Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muharsjah
"Kabupaten Dati II Serang mempunyai luas sawah 63339.32 ha atau 33,56%
dari luas wilayah kabupaten dengan tingkat kesuburan tanah relatif dari sedang
sampai baik. Keadaan ini ditunjang dengan posisinya yang dekat dengan lbu Kota
Negara sehingga dapat memudahkan pemasaran hasil - hasil pertanian baik di
wilayah sendiri maupun ke luar wilayah Kabupaten Dati II Serang. Namun jika
dibandingkan luas tanah sawah dengan jumlah petani yang memiliki tanah sawah di
Kabupaten Dati II Serang, rata- rata petani di kabupaten tersebut tergolong petani
gurem.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dikemukakan
sebagaiberikut:
1. Bagaimanakah taraf hidup petani di Kabupaten Serang ?
2. Apakah faktor pengairan, frekwensi kunjungan penyuluhan dan keadaan fisik
mempengaruhi taraf hidup petani ?
Batasan - batasan dalam penulisan ini adalah :
- Taraf hidup petani adalah tingkat kemampuan petani untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup minimum dari penghasilannya mengolah tanah sawah.
- Petani adalah orang yang mata pencaharian utamanya bekerja dengan cara
menanam atau memelihara tanaman pangan di sawah ( padi dan palawija) dengan
sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual atau memperoleh pendapatan atau
keuntungan atas resiko sendiri dan bukan sebagai buruh atau kuasa usaha
(BPS). Dalam penulisan penelitian ini yang dimaksud petani adalah khusus
hanyalah petani pemilik, petani penggarap dan buruh tani tidak dimasukkan ke
dalam tulisan ini.
Sawah adalah tanah yang berpematang,sering digenangi air, dengan tujuan
utama ditanami padi dan atau bergiliran dengan palawija.
Untuk mengetahui tingkatan taraf hidup petani ini di hitung berdasarkan
pendapatan per kapita per tahun dari keluarga petani yang dinyat akan dengan
jumlah setara dengan beras,yaitu I. A
K =
X. r
Taraf K = taraf hidup rumah tangga petani
I = pendapatan bersih petani tanah sawah (rp/ha/th)
A = luas rata - rata tanah sawah setiap rumah tangga petani (ha)
r = rata - rata jumlah anggota keluarga tiap rumah tangga petani.
X = nilai harga beras sebesar 240 kg
Apabila nilai :
- K < 1 disebut sebagai kelompok petani miskin sekali, dengan pendapatan
per kapita per tahun kurang dari 180 kg setara beras.
- K = 0,6- 1 disebut sebagai kelompok petani miskin, dengan pendapatan per
kapita per tahun antara 180 - 240 kg setara dengan beras.
- K = 1 - 1,6 disebut kelompok petani hampir miskin, dengan pendapatan
perkapita per tahun antara 240- 320 kg setara dengan beras.
- K > 1 ,6 disebut kelompok petani cukupan, dengan pendapatan perkapita
pertahun lebih besar dari 320 kg setara dengan beras.
Untuk menjelaskan faktor - faktor yang paling berpengaruh terhadap taraf
hidup petani dilakukan korelasi peta. Dari hasil analisa maka ringkasan penelitian ini
adalah:
1. Taraf hidup petani di Kabupaten Serang lebih banyak terdapat pada golongan
miskin sekali dengan persentase 43,3 % atau 13 kecamatan. Untuk golongan
taraf hidup petani yang cukup terdapat di 5 kecamatan atau 16,7% dari seluruh
kecamatan. Sedangkan 40% lainnya termasuk dalam golongan petani yang
taraf hidupnya miskin dan hampir miskin.
