Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reawaruw, Hanny Octoviana
Abstrak :
Tesis ini menganalisa tentang keberhasilan UNHCR dalam menangani proses repatriasi sukarela para pengungsi Afghanistan, guna mendukung pelaksanaan post-conflict peacebuilding secara keseluruhan di negara Afghanistan. Konflik yang terjadi di Afghanistan merupakan konflik yang berkepanjangan, yang menimbulkan civil war, dan menyebabkan berbagai akibat buruk bagi negara dan rakyat Afghanistan sendiri. Dengan semakin lama dan tidak adanya penyelesaian yang konkrit selama 21 tahun, masyarakat Afghanistan berusaha untuk mencari cara menyelamatkan dirinya. Salah satunya adalah terjadi arus pengungsian besar - besaran keluar dari Afghanistan, menuju ke negara - negara tetangga terdekat ataupun ke negara lain yang dianggap bisa memberikan perlindungan dan keamanan. Pengungsi Afghanistan mulai bergerak tanpa bantuan dari pihak mana pun. Sedangkan negara - negara yang kedatangan akan para pengungsi tersebut tidak dapat berbuat apa - apa, kecuali menerima dan menampung mereka. Namun kedatangan para pengungsi tersebut, seiring dengan berjalannya konflik yang tidak selesai, tidak terbendungkan dan membuat negara - negara tetangga mulai menyerah dan meminta bantuan dunia internasional untuk turut menangani akan pengungsi tersebut. Akhirnya dengan persetujuan PBB, UNHCR sebagai badan yang mengurusi masalah pengungsi di dunia, mulai menangani masalah pengungsi Afghanistan pada tahun 1979. PBB mulai memfasilitasi kedatangan para pengunsi Afghanistan ke negara - negara tetangga sekitar dan mengurusi keperluan mereka selama mereka berada di sana. Seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya civil war di Afghanistan dapat dihentikan dengan campur tangan dari pihak asing. Arus pengungsi yang hendak kembali pun meningkat secara tajam , dan membutuhkan pertolongan UNHCR untuk mefasilitasinya. Dengan jatuhnya rezim Taliban, UNHCR mulai mempersiapkan kepulangan pengungsi Afghanistan, pada tahun 2002, yang ternyata merupakan proses repatriasi terbesar yang dilakukan oleh UNHCR. Penelitian dalam tesis ini bertujuan untuk menjelaskan keberhasilan UNHCR dalam post-conflict peacebuilding dengan kasus repatriasi sukarela pengungsi Afghanistan, pada periode 2002. Konsep yang digunakan sebagai alat bantu analisa dalam tesis ini adalah peacebuilding. Peacebuilding merupakan proses yang memiliki memiliki nuansa kultural yang kental karena bertujuan untuk melakukan perombakan - perombakan struktur sosial budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng. Post-conflict peace-building mengandung makna tindakan - tindakan yang diambil pada akhir konflik untuk mengkonsolidasikan perdamaian dan mencegah terjadinya kembali konfrontasi persenjataan. Dalam konsolidasi perdamaian dibutuhkan lebih dari sekedar diplomasi murni dan aksi militer, dan usaha untuk pembangunan perdamaian yang bersama - sama dibutuhkan untuk menunjukkan berbagai faktor yang menyebabkan konflik. Seluruh kegiatan peacebuilding ini dapat dilakukan bila para pengungsi atau internal displaced person pulang kembali (repatriasi) dan bereintegrasi ke daerah asalnya. Apabila orang - orang tersebut tidak kembali ke daerah asal mereka maka proses perdamaian tidak akan berjalan efektif. Dengan berepatriasi dan berintegrasinya para pengungsi ke lingkungan asalnya, mereka dapat membantu berjalannya proses peacebuilding yang sedang berlangsung. UNHCR (United Nations High Comissioner of Refugees) sebagai salah satu organisasi internasional, melakukan tugasnya untuk memastikan repatriasi yang aman, lancar dan cepat dan menempatkan kembali para pengungsi. Ada dua fungsi utama UNHCR, yaitu perlindungan internasional dan pencarian solusi berjangka panjang terhadap masalah pengungsi. Dalam melaksanakan fungsi kedua, solusi perrnanen, UNHCR berupaya memudahkan repatriasi sukarela para pengungsi dan re-integrasi ke dalam negara asal mereka atau, jika hal itu tidak memungkinkan, membantu mempermudah integrasi mereka di