Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Moh. Nur Nasiruddin
Abstrak :
Perubahan ancaman para korban konflik sosial dari ancaman luka atau karena kekerasan, menuju ke arah ancaman kekurangan air bersih, memburuknya sanitasi lingkungan, kekurangan pangan, tidak jelasnya papan (shelter) dan minimnya pelayanan kesehatan. Ancaman tersebut adalah risiko yang sering terjadi pada masa pengungsian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kebutuhan hidup pengungsi melalui persepsi dari informan yang meliputi kelompok petugas, masyarakat dan pengungsi di Kota Pontianak. Kebutuhan hidup menyangkut 4 (empat) macam yaitu air bersih dan jamban, pangan, papan dan pelayanan kesehatan. Persepsi tersebut akan mempengaruhi realita pemenuhan kebutuhan hidup pengungsi. Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui wawancara mendalam kepada 13 informan dari kelompok petugas, fokus grup diskusi dengan 10 informan anggota kelompok pengungsi dan 10 informan anggota kelompok masyarakat. Informan dari kelompok petugas adalah orang-orang yang secara langsung bertanggung jawab dalam penanganan pengungsi, baik operasional lapangan maupun pada tingkat manajemen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa realita pemenuhan kebutuhan air bersih dan jamban, masih dibawah standar minimal yang ada, untuk air bersih 20 liter per orang per hari sedangkan 1 (satu) jamban maksimal untuk 20 orang. Mengenai pangan, pengungsi di Kota Pontianak belum sepenuhnya mendapatkan bantuan pangan yang memadai, sedangkan yang menyangkut papan atau tempat tinggai, belum sesuai standar yang ada dan mengalami banyak hambatan dalam proses penanganannya. Menyangkut pelayanan kesehatan telah memenuhi standar dari Oxfam 2000; bahkan melebihi dari standar tersebut khususnya dalam hal frekwensi kunjungan petugas ke lokasi pengungsian. Situasi demikian bila tidak segera direspon dengan baik, bisa menimbulkan kecemburuan sosial yang akan memicu konflik baru, yang merupakan ancaman keselamatan bagi pengungsi. Perbaikan fungsi-fungsi manajemen dan dengan melibatkan semua komponen (petugas, masyarakat dan pengungsi) dalam penanganan pengungsi merupakan upaya untuk menurunkan tingkat risiko yang dihadapi oleh pengungsi. Untuk itu pemberian kebutuhan hidup minimal bantuan dalam pemenuhan kebutuhan hidup pengungsi diarahkan pada standar.
The Analysis of Perception of the Refugees? Necessities in Pontianak of the year 2002. The threat against the victims of social conflict has changed from physical or violence infliction to the shortage of clean/drinking water, unhealthy sanitation of the environment, lack of food stuff, improper arrangement of housing and insufficient health service. The above mentioned threats are the risks which are often found in the period of massive refuge or evacuation. The goal of this study is to measure the life needs of the refugees through the perception of informant consisting of the personnel in charge, the community and the refugees in Pontianak themselves. This life requirement involves four sorts of basic needs namely clean/drinking water, toilet, food, shelter or housing and health service. The perception influences the fulfillment of the refugees' life requirements. This research is a case study using qualitative approach. The pertinent data is obtained through the detailed interviews of thirteen informants of those being in charge, focused discussion group, with ten group members of the refugees and ten informants of community members. The informant in charge are those who directly responsible for the handling of the refugees in field operation and in managerial levels. The outcome of the study indicates that the actual fulfillment of clean/drinking water and toileting/privy is still in substandard level: 20 liters of water per person daily, while every toilet is used by 20 persons at the most. As for food requirement, the refugees in Pontianak, have not adequately received the needed quantity of food The housing / sheltering of the refugees is still in substandard condition and there are still some obstructions in its handling. As for health service it has been in the level of Oxfam 2000 standard, or even exceeds the stipulated standard, especially in case of visit frequency of those in charges to the site of refugees. Such condition if not immediately and properly handled, may rouse the social jealousy that encourages new conflicts which in turn may become a threat to the safety of the refugees. The improvement of managerial functions involving all components (those in charge and holding responsibility, community and refugees) in refugees? management is an effort to minimize the risks facing against the refugees. For that reason, any help provided to fulfill the refugees? necessities is directed to the minimum standard of daily life requirements.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10734
