Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sardjono Jatiman
"Disertasi ini mengkaji secara sosiologis proses perubahan desa dan pemerintahan desa di Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat yang terjadi akibat diberlakukannya UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Upaya pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru, yang bersifat sentralistis dan top down oriented, memerlukan tatanan birokrasi dan kelembagaan sampai tingkat paling bawah yaitu desa. Dengan tatanan birokrasi dan kelembagaan sampai di tingkat desa maka pembangunan dapat direncanakan dikendalikan secara nasional. Untuk keperluan itu maka selama kurun waktu 25 tahun, yaitu kurun waktu Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama, di seluruh desa di Indonesia telah dibentuk dan dikembangkan sejumlah lembaga dan organisasi baru yang diharapkan mampu menjadi agent of development bagi masyarakat desa. Di samping pembentukan dan pengembangan berbagai lembaga baru yang berkaitan dengan pembangunan sektoral, Pemerintah Orde Baru berpendapat bahwa desa dan pemerintahan desa sebagai lembaga utama (basic institution) di pedesaan perlu diganti dengan bentuk dan sistem baru yang seragam untuk seluruh Indonesia. sistem Pemerintahan baru yang akan menggantikan sistem pemerintahan desa lama dituangkan dalam UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang berlaku pada tanggal 1 Desember 1979. Kalau berlakunya suatu undang-undang sebagai bagian dari hukum cukup melalui pemuatan dalam Lembaran Negara dan pengumuman melalui media masa, maka substansi sebuah undang-undang, sebagai institusi sosial atau lembaga sosial keberlakuannya memerlukan proses yang panjang yaitu proses pelembagaan. Proses inilah yang menjadi masalah pokok dalam disertasi ini, yaitu bagaimana pemerintah desa sebagai lembaga sosial (social institution) modern dan kompleks ditanamkan pada sistem sosial desa yang tradisional dan sederhana. Dari segi pemerintah bagaimana melembagakan pemerintahan desa dan dari segi masyarakat bagaimana desa mengadopsi lembaga baru tersebut menjadi bagian dari sistem sosialnya.
Puluhan ribu jumlah desa di Indonesia dengan keanekaragaman struktur wilayah serta sistem pemerintahannya menyebabkan proses pelembagaan pemerintah desa tidak sama. Bagi pemerintahan desa di Pulau Jawa dan Madura, yang sistemnya tidak berbeda prinsip dengan sistem yang terdapat dalam UU No. 5/1979, proses pelembagaan desa baru dan pemerintahannya tidak banyak menghadapi kesulitan. Di samping itu, tersedianya sumber daya manusia yang memadai sebagai pendukungnya, turut memberi saham dalam percepatan proses pelembagaan. Di luar pulau Jawa dan Madura, di mana sistem pemeritahan desa berdasarkan UU No. 5/1979 merupakan sistem yang berbeda dengan sistem pemerintahan desa lama, berbagai hambatan dan kendala muncul dalam proses pelembagaannya.
Studi ini mengkaji pelembagaan pemerintahan desa berdasarkan data empirik Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan Barat. Data dikumpulkan melalui serangkaian wawancara yang tidak terstruktur, baik secara pribadi maupun kelompok terhadap sejumlah informan. Informan terdiri dari pejabat pemerintah, baik pusat maupun daerah, mantan kepala kampung, kepala desa dan perangkatnya, tokoh masyarakat dan warga masyarakat biasa. Di samping data primer digunakan pula data sekunder yang berupa dokumen-dokumen dan laporan penelitian. Analisis dilakukan secara kualitatif untuk mendapatkan makna berbagai phenomena yang terjadi di desa Kabupaten Sambas. Perubahan pemerintahan desa akan dilihat dalam keutuhan sistem sosial melalui penelusuran gejala-gejala empirik yang dianalisis dan dijelaskan dalam kaitan dengan berbagai kegiatan dan penomena pembangunan.