negara pemberi suaka atau di negara tempat mereka dimukimkan kembali. Proses repatriasi sukarela pengungsi Afghanistan sendiri berhasil dilakukan oleh UNHCR dan para partner yang bekerjasama mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaannya. Dari berbagai fakta yang dibahas dalam tesis ini, dapat dikatakan UNHCR berhasil melakukan fasilitasi repatriasi sukarela, dengan indikasi kepulangan pengungsi Afghanistan yang lebih dari perkiraan/perencanaan bahkan yang terbesar yang pernah dilakukan. Keberhasilan dari UNHCR ini tidak terlepas dari terlaksananya faktor - faktor pendukung proses pecebuilding. Namun yang perlu diingat ada beberapa hal yang menjadikan faktor - faktor tersebut berhasil dilaksanakan, yaitu adanya perubahan pemerintahan Afghanistan yang baru, yaitu pemerintahan koalisi dan berbagai partai politik serta etnis dari seluruh negara Afghanistan, serta adanya campur tangan yang besar dari Amerika Serikat. Dengan beralaskan kemanusiaan, pemerintah Amerika berusaha menutupi maksud ekonomisnya, yaitu untuk kepentingan keamanan pipa - pipa minyaknya yang melintas di Afghanistan, dalam membantu Afghanistan, mulai dari saat penghancuran rezim Taliban sampai pada proses post-conflict peacebuilding di Afghanistan. Dengan mengabaikan akan sebab sesungguhnya Amerika Serikat mau menolong Afghanistan, peranan Amerika Serikat ini telah membantu UNHCR dalam menyelenggarakan proses pemulangan pengungsi Afghanistan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11571
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Susetyo
Abstrak :
Internally Displaced Persons adalah salah satu fenomena sosial yang klasik di Indonesia juga di dunia internasional. Namun sedihnya belum banyak mendapat perhatian publik maupun penanganan yang serius dari pemerintah Indonesia. Padahal, pengungsi internal telah ada sejak Negara Republik Indonesia ada. Sejak perang kemerdekaan 1945 - 1950, perang sipil 1965 - 1966, hingga era konflik etnis dan konflik vertikal 1989 - 2002, dan entah sampai kapan lagi. Sejak pertengahan tahun 90-an, Indonesia didera konflik internal baik yang berskala vertikal maupun horisontal. Mulai dari kasus DOM di Aceh 1989 -- 1998 yang berlanjut dengan perang TNI versus GAM tahun 2003, kemudian kasus Timor Leste, Papua Barat, sampai yang berskala horisontal seperti konflik etnis dan konflik agama di Maluku, Maluku Utara, Poso, Sampit dan Sambas. Khusus tentang konflik Sambas tahun 1999 yang terjadi antara etnis Melayu Sambas dengan Madura Sambas, disamping telah berakibat tewasnya ratusan jiwa dan hancurnya sekian ratus rumah dan harta warga Madura, juga telah menimbulkan gelombang pengungsian dari Kabupaten Sambas dan Bengkayang yang begitu besar. Tujuan utama pengungsian adalah mengungsi sementara di tempat yang cukup aman sebelum kembali ke tempat asal. Maka, para pengungsi-pun berlabuh di kota Pontianak. Tak dinyana, sampai sekian bulan bahkan berbilang tahun, pengungsi warga Madura tetap tidak dapat kembali ke tempat asal di Sambas karena warga Melayu Sambas belum dapat menerima mereka kembali. Alias, rekonsiliasi antar etnis masih gagal. Merespon fenomena tersebut, pemerintah pusat melalui Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) yang dibentuk melalui Keppres No. 3 tahun 2001 dan pemerintah daerah Kalimantan Barat melalui Tim Gabungan Penanggulangan Pengungsi Paska Kerusuhan Sosial Sambas (TGPPPKSS) menelurkan program alternatif yang kemudian disebut sebagai relokasi. Relokasi adalah pemindahan pengungsi dari tempat penampungan sementara menuju pemukiman permanen yang dibangun pemerintah di sekitar Kabupaten Pontianak. Konsepnya nyaris mirip dengan transmigrasi, namun lebih bersifat darurat karena sifatnya sebagai alternatif penanganan pengungsi setelah pemulangan pengungsi gagal dilakukan. Karena sifat daruratnya, juga karena pemerintah Republik Indonesia belum cukup punya pengalaman menyelenggarakennya, relokasi ini mengundang sejumnlah masalah, baik dalam proses perumusan kebijakannya, proses