2. a: Taraf hidup petani cenderung semakin baik bila berada pada kondisi wilayah
dengan kepadatan pengairan yang padat, frekwensi kunjungan penyuluhan
yang tinggi, kemiringan lereng 0- 2% dan ketinggian antara 3-25m dpl.
b. Dari keempat faktor yaitu kepadatan pengairan, frekwensi kunjungan
penyuluhan, ketinggian dan lereng temyata yang paling berpengaruh
terhadap taraf hidup petani tanah sawah padi dan palawija di Kabupaten
Serang adalah faktor kepadatan pengairan. Hal ini .disebabkan tingkat
klasifikasi yang sesuai antara taraf hidup petani padi dan palawija dengan
kepadatan pengairan lebih besar jumlahnya ( 53,3% ) dibandingkan ke tiga
faktor lainnya."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
La Ode Arpai
"ABSTRAK
Masyarakat yang bekerja di sektor pertanian menghadapi tantangan, terlepas sektor pertanian merupakan penyumbang utama Produk Domestik Bruto Nasional dan sebagai profesi strategis di daerah pedesaan. Penelitian ini menggunakan teori Peter Evans yang melihat kehidupan ekonomi tidak berdiri sendiri, melainkan saling melekat antara aktor baik aktor pemerintah, ekonomi, maupun masyarakat sipil. Studi ini memfokuskan untuk menjelaskan peran dari upaya ketiga aktor dalam hal industri usaha pertanian padi di Desa Duriaasi, Kecamatan Wonggeduku, Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif melalui teknik pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara mendalam dan studi dokumen kebijakan. Di banyak daerah kondisi ekonomi petani tidak mencerminkan kesejahteraan sosial tetapi penelitian ini menemukan fakta sebaliknya. Hasil penelitian menemukan bahwa pendapatan petani Desa Duriaasi lebih tinggi dari Upah Minimum Provinsi Sulawesi Tenggara yang sebesar Rp. 2.003.000 . Masyarakat petani mendapatkan keuntungan Rp. 11.270.000/hektar dalam satu kali musim tanam 4 bulan atau sekitar Rp. 2.817.500 setiap bulan. Peran dari ke tiga aktor seperti pemerintah yang telah memberikan bantuan berupa benih, ketersediaan pupuk, dan alat teknologi pertanian, serta peran dari pelaku ekonomi pedagang yang telah mambantu petani dengan memberikan pinjaman modal serta peran masyarakat sipil P3A dan lumbung pangan , dianggap berhasil dan mampu mewarnai perkembangan ekonomi masyarakat petani padi menjadi positif.

ABSTRACT
People who rely upon agriculture sector for a living, have been facing barriers, although this sector is a major contributor to National Gross Domestic Product as well as a strategic profession in rural areas. This research applies Peter Evans theory to see that the economic life is not independent, but it is embedded to each other among government and economic actors as well as civil society. This study focuses on explaining the roles of those three actors rsquo efforts in the rice farming industry in Duriaasi village, Wonggeduku sub district, Konawe regency, Southeast Sulawesi Province. This study uses qualitative approach as a research method through data collection technique by means of observation, in depth interview and policy documents review desk study . The social welfare of farmers rsquo economic condition is commonly not reflected in many areas, but this research has revealed a different fact. The result of this research found that farmers income in Duriaasi village is higher than provincial minimum wage in Southeast Sulawesi which is set at IDR 2.003.000. Farmers get a profit of IDR 11.270.000 hectare in one planting season every 4 months or about IDR 2.817.500 per month. Those three actors rsquo roles such as the government that has given some supports by supplying seeds, fertilizer and hi tech agriculture equipment , the economic actors merchant who have helped those farmers by providing capital loans, and civil society water users association P3A and barns , are considered successful and able to lead the economic development of rice farmers in a positive way. "
2018
T51544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiah Maharani