Dari penelitian di desa di Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan Barat ditemukan bahwa :
- Tingkat keterbukaan masyarakat terhadap pengaruh luar berpengaruh terhadap tingkat terlembaganya pemerintahan desa. Desa pantai yang lebih terbuka terhadap pengaruh luar lebih cepat mengadopsi pemerintahan desa baru dibadingkan dengan desa lainnya.
- Derajat hubungan antara lembaga adat dan lembaga pemerintahan yang terdapat dalam sistem desa lama atau sistem pemerintahan kampung merupakan pula faktor yang berpengaruh terhadap proses pelembagaan pemerintahan desa. Pada desa di mana lembaga adat menyatu dengan lembaga pemerintahan desa, maka pelembagaan lebih sulit terjadi. Desa masyarakat Dayak, di mana hampir tidak ada pemisahan antara lembaga adat dan pemerintahan, pelembagaannya mengalami hambatan.
- Desa di dekat kota atau desa yang terjangkau oleh lembaga pendidikan lebih mudah mengadopsi pemerintahan desa baru. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga modern memerlukan basis sosial masyarakat dengan tingkat pendidikan atau tingkat pengetahuan tertentu.
- Keberadaan pemerintahan desa baru kurang mendapat dukungan atau legitimasi dari masyarakat karena pemerintah desa dan perangkat desa yang menjadi bagian dari birokrasi nasional maka cenderung berorientasi pada pemerintah atasan.
- Beban tugas dan tanggung jawab pemerintah desa yang melebihi kemampuannya, baik kemampuan sumber daya mausia maupun kemampuan dana, menyebabkan pemerintahan desa sulit menjalankan fungsinya. Pada saat ini desa di Kalimantan Barat pada umumnya telah kehilangan sumber penghasilannya yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan desa dan pemerintahan-nya. Berbagai undang-undang dan peraturan telah meniadakan hak ulayat yang menjadi sumber hak desa dalam memperoleh berbagai penghasilan yang memungkinkan pemerintahan desa menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
- Pelembagaan pemerintahan desa di Kabupaten Sambas Baru pada tingkat dikenal dan diakui keberadaannya, dan sedang dalam proses untuk menjadi bagian dari sistem sosialnya. Namun untuk sebagian terbesar desa-desa, terutama di daerah pedalaman, pemerintahan desa masih berada pada tahap awal pelembagaan, yaitu baru dalam proses dikenalkan.
- Hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri yang diberikan oleh UU No. 5/1979 kepada desa sulit dapat diwujudkan karena kurangnya sumber daya yang dimiliki desa dan banyaknya campur tangan instansi pemerintahan atasan terhadap desa."
1995
D157
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukhoriyah
"Pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan kebutuhan penggunaan lahan mengalami peningkatan. Hal ini menyebabkan adanya konversi lahan khususnya tanah pertanian menjadi non pertanian di Kota Depok dimana tahun 2000 luas lahan sawah mencapai 3.118 ha dan pada tahun 2011 seluas 819,42 ha. Berdasarkan RTRW tahun 2000-2010 dijelaskan bahwa kawasan pertanian yang ada tetap dipertahankan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai ekologi dan ekonomi lahan sawah di Kota Depok secara spasial, mengetahui potensi lahan sawah dalam kaitannya dengan penyusunan RTRW 2030 Kota Depok. Metode yang digunakan untuk mengetahui perubahan lahan sawah, mengetahui potensi nilai ekologi-ekonomi lahan sawah dan kaitannya dengan RTRW 2030. Untuk menghitung nilai ekologi-ekonomi dilakukan dengan scoring dan pembobotan. Variabel yang digunakan dalam menghitung nilai ekologi adalah analisis konservasi air (curah hujan, penggunaan lahan, dan kemampuan tekstur tanah liat), analisis sebaran titik banjir, dan analisis ruang terbuka hijau. Variabel yang digunakan untuk menghitung nilai ekonomi adalah hasil produktivitas, lahan yang terkonversi, nilai produksi yang hilang, dan harga lahan berdasarkan NJOP. Hasil perubahan lahan sawah dari tahun 2000-2010 adalah sebesar 2.298,79 ha (11,49%).