implementasinya, maupun dampaknya terhadap kehidupan warga pengungsi Madura. Penelitian ini mengkaji kebijakan relokasi pengungsi Madura korban kerusuhan Sambas dengan meminjam paradigma kebijakan sosial model Gilbert dan menggunakan pisau analisis model Smith, Sabatier dan Mazmanian. Secara normatif, implementasi dan dampak kebijakan relokasi ini dikaji kesesuaiannya dengan the Guiding Principles on Internal Displacement 1998, Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Bakornas PBP tahun 2001 dan Kebijaksanaan Nasional Percepatan Penanganan Pengungsi di Indonesia. Analisis kebijakan dan analisis data lapangan mengasumsikan bahwa kebijakan relokasi ini adalah program darurat yang tak direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya seperti halnya program transmigrasi. Relokasi ini lahir karena gagalnya rekonsiliasi antara warga Melayu Sambas dengan warga pengungsi Madura. Artinya, rekonsiliasi yang dilanjutkan dengan pemulangan ke Sambas tetaplah menjadi pilihan utama. Maka, amatlah wajar apabila pelaksanaannya carut marut. Disamping, karena pemerintah pusat maupun daerah tak punya cukup pengalaman dalam menangani relokasi, juga karena masyarakat memiliki ekspektasi yang bertebihan tentang relokasi. Menurut Smith ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan yaitu (1) Idealized policy (2) Target group (3) Implementing Organization dan (4) Environmental Factors . Sedangkan Sabatier dan Mazmanian mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan harus memperhatikan ; (1) karakteristik masalah (2) daya dukung peraturan (3) variabel non peraturan (4) dan proses implementasinya. Idealized policy, dalam kebijakan relokasi ini kurang terumuskan secara baik. Policy yang ada adalah tentang pembagian kerja. Akan halnya kerjanya apa itu sendiri tak terumuskan dengan baik. Sama halnya dengan policy di tingkat pusat yang cenderung mengatur mekanisme kerja namun cenderung bersifat umum dan tak bermuatan perlindungan terhadap hak-hak pengungsi itu sendiri. Implementing organization, yaitu Tim Gabungan Penanggulangan Kerusuhan Sosial Sambas, kurang menunjukkan koordinasi yang baik-baik. Ada saat-saat setiap instansi berjalan secara terkoordinasi, namun sering juga mereka berjalan sendiri-sendiri. Kemudian, kebijakan relokasi juga tidak terumus secara jelas. Tidak ada acuan yang jelas dari atas, juga tidak ada contoh yang dapat diacu dari pengalaman daerah lain. Environmental factors dan variabel non peraturan cukup berpengaruh dalam pelaksanaan relokasi ini. Relokasi dijadikan alternatif bukan karena sejak awal telah direncanakan, melainkan karena desakan dari pihak luar. Karena rekonsiliasi yang gagal tercipta antara warga Melayu dan Madura Sambas. Juga karena desakan dari penduduk di sekitar penampungan yang sudah agak 'gerah' dengan para pengungsi. Anehnya, pemerintah juga turut memberikan ultimatum, bahwa pengungsi harus segera direlokasi pada tanggal tertentu.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12077
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pirade, Henry
Abstrak :
Ada kaidah sosial yang menegaskan bahwa selama dalam sebuah masyarakat ada perbedaan kepentingan dan pada setiap masyarakat pasti ada perbedaan kepentingan maka sepanjang itu pula konflik akan hadir tak terelakan. Konflik tidak selamanya harus dimaknai pertikaian atau permusuhan, tetapi juga bisa mengandung makna kompetisi, tegangan (tension) atau sekedar ketidaksepahaman. Itu sebabnya, kehadiran konflik itu sesungguhnya menjadi sangat wajar, alami, bahkan harus diterima sebagai sebuah realitas dimanapun, oleh siapapun, kapanpun, apalagi dalam sebuah komuniti besar bernama komunitas atau masyarakat. Semakin besar perbedaan kepentingan terjadi, akan semakin besar pula kemungkinan konflik terjadi. Semakin banyak pihak yang memiliki perbedaan kepentingan, akan semakin banyak pula kemungkinan pihak-pihak yang terlibat konflik. Semakin tidak jelas tujuan berkonflik dan semakin konflik itu menyentuh nilai-nilai inti maka semakin keras dan lamalah konflik akan berlangsung. Celakanya, konflik sering berubah menjadi disfungsional ketika sudah mengarah kepada proses yang kaotik, destruktif dan anarkhis, seperti yang terjadi di Tuapukan dan Naibonat, Timor Barat. Berdasarkan fenomena tersebut diatas maka penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di dua daerah konflik di wilayah Timor Barat yaitu Tuapukan dan Naibonat. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif untuk menjelaskan permasalahan khususnya mengenai konflik yang ada dan bagaimana konflik itu berlangsung. Penyebab konflik, lamanya konflik, kerasnya konflik yang sangat berhubungan dengan realistik dan non-realistik konflik serta fungsi konflik itu sendiri. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang dipilah karena dianggap lebih efektif digunakan dalam menemukan dimensi-dimensi penting dari struktur tindakan kolektif yang berhubungan dengan terjadinya konflik di Timor Barat. Sumber data utama penelitian ini adalah data primer yang digali dari beberapa sumber yang terkait dengan dinamika konflik yang terjadi, baik dari kalangan masyarakat lokal, pengungsi maupun pemerintah dan lembaga sosial yang bekerja di lokasi target penelitian. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah focus group discussion dan wawancara mendalam untuk memperlengkapi hasil diskusi serta pengamatan langsung. Informan yang digunakan adalah informan yang dipilih mewakili tiap kelompok yang telah ditentukan. Data yang dihasilkan kerudian diolah dan dianalisis secara kualitatif dengan menyeleksi dan menyederhanakan data. Kemudian data tersebut dihubungkan kembali dengan konsep dan permasalahan serta tujuan penelitian. Kerangka konseptual dalam penelitian ini dibangun dari pola konflik yang terjadi di target penelitian yaitu penyebab konflik, lamanya konflik, kerasnya konflik dan fungsi konflik. Hal ini sangat terkait dengan pertanyaan; apakah konflik yang terjadi tersebut sifatnya realistik ataukah non-realistik? Penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa konflik yang terjadi disebabkan oleh gangguan terhadap keteraturan sosial yang ada serta adanya pelanggaran terhadap konsensus dalam suatu komunitas. Situasi ini kemudian diperuncing dengan adanya rasa frustasi dan ketidakadilan dalam bermasyarakat. Kondisi ini kemudian memacu penguatan identitas kolektif pada masyarakat yang kemudian menimbulkan konflik. Penelitian ini juga membuktikan bahwa konflik yang terjadi bersifat non-realistik dengan tidak terdefinisinya tujuan berkonflik secara jelas atau samar-samar yang mengakibatkan konflik yang terjadi menjadi lama waktunya. Terlebih lagi, konflik yang terjadi menyentuh nilai-nilai inti seperti tindakan yang mempengaruhi harga diri yang mengakibatkan timbulnya rasa dendam dan menjadikan konflik berlangsung keras. Lama dan kerasnya konflik yang terjadi membuat persoalan menjadi semakin lebar sehingga penanganannya menjadi lebih rumit. Proses penanganan yang dilakukan terhadap konflik yang terjadi bervariasi, baik itu melalui pendekatan represif maupun pendekatan pemerintah melalui pemimpin, tidak terlalu berdampak signifikan. Persoalan yang mengemuka memberikan indikasi bahwa kohesi sosial antara masyarakat dengan masyarakat lainnya dan masyarakat dengan pemimpinnya tidaklah terlalu berat sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemimpinnya tidak terlalu mempengaruhi pemahaman pada level bawah. Dari hasil penelitian dan pengalaman yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa pola penanganan dan pendekatan yang terbaik yang dapat dilakukan terhadap konflik yang terjadi di Timor Barat ini adalah dengan transformasi konflik melalui pendekatan penguatan dan pemberdayaan masyarakat dalam upaya pengembangan perdamaian. Konsep ini telah dilakukan oleh beberapa lembaga kemanusiaan di beberapa wilayah konflik dan cukup baik dalam menata kembali hubungan antar masyarakat paska konflik melalui pelembagaan kegiatan-kegiatan yang merupakan kebutuhan masyarakat baik dari segi pengembangan sosial kemasyarakatan maupun penguatan ekonomi. Berdasarkan kesimpulan tersebut maka diusulkan saran-saran yaitu: perlunya diupayakan program-program rekonsiliasi melalui kerjasama semua pihak terkait dan kegiatan bersama khususnya bagi kelompok yang bertikai untuk membangun nilai-nilai kebersamaan antara individu dan antar kelompok serta melembagakan nilai-nilai toleransi. Upaya ini dapat diselenggarakan dalam bentuk program pengembangan dan pemberdayaan komunitas.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulthana Labiba Khansa