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvianita Timotius
Abstrak :
Pulau Rambut adalah salah satu pulau dalam gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Sejak tahun 1937 telah berfungsi sebagai area konservasi yaitu cagar alam. Terhitung Mei 1999 statusnya diubah menjadi suaka marga pulau Rambut melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 275/Kpts-II/1999. Baik sebagai cagar alam maupun suaka margasatwa, fungsi perlindungan dijalankan dengan pertimbangan utama adalah melindungi burung-burung yang tinggal di pulau tersebut. Pulau ini mendukung lebih dari 50 jenis burung, baik burung merandai maupun burung-burung lain. Beberapa jenis burung di antaranya masuk dalam kategori satwa yang dilindungi serta ada pula yang masuk dalam satwa yang terancam punah. Salah satu pertimbangan penurunan status adalah pengembangan P. Rambut untuk wisata. Untuk mengelola pulau dari status cagar alam (sangat ketat) ke suaka margasatwa (menjadi lebih terbuka) berarti dibutuhkan pengelolaan yang tepat. Dengan fungsi yang besar namun berbagai kendala yang dihadapi dibutuhkan keterlibatan banyak pihak serta pengelolaan yang mempertimbangkan berbagai kendala tersebut. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta sebagai pihak yang berkewajiban membuat rencana pengelolaan, belum menetapkan rencana pengelolaan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pihak (pelaku) yang terkait dengan P. Rambut, menganalisis skenario masa depan pulau yang diinginkan para pelaku, mengidentifikasi permasalahan dalam pencapaian masa depan, serta menetapkan prioritas kebijakan yang harus dibuat dan dijalankan untuk menyelesaikan masalah. Pada akhirnya mengajukan secara garis besar usulan pengelolaan P. Rambut. Penelitian ini menggunakan proses hirarki analisis sejak tahap awal berupa identifikasi pelaku hingga tahap penentuan prioritas kebijakan. Data diperoleh dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Kuesioner terbagi dalam dua tahapan (proses depan dan proses balik) yang disebar kepada lima kelompok responden yaitu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi, masyarakat, dan swasta. Skenario atau masa depan P. Rambut diajukan dalam tiga alternatif, yaitu: 1. Perlindungan burung merandai serta menjalankan wisata dengan pengelolaan pengunjung. Wisata dijalankan dengan melibatkan masyarakat di sekitar pulau sehingga diharapkan masyarakat juga ikut terlibat dalam pengelolaan P. Rambut. Masyarakat yang dimaksud adalah yang ada di P. Untung Jawa, Jakarta serta di Tanjung Pasir, Tangerang. 2. Perlindungan burung merandai serta menjalankan wisata tanpa pengelolaan pengunjung. Wisata dijalankan tanpa pengelolaan dengan pertimbangan meningkatkan pendapatan pemerintah secara maksimal. Selain itu, pengunjung yang datang ke pulau selama ini relatif tidak banyak sehingga dianggap tidak mengganggu kehidupan burung. 3. Perlindungan burung merandai tanpa menjalankan wisata. Dengan status suaka margasatwa maka campur tangan dalam pembinaan habitat diperkenankan. Dengan tujuan hanya melindungi burung, serta menghindari kemungkinan terjadinya kerusakan maka wisata sama sekali ditiadakan. Analisis menghasilkan prioritas pertama pada skenario 1 yaitu perlindungan burung serta menjalankan wisata. Dalam skala 0-1, skenario ini mempunyai skor 0,621, hampir tiga kali lebih besar dari skenario 3 yang menempati prioritas kedua dengan skor 0,261. Skenario perlindungan tanpa pengelolaan pengunjung hanya memiliki skor 0,118. Skenario 1 menempati prioritas pertama kali di masa yang akan datang akan lebih baik bila masyarakat terlibat langsung. Keterlibatan masyarakat dapat terjadi bila masyarakat mendapatkan nilai lebih dari konservasi itu. Salah satu upaya untuk memberi nilai lebih itu adalah dengan wisata. Dalam pengelolaan P. Rambut, pihak dengan kepentingan paling besar adalah pemerintah (0,278), diikuti oleh masyarakat P. Untung Jawa dan Tanjung Pasir (0,229). Sesuai dengan alasan yang dikemukakan dalam penentuan skenario, para pelaku menilai di masa depan masyarakat di sekitar Pulau Rambut yang sebaiknya memiliki peran paling besar dalam pengelolaan selain pemerintah. Pelaku berikutnya berturut-turut adalah perguruan tinggi, LSM, pengunjung, dan