Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Amran
Abstrak :
Masalah Residivisme merupakan masalah yang dihadapi oteh pemerintah khusunya Lembaga Pemasyarakatan. Karena terjadinya Residivisme terkait dengan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, keberhasilan pembinaan mempengaruhi perkembangan residivisme. Ini terlihat dari angka residivisme di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia yang masih berkisar 6-7 % yang tercatat. Belum lagi angka residivisme yang tidak tercatat, kemungkinan jumlahnya lebih besar dilihat dari semakin maraknya tingkat kejahatan di Indonesia. Hal ini tentu penting untuk dibicarakan, mengapa para pelaku kejahatan masih rnengulangi perbuatannya. Dalam ha! ini tentu ada faktor yang mendorong pelaku kejahatan untuk mengulangi tindak pidana untuk kesekian kalinya. Faktor sosio demografis yang melingkupi iingkungan tempat tinggalnya, lingkungan peradilan pidana, lingkungan lembaga pemasyarakatan, dan lingkungan ketika kembali ke masyarakat setelah menjalani hukuman, bisa menjadi factor pendorong untuk melakukan pengulangan tindak pidana. Penelitian "Faktor Sosio Demografis Yang Mendorong Terjadinya Residivisme" berupaya mencari fakror sosio demografis yang mendorong residivis untuk melakukan pengulanggan tindak pidana Penelitian ini memakai metode survey yakni menyebarkan kuessioner kepada narapidana residivis di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, juga dilakukan wawancara. Data kemudian dianalisa dengan mentabulaslkan data dan dideskripsikan dalam uraian untuk melihat apakah terdapat faktor sosio demografis yang mendorong terjadinya pengulangan kejahatan (tindak pidana) residivis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor yang mendorong terjadinya residivisme di dalam empat lingkungan yang dilaluinya. Dilingkungan tempat tinggal responden diketahui memberi pengaruh kepada tindakan kejahatan. Kemudian di lingkungan peradilan pidana terdapat proses krimininalisasi berupa kekerasan polisi saat melakukan penangkapan, penahanan dan persidangan terhadap tersangka pelaku kejahatan. Di lembaga pemasyarakatan juga terdapat budaya kriminal yang bisa menjadikan orang yang masuk kedalamnya menjadi lebih jaliat, karena bergaul dengan penjahat tangguh. Kemudian kembali ke dalam lingkungan masyarakatnya, terdapat pemberian cap sebagai pelaku kejahatan kepada mereka.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T475
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Irsahara
Abstrak :
Pengulangan tindak pidana atau yang dikenal dengan istilah Residivis semakin marak terdengar, hal ini tentunya menjadi suatu pekerjaan rumah tersendiri bagi aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan). Berkaitan dengan hal tersebut, Pemasyarakatan sebagai muara dari penegakan hukum, tentunya yang paling mendapat soratan mengenai terjadinya pengulangan tindak pidana atau residivis. Hal ini menjadi wajar mengingat sebagaimana yang tercantum dalam UU No.12 tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan, disebutkan bahwa Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan m engenai arch dart batas serta cam pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila dan dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbatki diri, serta tidak mengulangi lagi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang back dpn bertanggungjawab, sehingga dari sini cukup jelas bahwa besar kecilnya angka residivis berhubungan erat dengan pola pembinaan dan pembimbingan terhadap narapidana. Namun dalam kenyataannya masih banyak mantan narapidana atau narapidana yang sedang menjalani pembinaan luar lembaga pemasyarakatan ( Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang babas, Asimilasi dan sebagainya) yang melakukan pengulangan tindak pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) dibawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang menangani pembinaan luar lembaga pemasyarakatan adalah Halal Pemasyarakatan (BAPAS), dimana BAPAS sendui mempunyai kewajtban untuk membimbing narapidana atau khan pemasyarakatan sebelum kembali kemasyarakat. Namun dalam menjalankan tugsa dan fungsinya, masih banyak kendala yang dihadapi oleh Balai Pemasyarakatan dilapangan sehubungan dengan terjadinya pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh Mien Pemasyarakatan. Dan hasil penelitian ditemukan bahwa pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh Mien pemasyarakatan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya faktor intern dalam BAPAS sendiri seperti proses pembimbingan kiien pemasyarakatan yang kurang maksimal, serta faktor ekstern diluar Balai Pemasyarakatan seperti masrh adanya stigmatisasi yang diberikan masyarakat kepada Mien pemasyarakatan dan akibat dari adanya prisonisasi pada saat narapidana tersebut masib berada didalam Lemba x Pemasyarakatan (LAPAS), sehingga berdampak terhadap banyaknya angka pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh mantan narapidana maupun klien pemasyarakatan. Guna mengatasi permasalahan tersebut, Balai Pemasyarakatan mempunyai beberapa langkah-langkah alternatif pemecahan masalah diantaranya melakukan kerjasama dengan instansi lain dalam hal pembimbingan kemandirian, melaksanakan pelatihan telmis bagi petugas pembimbing kemasyarakatan dan melakukan koordinasi dengan pihak terkait dengan permasalahan klien. Sehingga dengan adanya altematif pemecaban masalah yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan, diharapkan Mien pemasyarakatan tidak mengulangi perbuatan melanggar hukum kembali.