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi GOR Otista layak untuk dijadikan hunian sementara korban bencana banjir ditinjau dari aspek kesehatan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa ada bentuk hunian sementara selain tenda yang lebih aman dari segi kesehatan lingkungan yang dapat dijadikan lokasi pengungsian korban bencana salah satunya GOR Otista. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis univariat deskriptif observatif. Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara menggunakan daftar tilik. Penelitian ini dilakukan di GOR Otista, Jakarta Timur. Variabel yang diobservasi dalam penelitian ini adalah ketersediaan sarana air bersih, sarana pembuangan tinja, sarana pengelolaan limbah padat, sistem pengendalian vektor dan binatang penular penyakit serta kesiapan lahan hunian sementara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa GOR Otista memiliki ketersediaan sarana air bersih, sarana pembuangan tinja, sarana pengelolaan limbah padat, dan kesiapan lahan yang cukup memadai sehingga layak untuk dijadikan hunian sementara, namun belum memiliki sistem pengendalian vektor dan binatang penular penyakit. Berdasarkan perhitungan hasil observasi, GOR Otista layak dijadikan hunian sementara dengan persentase kelayakan sebesar 88,37%.
ABSTRACT
The aim of this study discusses the factors that influence the Otista Sports Hall proper for temporary shelter for flood victims in terms of environmental health aspects. This study discusses the form of temporary housing in addition to tents that are safer in terms of health that can be used at the location of refugee camps, one of which is Otista Sports Hall. This research method uses qualitative methods with descriptive observational univariate analysis. Data retrieval is done by observation and interview using the checklist. This research was conducted at GOR Otista, East Jakarta. Variables related to this study are clean water facilities, fecal disposal facilities, solid waste management facilities, vector control systems and disease transmitters as well as the preparation of temporary housing. The results of this study indicate that GOR Otista has supply of clean water facilities, fecal disposal facilities, solid waste management facilities, and solid waste management to be used as temporary housing, not yet having vector control systems and infectious animal diseases. Based on the calculation of the observation results, the Otista Sport Hall is worthy of being a temporary residence with a percentage of eligibility of 88.37%.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Supialfi Benu
Abstrak :
Selama UNHCR beroperasi di Timor Barat untuk menangani pengungsi yang eksodus dari Timor Timur pada tahun 1999, idealnya UNHCR menjalankan mandat utamanya, yaitu melindungi hak-hak dasar pengungsi dan menggalakkan solusi tahan lama bagi pengungsi. Akan tetapi, mandat tersebut tidak mampu UNHCR penuhi sehingga berakibat pada termarjinalisasinya pengungsi dalam kehidupan tanpa kepastian solusi. Melalui kacamata situasi pengungsi berlarut-larut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor penyebab ketidakmampuan UNHCR memenuhi mandatnya tersebut. Hasil penelitian menunjukkan empat faktor yang menghambat UNHCR memenuhi mandatnya di Timor Barat, yaitu: 1) kemampuan pendekatan terhadap pengungsi, 2) kepentingan politik negara host, 3) kapasitas organisasi dan 4) kompleksitas relasi antar aktor terkait.
