Jawa sendiri kegiatan peladangan berpindah masih ditemui pada abad kesembilanbelas, dan sekarang cara perladangan seperti itu hanya terdapat di Banten Selatan, tepatnya di lingkungan masyarakat Baduy (Iskandar, 1992:viii-ins).
Sampai dengan satu dekade yang lalu perhatian dan pandangan orang Barat terhadap sistem pertanian di hutan tropis cenderung meremehkan. Menurut Netting (19B6) hal ini disebahkan oleh pandangan sepihak yang sangat terpengaruh oleh model pertanian di Barat. Orang-orang Barat hanya mengenal campuran kegiatan bercocoktanam bahan makanan dengan pemeliharaan hewan ternak. Tanaman bahan makanan seperti gandum ditanam satu atau dua kali setahun; ternak dipelihara untuk memperoleh susunya dan dagingnya atau dimanfaatkan tenaganya untuk menarik dan membawa barang; dan makanan ternak disediakan di kandangnya jika pengembalaan alamiah tidak mungkin dilakukan. Dalam sistem ini lahan diolah dan digunakan tidak sepanjang tahun, sedangkan kesuburannya dijaga dengan menggunakan pupuk dan pergantian tanaman. Lahan pertanian dan hewan ternak dimiliki secara pribadi, sedangkan hasilnya dijual ke pasar. Sebaliknya pertanian di wilayah tropis dianggap terbelakang, petaninya dianggap pemalas dan tidak tahu apa-apa; peralatan mereka ketinggalan zaman dan pertanian mereka sama sekali belum baik (Netting 1986:64).01
Menurut Netting pandangan meremehkan tersebut disertai pula oleh anggapan bahwa petani daerah tropis tidak bisa bekerja keras karena iklimnya meremehkan, bahwa mereka tidak mempunyai sistem kepercayaan (folk believe) yang tepat dan memberi dorongan agar mereka bekerja keras untuk mencapai hasil sebaik mungkin. Ada pula yang aggapan, bahwa lingkungan alam tropis yang kaya bahan makanan dan memiliki buah-buahan yang selalu siap untuk dipetik itu mengakibatkan penduduknya merasa tidak perlu memaksa diri bekerja keras. Pandangan-pandangan ini menganggap bawa cara-cara pertanian yang dikembangkan penduduk penghuni hutan tropis dapat merusak tanah dan pepohonan, sehingga akhirnya menyebabkan kesuburan alamiah menjadi rusak dan tidak bisa diperbaiki (Netting 1986:61).;31
Di Indonesia sendiri perhatian terhadap masalah perladangan berpindah sebenarnya bukan lagi suatu hal yang baru. Sejak zaman kolonial Belanda kegiatan berladang ini sudah dipandang sebagai salah satu faktor penentu perubahan kondisi hutan tropic (Dove 1985:xs.vi, 1981; King 1985a, 1965b; Brewer, 1985:163-188). pentingnya hutan sebagai salah satu sumber devisa menyebabkan para pelaksana pemerintahan kolonial yang kurang memiliki pengetahuan tentang keseimbangan lingkungan cenderung menganggap para peladang berpindah sebagai saingan dalam memanfaatkan hutan. Kesederhanaan hidup mereka sering pula dikambinghitamkan sebagai kebodohan yang merusak kekayaan hutan. Setelah Indonesia merdeka, pembangunan kehutanan sebagai subsistem pembangunan nasional telah mencatat kemajuan yang sangat cepat, namun pandangan terhadap kehidupan para peladang yang secara kesejarahan dan kebudayaan terkait erat dengan lingkungan hutan tersebut hampir tidak berubah. Di samping tidak adanya kepercayaan bahwa komunitas penghuni hutan dapat ikut memberikan sumbangan kepada perkembangan ekonomi nasional (Dove 1985:xxvii)."
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Routledge , 1997
306.76 KNO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
R. Bintarto
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989
307.74 BIN i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Halpern, Joel M.
Englewood Cliff: Prentice-Hall, 1967
301.35 HAL c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
R. Bintarto
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
307.74 BIN i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Honolulu: University of Hawaii Press, 1979
301.352 095 THR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
R. Bintarto
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983
307.72 BIN I
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fukutake, Tadashi
Tokyo: University of Tokyo Press, 1967
301.350 TAD a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Charlotta Hedberg
"This book seeks to unveil a set of dynamics that view rural areas as ?translocal? in the sense that they are ?changing? and ?inter connected?. Social transformations take place in rural areas as the result of intense exchanges between different people, settings and geographies. Accordingly, rural-urban but also rural-rural interrelations on international and national scales are strongly contributing to rural change.
The book is structured into two parts, which intertwine the dynamics of rural spaces. The first part, ?Linking nodes, people and networks connecting places?, is concerned with mobilities such as migration and commuting, and the establishment of national and global networks. The second part, ?international mobilities, a tension between scales?, analyses the dynamics of international migration and mobilities in rural areas."
Dordrecht, Netherlands: Springer, 2012
e20401256
eBooks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>