"Kecamatan Ciwidey merupakan kawasan agropolitan peruntukan pertanian yang memiliki potensi tinggi untuk pengembangan jenis pertanian salah satunya adalah pertanian padi sawah. Padi sawah di Kecamatan Ciwidey mengalami eksistensi ditandai atas penurunan luasan lahan pertanian padi sawah. Menurunnya luasan lahan padi sawah akan berimbas pada rendahnya besaran pendapatan yang diterima petani padi sawah. Rendahnya pendapatan yang dimiliki petani padi sawah akan mendorong petani padi sawah untuk melakukan berbagai kegiatan strategi penghidupan. Dalam melakukan strategi penghidupan, rumah tangga petani padi sawah memiliki peran penting untuk mengambil keputusan paling mendasar. Kondisi demografi rumah tangga dan kondisi ekonomi rumah tangga menjadi karakteristik terbentuknya tipologi rumah tangga. Rumah tangga tangga petani padi sawah di Kecamatan Ciwidey terdiri dari rumah tangga petani miskin, rumah tangga petani sederhana, rumah tangga petani kaya dan rumah tangga petani sejahtera. Secara spasial rumah tangga petani miskin terkonsentrasi paling dominan pada aksesibilitas rendah yang ditunjukan pada jaringan jalan lokal bentuk medan terjal berbukit. Sedangkan pada aksesibilitas tinggi terkonsentrasi paling dominan pada rumah tangga petani sederhana dan rumah tangga petani kaya. Fenomena yang terjadi dalam penelitian ini ialah rumah tangga petani sejahtera hanya berada pada aksesibilitas rendah. Variasi spasial tipologi rumah tangga petani padi sawah menjadi dasar dari strategi penghidupan petani padi sawah. Petani padi sawah bukan hanya memiliki satu jenis strategi, melainkan bisa lebih dari satu jenis strategi penghidupan. Strategi penghidupan petani padi sawah yang paling dominan pada aksesibilitas tinggi ialah strategi intensifikasi, strategi diversifikasi pertanian, dan strategi diversifikasi non pertanian. Sedangkan pada aksesibilitas yang rendah, petani padi sawah paling dominan melakukan ekstensifikasi pertanian, ekstensifikasi campuran dan migrasi non pertanian
Ciwidey District is an agropolitan area allotment that has a high potential for the development of agriculture, one of which is paddy rice farming. Rice lowland in The Ciwidey Subdistrict decrease in the area of paddy rice farming. The decrease in the area of paddy rice will impact on the low amount of income received by rice paddy farmers. The low income of the paddy rice farmers will encourage the paddy farmers to carry out various livelihood strategy activities. In carrying out livelihood strategies, households of lowland rice farmer have an important role to make the most basic decisions. Demographic conditions of households and economic conditions of households are characteristic of the formation of household typologies. Lowland rice farmer households in Ciwidey District consist of poor farmer households, simple peasant households, rich peasant households, and prosperous peasant households. Spatially, poor farmers' households are concentrated most dominantly on low accessibility as indicated by the local road network in the form of hilly terrain. While the high accessibility is concentrated most dominantly in simple farm households and rich farm households. The phenomenon that occurs in this research is that prosperous farm households only have low accessibility. Spatial variation in the typology of households of paddy rice farmers is the basis of the livelihood strategies of paddy rice farmers. Paddy rice farmers not only have one type of strategy but can be more than one type of livelihood strategy. The most dominant rice farmers' livelihood strategies in high accessibility are intensification strategies, agricultural diversification strategies, and non-agricultural diversification strategies. Whereas in the low accessibility, the most dominant paddy rice farmers carried out agricultural extensification, mixed extensification, and non-agricultural migration."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Hermawan
"Keberpihakan kepada petani yang dianggap sebagai kelompok rentan seringkali digunakan sebagai pertimbangan populis dalam menjustifikasi lahirnya kebijakan protektif dari pengaruh eksternal. Contoh yang paling sesuai dapat dilihat pada kasus liberalisasi perdagangan beras di kawasan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) di mana hingga saat ini masih menyisakan konsensus samar-samar tentang dampaknya terhadap capaian ketahanan pangan hingga pengaruhnya terhadap eksistensi petani beras yang sejatinya memiliki peran unik. Peran tersebut mencakup sebagai produsen maupun konsumen sehingga menjadikan langkah pemerintah semakin dilematis dan kompleks