The recurrence of criminal conducts which is known as Recidivist had been enormously outspoken currently, such problem had become a great groundwork for law enforcement officers (Police force, Prosecutors, Justice Department, and Correction Institution). In accordance to such issues, the detention centers as the outcome unit of law enforcements efforts would be receiving the great pressure on the recurrence of criminal conducts. The strained problem is considered to be a norm since in Indonesian law numbered 12, 1995 about Correction System, had stated whether Correction System is a structure of accordance on detention tribulations based on Pancasila and performed in coordination between Correction enforcements, Inmate, and the community for quality improvement on the inmate in order to circumvent the recurrence of criminal conducts by the process of returning to the community, actively involved in development and could live normally as a good and responsible citizens. Therefore, it is apparent whether the number of recidivist is depending on the correction motive on prisoners. Unfortunately, there are numbers of rectification clients within their detention period whether in or not the detention centers had committed such criminal conducts. Based to the stated issue, an implementing unit (Unit Pelaksana Teknis/UPT) had appointed under the Directorate General of Correction which had responsibilities for non institutional treatment of offender, called Balai Pemasyarakatan (BAPAS), be ure assimilation. Concerning to their tasks and responsibilities, there are complex problems faced for decreasing the recurrence of criminal conducts, by the rectification clients. The study had discovered, whether the recurrence of criminal conducts, had been influenced by a few factors, which are internals of BAPAS, such as under maximized detention, and externals, such stigmatization to the rectification clients, and prisonisation during the prisoning period by the Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), which had effected the recurrence of criminal conducts, either by ex-prisoners or rectification clients. Under the circumstances, BAPAS had created several alternatives for solution, which are consists of cooperation with other organizations in independence detention, conducting technical training to detention enforcements, and coordinating with other parties under clients' issues. Therefore, these alternatives are expected to reduce the recurrence of criminal conducts by rectification clients.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20812
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhiajeng Cinthya Prativi
Abstrak :
Angka residivis tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 24.000 residivis dengan tingkat residivis global 18.12%. Tidak dipungkiri bahwa Klien Balai Pemasyarakatan (Bapas) juga turut andil dalam angka tersebut. Penting untuk melakukan studi tentang bagaimana jajaran internal Bapas mempersepsikan kinerja mereka sendiri karena kinerja yang sesuai dengan harapan atau ideal dinilai dapat memberikan hasil kerja yang efektif, efisien, dan adaptif, namun apabila kinerja tidak mencapai standar atau harapan maka diskrepansi akan terjadi dan akan memberikan efek domino pada hal yang lain. Penelitian ini terkhusus akan membahas kinerja atas tugas pokok dan fungsi dalam program pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan Klien oleh PK. Terdapat dugaan bahwa pada 4 kantor Bapas wilayah DKI Jakarta telah memunculkan diskrepansi atau kesenjangan antara persepsi harapan dengan persepsi realita perihal pelaksanaan tupoksi PK yang didasari oleh persepsi kerja. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif dengan total 197 responden yang kemudian dilakukan Crosstab Chi-Square dan Uji F pada item atau indikator yang didasari oleh teori Masa Percobaan, teori Rehabilitasi, dan Teori Intervensi Sosial, serta konsep Penilaian Dimensi Kinerja SDM. Hasil menunjukkan bahwa pada 4 kantor Bapas wilayah DKI Jakarta, kinerja SDM Bapas tidak mampu mencapai persepsi harapan sehingga diskrepansi terjadi. Konsep yang dapat melengkapi teori pada penelitian ini dan sekaligus sebagai aspek yang tidak ditemukan pada tiap – tiap Bapas di wilayah DKI Jakarta yakni: (1) Work-Performance Aspect; (2) Self-Motivation Aspect; (3) Five Competency Aspect; dan (4) Climate Organization. ......The 2020 recidivism rate shows that Indonesia has 24,000 recidivists with a global recidivism rate of 18.12%. It is undeniable that Correctional Center Clients (Bapas) also contributed to this figure. It is important to conduct a study of how the internal ranks of Bapas perceive their own performance because performance that is in accordance with expectations or ideal is considered to be able to provide effective, efficient and adaptive work results, but if performance does not reach standards or expectations then discrepancies will occur and will have an effect