terakhir swasta. Kendala yang harus diselesaikan dalam mencapai skenario pilihan meliputi kendala dari luar pulau, kendala dari dalam pulau, dan kendala pengelolaan. Kendala dari luar berupa (1) pencemaran, (2) berkurangnya area pakan, serta (3) gangguan dari pengunjung. Kendala dari dalam pulau adalah kerusakan hutan serta predator-kompetitor. Kendala pengelolaan terdiri dari (1) minimnya sarana, (2) kesadaran/kepedulian masyarakat yang rendah tentang pentingnya P. Rambut, serta (3) pengelola. Para pelaku menilai permasalahan utama adalah kerusakan hutan (0,192). Pulau Rambut, tepatnya hutan mangrove dan hutan campuran, adalah habitat serta tempat berbiak burung-burung merandai. Kerusakan hutan (yang kini makin meluas) berarti kehilangan tempat tinggal terutama breeding site maka dikhawatirkan mengancam burung-burung di pulau tersebut. Permasalahan berikutnya adalah pencemaran (0,181), penurunan luas area pakan (0,175), rendahnya kepedulian masyarakat (0,143), pengelola (0,110), gangguan oleh pengunjung (0,094), minimnya sarana (0,063), dan terakhir predator kompetitor (0,043). Dalam mengatasi berbagai kendala tersebut di atas, terdapat delapan kebijakan yang perlu dibuat dan diterapkan. Analisis menghasilkan dua kebijakan sebagai prioritas pertama dalam melakukan pengelolaan pulau adalah peningkatan kesadaran masyarakat (0,180) dan rehabilitasi hutan (0,176). Keduanya berkaitan dengan upaya mencegah pencemaran serta upaya rehabilitasi hutan. Kebijakan berikutnya adalah pemberdayaan masyarakat (0,149), penyediaan area pakan (0,117), pembentukan forum kerja sama (0,111), monitoring (0,097), peraturan pengunjung (0,085), dan pembuatan sarana (0,085). Sesuai dengan skenario masa depan P. Rambut yang diharapkan, maka diajukan pengelolaan berupa melindungi burung merandai dengan wisata pengamatan burung. Untuk menjalankan perlindungan bagi burung serta menjalankan wisata maka diperlukan rencana pengelolaan (RP) yang mencakup aspek-aspek teknis. Rencana pengelolaan sebaiknya dibuat secara bersama oleh pihak-pihak terkait. Berarti pemerintah selaku institusi yang bertugas menyusun RP, harus melibatkan pihak-pihak tersebut sejak tahap awal hingga RP selesai. Pelibatan pihak terkait juga harus dilakukan ada dalam keseluruhan rangkaian pengelolaan. Kesimpulan penelitian ini adalah: 1. Terdapat lima kelompok pelaku yang terkait dengan P. Rambut yaitu (1) pemerintah, (2) masyarakat [Tanjung Pasir, Tangerang dan P. Untung Jawa, Jakarta], (3) perguruan tinggi, (4) LSM, dan (5) swasta, secara berurutan menurut prioritas. 2. Para pelaku kebijakan mengharapkan di masa akan datang Pulau Rambut dapat dikelola dengan mempertahankan populasi burung merandai agar relatif stabil dengan kondisi saat ini serta menjalankan wisata dengan menerapkan peraturan kunjungan dan pengunjung. 3. Terdapat delapan kendala yang harus diatasi untuk mencapai masa depan P. Rambut yang diharapkan. Kedelapan kendala tersebut secara berurutan dari prioritas tinggi ke rendah adalah menurunnya luasan hutan habitat burung merandai, pencemaran dari teluk Jakarta, menurunnya area pakan burung merandai, rendahnya kepedulian masyarakat, pihak yang sebaiknya menjadi pengelola, gangguan pengunjung, minimnya sarana, serta predator kompetitor. 4. Kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah meliputi 8 kebijakan. Skala prioritas adalah (1) peningkatan kesadaran masyarakat, (2) rehabilitasi hutan, (3) pemberdayaan masyarakat, (4) mempertahankan/menyediakan area pakan burung, (5) pembentukan forum kerjasama antar pihak terkait, (6) monitoring flora dan fauna, (7) Pengaturan kunjungan dan pengunjung, dan (8) penyediaan sarana. 5. Dalam upaya mempertahankan fungsi dan keberadaan Suaka Margasatwa P. Rambut, serta diperkenankannya wisata alam terbatas, maka pengelolaan yang sesuai adalah menjalankan kebijakan berdasar prioritas pilihan pelaku kebijakan serta wisata pengamatan burung. Dari penelitian ini, saran yang diajukan adalah: 1. Pemerintah perlu melibatkan pihak-pihak terkait sejak tahap perencanaan, implementasi pengelolaan, dan evaluasi pengelolaan. 2. Membuat Rencana Pengelolaan P. Rambut, kemudian ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan agar memiliki kekuatan hukum. 3. Untuk menjalankan pengelolaan secara umum serta secara khusus pengembangan wisata pengamatan burung diperlukan kajian lebih lanjut untuk mendapatkan hal-hal teknis penerapan wisata. 4. Karena lingkup penelitian yang luas, maka studi dengan penerapan proses hirarki analisis perlu dibuat lebih lanjut hingga ke hal-hal teknis.
