Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Medina Azra Ramadhani
Abstrak :
Mipit pare adalah ritual dalam tradisi pertanian Sunda yang ditujukan sebagai bentuk penghormatan kepada Nyi Pohaci atau dewi padi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Karangpakuan, Kabupaten Sumedang. Saat ini, praktek ritual mipit pare mengalami tantangan di tengah perkembangan agama Islam yang terjadi di Desa Karangpakuan. Praktek ritual yang kental akan pengaruh kepercayaan lokal ini tidak jarang mendapat pertentangan dari masyarakat karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam yang kini dianut mayoritas warga. Di sisi lain, para pelaku ritual yang juga merupakan penganut agama Islam tetap melaksanakan ritual mipit pare meskipun mendapatkan label musyrik dari masyarakat. Skripsi ini akan menjelaskan bagaimana masyarakat Desa Karangpakuan melaksanakan ritual mipit pare di tengah perkembangan agama Islam yang terjadi di desa mereka. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi partisipasi dan wawancara mendalam dengan para pelaku ritual, tokoh desa dan masyarakat. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ritual mipit pare tetap dilaksanakan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai agama Islam dan kepercayaan lokal sehingga permasalahan pro dan kontra dapat diatasi perlahan-lahan ......Mipit pare is a ritual in Sundanese agricultural tradition intended as a form of honour for Nyi Pohaci or known as the rice goddess practiced by the people of Desa Karangpakuan. Currently, the practice of the mipit pare ritual is experiencing challenges in the midst of the development of Islam that is taking place in Desa Karangpakuan. Ritual practice that is thick with the influence of local beliefs often get opposition from the society because they are considered not in accordance with Islamic teachings that are now practiced by the majority of the society. On the other hand, ritual actors who are also followers of the Islamic religion continue to carry out the ritual of mipit pare even though they are labeled as polytheistic from the society. This thesis will explain how the people of Desa Karangpakuan carry out the ritual of mipit pare in the midst of the development of Islam in their village. This thesis uses qualitative research methods with participatory observation, literature study and indepth interviews with ritual actors and village leaders. The results of this study indicate that the mipit pare ritual is implemented by maintaining the values of Islam and local beliefs so that the pros and cons problems can be resolved slowly.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilla Nailur Rohmah
Abstrak :
Puncak Songolikur, salah satu bukit yang disakralkan dan menjadi tempat ritual bagi masyarakat Tengger brang wetan mengalami perubahan makna dan fungsi sosial akibat perubahan struktur sosial dan budaya pada masyarakat sekitar terutama karena masuknya agama resmi dari pemerintah di masa orde baru, pembaruan Islam, dan pembangunan wisata di tempat ini. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pemaknaan masyarakat Tengger atas Puncak Songolikur sebagai ruang spiritual berkaitan dengan memori kultural tentang leluhur, yang berakar pada agama nenek moyang yaitu Budo Tengger. Meskipun berasal dari tradisi keagamaan, pengetahuan dan ingatan tentang leluhur berkembang menjadi memori kultural yang direkonstruksi dan dikontekstualisasikan dengan situasi sosial kultural saat ini, dan tidak melekat pada agama itu sendiri Sejak tahun 2009 sampai 2013, Puncak Songolikur dipolitisasi menjadi sebuah ikon wisata budaya yang diinisiasi oleh aktor-aktor lokal untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensi dan tradisi mereka. Pada perkembangannya setelah 2013, dominasi pemerintah dalam pengelolaan wisata telah mengubah arah pembangunan wisata dan menjadikan tempat ini sebagai wisata yang menawarkan pengalaman menikmati pemandangan dan eksplorasi eksotisme alam semata. Respon masyarakat lokal terhadap narasi wisata yang berkembang saat ini telah menjadi suatu bentuk penciptaan ruang otonom dan juga sebagai bentuk negosiasi masyarakat sekitar terhadap pariwisata yang digerakkan oleh pemerintah. Penelitian ini menunjukkan bahwa irisan antara keragaman memori kultural masyarakat atas leluhur Tengger justru menjadi bentuk kontrol terhadap ruang pariwisata. Hal tersebut menjadikan keberadaan ruang wisata berkoeksistensi dengan ruang spiritual Puncak Songolikur, meskipun dalam koeksistensi tersebut tetap terdapat hubungan saling mempengaruhi, berkontestasi, dan bernegosiasi antar aktor yang ada.