During UNHCR operation in West Timor to deal with the exodus of refugees from East Timor in 1999, ideally UNHCR ran its primary mandate, which is to protect the basic rights of refugees and promote durable solutions for refugees. However, the mandate has not been able to be accomplished resulting in the marginalization of refugee's life without any certainty of solution. Through the lens of protracted refugee situations, this study aims to analyze the factors that cause the inability of UNHCR to fulfill its mandate. The results show four factors that hinder UNHCR to fulfill its mandate in West Timor, namely: 1) the ability of approach to the refugees, 2) the political interests of host country, 3) the organizational capacity and 4) the complexity of relationships among the relevant actors.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55602
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Modhy Mahardika Jufri
Abstrak :
Terjadinya konflik di berbagai negara di Asia berakibat pada meningkatnya jumlah pengungsi dan pencari suaka. Kebutuhan akan perlindungan dan kehidupan yang layak membuat para pencari suaka ini rela menempuh cara apapun untuk mendapat perlindungan di negara lain, termasuk dengan menjadi imigran gelap. Australia, sebagai salah satu negara tujuan pencari suaka, memberlakukan Operation Sovereign Borders dengan mencegat dan mengembalikan kapal pengangkut pencari suaka untuk melindungi perbatasan sekaligus mengurangi laju imigran gelap yang masuk ke negara tersebut. Pada praktiknya kebijakan ini melanggar berbagai ketentuan hukum internasional yakni prinsip non-refoulement, hukum hak asasi manusia, kewajiban SAR, penanganan terhadap penyelundupan imigran, dan pelanggaran kedaulatan Republik Indonesia. ...... Conflicts in several countries in Asia resulted in increasing number of refugees and asylum seekers. The need for protection and a decent life makes them willing to take any way to get protection in other countries, including by being illegal migrants. Australia, as a destination country for asylum seekers, imposed Operation Sovereign Borders by intercepting and returning ships carrying asylum seekers to protect the border while reducing the rate of illegal migrants coming into the country. In practice, this policy violates various provisions of international law, namely the principle of non-refoulement, human rights law, SAR obligation, the handling of migrant smuggling and violations of Indonesia sovereignty.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65398
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isabella
Abstrak :
Penelitian ini membahas tentang kondisi biopsikososial pengungsi transnasional di Indonesia Daerah transit Indonesia berdasarkan studi kasus di Kalideres, Jakarta Barat. Belajar Penelitian deskriptif ini menggunakan pendekatan kualitatif. Informan dalam penelitian ini adalah pengungsi asing yang berasal dari negara konflik dan telah tinggal di Indonesia selama satu tahun atau lebih. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengungsi berada di kondisi rentan karena tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis, psikologis dan sosial. Secara biologis, pengungsi memiliki kondisi kesehatan yang buruk dan akses ke layanan kesehatan sangat minim. Secara psikologis, para pengungsi sangat rentan mengalami trauma dan mimpi buruk akibat peristiwa masa lalu, depresi dan stres karena keterbatasan di negara transit, serta mengalami kecemasan karena ketidakpastian masa depan mereka. Dalam kondisi sosial, pengungsi memiliki akses terbatas, kekurangan makanan, tidak dapat bersekolah dan bekerja, dan hambatan lainnya. Jadi, pengungsi sangat membutuhkan bantuan dan dukungan lingkungan sosial. Untuk tetap bertahan di negara transit, maka pengungsi harus melakukan mekanisme koping yang efektif di mana dukungan sosial dari lingkungan sosial menjadi sangat penting, termasuk keluarga, masyarakat pengungsi, komunitas lokal, dan lembaga internasional lainnya seperti UNHCR dan IOM. ......This study discusses the biopsychosocial conditions of transnational refugees in Indonesia Transit areas of Indonesia based on a case study in Kalideres, West Jakarta. Learning This descriptive research uses a qualitative approach. Informants in this study are foreign refugees who come from conflict countries and have lived in Indonesia for one year or more. The results of this study indicate that refugees are in a vulnerable condition because they cannot meet their biological, psychological and social needs. Biologically, refugees have poor health conditions and access to health services is minimal. Psychologically, refugees are very vulnerable to experiencing trauma and nightmares due to past events, depression and stress due to limitations in transit countries, and experiencing anxiety due to the uncertainty of their future. In social conditions, refugees have limited access, lack of food, cannot go to school and work, and other obstacles. So, refugees really need help and support from the social environment. To survive in transit countries, refugees must carry out effective coping mechanisms where social support from the social environment is very important, including families, refugee communities, local communities, and other international institutions such as UNHCR and IOM.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masinambow, Arnold A E.