Hasil analisis nilai ekologi-ekonomi lahan sawah diperoleh 3 kelas yaitu tinggi, sedang dan rendah. Kedua nilai tersebut menghasilkan potensi pada lahan sawah yaitu wilayah dengan nilai ekologi tinggi (luas lahan sawah 657,29 ha, mampu menyerap CO2 114.878,64 tonCO2/ha/tahun), nilai ekologi sedang (luas lahan sawah 145,41 ha, mampu menyerap CO2 25.165,73 tonCO2/ha/tahun), nilai ekologi rendah (luas lahan sawah 156,52 ha, mampu menyerap CO2 3.518,02 tonCO2/ha/tahun). Sedangkan nilai ekonomi tinggi (luas lahan sawah 6,7 ha), nilai ekonomi sedang (luas lahan sawah 62,39 ha), dan nilai ekonomi rendah (luas lahan sawah 750,33 ha). Hasil evaluasi RTRW 2030 terhadap perubahan lahan sawah tahun 2000-2011di fokuskan untuk kawasan terbangun, sedangkan peruntukan untuk lahan pertanian hanya seluas 607,35 ha sehingga harus dikaji ulang raperda tersebut. Lahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi harus dipertahankan, karena fungsinya dalam jangkan panjang sebagai keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem dengan membuat kebijakan yang tegas dengan membatasi perijinan pembangunan terutama pada lahan-lahan yang produktif, membatasi arus urbanisasi ke Kota Depok, dan meninjau kembali hasil Raperda RTRW 2030 tentang peruntukan lahan pertanian sehingga fungsi kawasan lindung dan budidaya dapat terpenuhi.

High growth population cause to increased needs land use. This cause to the conversion of agricultural land, especially non-agricultural land in the Depok city where paddy fields in 2000 reached 3118 ha and in 2011 an area of 819.42 ha. Based on the years 2000-2010 of regional spatial planning (RTRW) explained that the existing agricultural areas will be retained. This study aims to determine the ecological and economic value of paddy fields in spatially Depok City, knowing the potential of paddy fields in relation to the preparation spatial of the 2030 Depok city. The method used to determine changes in the paddy field, knowing the potential economic value of wetland ecology and its relation to RTRW 2030. To calculate the ecological and economic value is done by scoring and weighting. Variables used in calculating the value of conservation ecology is the analysis of water (rainfall, land use, and the ability of clay texture), analysis of the distribution of flood point, and analysis of green open space. Variables used to calculate the economic value is the result of productivity, land converted, the value of lost production, and land prices based on the Tax Object Sale Value.
The results of paddy fields changes from 2000-2010 year amounted to 2298.79 ha (11.49%). The results of the analysis of ecological and economic value of paddy fields obtained three classes, namely high, medium and low. Both of these values produce potential in the paddy fields areas with high ecological value (657.29 ha of paddy fields area, able to absorb CO2 tonCO2/ha/tahun 114,878.64), the ecological value was (145.41 ha of paddy fields area, able to absorb 25165.73 tonCO2/ha/tahun CO2), a low ecological value (156.52 ha of paddy fields, able to absorb CO2 tonCO2/ha/tahun 3518.02). While high economic value (6.7 ha of paddy fields ), economic value is (62.39 ha of paddy fields), and low economic value (750.33 ha of paddy fields ). Spatial evaluation results 2030 to changes in the paddy field in 2000-2011in focus for the wake, while the allocation to the agricultural land area of 607.35 ha only and should be reexamined the draft legislation. Land which has high economic value should be maintained, because its function in the outreach and sustainability long as the balance of the ecosystem by making a firm policy to limit the licensing of development, especially on lands that are productive, limiting urbanization to the Depok City, and review the draft results RTRW 2030 designation of agricultural lands so that the function of protected areas and aquaculture can be met."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31806
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library