Puncak Songolikur has always been considered as one of the sacred hills in Mount Bromo and has been used as ritual places for Tengger community members. The changes in the social and cultural structure due to the enforcement of official religions during the New Order Era, Islamic Renewal in the year 2000 and the development of tourism in the area has ignited dynamic meaning-making processes in relation to the spiritual practices in Puncak Songolikur. These dynamic processes have been more complex since this place is transformed into a site of tourist destination. How Tengger community members construct meanings over the spiritual space is basically related to their cultural memory of the ancestors, which is rooted in the religion of the ancestors, namely Budo Tengger. Even though the basis had been on their religious traditions, knowledge and memories of ancestors have turned into cultural memory that can be reconstructed and contextualized in accordance with the present social and cultural environment. It is not embedded in the religion itself. From 2009 to 2013, Puncak Songolikur was politicized as the icon of cultural tourism by local actors in order to legitimate their existence and Tenggers tradition. However, since 2013, the domination of regional government has transformed the orientation of tourist development and turned it into a destination that only offers experience of exploring natural exoticism. The local community’s responses to the tourism narrative developing present time have created autonomous spaces that control and negotiate the tourism discourse. This research shows that the intersections among the heterogeneity of cultural memory in the local community paradoxically create control of these tourist space. All in all, spaces of tourism coexist with the spiritual spaces of Puncak Songolikur. However, the coexistence ambiguously exemplifies the forms of negotiation and contestation among the actors.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T53753
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M Misbahul Amri
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini bertujuan untuk memahami arti ritual ?Mungel? wayang Mbah Gandrung, pemertahanan, dan pewarisannya. Ritual tersebut berpusat di Desa Pagung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Untuk itu, dilakukanlah penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi dalam perspektif ?drama sosial?. Temuan penelitian menunjukkan bahwa ?Mungel? adalah ?gelaran? ritual bukan ?tontonan?. Oleh sebab itu, ?Mungel? menggunakan ?bingkai spiritual? untuk ?melaju?. ?Bingkai? tersebut berkembang menjadi ?sosial-spiritual? ketika ?gelaran? dilaksanakan untuk rangkaian ?Grebeg Suro?. Meskipun demikian, ?Mungel? masih dinilai sakral dan ?mandi? oleh sebagian pendukungnya, tetapi, oleh yang lain, dinilai sebagai tindak budaya kreatif dengan meritualkannya. Meskipun demikian, ia layak diangkat sebagai salah satu identitas budaya daerah dan tempatnya dijadikan museum hidup oleh kedua kelompok tersebut, sehingga perlu dipertahankan dan diwariskan
ABSTRACT
This dissertation aimed at understanding the meanings of wayang Mbah Gandrung?s ?Mungel? ritual, its safeguarding and its transmission. The ritual center is Desa Pagung, Sub-Disctrict of Semen, Kediri District. For this purpose, ethnographic research has been carried out. Assessed from the persective of ?social drama?, this research has found out that ?Mungel? is a ritual, not an entertaintment. Therefore, it uses ?spritiual frame? to ?flow?. However, it changes into ?social?spiritual frame? when ?Mungel? takes place in ?Grebeg Suro? ceremony. Still, people consider it either as sacred and efficaious or creative act retualized. However, it is worth taking it as one of the regional cultural identities and the pavilion as an indigenous museum need preserving as well as transmitting.
2016
D2182
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadar, Daniel Z., 1979, (author
Cambridge : Cambridge University Press, 2017
306.44 KAD p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library