Peredaran informasi yang begitu masif di media siber yang ada di Indonesia membuat kita terkadang mengalami kesulitan untuk membedakan mana informasi yang benar dan mana yang bohong atau hoax. Pihak-pihak tertentu bahkan sengaja membuat dan menyebarkan informasi hoax dengan tujuan tertentu, salah satunya menyebarkan paham atau ideologi radikalisme untuk tujuan politik. Tidak jarang, informasi hoax tersebut dipercaya oleh masyarakat sebagai suatu kebenaran. Fenomena tersebut dikenal dengan istilah post-truth. Gerakan Pemuda (GP) Ansor adalah salah satu pihak yang telah menyadari bahaya tersebut dan telah melakukan perlawanan dengan membuat produk kontra narasi radikalisme. Dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif dan berparadigma konstruktivis, penelitian ini ingin mencari tahu dan menganalisa secara mendalam bagaimana strategi GP Ansor dalam melakukan kontra narasi radikalisme di media siber tersebut. Sumber data utama penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa strategi GP Ansor dalam melakukan kontra narasi radikalisme di media siber ini telah membuahkan hasil yang positif yang sekaligus dapat meminimalisasi kelemahan dan ancaman yang ada.
The massive circulation of information on cyber media in Indonesia sometimes make us difficult to distinguish between the correct information and the lying or hoax one. Certain parties even deliberately make and disseminate hoax information with a specific purpose, one of which is spreading radicalism ideology for political purposes. Not infrequently, the hoax information is believed by the community as a truth. This phenomenon is known as the post-truth. Ansor Youth Movement (GP Ansor) is one of the parties who has realized the danger and has taken the fight by making counter radicalism narrative product. By using descriptive qualitative method and constructivist paradigm, this research wants to find out and analyze in depth how is the GP Ansor's strategy in countering radicalism narratives in the cyber media. The main data sources of this research is semi-structured interviews. The results of this study state that GP Ansor's strategy in countering radicalism narratives in cyber media has produced positive results that can minimize the existing weaknesses and threats.
Radikalisme telah menjadi virus yang tidak nampak namun terasa keberadaannya di sekitar kita. Radikalisme ini tidak saja mempengaruhi pemikiran masyarakat umum tetapi ancaman ini juga dapat merubah pemahaman dari aparat negara di Indonesia sehingga menjadi radikal. Pemahaman ini dapat merusak struktur tatanan dalam masyarakat umum dan bila dibiarkan dapat menyebabkan timbulnya kecemasan dan ketakutan bagi seluruh warga negara Indonesia. Dampak yang tak kalah merusak adalah terjadinya perpecahan dalam masyarakat sehingga menyebabkan terciptanya jurang pemisah antar umat beragama di Indonesia. Penelitian tentang radikalisme ini dilakukan guna mendapatkan strategi efektif dalam mencegah penyebaran paham radikal di kalangan aparat negara sehingga tidak dapat mempengaruhi pemikiran para abdi negara yang bertugas di berbagai instansi pemerintahan. Penulisan ini menggunakan metode kualitatif melalui studi dokumen (rekam jejak karir kriminal mantan aparat negara yang terpapar radikalisme), wawancara langsung dengan beberapa mantan aparat negara (TNI / Polri dan ASN) yang telah terpapar dengan paham radikal sehingga melakukan aksi terorisme serta metode delphi dari unsur pejabat pemerintah dan penggiat LSM yang menangani masalah terorisme. Hasil yang didapat dari wawancara terhadap mantan aparat negara yang telah terpapar paham radikal menghasilkan beberapa pernyataan yang menarik. Faktor penyebab mereka terpapar radikalisme ternyata sangat beragam. Hal ini sangat berguna dalam merumuskan strategi pencegahan yang efektif dalam menangkal paham radikal terhadap aparat negara. Kesimpulan yang dihasilkan dari penulisan ini akan melahirkan implikasi kebijakan, teoritis dan metodologis. Diharapkan penulisan ini dapat memberikan hal yang bermanfaat bagi dunia akademik dan masukan bagi instansi pemerintah dalam menangkal radikalisme.
Radicalism has become an invisible but felt virus all around us. This radicalism not only affects the thinking of the general public but this threat can also change the understanding of the state apparatus in Indonesia so that it becomes radical. This understanding can damage the structure of the order in society at large and if it is allowed to cause anxiety and fear for all Indonesian citizens. An impact that is no less damaging is the occurrence of divisions in society that have created a gap between religious communities in Indonesia. This research on radicalism was carried out in order to find an effective strategy in preventing the spread of radicalism among the state apparatus so that it could not influence the thinking of state servants who served in various government agencies. This writing uses qualitative methods through document studies (track records of criminal careers of former state apparatus exposed to radicalism), direct interviews with several former state officials (TNI / Polri and ASN) who have been exposed to radical ideology so as to commit acts of terrorism and the delphi method of elements. government officials and NGO activists dealing with terrorism issues. The results obtained from interviews with former state officials who have been exposed to radicalism produce several interesting statements. The factors that caused them to be exposed to radicalism were very diverse. This is very useful in formulating an effective prevention strategy in counteracting the radical understanding of the state apparatus. The conclusions generated from this paper will have policy, theoretical and methodological implications. It is hoped that this writing can provide useful things for the academic world and input for government agencies in counteracting radicalism.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa peran dan efektivitas deradikalisasi oleh lembaga non-pemerintah, dengan mengambil studi kasus Yayasan Prasasti Perdamaian dan Search for Common Ground, dua lembaga yang aktif bergerak dalam upaya deradikalisasi.
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif melalui wawancara terstruktur, observasi dan studi literatur. Dalam penelitian ini diketahui bahwa dua lembaga non-pemerintah tersebut memiliki tingkat penerimaan yang lebih tinggi oleh narapidana terorisme, daripada program deradikalisasi yang dijalankan oleh BNPT. Namun demikian, masalah koordinasi dengan pemerintah, minimnya sumber daya, dan lemahnya monitoring masih memberi hambatan dalam upaya deradikalisasi.
For more than a decade, the issue of radicalism and terrorism continues to get the public's attention from almost all corners of the world. Terrorism has caused a lot of damage to human life. Therefore, it is necessary to properly address the problem. Every element of Indonesian society is basically responsible for efforts to de-radicalization, not just BNPT. Moreover, BNPT has proven to have various obstacles that cannot be faced alone. One element of society that can take an important role in this case is non-governmental institutions.
This study aims to analyze the role and effectiveness of deradicalization by non-governmental institutions, by taking a case study of Yayasan Prasasti Perdamaian and Search for Common Ground, two institutions that are actively engaged in deradicalisation efforts.
This research was conducted with qualitative methods through structured interviews, observation and literature studies. In this study it was known that the two non-government institutions had higher levels of acceptance by prisoners of terrorism, rather than the deradicalisation program run by BNPT. However, the problem of coordination with the government, lack of resources, and weak monitoring still provide obstacles in efforts to de-radicalization.