dominoes on other things. This research will specifically discuss the performance of the main tasks and functions in the assistance program, mentoring, and supervision of Clients by PK. There is an allegation that in the 4 Bapas offices in Jakarta there has been a discrepancy or gap between perceptions of expectations and perceptions of reality regarding the implementation of the duties and functions of PK based on work perceptions. This study used a descriptive quantitative method with a total of 197 respondents who then carried out the Chi-Square Crosstab and F test on items or indicators based on the theory of Trial Period, Rehabilitation theory, and Social Intervention Theory, as well as the concept of HR Performance Dimensional Assessment. The results show that in the 4 offices of Bapas DKI Jakarta, the performance of Bapas' human resources is not able to achieve the perception of expectations so that discrepancies occur. Concepts that can complement the theory in this research and at the same time serve as aspects that are not found in each of the Bapas in the DKI Jakarta area, namely: (1) Work-Performance Aspect; (2) Self-Motivation Aspect; (3) Five Competency Aspects; and (4) Climate Organization.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Radio Fernando
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1978
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iqrak Sulhin
Abstrak :
Recidivism are repetion of criminal conduct by individuals on his/her life time. The Instrumen Penelitian Masyarakat or Litmas which been used by correctional system can only provide qualitative information regarding any offender to be use by judge in order to give sentence. Therefore, the need for quantitative determinant analysis to identify inmates re-offending risk factor emerge. The method use by this research gathering is survey method with inmates from Class I A Cipinang Correctional Facility. The process to analyse and identify risk determinant of an inmate for re-offending can give benefit for rehabilitation process given to the inmates. The findings shonw that drugs and/or alcohol abuse, and also emotional or personality problems are factors that correlate to criminal records.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nongka, Stella Marsella
Abstrak :
Penelitian ini berawal dari adanya ancaman tingginya potensi seorang warga binaan pemasyarakatan (WBP) kasus terorisme untuk menjadi seorang residivis. Banyak faktor yang melatari potensi tersebut, sehingga memahami sikap dan perilaku mereka dengan memanfaatkan intelijen pemasyarakatan sangat penting dalam kasus ini. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif analisis. Penelitian ini menggunakan data primer yang didapat dari wawancara sejumlah narasumber terkait, dan studi literatur yang berkaitan dengan konsep dan masalah yang diteliti. Hasil penelitian ini menunjukan intelijen kriminal, intelijen pemasyarakatan, intelijen penegakan hukum atau konsep yang masih terkait lainnya sudah lama dianggap penting di negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada dan Rusia dalam mencegah permasalahan yang terjadi dalam sistem keamanan dan penjara mereka. Sementara itu melihat kasus di Filipina, ketiadaan intelijen pemasyarakatan yang baik membuat sistem kategorisasi risiko WBP tidak berjalan dengan baik sehingga menictpakan banyaknya masalah dan ancaman dalam penjara. Selain itu, upaya atau strategi deteksi potensi residivisme WBP teroris melalui intelijen permasyarakatan yang dilakukan saat ini bisa tercermin dari beberapa upaya yaitu memahami penyebab timbulnya potensi ancaman residivisme WBP terorisme dan memahami potensi ancaman residivisme WBP terorisme dari sisi perubahan sikap dan perilaku individu yang pada umumnya terjadi akibat kegiatan deradikalisasi yang kurang efektif, ideologi radikal yang berlumuran darah (sangat kuat), WBP yang masih terhubung ke jaringan sebelumnya, kondisi sosial dan ekonomi yang kurang mapan dan tumbuhnya rasa ketidakadilan. Lalu dilakukan upaya penguatan integrasi strategis pencegahan residivisme WBP terorisme dengan sinergi antar lembaga dan terkahit integrasi metode intelijen dan teknologi informasi dalam pengawasan dan pencegahan residivisme WBP terorisme. ......This research began with the high potential threat of a prison inmate (WBP) in a terrorism case to become a recidivist. There are many factors behind this potential, so understanding their attitudes and behavior by utilizing correctional intelligence is very important in this case. Using a qualitative approach with descriptive analysis research type. This research uses primary data obtained from interviews with a number of related sources, and literature studies related to the concepts and problems studied. The results of this research show that criminal intelligence, correctional intelligence, law enforcement intelligence or other related concepts have long been considered important