Rambut Island is one of Thousand islands, North Jakarta. It had been a Strict Nature Reserve since 1937. In May 1999 it has been changed to a Wildlife Sanctury based on Forestry and Aesthetic Crop Ministry Decree No 275/Kpts-II/1999. Both as nature reserve or wildlife sanctuary, the main role of this island is to protect birds that live in. The island supports more than 50 species of birds, encompasses water bird and others. Some of them are categorized as protected animals based on Indonesian law and others as endangered species. One consideration for the changing status was the idea to develop Rambut Island for tourism as well as conservation. it needs good management to manage the island from nature reserve (which is very strict in rule) to wildlife sanctuary that is more open. Rambut Island plays a big function; as a nesting site and a breeding site for birds, but also faces numerous problems. In order to manage the island along with those problems, many stakeholders are needed to take a part. Furthermore those problems become the main focus of the management plan. BKSDA Jakarta is the government's institution in charge and has a role to make the management plan. There is no management plan established so far. The aims of this research are as follows 1. Identifying stakeholders/actors who are related to Rambut Island, 2. Analyzing future scenarios that are chosen by actors, 3. Identifying the problems in order to achieve the scenario, 4. Determining the policy priorities needed then carrying them out to solve problems 5. Proposing the outline of Rambut island wildlife sanctuary management plan. This research uses analytical hierarchy process from first step (identification of the actors) until determination the policy priorities. Data were collected using questionnaire. The questionnaires were divided into two steps (forward scenario and backward scenario) and distributed into five groups of respondents. They were government, non government organization (NGO), university, community and private sector. The following are the forward scenarios of Rambut Island: 1. Protecting water bird, carrying out the tourism and applying regulations for visiting. The tourism is carried out by involving community near the island, so that it becomes a part of the management for protecting the birds. The community encompasses people live in Untung Jawa Island, Jakarta and Tanjung Pasir, Tangerang. 2. Protecting water bird, carrying out the tourism without applying regulations for visiting. The scenario is offered in order to maximize the local income from tourism. The other reason is the number of visitors still low and has not disturbed bird activities. 3. Protecting water bird with no tourism activity. The opportunity for habitat management in wildlife sanctuary gives a better circumstance to full protection for birds and its habitat. Without tourism activity, any disturbance or damage could also be minimized. Result of analysis shows the first priority is on scenario 1 i.e. protecting water bird and running the tourism activity. In scale of one, the score is 0,621. The second priority is scenario 3 with 0,261 and the last with score 0,118 is scenario 2. The first scenario has the highest score because the conservation also has to consider giving value for community, and one way to do that is the tourism activity. The actor who has the biggest part for management of Rambut Island is the government (score 0,278), followed by Untung Jawa and Tanjung Pasir communities (0,229). In the future, the communities as well as the government should act as the main actors in management of Rambut Island. The subsequent actors are university, NGO, tourist and private sector, in respectively. The problems which have to be solved cover the ones come from out of the island, inside the island, and management problem. The problems from out of the island are (1) pollution from Jakarta Bay, (2) decreasing size of feeding ground and (3) disturbance from visitors. The inside problems are (1) forest degradation and (2) predator-competitor. The management problems are (1) poor facilities, (2) lack of community awareness on important values of Rambut Island and (3) institutional problem. The actors define that the main problem is forest degradation (0,192). It is due to the fact that the forest supports birds with nesting site and breeding site. The degradation threatens the life of birds which use the forest. The next problems priorities are pollution from Jakarta (0,181), followed by decreasing size of feeding ground (0,175), lack of community awareness (0,143), institutional problem (0,110), disturbance from visitors (0,094), poor facilities (0,063), and the last is predator-competitor (0,043). The implementation of eight policies is needed as part of management of Rambut Island. The following are the priority given respectively, increasing public awareness (0,180), rehabilitating the forest (0,176), developing capacity of community (0,149), preserving or adding the feeding ground (0,117), making cooperation forum between stakeholders (0,111), monitoring