dalam rangka menjamin pangan bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak liberalisasi perdagangan ASEAN terhadap ketahanan pangan di Indonesia, khususnya pada kasus beras. Untuk menjawab tujuan tersebut digunakan gabungan pendekatan, yaitu Model Global Trade Analysis Project (GTAP) untuk menangkap perilaku perdagangan beras di kawasan ASEAN dan Model Quadratic Almost Ideal Demand System (QUAIDS) untuk menyentuh dinamika perubahan konsumsi dan kesejahteraan pada kelompok rumah tangga petani beras. Di samping kedua model tersebut, beberapa pendekatan dikombinasikan untuk mendukung simulasi kebijakan yang dirancang, misalnya penggunaan Model Gravitasi dan simulasi Monte Carlo. Data yang digunakan berjenis data sekunder yang berasal dari basis data GTAP, Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas), World Bank, Food and Agriculture Organization (FAO), World Integrated Trade Solution (WITS), dan sebagainya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan ASEAN berdampak positif terhadap ketahanan pangan (beras) di Indonesia dibandingkan ketika restriksi perdagangan diterapkan. Kemajuan yang positif ini akan terekskalasi apabila diikuti dengan efisiensi biaya produksi padi/beras. Transmisi kondisi positif tersebut secara konsisten tidak hanya terjadi pada level nasional namun juga bermuara pada level rumah tangga petani padi/beras. Bahkan kelompok rumah tangga petani net produsen dan net konsumen beras menghadapi situasi better off, baik berupa peningkatan konsumsi beras, perbaikan pola konsumsi pangan, maupun welfare gaining ketika liberalisasi perdagangan ASEAN diberlakukan. Di sisi lain, agenda liberalisasi perdagangan ASEAN tidak hanya menyasar pada keterbukaan berkompetisi tetapi juga tawaran berkolaborasi melalui stok beras regional. Simulasi terkait stok beras tersebut ternyata mampu mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional dan sekaligus mendorong peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani padi/beras. Penelitian ini akhirnya mematahkan keyakinan umum yang memandang remeh peran liberalisasi perdagangan beras terhadap upaya penyediaan pangan masyarakat dan kehidupan petani.

There is an irony that occurs when trade liberalization is rejected in favor of pursuing national food security to protect farmers. This irony is farmers are worse off under national food security than they are under trade liberalization. Various concerns that have arisen were addressed with popular policies, especially the protection and raising of food prices. So why does commitment to trade liberalization seem to be a prestigious ambition only on paper. This study investigates this phenomenon as it occurs in the case of the impact of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) trade liberalization on Indonesian food (rice) security and rice farmers. We use a combined approach to solve it comprehensively. Our approach brings together the Global Trade Analysis Project (GTAP) Model, Quadratic Almost Ideal Demand System (QUAIDS) Model, Gravity Model, and Monte Carlo. These approaches rely on secondary data sourced from the GTAP database, National Socio-Economic Survey, World Bank, Food and Agriculture Organization (FAO), World Integrated Trade Solution (WITS), and others.
The findings of our research show that the ASEAN trade liberalization would have a positive impact on Indonesian food (rice) security if compared with trade restricted policies. These positive effects would be enhanced if the open market were to be followed by actions to increase efficiency and reduce the cost of rice. Furthermore, to see the consistency of these impacts, we scrutinize at rice farming households as net rice producers or net rice consumers. They are the nucleus of food security and saw improvements in rice consumption, food consumption pattern, and welfare gains when trade liberalization took place. Besides the vigorous competition that would result from trade liberalization, collaboration through regional rice stocks could help us to achieve national food security and farmer welfare. This research objectively defies common belief that underestimates the role of rice trade liberalization for feeding the nation and farmers life."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library