Abstrak :
Tulisan ini berusaha memetakan pengetahuan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia yang relatif masih jarang mendapatkan sorotan dalam studi Hubungan Internasional. Pembacaan yang melihat serta memproblematisasi bias kolonial dalam rezim pengungsi internasional serta kategorisasi dari migrasi transit dan pengungsi-pencari suaka, akan menjadi titik berangkat tulisan ini. Melalui tinjauan taksonomis terhadap 22 literatur, tulisan ini kemudian berusaha mengkontekstualisasikan dinamika pengungsi di Indonesia dengan migrasi-pengungsi secara lebih luas lewat pembacaan genealogis yang menyentuh aspek legal, multisiplistas aktor, dan (re)konseptualisasi konsep transit yang kerap disematkan kepada konteks Indonesia, sembari berusaha mengedapankan pengetahuan yang dibawa oleh pengungsi di Indonesia itu tersendiri. Penulis menemukan bagaimana di Indonesia, diskursus pengungsi, yang baru masuk ke Indonesia di periode gelombang pengungsi Indochina pada dekade 1970-an, berkelindan erat dengan pola migrasi-pengungsi internasional, utamanya lewat fractioning dan kategorisasi transit-pengungsi-pencari suaka, dan terus direproduksi dalam kerangka pengamanan hingga sekarang. Secara tataran pengetahuan, penulis menilai bahwa produksi pengetahuan di ranah akademik tentang pengungsi di Indonesia kurang lebih berada di bawah satu payung ‘kritis’ yang sama dan berusaha mengarusutamakan pengetahuan dari pengungsi di Indonesia, namun masih banyak ceruk pengetahuan yang masih bisa diisi dan dinavigasi lebih lanjut. ......This article seeks to map the knowledge of refugees and asylum seekers in Indonesia, which, relatively speaking, has not been thoroughly investigated by International Relations-adjacent scholarship. An outlook that problematizes colonial biases on international refugee regime, as well as the categorization of transit migration and refugee-asylum seeker, will be central to this reading. Departing from taxonomic appraisal of 22 accredited-literatures, this article aims to contextualize the dynamics of refugees in Indonesia within the broader scope of migration-refugee studies through a genealogical reading that encompasses legal aspects, multiplicity of actors, and the (re)conceptualization of the transit concept oft-attributed to the Indonesian context, whilst trying to posit decentralized knowledge coming from refugees themselves. This author postulates that in Indonesia, discourses (and the language) of refugees, which predominantly emerged during the influx of Indochinese refugees in the 1970s, were/are heavily intertwined with the patterns of international migration-refugees, primarily through fractioning and categorization-labelling of transit-refugees-asylum seekers, and continues to be reproduced under securitized framework and language to this day. Insofar knowledge production on academia level, this author remarks that knowledge production of refugees in Indonesia virtually falls under a similar 'critical' umbrella, which seeks to prioritize knowledge from refugees in Indonesia, whilst acknowledging a plethora of knowledge gaps that can be probed and inquired further.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Avyanthi Azis
Abstrak :
This article is a short report drawn from a research on the issue of the Afghan refugees in Australia (1999-2002). Using the infamous "boat people" case as illustration, the research was intended provide careful observation on the concept "human security/' a term increasingly linked to forced migration issues. Although human security is often portrayed as a benign concept with strong moral stance, its vastness and loose definition limit its adequacy as a useful tool of analysis. The concept is also prone to misuse because it loosely adapts to various ideological interests. Following framework elaborated from the thoughts of Caballero-Anthony and Freitas, the article shows that it: is possible to implement the human security approach in two conflicting dimensions, positive (the ideal) or negative. Both serve to protect the individuals, but each secures a different entity.