biota (0,097), Appling rules for visitation (0,085) and developing facilities (0,085). According to future scenario for Rambut Island, the ideal management is to protect birds and also to run bird watching activity as tourism part. A management plan should be made and applied, in order to synchronize both activities. The management plan itself, is better made together by stakeholders. This means the government as institution who has the authority to carry out the plan, ideally involves stakeholders from the beginning until the final process of management planning. All related stakeholders are involved in all of the management process. The following are the conclusions of this study: 1. Five groups of stakeholders are involved in Rambut Island. They are government, local community, university, NGOs and private sector, respectively based on priority. 2. Future scenario chosen by all actors is protecting water bird and keeping the population stable with nowadays condition, also running tourism activity by applying visiting rules. 3. There are eight problems have to be solved in order to achieve the future scenario. In priority order are firstly: forest degradation, pollution from Jakarta, decreasing size of feeding area, lack of community awareness, institutional problem, disturbance from visitors, poor facilities, and lastly: predator - competitor. 4. There are eight policies needed to be implemented as part of management of Rambut Island. The priority given respectively to: increase public awareness, rehabilitate the forest, built capacity of community, preserve or add the feeding ground area, make cooperation forum between stakeholders, monitor biota, apply rules for the visiting and develop the facilities. 5. To keep the function and availability of Rambut island wildlife sanctuary, and also allow limited tourism, the appropriate management is to do policies based on actors choices and run bird watching activity. The suggestions of this study are as follows: 1. Government should involve related stakeholders from the first step of planning, implementation and evaluation of the management process. 2. Government together with stakeholders makes the Management Planning for Rambut Island and bring it as a law. 3. Specific study on technical aspects of tourism is needed for implementing the overall management, especially bird watching activity. 4. This study is a big issue; there for a deep analytical hierarchy process study is needed, i.e. looking into technical aspects.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T9395
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Avifah
Abstrak :
Studi mengenai keragaman burung penyedia jasa ekosistem telah dilakukan pada dua tipe habitat yaitu kawasan perkebunan dan kawasan tepi hutan Suaka Margasatwa Cikepuh (SM Cikepuh). Studi dilakukan pada bulan Maret 2016. Metode yang digunakan adalah point count dalam transek sejauh 1 km yang dibuat masing-masing ke arah hutan dan ke arah perkebunan dengan jarak antar titik 200 m. Total titik yang digunakan yaitu 30 titik. Hasil penelitian menunjukan terdapat 37 jenis burung penyedia jasa ekosistem yang terdapat di hutan dan perkebunan. Komposisi jenis burung penyedia jasa ekosistem di kedua habitat secara umum berbeda. Jenis yang mendominasi di kedua habitat yaitu jenis Pycnonotus aurigaster. Hasil korelasi Spearman menunjukan di habitat hutan terdapat korelasi antara jumlah jenis burung Pycnonotus aurigaster dengan jumlah tumbuhan Microcos tomentosa (Sig 2-tailed 0,028 P < 0,05). Diketahui bahwa Pycnonotus aurigaster merupakan agen penyebar biji dari Microcos tomentosa. Jenis burung yang berpeluang sebagai agen penyerbuk di perkebunan jati maupun kelapa yaitu Nectarinia jugularis. ......A study on bird diversity as ecosystem services provider was conducted on two types of habitat namely agriculture and forest edge Suaka Margasatwa Cikepuh (SM Cikepuh) on March 2016. The method used in this study was point count within 1 km transects that made toward the forest edge and the agriculture by 200 m distance between point, respectively. Thirty points were used. The result showed that there were 37 species of bird ecosystem services provider lived in forest edge and agriculture. The composition of bird species ecosystem services provider both in forest edge and agriculture was generally different. Dominant species in both habitat was Pycnonotus aurigaster. Spearman correlation showed that there was correlation between Pycnonotus aurigaster with Microcos tomentosa in the edge forest (Sig. 2-tailed 0,028 P < 0,05). The Pycnonotus aurigaster was known as agent seed dispersal at Microcos tomentosa. Bird species that was likely had a role as pollinators in agriculture was Nectarinia jugularis.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S64452
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochtar Kusumaatmadja
Bandung: Binatjipta, 1968
341.486 MOC k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mochtar Kusumaatmadja
Bandung: Dhiwantara, 1963
341.486 MOC k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library