in countries such as the United States, Canada and Russia in preventing problems that occur in their security and prison systems. Meanwhile, looking at the case in the Philippines, the absence of good correctional intelligence means that the WBP risk categorization system does not work well, resulting in many problems and threats in prisons. Apart from that, efforts or strategies to detect potential recidivism of terrorist prisoners through community intelligence currently being carried out can be reflected in several efforts, namely understanding the causes of the potential threat of recidivism of terrorist prisoners and understanding the potential threat of recidivism of terrorist prisoners in terms of changes in individual attitudes and behavior that generally occur. due to less effective deradicalization activities, blood-stained radical ideology (very strong), WBP still connected to previous networks, less established social and economic conditions and a growing sense of injustice. Then efforts were made to strengthen strategic integration to prevent recidivism of terrorism prisoners with synergy between institutions and related to the integration of intelligence methods and information technology in monitoring and preventing recidivism of terrorism prisoners.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isharen Gina Namira
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan shame proneness dan guilt proneness pada narapidana residivis dan mantan narapidana non-residivis. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara guilt proneness dengan perilaku residivisme, namun tidak ada hubungan yang signifikan antara shame proneness dengan perilaku residivisme. Oleh karena adanya perbedaan budaya dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini ingin melihat perbandingan shame proneness dan guilt proneness pada narapidana di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan memberikan alat ukur TOSCA-SD dalam Bahasa Indonesia kepada 39 narapidana residivis dan 30 mantan narapidana non-residivis. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara shame proneness dan guilt proneness dengan tindak residivisme. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku residivisme dipengaruhi oleh banyak faktor lain di luar emosi malu dan bersalah. ......This research aims to compare shame proneness and guilt proneness among recidivist inmates and non-recidivist ex-inmates. The previous research shows that there is a relation between guilt proneness and recidivism, however there is no relation between shame proneness and recidivism. Due to cultural differences with previous research, this research aimed to compare shame and guilt proneness in Indonesian inmates. The research is done by assigning 39 recidivist inmates and 30 non-recidivist ex-inmates to fill in TOSCA-SD questionnaire in Bahasa Indonesia. The result of this research shows that there is no significant relation between shame and guilt proneness with recidivism. This result shows that there is another factor other than shame and guilt which affect recidivism.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S61924
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melvina Dewanti
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang peran Petugas Kemasyarakatan dalam melaksanakan Pembebasan Bersyarat terhadap Klien Pemasyarakatan. Penelitian dilakukan dengan melihat bagaimana peran Balai Pemasyarakatan dalam proses pelaksanaan pembimbingan untuk mencegah pengulangan kejahatan atau disebut reoffending. Penelitian berfokus untuk mencegah Klien Pemasyarakatan melakukan reoffending pada kasus narkotika dan kasus penggelapan uang dengan faktor ekonomi dengan menggunakan social control theory yang terdiri dari social bond dan containment, dan social reintegration serta desistance lalu dengan menggunakan model risk, need dan responsivity sebagai upaya untuk mengarahkan Petugas Kemasyarakatan dengan memperkuat pembimbingan dan memberikan kebutuhan yang Klien perlukan untuk mencegah melakukan reoffending. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam semi terstruktur dengan Petugas Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Klas II A Bogor dan Klien Pemasyarakatan. Hasil yang ditemukan bahwa proses pembimbingan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah reoffending belum terpenuhi dengan maksimal. Hal ini disebabkan belum adanya standarisasi pembimbingan yang berfokus pada pencegahan reoffending, sehingga menimbulkan Klien yang berpotensi berisiko tinggi tidak ditangani secara maksimal. ...... This thesis elaborates the role of Probation Officer in putting probation on probationer. Research was conducted with the perspective of Correctional Centre rsquo s role in checking on probationers in a probationary period in order to prevent them from committing a crime again or with a renowned term called ldquo reoffending rdquo . The research mainly