2004
GJPI-7-1-Nov2004-80
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Subchi
Abstrak :
Tulisan ini membahas tentang perubahan dan Pelestarian kebudayaan masyarakat keturunan Arab di kota Gresik. Empat institusi sosial menonjol yang akan dikaji dalam masalah ini adalah pendidikan, agama dan kepercayaan, sistem kekerabatan dan lingkaran hidup, serta ekonomi dan mata pencaharian. Beberapa indikator perubahan dalam pendidikan dapat dilihat pada sikap positif masyarakat terhadap pendidikan tinggi, setuju terhadap sistem pendidikan nasional, bertambahnya jumlah sarjana, besarnya motivasi melanjutkan ke perguruan tinggi. Perubahan pada sistem pendidikan formal dan informal (di Madrasah Malik Ibrahim dan Fatimiyah), yaitu masuknya materi pelajaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta Departemen Agama, dominannya pengurus, guru, dan siswa pribumi dibandingkan keturunan Arab, metode tanya jawab, audio visual, bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, mementingkan keterampilan rasio dari pads hapalan, sikap para siswa keturunan Arab terhadap pribumi sangat positif, demikian pula sebaliknya. Namun demikian, perubahan pada materi pelajaran tidak mengganggu pelestarian pada materi pelajaran bahasa Arab, Qur'an-Hadis, Akidah Akhlak, yaitu berupa penambahan jam pelajaran, dengan Cara menambah jam dan materi pelajaran. Agama masyarakat keturunan Arab adalah Islam aliran Syafi' i. Mereka terbagi menjadi dua golongan Sayid dan Non Sayid. Golongan Sayid dinisbatkan karena ada hubungan darah dengan Nabi Muhammad, sedangkan Non Sayid tidak. Secara umum, golongan Sayid diidentikkan dengan Nahdlatul Ulama (NU), golongan Non Sayid dengan Muhammadiyah. Kedua golongan tersebut sating melestarikan ibadah keagamaannya. Golongan sayid masih bersifat tradisionalis,sedangkan golongan Non Sayid mengacu ke aliran pembaharu. Perubahan terjadi pada sebagian masyarakat keturunan Arab (Sayid-Non Sayid), khususnya kaum berpendidikan. Mereka tidak terikat dengan sistem penggolongan, dan aliran keagamaan. Sistem kekerabatan masyarakat keturunan Arab adalah patrilineal. Kedudukan laki-laki dalam rumah tangga cukup dominan. Laki-laki bekerja di sektor publik, sedangkan perempuan di sektor domestik. Kini, sebagian masyarakat keturunan Arab sudah ada yang mulai merubah tradisi ini, walau masih sebagian kecil. Mereka adalah kelompok yang berpendapat bahwa pekerjaan perempuan bukan hanya di sektor domestik, tetapi juga di sektor publik. Pelestarian kebudayaan terjadi pada masalah perkawinan. Mereka memegang teguh tradisi kawin sekufu'. Ekonomi dan mata pencaharian masyarakat keturunan Arab adalah bidang perdagangan. Kini, mereka usaha di bidang industri rumah tangga, dan perdagangan sarung, tenun, yang mereka lakukan secara turun-temurun. Sebagian masyarakat berpendidikan tinggi lebih cenderung memilih pekerjaan profesional seperti dokter, pengacara, dosen, dan lain-lain. Akhirnya, perkerjaan dagang dan industri sarung tenun masih dikerjakan oleh mereka yang bukan berpendidikan tinggi, dan tidak mempunyai keterampilan kecuali apa yang diwariskan orang tuanya (industri dan berdagang sarung tenun).
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>