focuses on preventing probationers from reoffending in narcotics cases and embezzlement cases with economic factors using terms of risk, need, and responsiveness in an attempt to give guidance for probation officer with strengthening the process while in a probationary period and giving probationers what they need as to prevent them from reoffending. Research method is qualitative which is applied in the profoundly semi structured interview with the probation officer of Correctional Centre in Bogor and the probationer. The result of research is elaborated that the process while in a probationary period in order to prevent probationer from reoffending has not been fully maximized. It is all caused by the absence of competent probationary process that focuses on reoffending prevention, so it will lead to a very high risk when the probationer is not fully assisted.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sapto Priyanto
Abstrak :
Disertasi ini menjelaskan tentang fenomena residivis terorisme di Indonesia, rumusan parameter keberhasilan deradikalisasi dan model pencegahan residivisme teroris di Indonesia di masa mendatang. Isnaini Ramdhoni yang baru dua bulanan menjalani masa pembebasan bersyarat setelah menjalani deradikalisasi di Pusat Deradikalisasi BNPT Sentul Bogor, menjadikan program deradikalisasi di Indonesia perlu dikaji kembali. Disertasi ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan Delphi. Metode Delphi dilakukan terhadap para pelaksana program deradikalisasi yaitu lembaga pemerintah dan non pemerintah di Indonesia saat ini. Metode Delphi menghasilkan model pencegahan residivisme teroris di Indonesia berdasarkan konsensus-konsensus dari para pelaksana deradikalisasi. Temuan dalam disertasi ini adalah narapidana teroris yang mempunyai paham takfiri tidak mau mengikuti program deradikalisasi, residivis teroris sebagian besar diakibatkan masih kuatnya pengaruh kelompok teroris terhadap mantan napiter; program deradikalisasi di Indonesia masih dilaksanakan secara parsial; belum ada standar kompetensi pelaksana deradikalisasi; belum ada parameter yang standar untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan deradikalisasi; kategori teroris yang digunakan oleh BNPT saat ini hanya untuk teroris yang berasal dari kelompok, sedangkan kategori teroris yang berasal dari individu belum ada; ego sectoral masih kuat diantara lembaga pemerintah masih menjadi masalah yang serius. Kolaborasi, kompetensi dan peningkatan kapasitas harus dilakukan oleh lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah yang melaksanakan deradikalisasi. Model teoritis pencegahan residivisme teroris di Indonesia dalam disertasi ini menggunakan teori-teori: Differential Association, Social Learning Theory, Peace Making Criminology dan Social Bond Theory, dapat menjadi alternatif bagi para pelaksana deradikalisasi.
This dissertation explains the phenomenon of terrorist recidivism in Indonesia, the parameter formulation of deradicalization success and the prevention model of terrorist recurrence in Indonesia in the future. Isnaini Ramdhoni underwent parole after two months undergoing deradicalization at the deradicalization Center in Sentul Bogor, making deradicalization programmes in Indonesia need to be reviewed. This dissertation uses qualitative methods and Delphi. The Delphi method is done against the implementation of Deradicalization program, which is done by the government and non-government institution in Indonesia today. The Delphi method generates terrorist recidivism prevention models in Indonesia based on consensus from deradicalization. The findings in this dissertation are terrorist convicts who have an understanding of the unwilling to follow the deradicalization program, the terrorist initially primarily due to the strong influence of the terrorist group against former terrorist prisoners; deradicalization programs in Indonesia are still carried out partially; There are no standards for the implementation of deradicalization competence; There is no standard parameter to know the successful implementation of deradicalization; The terrorist category used by the BNPT is currently for terrorists originating from the group only, while terrorist categories originating from individuals do not yet exist; A sectoral ego still strong among government agencies is still a serious problem. Collaboration, competence and capacity building must be done by government and non-governmental institutions to carry out deradicalization. The Theoretical Model of terrorist recidivism prevention in Indonesia in this dissertation using theories: Differential Association, Social Learning, Peace-Making Criminology and Social Bond, can be an alternative for implementing deradicalization.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Buchanan, Cathy
Australia: The Center for Independent Studies, 1992
364.2 BUC c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>